Menjelang sore, usai waktu ashar. Aku dan tatik,bulekmu mulai menumbuk jagung di lesung. Untuk keperluan makan esok hari. Nasi jagung waktu itu adalah suatu primadona. Tak banyak orang-orang kampung yang mengkonsumsinya. Terbatas kepada mereka yang hidup berkecukupan. Sarapan nasi jagung di masa itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan ketersediaan pangan. Walau ketersediaannya kala itu hanya tinggal beberapa minggu lamanya. Lalu biasanya di musim kemarau nasi jagung menjelma menjadi umbi-umbian sebagai sarapan sehari-hari. Bahkan di luar kampung kami yang terpencil, sarapan nasi jagung tak serta merta di konsumsi saban hari. Terkadang sehari makan nasi jagung, hari berikutnya makan gaplek singkong atau umbi-umbian lain semacam talas,uwi , gembili ,atau bahkan gadung sekalipun yang seringkali meninggalkan rasa getir dan gatal di mulut. Belum selesai kami menumbuk jagung. Mendadak terdengar suara letupan pistol tak beraturan. Desing peluru terdengar semakin mendekat ke perkampungan. Sebuah teror yang maha dahsyat. Hari itu, kampung kami di serang secara tiba-tiba. Sayup-sayup mulai terdengar tangis histeris dari anak-anak. Teriakan-teriakan orang tua dan para ibu membahana. Dalam hitungan detik, warga kampung berhamburan keluar rumah untuk segera menyelamatkan diri. Himbauan yang tak jelas suaranya menginstruksikan agar segera keluar dari kampung. Sepertinya suara itu berasal dari ketua kampung kami. tak kuhiraukan peringatan dan himbauan dari ketua kampung itu. Dengan suaranya yang semakin lantang dan keras itu, menyerukan agar segera meninggalkan kampung. Hal pertama yang kuselamatkan adalah nyawa. Segera kusuruh adik perempuanku dan dua orang keponakanku yang tengah main ke rumah, untuk masuk kesebuah ruangan bawah tanah. Yang hanya bisa di huni tiga orang. Kapasitasnya yang terbatas membuat kami harus berpisah. Aku sendiri menyelamatkan diri bersama suamiku, kang Aryo. Kami lari dengan tertatih-tatih. Menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Diriku yang hamil sembilan bulan, tak menyurutkan langkahku untuk terus melangkah. Hari itu serangan yang kedua kembali dilancarkan. Kali ini yang menjadi sasaran adalah pemuda-pemuda desa yang masih tersisa. Yang di perkirakan masih bersembunyi di rumah-rumah warga kampung, di balik hutan larangan dan di lereng-lereng gunung. Beberapa hari sebelumnya para pemuda-pemudi desa termasuk suamiku, kang Aryo menyerang sebuah markas milik tentara Belanda. Oleh para pemuda-pemudi desa mensinyalir, didalamnya tersimpan peralatan perang, bahan-bahan makanan dan obat-obatan. Di markas itu tinggal lima orang tentara yang berjaga-jaga. Tiga orang di dalam, dan dua orang lagi di luar. hari itu bagi orang-orang kampung terutama anak-anak muda adalah suatu kesempatan emas untuk segera menyerbu dan menjarah semua isi di dalamnya. Tanpa menunggu waktu Anak-anak muda menyusun kekuatan, seluruh anak muda desa di kerahkan dan pecahlah pertempuran. Dalam hitungan menit, lima orang tentara Belanda tewas seketika. Tertombak oleh tajamnya bambu runcing, yang sebelumnya telah di doakan terlebih dahulu oleh beberapa sesepuh desa. Tanpa menunggu waktu, puluhan pucuk senjata, bahan makanan dan obat-obatan dijarah seluruhnya. Matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri. Pertempuran masih terus berkecamuk. Suara peluru dan meriam berdesingan memekakkan telinga. Kampung kami di obrak-abrik, di bakar habis. Rumah-rumah penduduk banyak yang hancur berkeping-keping, rata dengan tanah. Sebelum nyawaku ikut hangus terpanggang dalam bara api. Aku terlebih dahulu menyelamatkan diri bersama kang Aryo. Sore itu menjelang maghrib. Orang tua, para ibu dan anak-anak banyak yang terperangkap. Mereka di arak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tak berdaya ke distrik militer di dekat rumah letnan van broost. Seperti biasanya, disana mereka lalu di sekap beberapa hari. Di paksa membuka rahasia lalu kemudian di bebaskan. Adapula yang di hukum jemur. Mereka di jerang di bawah panas terik matahari hingga berhari-hari lamanya. Dengan tertatih-tatih Aku dan kang Aryo lari tungang-langgang ke atas gunung melewati lereng-lereng curam dan perbukitan. Belum sempat kami temukan tempat persembunyian. Kang Aryo yang menyuruhku jalan di depan terlebih dahulu. tepat di belakangku, dia tertembak. Aku melihat sendiri bagaimana kang Aryo menggelinjang. Mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru yang tembus di bagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu juga mengucur membasahi kerah baju dan lehernya. Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir darinya. Kulihat guratan senyum yang tak seperti biasanya. Begitu ruh keluar dari jasadnya, kurasakan sekujur tubuhnya mendadak dingin. Aliran darah yang setia menghangatkan tubuh, puluhan tahun lamanya tiba-tiba terhenti. Sebelum ia tiada, tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ia hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus. Selamatkan anakmu!. Tak lama setelah itu ia kujumpai dengan raganya yang kaku, dingin di sekujur tubuhnya. Tak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Kang Aryo telah mati. Ya. ia telah mati. Orang yang selama ini melindungiku telah terkapar di depan mata. Dari kedua bola mataku, tanpa kusadari air mata terus merembes membasahi wajahku yang coreng-moreng oleh abu untuk mengelabui musuh. Aku yang lemah tak kekurangan akal. Aku sempat berpura-pura pingsan beberapa menit. Tepat di atas mayat kang Aryo, untuk sekedar mengelabui musuh. Lalu demi anakku yang masih di kandung badan selama hampir sembilan bulan. Perlahan dengan langkah gontai, kutinggalkan jasad suamiku yang telah membujur kaku. Kurasa ketika jasad suamiku telah di tinggal pergi penghuninya. Dunia ini serasa hampa. Tiada lagi rasa, hasrat apalagi gairah. Aku biarkan jasad suamiku tergeletak begitu saja, tanpa seorangpun yang mengurusnya. Dalam batinku bertekad, suatu saat apabila nyawaku masih di kandung badan. Akan kudatangi, kucari dimana mayat suamiku tergeletak. Walaupun tinggal bangkai. Akan kukemas bangkainya sedemikian rupa. Lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan. Dan kehidupan adalah pada kematiannya. Kepada anak cucuku kelak, akan ku serukan bahwa semangat hidup takkan pernah mati, dan perjuangan takkan pernah usai. Ku saksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh untuk menjadi korban kerakusan manusia. Di jalan-jalan tikus, mayat orang tua dan anak-anak bergelimpangan. Telah tertulis masanya, bahwasannya mereka akan tiada di waktu yang akan tertera. Mereka yang selamat, lari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan tangis histeris ke atas gunung berhutan. Sebagian lagi terkena coretan ilahi, mati.Tergeletak berserakan di lorong-lorong jalan, di bawah tebing. Aku sendiri lari sebisaku ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan, seakan-akan tepat di atas kepala. Spontan aku tiarap di tanah karena ketakutan. Dalam tiarap, aku seperti setengah sadar. Dalam ketidaksadaranku, Aku merasa ruhku telah meninggalkan jasadku. Dengan serta merta Aku berusaha mengikhlaskan ragaku yang tak lagi bernyawa. Tapi itu hanya perasaanku saja yang berlebihan. Tanpa kusadari, karena terlalu lama tiarap di tanah, Aku telah mendiami dunia antah berantah. Dunia bawah alam sadar, Aku ketiduran. Begitu terbangun, hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam. Padang rembulan seperti tepat diatas kepala. Ditengah malam itu mulai kurasakan sakit di perutku. Aku didera rasa mulas yang hebat. Akupun mulai mencari tempat di bawah pepohonan hutan jati, diantara rindangnya pohon kemuning. Saat berkontraksi, rasa sakit di perut, mulai berkurang. Namun rasa pusing di kepala kian menyerang, di ikuti nyeri di bagian leher dan pinggang. Sendiri berteman sunyi dan sepi Aku menahan sakit. Sakit sekali. Sambil menahan rasa sakit ku kumpulkan helai demi helai dedaunan kering. Ku tata sedemikian rupa menyerupai sarang burung, tentunya hanya asal-asalan masih terlampau jauh dari sarang burung yang memakai seni tersendiri. Bagiku sudah lebih dari cukuo untuk sekedar tempat berbaring. Di tengah-tengah hutan di tengah malam, Aku bergulat antara hidup dan mati. Berteman pohon besar yang setia meneduhiku. hanya sepercik sinar rembulan yang sudi menerobos masuk untuk menerangiku, menemani dalam kesusahan. di keheningan malam itu suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi mungil. tangis bahagia menemaniku malam itu.beralas dedaunan kering ku lahirkan seorang bayi perempuan.tanpa sentuhan pertolongan dukun beranak.tepat di tengah malam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun