Entri Populer

Senin, 14 Mei 2012

Mengejar Keadilan



         

           
         
  Mengejar
       Keadilan

Sinopsis

Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lanjut usia, meski telah lanjut usia semangat juangnya untuk menuju hidup madani tak pernah surut, berpendirian samin, dan kemauannya keras menyamai semangat anak muda dan bahkan mungkin melampaui, tetapi masih memegang teguh tradisi dan adat serta budayanya. Mengisi hari-harinya di pematang sawah seperti halnya orang-orang Kampung pada umumnya. Suaminya wafat dalam sebuah kecelakaan kerja, terjatuh dari pohon kelapa. Dua orang putrinya pergi satu persatu ke negeri antah berantah, ke sebuah negeri yang hanya diketahui namanya tanpa diketahui dimana rimba dan keberadaannya. Putri pertamanya pergi jauh ke negeri Sakura menyusul bibinya sedangkan putri keduanya pergi memenuhi panggilan Ilahi ke alam baka, hanya bersama Qohar cucu satu-satunya Aminah melanjutkan hidup. Seorang cucu yang terlahir dari si bungsu, dari rahim Dewi juariyah. Hari-hari mereka sebagai keluarga kecil terasa tentram dan bersahaja meski beberapa kerikil tajam terkadang datang mendera sampai kemudian drama itu terjadi. Aminah di gelandang ke balai Desa Rakusan hanya gara-gara sehari sebelumnya Aminah  melayangkan sebuah surat protes ke kelurahan, ia memprotes prosedural peraturan Desa yang terkesan dipersulit.
Cara memprotesnya pun lain dari pada orang-orang tua pada umumnya. Lewat selembar kertas. Ya lewat selembar kertas yang di garap keponakannya Mansyur, perempuan tua nan tangguh itu sanggup membuat mata dan telinga para perangkat desa Rakusan kian memerah di penuhi darah hawa nafsu dan amarah, hingga kemudian  Aminah “kalah” dan menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
            Di balai Desa itu ia di sidang dan terpaksa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol dari para perangkat Desa Rakusan. Tanpa di duga sebelumnya Aminah mendapat sokongan dari pak Amin, seorang wartawan lepas sebuah harian  terkemuka di Ibu Kota yang juga merangkap karier sebagai seorang konsultant. Tanpa diketahui Aminah lebih jauh, kasus itu di laporkan dan perkarakan hingga ke Kepolisian oleh pak Amin, tetapi sebelumnya pak Amin terlebih dahulu bernegosiasi dengan cucunya, yaitu Qohar. Ketika permohonan penyelidikan dari pak Amin sengaja di abaikan dan di ulur-ulur oleh pihak Kepolisian,  pak Amin tidak percaya lagi dengan sistem hukum. Karena tidak ada kejelasan kapan kasus itu diselidiki dan di limpahkan ke kejaksaan pak Amin menggunakan caranya sendiri. Sebagai seorang wartawan yang merangkap sebagai seorang consultant pak Amin tidak segan mengancam pihak Kepolisian dengan membocorkan kebobrokan sistem pelayanan ke publik, ke berbagai media massa dan televisi apabila tuntutan penyelidikan tidak segera di penuhi.
            Tanpa menghitung hari, hanya beberapa jam kemudian kepala Desa Rakusan beserta kroni-kroninya langsung di datangi pihak kepolisian atas tekanan pak Amin, mereka kemudian di tahan. Dalam hal ini masyarakat Desa Rakusan tidak mengetahui siapa sebenarnya pelaku yang memperkarakan masalah ini. Kemudian kecurigaan mengarah kepada Aminah yang sebelumnya terlibat bermasalah dengan orang-orang balai Desa. Pada hal Aminah pun demikian,  tidak tahu menahu mengenai masalah ini. Dan ketika kasus balai desa telah mulai di proses untuk segera dilimpahkan ke kejaksaan, sepercik sinar keadilan menyeruak, sebagai sebuah bentuk kemenangan Aminah. Tetapi ternyata, ketika Aminah akan menemukan sebuah keadilan justru ia malah semakin terpuruk. Kali ini bahkan membuat jiwanya serasa terburai. Aminah terasing dalam sepi di tengah-tengah keramaian. Semua orang menjaga jarak dan mengucilkannya. Hanya gubuk kecil di pematang sawah yang senantiasa  menyambut kedatangannya.  

Surga Dunia



Ketika kian tercerabut sebuah kejujuran diri  
Ketika kian terhimpit satu ketulusan hati  
Ketika surga telah menjadi tujuan  
Dan ketika semua kerana surga   
Surga siapakah? Al Jannah yang manakah?   
Oleh nafsu dan amarahmu yang sesaat itu
Pengabdianmu terhalang  
Al Jannah bukanlah tercipta untuk orang-orang yang berharap  
Al Jannah menawarkan diri bukan ditawar
Al Jannah adalah kesungguhan bukan basa basi
Tak berharap akan surga dan berbalut rasa tulus adalah pencarian Al Jannah   
Seorang Alim, Abid
Ketika di selubungi pengharapan  
Maka Al jannah enggan menyapa.





           








Usianya mulai senja warna perak menyepuh hampir di seluruh rambutnya. Matanya mulai terlihat cekung, tapi giginya masih terlihat utuh. Hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal. Wajahnya menyiratkan sebuah pertanda telah berkurangnya usia, semakin keriput karena di telan masa, di hempas oleh perjalanan waktu.
            Jari-jemari di kedua tangannya telah keriput, kedua kakinya  telah ringkih tetapi meskipun ringkih perempuan tua itu masih sanggup menopang tubuh rentanya, mampu menaiki dan menuruni tanjakan menyusuri jalanan berliku menuju peraduannya, yaitu sawah. Menapaki jalanan hingga beberapa kilometer setiap hari. Melepas lelah dan menghabiskan hari-harinya di sebuah gubuk di pinggir persawahan di pinggiran sungai. Pakaian kebesarannya hanyalah kebaya kuno dan beberapa utas jarek[2]. Tak ada kemewahan sama sekali dalam diri perempuan tua itu. Sekilas tubuhnya seperti kebanyakan orang-orang jawa pada umumnya, tidak kurus dan tidak terlalu gemuk sedang-sedang saja.
     Di saat bayang-bayang matahari mulai sedikit bergeser ke arah timur, di atas jerami kering di antara bebatuan perempuan tua itu duduk bersila di pinggir sungai yang mengalir jernih, tepat di bawah pohon nangka yang rimbun, sejuk dan teduh. Dengan di temani semilirnya angin sepoi-sepoi membuatnya betah berlama-lama untuk sekedar duduk bersila sembari membuang lelah setelah seharian bekerja.
     Di atas sungai terbentang sawah beberapa petak peninggalan dari suaminya, sawah pemberian dari pemerintah atas jasa-jasanya di dalam ikut serta memperjuangkan kemerdekaan dan sebagian lagi berupa hibah dari pemerintah kolonial belanda. Waktu dzohor telah berlalu beberapa jam yang lalu. Panasnya terik matahari agaknya telah mulai berkurang. Tapi perempuan Tua itu masih belum juga beranjak dari Musholla1. Yang di desain dari jerami kering. Ia masih duduk bersimpuh, melawan kantuk. Dari kedua bibirnya yang keriput. Tak henti-hentinya melafadzkan Asma-Asma Allah. Memanjatkan rasa syukur, teriring dzikir lalu dikhiri doa sapu jagat seperti biasanya. Setiap hendak pergi kesawah perempuan tua itu selalu menyempatkan diri membawa perbekalan makanan, secukupnya. Dua lapis jarek2 untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih.
     Apabila ia lupa membawa barang bawaan. Sebisa mungkin ia sempatkan untuk pulang, sebelum tiba saatnya waktu dzohor. Usai melawan kantuk dengan berdzikir, Ia lalu beranjak pergi menuju cangkruk, sebuah gubuk kecil yang di desainnya sendiri untuk sekedar istirahat di sela-sela kesibukannya di sawah.  Diambilnya selembar daun pisang langsung dari pohonnya. Tak jauh dari tempatnya duduk bersimpuh. Selembar daun pisang dijadikannya sebagai alas makan nasi, pengganti piring. Lalu di ambilnya nasi putih bersih beserta urap sambal daun singkong, oseng-oseng kangkung, ditemani lalapan kacang panjang mentah, daun kemangi, dan dua buah mentimun sedang. Apabila sudah di hadapkan dengan kenikmatan duniawi maka seakan-akan rasa syukur senantiasa tercurah dari kedua bibirnya tanpa henti. Sebuah kenikmatan dunia yang tidak bisa di beli maupun ditukar. Walaupun di tukar dengan kenikmatan di Surga sekalipun. Maka wajar jika di dalam pikirannya, tak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga di akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah melebihi dari cukup. Tak ada yang lain. Cukup satu kata yang mengiringi langkah hidupnya yaitu syukur. Ungkapan dari sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah. Begitu pula pada cabe dan terong. Mengingat bagaimana zaman dahulu harus mati-matian berjuang untuk bertahan hidup. Kelak yang ia harapkan setelah dirinya di panggil yang Maha Kuasa adalah keridzaannya bukan surga maupun neraka. Ia ingin menjadi kekasih Allah, tidak lebih.
     Setelah selesai makan di teguknya air kendi. Ces!! dingin dan bening. Peluh-peluh keringat dari kening, leher dan di sekujur punggungnya mulai keluar perlahan, mengalir membasahi bajunya. Lalu kemudian angin yang sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya bisa di dapat di persawahan, di bawah rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang hanya bisa di rasakan bagi orang-orang yang bersyukur. Tak terbayar, dan tak bisa di bayar dengan Rupiah.
     Sawah  adalah Surga bagi orang-orang yang mecintainya dengan meluangkan waktunya untuk menggarap dan memeliharanya. Tak begitu jauh dengan pepatah Arab yang mengatakan "man jadda wa jada". Siapa yang mau bersungguh-sungguh pasti akan menemukan hasilnya (dari apa yang telah di tanamnya).
     Sawahnya yang tepat diatas bibir sungai banyak di tanami sayur-sayuran yang beragam. Sayuran yang ditanaminya itu pada umumnya mampu bertahan hingga setengah tahun bahkan lebih. Tak banyak jenis sayuran yang di tanaminya. Setiap jenis sayur- sayuran hanya satu sampai lima tanaman di setiap guludannya, namun mampu menghasilkan sayuran yang melimpah.
      Terbatas hanya disela sela guludan tanaman padi. Namun untuk memanen satu jenis sayuran yang hanya beberapa pohon, masa panennya bisa mencapai tujuh bulan. Bahkan bisa mencapai satu tahun. Seperti lembayung. Tanaman kacang- kacangan yang biasa menjalar kemana-mana. Tanaman sayur sebangsa kacang-kacangan. Meski hanya beberapa tanaman, tapi bisa menghasilkan puluhan ikat. Begitu juga dengan sayuran Kangkung yang di tanam di beberapa guludan, sayuran yang mudah bersemi dan berkembang biak itu bisa di panen dua hari sekali. Itupun bisa menghasilkan dalam jumlah yang sama seperti halnya Lembayung. Belum lagi daun singkong, koro dan kecipir yang masa panennya bisa bertahan hingga umur dua tahun. Tak hanya terbatas pada ukuran usia, sayuran-sayuran itu bisa di panen. Ada pula yang bisa di panen sepanjang  tahun. Seperti sayur buah pepaya muda, rebung dan nangka muda.
   Walau demikian, hasil sayuran yang melimpah tersebut jarang sekali di jual ke pasar. Kerapkali sayuran-sayuran itu yang biasa di ikatnya besar-besar itu di bagi-bagikan kepada para tetangga dengan cuma-cuma. Ia hanya mengambil secukupnya untuk di olah hari ini dan esok hari. Hanya hasil buah-buahan semacam nangka, mangga dan jengkol yang terkadang di bawa sebagai barang bawaan ke pasar. Itupun terbatas pada saat-saat datang musim buah. Tetapi ada saja musim yang menyertainya. Jika di bulan ini musim nangka, bulan kemarin musim rambutan, lalu di bulan depan musim durian, begitu seterusnya. Itulah harmoni Alam Semesta yang senantiasa menghadirkan keseimbangan untuk memenuhi hajat hidup para penghuninya. Selama Alam itu di jaga,  di pelihara dan dirawat dengan setulus hati.
     Setiap kali melihat tanaman-tanamannya yang terus menghijau, tak jemu-jemu untuk terus di kunjunginya setiap hari. Tiada hari tanpa aktifitas. Setiap hari ada saja pekerjaan yang menantinya, menyiangi rerumputan, mengairi sawah, memanen sayuran, mengambil rebung, mencari kayu ,menunggui padi, dan masih banyak lagi pekerjaan lain yang setia menantinya. Seakan pekerjaan di sawah itu tidak ada habisnya. Apalagi bila musim buah telah tiba seperti musim buah nangka, mangga, pete, dan jengkol.  Praktis keseharian hidup orang-orang Desa hanya di habiskan untuk ke sawah.
     Tepat di atas pinggiran sungai banyak di tanami pohon-pohon keras. Semacam pohon pisang,  bambu, kapuk randu, sengon dan lainnya. Di samping bertujuan untuk diambil manfaatnya, pohon-pohon tersebut berguna untuk mencegah dan mengurangi erosi. Selama pohon-pohon keras itu masih hidup, maka selama itu pula ekosistem sungai dan sawah akan tetap terus terjaga. Tanaman-tanaman keras itu telah terbukti mampu menyeimbangkan tanah, sehingga tidak mudah longsor.
     Tak jauh dari tempat perempuan tua itu duduk bersila, ikan-ikan bader dan udang berkejaran, lalu menggerombol menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa makanan yang biasanya sengaja di sisakan untuknya. Biasanya sisa-sisa nasi putihnya di tumpahkan begitu saja ke arah aliran sungai. Ikan-ikan dan udangpun terkesiap sambil berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau perempuan tua itu bisa saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu, yang jinak-jinak merpati, untuk lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan, sifat kanibalisme tergeser menjadi nomor yang kesekian.
     Menyaksikan sebuah sandiwara makhluk-makhluk lain semacam ikan di depan mata, adalah suatu keistimewaan tersendiri baginya. Perempuan Tua itu merasa telah menyatu dengan alam. Demikian pula dengan burung-burung belibis. Berkeliaran bebas, berkejar-kejaran di satu tempat ke tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya di siang hari. Di saat suara-suara riuh mulai lenyap, sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Di saat orang-orang mulai kembali pulang, melepas lelah dan letih. Setelah seharian memeras keringat. Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas suasana benar-benar sepi. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Burung-burung itu tampak anggun dan elegan dengan kombinasi warna hitam, hijau perak di leher dan kepala serta bintik-bintik kuning hitam di bagian ekornya. Sesekali terlihat menyelam, menghilang kedasar sungai, mencari mangsa dengan lincahnya. Bulunya yang anti air lebih mirip dengan angsa berukuran lebih kecil sepuluh kali-lipat. Berenang-berenang berlalu lalang, berkejar-kejaran. Sayangnya kemunculannya, disaat-saat sepi setelah keadaannya terasa aman, barulah burung-burung itu keluar dari semak-semak. Ada pula yang bermalas-malasan, bertengger di dahan dan ranting-ranting rumpun pepohonan bambu. Telornya yang lebih mirip seukuran telur ayam sering di buru pemuda-pemuda kampung untuk  mayoran1.
     Setelah burung-burung belibis berlalu pergi. Datang sekawanan burung bubut yang mencari katak, cacing dan ikan-ikan kecil sisa garapan burung belibis. Mereka tak pernah hadir bersamaan. Diantara burung-burung itu menyadari kekalahan dan kelemahannya. Rela menunggu, lalu silih berganti sampai menjelang sore.
     Dengan dihiasi birunya langit dan mentari yang terkadang mengintip dari balik awan yang bergerombol. Di kesunyian pada siang hari burung-burung kutilang, burung betet bersaut-sautan. Saling unjuk gigi dan kebolehan. Memamerkan suaranya masing-masing. Suaranya melengking-lengking seolah-olah tak mau kalah dengan lengkingan suara penyanyi populer Melly goeslaw sekalipun.
     Di bibir-bibir sungai biawak tampak hilir mudik menanti giliran. Mencari bangkai-bangkai ikan, katak dan sejenisnya. Dengan sesekali menjulurkan lidah panjangnya. Menelisik aroma bangkai di setiap sudut-sudut di pinggiran sungai.
     Walau hanya sekedar melintas. Sekawanan ikan, burung-burung dan binatang lainnya tidak takut ataupun gentar menampakkan diri didepan perempuan tua itu. Seakan perempuan tua itu telah menyatu dan berjanji untuk tidak saling mengganggu, menyakiti dan menguasai. Hanya orang-orang yang berhati sebersih embun pagi yang senantiasa disambut kehadirannya.
     Akhir-akhir ini mulai muncul kekhawatiran dalam benak perempuan Tua itu. Ia merisaukan dengan keadaan sekarang ini. Keadaan alam yang mulai rusak oleh ulah tangan-tangan manusia, hampir di semua tempat Perempuan tua itu menjumpai sawah-sawah sudah berbau obat penyemprot hama. Berceceran bangkai-bangkai ikan kecil, belut dan berbagai jenis serangga air yang mati di sepanjang aliran kalen. Sepanjang bau busuk bahan kimia mengalir, sepanjang itu pula ikan-ikan kecil dan serangga air mati secara tidak wajar, menggelinjang menemui ajalnya. Sementara di tempat lain setiap hari ada saja para pemuda yang menyandang senapan angin.  Apabila menyaksikan ulah para pemuda desa yang mencari sarang burung dengan membabi buta seolah perempuan tua itu ingin melarang, mengusir, atau bahkan menghardiknya dengan suara lantang. Tapi semua itu hanya timbul sesaat di dalam hatinya, ia sendiri merasa tidak punya kewenangan untuk melarang-larang apalagi memarahinya. Untuk ukuran hewan sejenis Unggas, semacam belibis atau ayam hutan, seharusnya yang boleh diambil adalah telurnya saja, yang besarnya hampir menyerupai telur ayam biasa. Tapi sering kali anakannya ikut serta diambilnya. Sehingga akhirnya berujung pada kematian. Juga perlakuan beberapa pemburu liar yg menembaki apa saja yang melintas didepannya. Tanpa mempertimbangkan keseimbangan Alam. Belum lagi cara-cara mengambil ikan yang serampangan. Dengan  menaruh tuba[3] di beberapa tempat. Sehingga pelan dan pasti telah merusak keseluruhan ekosistem sungai. Terakhir kali rombongan Kepala Desa Rakusan beserta jajarannya. Beramai-ramai mencari ikan dengan puluhan gelondong racun apotas[4] dan insektisida[5],  racun-racun itu di tebar di sepanjang aliran sungai. Beberapa botol kaleng insektisida bekas diantaranya masih tercecer di pinggir-pinggir sungai. Sebagai satu bukti kepongahan dan kerakusan Manusia.
     Sepulangnya dari sawah, perempuan Tua itu menyempatkan waktunya untuk memulung kacang tanah yang telah selesai di panen. Pemilik lahan yang di tanami kacang tanah itu adalah pak Edi seorang lelaki tambun dan pendek yang kini tengah menjabat sebagai Modin Desa Rakusan. Lelaki berkepala botak itu dua hari yang lalu baru saja menyerahkan kacangnya seluas satu hektar untuk di tebas oleh pak Tomo seorang bakul kacang senior yang telah menekuni usaha sebagai bakul kacang selama puluhan tahun lamanya. Bagi orang-orang  kampung seperti perempuan tua itu memulung kacang tanah adalah suatu kenikmatan tersendiri yang tiada tara. Biasanya dalam beberapa jam bisa mendapatkan satu ember ukuran sedang. Cukup kalau hanya untuk camilan beberapa hari. Apabila di keringkan bisa bertahan hingga tujuh bulan lamanya. Biasanya apabila memulung hingga tengah hari bisa terkumpul tiga ember ukuran sedang atau satu ember besar, lebih dari cukup untuk sekedar sebagai camilan selama satu minggu. Biasanya apabila tersisa kacang-kacang itu akan dikeringkan untuk camilan di musim penghujan. Telah menjadi suatu kebiasaan apabila datang musim hujan orang-orang kampung bawaannya selalu ingin ngemil terutama makanan cemilan yang mengandung banyak karbohidrat semacam singkong, talas maupun umbi-umbian lainnya. Di musim penghujan yang cenderung berhawa dingin seringkali orang-orang kampung mencari sesuatu yang berbau ‘kehangatan’. Di musim penghujan diperlukan gizi yang banyak mengandung karbohidrat untuk menghangatkan badan.
     Setiap perempuan Tua itu pulang dari sawah ada saja setiap harinya barang-barang bawaan semisal kayu bakar, sayuran atau buah-buahan. Bakul yang biasanya untuk membawa bekal makan siang di jadikan wadah untuk menampungnya. Kendati tidak membawa bakul ia punya banyak cadangan untuk persiapan mana kala di butuhkan, sekadar untuk kebutuhan mendadak seperti memulung kacang tanah, mengambil umbi-umbian ataupun barang-barang yang tak terduga sebelumnya. Wadah-wadah cadangan itu adalah plastik-plastik lusuh yang di dapat dari tepian sungai yang semula hanyut terbawa banjir.
     Pulang dengan tangan hampa adalah sesuatu hal yang tabu. Tiada hari tanpa barang-barang bawaan. Sementara bahan-bahan dan kebutuhan dapur memang senantiasa di perlukan. Plastik-plastik lusuh yang di dapat dari sepanjang aliran sungai sengaja ia simpan sebagai wadah cadangan, di selipkan diantara bebatuan di bawah pohon nangka.
     Begitu tiba di perkampungan. Seorang perempuan setengah baya menghampirinya, lalu menanyakan perihal barang bawaannya. Perempuan setengah baya itu biasa di panggil dengan panggilan Rukini, seorang Ibu muda yang tengah menggendong seorang anak balita. Sesekali anak kecil itu merengek ingin menetek ibunya. Matanya yang bulat terus memandangi perempuan tua itu, seolah terasa asing atau bahkan mungkin anak kecil itu ingin tau lebih dekat. Rambutnya kaku menantang langit seperti tidak pernah terjamah air, berwarna merah terang, seperti terjerang panas matahari beberapa hari. Kini Ibu muda itu tengah mengandung kembali dari buah pertarungan dahsyat dengan suaminya.
     "Bawa sayuran lembayung Mbok1. Minta ya Mbok?" Pintanya dengan penuh keakraban.
     "Bawa tapi sedikit, ini aku bawa daun singkong banyak kalau mau!"
     "Daun singkong juga tak apa, kebetulan sudah lama tidak mecel daun singkong."  Tak ada rasa malu ataupun canggung pada diri Rukini karena memang telah menjadi suatu kebiasaan dan lambat laun menjadi suatu keakraban.
     Apabila ada pesanan sayuran dalam jumlah yang lumayan banyak biasanya orang-orang yang memesan akan mengganti ongkos, ongkos tenaga ala kadarnya.
     Perempuan Tua itupun mengeluarkan daun singkong dari balik selendangnya lalu memberikan seikat daun singkong yang lumayan besar untuk ukuran seikat daun singkong pada umumya.
     Perempuan Tua itu yang kesehariannya hidup bersahaja itu biasa di panggil dengan panggilan Mbok Ginah. Ada pula yang menyebutnya dengan sebutan Mbok Nah sesuai nama yang sebenarnya Tri Aminah. Di namakan demikian karena dirinya terlahir sebagai anak ketiga. Tri yang berarti tiga berasal dari bahasa Sansekerta. Nama Tri kala itu sangat masyhur dikalangan orang-orang Jawa kuno ratusan tahun silam. Nama Tri adalah suatu kebanggaan, sebuah nama titisan turun temurun dari ajaran Agama nenek moyangnya. Hingga kini perempuan tua itu masih mengagumi ajaran-ajaran Agama nenek moyangnya, sebuah ajaran yang jejak-jejaknya masih bisa di lihat dan di saksikan hingga kini diseluruh seantero Nusantara. Kekaguman pada Agama nenek moyangnya tidak terlepas dari kakeknya, ki Bagja. Kakeknya dulu adalah seorang Resi dan konon, kakek perempuan Tua itu berwasiat kepada Ayahnya Ki Rasup agar kelak bila di karuniai anak perempuan yang ketiga supaya di berinya nama Tri pada anak ketiganya.
     Kendati ia masih belum bisa melupakan ajaran-ajaran luhur Agama terdahulu yang disadari telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa pada umumnya, akan tetapi semua itu pada hakikatnya adalah suatu penjabaran dari sebuah toleransi semata dan bukan berarti harus selalu mengingat ajaran-ajaran agama terdahulu. Diakui atau tidak ajaran-ajaran orang-orang terdahulu adalah peletak dasar kebudayaan Jawa yang santun, ramah dan bersahaja, karena itulah ia tidak akan membuang  dan melupakan begitu saja ajaran-ajaran yang telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa semenjak ratusan tahun silam. Perempuan tua itu tinggal di kampung bendo, sebuah kampung yang secara administratif ikut dengan kawasan desa Rakusan. Meski letaknya terpencil ada satu kebanggaan yang melingkupi warga kampung bendo, karena kampungnya dekat dan terasa menyatu dengan jalan raya lintas provinsi. Jalan raya lintas provinsi itu membelah tepat di tengah-tengah perkampungan. Jalan raya itu di bangun lima  tahun yang lalu, mulanya jalan itu adalah rel kereta api peninggalan Belanda yang tidak lagi terurus. Pemerintah kala itu terpuruk,  tak punya anggaran hanya untuk sekedar perawatan rel kereta api sehingga pelan dan pasti rel sepanjang ribuan kilometer yang membentang di atas lahan dua provinsi itupun tidak lagi bisa layak pakai, usang dan berjelaga di sana-sini baru kemudian beberapa tahun belakangan lintasan rel kereta api itu di sulap dan di alih fungsi menjadi jalan raya lintas provinsi.
            Setibanya di rumah Mbok Nah langsung mengakrabi sayurannya. Dicuci bersih lalu di simpan diatas genuk yang berisi air agar tetap terjaga kesegaranya. Kemudian ia beranjak ke sumur membasuh kedua kaki dan tangannya, hendak tidur siang. Sebelum merebahkan badannya. Dilihatinya satu persatu kamar di rumahnya. Tak ada orang sama sekali. Qohar, bocah berusia enam tahun, cucu satu-satunya itu tak ada di kamarnya. Pada hal biasanya di waktu siang, Qohar tidur lelap di kamarnya. Hanya di waktu malam, terkadang Qohar tidur bersamanya. Itupun lebih karena ketertarikannya pada dongeng-dongeng dan cerita semata.
     "Kemanaa cucuku. Pintu terbuka, ayam di biarkan masuk. kemanaaa ini orangnya!." Gumamnya dalam hati.
     "Maknyak !??" Panggil Qohar dengan polos.
 Perempuan tua itu lalu menoleh ke asal suara. Cucunya berlari ke arahnya sambil menangis. Ia mengernyitkan dahi.
     "Ada apaaa?." Tanyanya penasaran.
     "Gemak1ku hilang !." Jawabnya dengan muka muram, dari kedua bola matanya terlihat basah oleh air mata.
     "Hilang yo wis!. Jangan di tangisi. Mbok ya coba kamu pikir, burung gemak kok di kurung terus, apa kamu ndak kasihan. Bayangkan kalau seandainya kamu tak kurung di dalam kamar sampai seharian. Bahkan berbulan-bulan. Apa kamu mau?" Hibur Mbok Nah sambil menasehati dengan mengandai-andai.
     "Burung itu juga mahluknya Gusti Allah. Biarkan saja burung itu terbang bebas. Bila terus-terusan kamu kurung, kamu kekang. Nanti kamu akan di balas di Akhirat, di kurung juga seperti apa yang telah kamu perbuat terhadap burung itu."
     “ Nanti gemakku tidur dimana?”
     “ Wis tidak usah dipikir, nanti burung itu juga punya tempat sendiri di sawah”
     Pada mulanya panggilan Maknyak dari Qohar kepada neneknya. Hanyalah suatu gurauan semata. Karena waktu itu Qohar baru saja main kerumah Fariz, temannya. Usianya jauh lebih muda dari Qohar namun Fariz tergolong bongsor. Fariz yang mempunyai kebiasaan mengisap jempol menjelang tidur itu tak pernah jauh-jauh dari permen coklat sehingga wajar gigi-giginya pada hitam dan keropos, lebih mirip dengan gigi nenek-nenek yang hitam coklat oleh baluran kapur sirih. Fariz adalah anak Pak Karim yang kebetulan baru beberapa minggu di belikan televisi. Di rumah Fariz ia menonton televisi serial drama Betawi Si Doel Anak Sekolahan. Di situ si Doel dan Mandra sang pemeran utama memanggil Ibunya dengan sebutan Maknyak. Qohar yang masih polos itupun ikut-ikutan memanggil neneknya dengan sebutan Maknyak. Kini panggilan Maknyak menjadi suatu kebiasa'an yang mengakar dan berangsur menjadi sebuah kebanggaan sekaligus hiburan baginya.
Tak terbersit rasa risih sama sekali ataupun rasa malu pada diri Mbok Nah atas panggilan itu. Dengan legawa ia terima panggilan itu, karena ia menganggap nama hanyalah nama, tidak terlalu penting untuk di bahas. Apa arti sebuah nama apabila hati dan jiwanya kotor penuh dengan kepalsuan.
Di panggilnya Maknyak dari seorang cucu tidak ada rasa canggung sama sekali. Walau sebenarnya ia hanyalah seorang nenek bagi Qohar, Cucu satu-satunya yang memiliki selera tradisional, menyukai singkong rebus sehingga berdampak pada giginya yang rapi seperti biji mentimun, menjadi semakin bertambah putih saja. Justru di hatinya ada semacam rasa tentram di jiwanya apabila panggilan Maknyak itu terlontar dari mulut Qohar, cucu kesayangannya, karena memang sejak kecil ia yang merawat dan membesarkannya meskipun tidak terlahir dari rahimnya. Sedari kecil, semenjak Qohar pertama kali melihat dunia yang kelak akan menjadi tempatnya untuk berpijak, guna menyemai benih-benih kebajikan.
"Di genuk1 ada beberapa ikat daun singkong. Ambil seikat saja. Lalu berikan sama Mbok Rondo!. Nanti terus pulang. Jangan keluyuran." Perintah Mbok Nah sembari menasehati.
   "Kemarin sore kan sudah di beri maknyak?" ujar Qohar, gayanya manja.
   "Kamu kemarin sore kan juga sudah makan!." Timpal Mbok Nah, enteng.
   "Aku tidak makan. tapiii..sarapan." kilahnya.
   "Sarapan kok sore-sore. Sudah!. Sana buruan, besok insya allah ku carikan gemak lagi." Perintahnya sambil menghibur, Untuk mengobati kegalauan Qohar.
   "Saya mau kencing dulu maknyak!." Tunda Qohar sembari beralasan.
   "Pinterrr!! yo wis kencing dulu sana!." Ujarnya memberinya ruang untuk beralasan.                                  




























Janda Perawan


Di sebelah muka menganga    
Tersungging beribu tawa    
Di sebelah lagi terhimpit menjerit sakit   
Di ujung sana ku dengar kesah menyelubung jiwa  
Kosong   
Disini histeris   
Berbalut kekaguman
‘Nenekku masih perawan!!!"  
Di belantara dunia ini  
Apa yang tak mungkin?  
Seorang Yusuf terbuang
Bermetamorfosa seorang raja  
Menjelma  
Menuai benih-benih kebesaran  
Seorang Muhammad tidak bertangan
Tidak berkaki
Mampu merubah seantero negeri  
Memimpin segala bangsa  
Dengan perisai Ahlak budi nan mulia  
Dan ketika " Kun fayakun" turun  
Tak seorang kan menolak.



     


Mbok Rondo yang yang berarti Ibu janda itu telah lanjut usia, walau sebenarnya usianya terpaut jauh lebih muda dari Mbok Nah, tetapi Mbok Rondo terlihat lebih tua dan di tambah lagi sudah sering sakit-sakitan sehingga terkesan terlihat lebih tua dari mbok Nah. Pada kenyataaannya Mbok Rondo ibarat pohon beringin yang rimbun dengan berhias dedaunan yang sangat lebat akan tetapi cepat meranggas. Daunnya dengan mudah berguguran lalu mengering laksana menghadapi musim kemarau selama bertahun-tahun. Hidupnya sebatang kara, tak punya keturunan maupun sanak saudara untuk mengisi tempat berbagi. Tak ada teman bercengkerama dan tak ada yang bisa dibanggakan karena memang tidak punya keturunan seorangpun. Hanya sesekali terkadang tetangganya datang bertamu untuk sekedar menjenguk dan menghiburnya dengan membawa sedikit oleh-oleh. Keadaannya sangat kontras dengan apa yang di alami semasa mudanya. Konon dulu semasa mudanya Mbok Rondo bekerja di Kota sebagai pembantu selama bertahun-tahun. Bekerja pada orang-orang Arab keturunan di Semarang. Sebuah kota pelabuhan nun jauh di seberang, negeri antah berantah. Semasa bumi Nusantara masih di bawah penjajahan Belanda atas kendali Ratu Yuliana sampai setelah Indonesia merdeka. Kendati semasa mudanya dihabiskan di Kota tak pernah bergelut dengan pekatnya Lumpur hitam atau panas teriknya matahari di tengah-tengah sawah, namun cara pergaulannya tergolong kuper, tidak banyak bicara seperti perempuan Desa pada umumnya. Tubuhnya tinggi semampai,wajahnya putih bulat dengan alis mata yang beriringan seperti semut yang sedang beriringan, serta bulu matanya yang lentik. Dua hal yang melekat dalam diri seorang Mbok Rondo dan sangat mudah untuk di ingat yaitu selalu mengenakan jilbab dan yang kedua murah senyumnya "Lillahi Ta'ala". Setiap bertemu dengan siapapun mbok Rondo selalu menyebarkan virus murah senyum kepada siapa saja, orang yang di kenal maupun orang yang tidak di kenal sampai anak-anak kecil meski pada kenyataannya murah senyumnya tanpa di iringi sepatah katapun. Sepulangnya ke kampung halaman banyak pria kampung yang tergila-gila padanya, bahkan konon pancaran rona wajahnya, mampu meredupkan perangai para preman yang keras dan bajingan tengik sekalipun. Mereka orang-orang yang kuat dalam segi dzahirnya akhirnya kalah dihadapan seorang perempuan yang hakikatnya lemah dan tidak berdaya. Kecantikannya mengalahkan perempuan-perempuan sekampung. Dalam waktu singkat dengan mudahnya Mbok Rondo bertengger sebagai Primadona Desa. Lamaran demi lamaran berdatangan dari para lelaki yang terhormat,  hampir  kesemuanya dari para lelaki yang datang untuk sekedar menanyakan atau bahkan yang berani melamarnya berdarah biru. Mereka datang silih berganti, namun seringkali di tolaknya dengan cara baik-baik. Hingga pada suatu saat pilihan jatuh kepada kang Amran. Seorang Wedana dengan predikat termuda, dua puluh satu tahun, putra Tumenggung Sastro Djoyodiningrat.
Jabatan wedana saat itu mungkin setingkat camat dimasa kini. Kang Amran yang berwatak keras, sangar, kaku dan di takuti banyak kalangan itu akhirnya tahluk di pelukan Mbok Rondo. Tapi sayangnya Kang Amran sama sekali tidak mengenal seni bercinta. Perangainya yang keras dan kaku. Menjadi batu sandungan buatnya. Kang Amran di nyatakan gagal mencumbui dan merayunya. Setelah Mbok Rondo resmi dinikahi Kang Amran ia masih tetap menjunjung tinggi kesuciannya, agak janggal memang. Dari cerita yang beredar dari ibu-ibu di sawah sewaktu Mbok Rondo belum di nikahi kang Amran ia pernah berujar kepada Bu Maryam pemilik warung sembako sewaktu berbelanja. Katanya waktu itu sebenarnya Mbok Rondo tidak ingin menikah karena sebenarnya ia sudah kawin dengan kekasih abadinya, yaitu Gusti Allah. Tetapi waktu itu Bu Maryam tidak menangkap secara utuh kata-kata Mbok Rondo. Bu Maryam menyangka perkataan Mbok Rondo waktu itu hanyalah guyonan semata sehingga tidak ditanggapinya dengan serius. Ada pula selentingan yang mengatakan jika kang Amran orangnya terlalu keras sehingga Mbok Rondo dengan tegas menolak di setubuhi. Entah kenapa semua itu bisa terjadi dan apa maunya masih menjadi teka-teki.
     Mbok Rondo yang bernama asli Maryamah itu adalah perempuan yang aneh, mau dinikahi tetapi sama sekali tidak mau digauli. Ia tidak ingin menjadi perempuan yang ternoda oleh suaminya sendiri, sekalipun Kang Amran telah menjadi suaminya yang sah. Tepatnya dua hari setelah Akad nikah. Mbok Rondo di ceraikan oleh Kang Amran. Dengan alasan yang tidak logis, Mbok Rondo tidak mau disentuh. Jadilah Maryamah menjadi seorang janda yang masih terjaga kesuciannya.
     Hingga detik ini tak terpikir sama sekali dalam benak Mbok Rondo untuk menikah lagi. Apalagi di masa tuanya kini ia ibarat seorang perempuan paling lemah di dunia. Di usia tuanya ia tinggal sendiri di sebuah gubuk berukuran dua kali empat meter. Sedikit lebih luas jika di bandingkan dengan ukuran kandang kambing pada umumnya. Sawah, hasil jerih payahnya selama puluhan tahun bekerja di kota kini tak berbekas lagi karena telah di jual. Semua itu karena tipu daya orang-orang yang tidak bertanggung jawab, pelakunya tidak lain adalah tetangganya sendiri yang bertindak sebagai makelar. Tetapi ia hanya bisa pasrah dengan semua itu, tidak menaruh dendam sama sekali kepada tetangga yang bertindak sebagai makelar dan tidak bertanggung jawab itu. Mbok Rondo tetaplah Mbok Rondo yang teduh dan bersahaja terlebih di usia tuanya. Mbok Rondo dengan tegar menerima segala bentuk ujian dari kekasihnya. Ia tertipu, sawah satu-satunya yang lumayan  luas dijualnya dengan harga yang semurah-murahnya. ia mengira nilai nominal uang sekarang, tak ada bedanya dengan uang di zaman dahulu. Harga tanah yang di sangkanya naik tipis. Justru pelan dan pasti, telah mencekiknya secara perlahan.
Tak kurang dari satu tahun uang hasil penjualan sawah akhirnya habis, uang itu habis hanya untuk biaya makan sehari-hari. Walau nasi telah menjadi bubur, Tuhan yang kuasa masih tetap mencurahkan Rahmatnya bagi seluruh Alam termasuk kepada dirinya. Setiap mahluk yang tercipta telah mendapat cadangan rizki masing-masing. Terkadang sekali dua kali Mbok rondo mendapatkan bantuan dari para tetangganya Serta saudara-saudara jauhnya yang masih menaruh simpati kepadanya. Walau nominalnya tidaklah seberapa namun cukup membantu untuk mengurangi beban hidup. Setiap hari, setiap minggu setiap bulan ada saja rizki yang dicurahkan Allah lewat hamba-hambanya.
     Kini agaknya nasib baik telah merapat padanya, gubuknya yang rata dengan tanah telah berdiri kembali seminggu yang lalu. Para tetangga gotong royong memperbaiki dan membangunnya kembali. Sebelumnya ia menumpang makan dan tidur di rumah Kartini tetangganya, seorang ibu muda yang hidup dalam kesendirian karena di tinggal pergi suaminya, kartini di tinggal pergi suaminya semenjak usia perkawinannya masih seumuran jagung. Hingga kini suami dari kartini tidak di ketahui dimana rimbanya. Karena rumah mbok Rondo yang lebih mirip gubuk, bertiang bambu dan beberapa kayu yang telah lapuk, dindingnya  terbuat dari bilah-bilah bambu yang di anyam dan beratap daun kelapa itu tiba- tiba ambruk rata dengan tanah oleh ulah kambing- kambing snewen. Maka dengan kerelaan hati Kartini menerima Mbok Rondo menumpang di rumahnya. 
     Kambing- kambing snewen itu milik Haji Malik, pada mulanya tiga ekor kambing terlepas dari kandang, dua ekor kambing jantannya snewen ingin kawin, lalu mengejar seekor kambing betina. Ketiganya berkejar-kejaran dan berlari-lari bebas mengelilingi kampung. Tanpa diduga sebelumnya salah satu kambing jantan tali tambangnya tersangkut di salah satu tiang rumah Mbok Rondo. Rumah yang lebih mirip gubuk dan hanya bertiang bambu itupun roboh, hanya kurang dari hitungan menit ambruk berantakan. Untungya Mbok Rondo waktu itu tengah pergi ke Sungai untuk keperluan buang hajat sehingga selamat dari musibah.
     Tak ada yang di salahkan maupun menyalahkan dan memang tak perlu ada yang di salahkan dalam peristiwa itu. Barangkali itu memang telah menjadi suratan baginya. Mbok Rondo tidak marah tidak pula menuntut ganti rugi kepada pak Haji Malik. Seperti tidak ada guratan kesedihan sama sekali di wajah Mbok Rondo. Rasa kehilangan seperti tidak menghinggapi pikirannya. Memang, dirinya sudah terbiasa  mengakrabi hidup dengan bergelut penderitaan, terbiasa menjadi bahan cercaan, semenjak sawahnya di jual murah-murahan untuk biaya hidup sehari-hari. Dirinya tau diri, dan menganggapnya tidak layak untuk meminta-minta apalagi menuntut meski mungkin dari relung hatinya yang terdalam terasa remuk redam.
     Dalam musibah itu tak ada yang mau bertanggung jawab. Pak Haji Malik pemilik kambing-kambing yang tengah snewen itu hanya menyumbang beberapa potong bambu dan beberapa ikat daun ilalang kering, untuk keperluan atapnya. Masih sangat jauh dari mencukupi. Selebihnya, orang yang selalu memakai baju koko dan berkopiah itu justru menyalahkan keadaan dan menganggapnya bukan suatu musibah.
     "Wong rumahnya memang sudah tua kok! sudah waktunya ambruk!." Begitulah kata-kata Pak Haji Malik  terlontar begitu saja tanpa berfikir terlebih dahulu. Orang dengan kebiasaannya yang lebih suka menganggap enteng suatu masalah.
     Di mata Mbok Rondo kata-kata Pak Haji Malik adalah sebuah petuah. Tak banyak yang harus di perbuat. Padahal semestinya ia punya hak untuk meminta lebih, atau bahkan kalau perlu ia bisa menuntutnya.
     Mendapatkan bantuan dari Pak Haji Malik yang tak seberapa nilainya. Bagi Mbok Rondo sudah lebih dari cukup. Tetapi para tetangga dan saudara-saudara jauhnya justru muak. Tidak terima dengan kenyataan yang ada. Tetapi meski demikian mereka tidak bisa berbuat banyak karena Mbok Rondo sendiri tak ingin masalahnya menjadi semakin runyam.
















Perjuangan Rodiyah


Tak ada pohon nan tinggi tanpa terpaan angin kencang
Begitupun ujian hidup
Takkan pernah lekang dari kehidupan
Sebagai wujud dari sebuah tantangan yang kuasa
Perjuangan tanpa kegagalan takkan di tuai keberhasilan
Sebuah tantangan adalah rahmat menuju kebahagiaan























       Malam begitu terang di malam purnama. Dalam penanggalan tahun hijjriyah, biasanya jatuh tepat di pertengahan bulan. Beribu-ribu atau bahkan berjuta-juta bintang bertaburan menghiasi langit. Konon seluruh pasir di seluruh alam tak mampu mengimbangi jumlah bintang yang bertebaran di angkasa raya. Bintang dan ribuan galaksi itu  tak ada yang menjinjing, tiada pula yang menyangga, tapi tetap pada porosnya. Itulah sebuah maha karya dari yang kuasa. Tak akan pernah tertandingi walaupun oleh sekumpulan para ilmuwan sekalipun.  Benda-benda angkasa bergerak, berputar pada porosnya sesuai fungsinya masing masing. Karena saking banyaknya, pada hakikatnya tak akan mampu manusia untuk menamakan kesemuanya. Setiap planet- planet mempunyai galaksi masing-masing, seperti beranak-pinak.
       Malam itu Mbok Nah dan Qohar duduk santai di dipan teras depan, bercengkrama, berbagi cerita dan sesekali di selingi guyon. Tak lama kemudian Qohar segera pamit mohon diri untuk tidur terlebih dahulu, rasa kantuk mulai menyerang perlahan, Mbok Nah sendiri di keheningan malam, Tatapan kedua bola matanya mulai memudar lalu kosong. Seperti ada sesuatu yang memasuki jasadnya. kedua bola matanya menerawang, jasadnya seolah-olah terpaku dan bermetamorfosa menjadi sebuah patung. Sementara di luar sana hanya sesekali terdengar celepuk burung hantu, di selingi walang kekek dan jangkrik jalenggong yang senantiasa mengisi kesunyian. Di keheningan malam itu ia teringat semasa kecil dulu sewaktu zaman penjajahan. Ingatan masa lalunya pelan-pelan merapat dalam benaknya. Mbok Nah teringat sewaktu kecil puluhan tahun yang silam. Dirinya sendiri, Badrun, Amar dan Rodiyah mencuri tebu milik para cukong Belanda. Ia berempat mencuri tebu di atas truk yang terperosok di pinggir kampung. Kejadian itu persis di malam purnama. Tanpa dinyana sebelumnya truk berisi penuh dengan muatan tebu itu ditunggui dua orang berbadan kekar yang tengah tertidur. Ia berempatpun kaget bukan kepalang, setelah  salah seorang penjaga tebu tiba-tiba terbangun. Dengan membawa masing masing beberapa batang tebu. Ia berempat lalu lari terbirit birit. Pada saat lari itulah mata Rodiyah sebelah kiri tertancap ujung tebu. Ketika lari dengan sekencang kencangnya Rodiyah menjadikannya sebatang tebu itu sebagai tongkat, sedangkan tebu pada umumnya lancip di kedua ujungnya.
            Tebu yang sebenarnya sepele itupun membawa petaka. Setelah ujung tebu menancap di bola mata sebelah kirinya dilepas dengan perlahan meski terasa sakit, darah lalu mengucur dan mengalir deras. Bajunya yang telah usang menjadi basah di penuhi darah. Rodiyah, perempuan yang tak pernah lepas dari tusuk konde itu  menangis sejadi-jadinya. Ia berempat tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa menangis di hantui rasa takut yang mencekam. Di tengah malam ia berempat tidak pulang karena takut di marahi orang tua. Ia berempat lalu tidur di sebuah gubuk di persawahan di bawah pohon kapuk randu, kebetulan waktu itu tengah musim buah kapuk. Rodiyah lalu membalut sendiri kemudian mengelap dan membersihkan bekas-bekas darah di sekitar mata dan sebagian mukanya dengan kapuk randu.
            Malam itu hingga fajar tiba ia berempat tidak bisa tidur, hanya bisa menangis bergelayut rasa takut dan meratapi nasib.
            Selang sebulan kemudian luka-lukanya mulai mengering Rodiyah telah sembuh. Sejak saat itu ia mulai mengobarkan benih-benih kebencian kepada para penjajah tanpa gentar. Menginjak remaja ia dengan gigih memperjuangkan hak-hak orang-orang pribumi. Meski harus meniti hidup dengan satu mata, tiada kata minder dalam melanjutkan hidup. Hingga suatu saat Ia di persunting kang Umar, tanpa prosesi lamaran ataupun tunangan terlebih dahulu. Kang Umar seorang pemuda kampung yang terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi itu sangat di segani dan diperhitungkan kaum penjajah. Kang Umar dan Rodiyah sama- sama mempunyai satu misi, mereka berdua gigih melawan segala bentuk penjajahan. Suatu ketika di tengah malam ia bersama suaminya berniat menyamar ke markas tentara Belanda. Dengan sangat hati-hati ia dan suaminya  mengendap-endap masuk dari belakang gudang senjata milik tentara Belanda, mereka berdua hendak mencuri senjata, namun takdir berkata lain, ia dan suaminya ketahuan tentara Belanda  dan oleh tentara Belanda keduanya lalu di tembak dengan puluhan selongsong peluru di kedua kakinya. Dalam peristiwa itu tubuh kang Umar tak mampu di tembus peluru dan berhasil melarikan diri sedangkan Rodiyah langsung tergeletak tak berdaya. Dalam ketidak berdayaan Rodiyah lalu di  gelandang ke rumah letnan jenderal van houten, lalu di berondong dengan puluhan peluru di saksikan pasang-pasang mata para tentara belanda. Puluhan peluru bersarang di tubuhnya. Sepeninggal Rodiyah tak ada tanda gelar ataupun jasa yang di berikan pemerintah kepadanya, tetapi Tuhan maha adil dan bijaksana. Meski tanpa uang tunjangan ataupun bantuan sepeserpun dari pemerintah Anak-anak dan cucu dari Rodiyah dan suaminya tak kurang suatu apa. Bahkan hidup mereka sekarang sudah lebih dari cukup dan menjadi orang terpandang di Desanya. Seandainya Rodiyah dan suaminya masih hidup dan menyaksikan berkah dan karunia Tuhan yang dilimpahkan kepada anak-anaknya mungkin tangis bahagia akan senantiasa mengiringi hari-hari tuanya. Tak banyak yang di harapkan dari seorang Rodiyah selain kemerdekaan dan kemakmuran suatu bangsa.

Mengalun kecapi tua
Dan suara sumbang menggema
Juga  dendang dan balada
Isi kisah hidupnya
Dia
Yang pernah merasakan
Pahitnya penjajahan.
Perang kemanusiaan telah sirna terabaikan.
Yang pernah merasakan
Kerasnya perjuangan.
Untuk kemerdekaan bangsa dan negerinya.
Bertopang tongkat penyangga.
Dan timpang langkah kakinya.
Namun langkah nuraninya
Tetap tak tergoyahkan.
Dia
Masih bergelora semangat di dalam dada.
Walau tubuh telah renta termakan usia.
Bukan tanda jasa atau istana dan harta.
Tapi yang di dambakan.
Negeri yang sentosa.
Kini tinggal tugas kita.
Wahai generasi muda.
Capai adil makmur bangsa
Jaya.1
           
      
       Tanpa terasa di kedua pipinya yang telah keriput basah oleh airmata. Mbok Nah lalu segera beranjak tidur menyusul Qohar yang telah tidur terlebih dahulu....
  

                             



Maqoomam Mahmuuda


Bukanlah para petinju yang terkuat  
Bukan pula bodyguard  
Seorang yang mampu menahan beban  
Adalah puncak segalanya
Beban-beban nafsu dan amarah
Terkekang dalam telikung takwa  
Berbalut ketulusan
Berhias tawakkal  
Satu keniscayaan  
Menjadi manusia pilihan
Di kemudian hari akan menempati
Suatu tempat 
Tiada tara  
Maqoomam Mahmuuda. 









      
      
      


Pagi-pagi benar Mbok Nah telah lebih dulu pergi  ke sawah. Di rumah hanya tinggal Qohar seorang yang masih tidur. Telah menjadi suatu kebiasaan apabila Qohar bangun tidur lalu tanpa di dapatinya Mbok Nah di sampingnya. Qohar lalu cuci muka kemudian melaksanakan sholat shubuh, berdzikir beberapa saat dan di akhiri do'a sapu jagat yang senantiasa diajarkan Mbok Nah di dalam sehari-harinya. Lalu minum air putih dua gelas, kemudian segera pergi menyusul Mbok Nah ke sawah. Di usianya yang ke tujuh, Qohar terbiasa pergi menyusul ke sawah atau kebun, yang lumayan jauh untuk ukuran anak kecil pada umumnya. Sekedar membantu Mbok Nah. Paling banyak Qohar membantu dengan cara menghibur neneknya yang biasa di panggilnya Maknyak.
     Dengan berpakaian ala kadarnya. Qohar menyusul Mbok Nah, tanpa sarapan terlebih dahulu. Cukup hanya minum dua gelas air putih. Ia mengira nantinya akan pulang pagi-pagi seperti kemarin. Letak sawahnya yang jauh dari perkampungan tak mematahkan semangatnya untuk tetap menyusul neneknya. Waktu demi waktu terus berjalan. Di tengah perjalanan ia merasakan capek. Biasanya apabila dirinya merasa pegal di kaki ada yang mau menggendongnya, tapi kali ini tak ada yang di mintai untuk mengeluh. Ia lalu istirahat sejenak di bawah pohon asem di tepi jalan. Dari kejauhan ia melihat segerombolan perangkat Desa sedang mengukur sawah. Biasanya orang-orang penting macam perangkat Desa membawa serta makanan yang lezat-lezat. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika makanan yang di bawa biasanya terdiri dari lauk opor ayam dan gulai kambing dan buah-buahan sebagai pencuci mulut.
     Dilihatnya para perangkat Desa tengah menikmati hidangan. Tak sampai satu jam merekapun kembali mengukur Sawah. Karena persawahannya begitu luas di hiasi rimbunnya pohon tebu. Sehingga apabila sisa-sisa makanan dimakan. Tak akan ada yang tahu kecuali yang kuasa. Qohar dengan sigap merayap menuju letak makanan dan buah-buahan itu berada. Makanan-makanan itu sengaja ditinggal para perangkat desa, lalu mereka kembali membagi tugas mengukur persawahan.
Sesampainya di dekat persawahan ia melihat neneknya tengah membungkuk menyiangi rumput sambil sesekali berdiri membuang kumpulan rumput sembari menghilangkan rasa pegal-pegal. Sawah Mbok Nah yang hanya tinggal beberapa petak sengaja di tanami berbagai macam tanaman. Qohar sendiri seringkali di ingatkan Mbok Nah agar selalu merawat dan memelihara tanaman. Syukur-syukur mau menanam apa saja yang bisa mendatangkan manfaat, seperti kacang panjang, kangkung, dan lembayung secara intens dan bergiliran. Bila sudah tidak produktif segera di ganti begitu seterusnya.
     Dengan mengendap-endap di bawah pohon ketela.  Qohar mencoba untuk mengelabuhi Mbok Nah dan membuatnya kaget. Tetapi hari itu agaknya nasib baik tidak memihak kepada Qohar. Sebelum rencana miringnya terlaksana Mbok Nah terlebih dahulu tahu rencana cucu kesayangannya ini, karena hampir tiap hari ia di buatnya kaget
   Sambil membungkuk menyiangi rumput Mbok Nah melirik cucu kesayangannya. Sementara Qohar dengan sigap menghela nafas panjang-panjang hingga kemudian memuntahkan suara sekeras-kerasnya
     "Darrr !!!."
     Seketika itu juga Mbok Nah terjatuh pingsan. Kali ini Mbok Nah mencoba membalas kenakalan Qohar. Dengan berpura-pura pingsan di depan Qohar.
     "Maknyak !! Maknyak kenapa ? bangun Mak!." Qohar membangunkan sambil menangis tersedu-sedu.
     Sambil menangis sesenggukan ia berujar seraya berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatan konyolnya itu. Qohar yang masih polos itupun, tak tau harus bagaimana. Sedangkan Mbok Nah masih melanjutkan aktingnya. Tanpa mempedulikan tangisan Qohar yang terus memelas.
     "Mak! bangun mak. Jangan mati mak! Saya nanti hidup dengan siapa?." Keluhnya. Tanpa terasa pipinya basah oleh air mata, diusapnya air mata yang bening itu.
     "Mak!. Qohar bawa makanan dan buah-buahan. Jangan mati mak!!." ucap Qohar sambil menyodorkan bungkusan nasi bersama lauknya.
     Seketika itu juga Mbok Nah langsung  terbangun dan berkata.
     "Maknyak lapar cucuku?." Keluh Mbok Nah sambil tangan kirinya membelai perutnya.
     "Lapar apa lapar?." Celetuknya sambil mengusap kembali air matanya dan menahan senyum lalu kemudian senyumnya mengembang menghiasi wajah culunnya. Kedua pipinya yang dekil itu semakin terlihat cekung, menambah kelucuan untuk mengundang tawa. Setelah kenyang Mbok Nah baru teringat jika dirinya tadi pagi tidak merasa  membuat masakan ayam goreng maupun gulai kambing.
     "Lhoo kamu tadi pagi aku buatkan terong goreng sama pecelan oyong..kok bisa jadi ayam??." Selidiknya dengan penuh penasaran.
     "Kamu mulai belajar mencuri??."
     "Tidak mak. Itu tadi saya menemukannya di jalanan. Mungkin itu buangan dari orang kaya yang melintas."
Alasan tersebut agak logis,  karena memang di kampungnya terdapat jalan raya lintas Provinsi yang membelah perkampungan.
Dulu sekitar dua minggu yang lalu ditengah teriknya matahari disiang hari Mbok Nah pulang dari sawah bersama Qohar. Sewaktu melewati areal perkebunan tebu milik pak Carik Handoyo Mbok Nah mendapati berbagai macam hidangan tepat di bawah pohon mangga, tanpa seorangpun di sekitarnya karena ditinggal pergi pemiliknya mengukur sawah. Tanpa babibu Mbok Nah mengambil sebagian tanpa sepengetahuan pak Carik Handoyo. Suatu kebetulan.
Mbok Nah melakukan semua itu semata-mata bukan karena lapar sehabis dari sawah tapi lebih dari sekadar lapar. Ia melakukan semua itu sebagai sebuah bentuk rasa kesal karena  tiga minggu sebelumnya Mbok Nah mengurus surat-surat tanah  untuk yang ke sekian kalinya ke kelurahan, namun tak kunjung di urus pemerintah Desa. Padahal Jarak yang di tempuh pun sangat jauh untuk ukuran seorang Mbok Nah. Perjalanan itu ditempuhnya dengan berjalan kaki sejauh enam kilometer pulang pergi. Surat-surat tanah itu telah diajukan sejak beberapa tahun yang lalu. Sementara Bu Ani tetangganya yang masih terhitung sebagai adik ipar Pak Handoyo hanya memerlukan waktu beberapa bulan. Qohar yang masih polos itupun  melihat semua itu sebagai sesuatu yang di perbolehkan, suatu hal yang biasa tanpa mengetahui  lebih mendalam maksud dan tujuan Mbok Nah, lalu kemudian Qohar dengan serta merta secara instant mengikuti langkah dan cara-cara Mbok Nah. Lazimnya seorang anak manusia yang cenderung mengikuti pola pikir, sikap, dan tindakan dari pada menuruti suatu perintah.          
Tanpa terasa hari telah siang suara burung belibis mulai terdengar bersahut-sahutan di sudut-sudut sepanjang aliran sungai. Burun-burung kutilangpun tak mau kalah, mulai memamerkan suaranya yang khas melengking cukup lama seperti seorang Qori'. Burung-burung itu memanggil kawanannya. Selang beberapa menit kemudian sekawanan burung kutilang terbang melayang meniti angin lalu hinggap di dahan-dahan diatas pucuk pohon kapuk randu. Seakan-akan suara lengkingan burung kutilang yang pertama adalah suatu instruksi dari atasan agar secepatnya mengatur barisan, bersatu dan menyusun strategi dalam  mencari mangsa. Sementara diatas sana langit begitu cerah seperti terhampar karpet biru yang sangat luas. Sayup-sayup terlihat rembulan seperti merana di kesendiriannya. Kalah oleh pancaran sinar terik panasnya matahari.
Mereka berdua pulang. Sesampainya dirumah Mbok Nah langsung menanak nasi sementara Qohar mulai asyik bermain Egrang, mainan kuno yang cukup menantang, sanggup memacu adrenalin lebih kencang. Qohar bermain egrang bisa betah berlama-lama sesuai karakternya yang sangat menyukai tantangan. Setelah bosan bermain egrang Qohar mencoba tantangan baru. Ia ingin neneknya bingung dan panik dibuatnya. Qohar lalu segera pergi ke kamar dan mengendap-endap masuk ke kolong tempat tidurnya. Cukup lama ia sembunyi hingga akhirnya Qohar tertidur di bawah kolong tempat tidur.
Usai memasak Mbok Nah mencari cucu kesayangannya. Seluruh isi rumah telah di periksa, namun belum juga ditemukan. Neneknya mengira, Qohar pergi kesungai seperti biasanya untuk mandi bersama teman-teman sebayanya. Setelah di cari di Sungai ternyata juga tidak di ketemukan. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya terus menetes dari kelopak matanya yang cekung dan keriput. Selama ini kedua bola matanya jarang basah oleh airmata. Matanya yang terlihat kering keriput hanya bisa meneteskan air mata dikala berdo'a di tengah malam.Selebihnya jarang sekali menangis. Di bulan-bulan tertentu Mbok Nah memang menangis, tetapi itu terjadi lantaran teringat saat-saat melahirkan sang buah hati. Merawat dan membesarkannya tetapi setelah dewasa tak ada juntrungan dimana tempat tinggalnya. Paling jauh moment yang membuatnya menangis adalah sewaktu mengenang bagaimana susahnya hidup pada zaman penjajahan.
Kehidupan Mbok Nah yang  begitu tegar setegar batu karang tak terlepas dari peran suaminya. Ilmu siasat yang secara tidak langsung turun temurun dengan sendirinya itu diyakini telah merasuk ke dalam diri perempuan tua itu, dari semula yang biasa-biasa saja kini pelan-pelan telah menjadi seorang perempuan tua yang bermental baja. Tidak lagi merasa takut didera kekurangan dan keterbatasan di dalam hidupnya meski dirinya harus membiayai kebutuhan hidup seorang diri. Diantara pesan-pesan kang Karta itu masih di ingat betul oleh Mbok Nah.
Swiji bentuk roso tresno sangkeng Gusti Allah mareng poro kawulane iku, hakikote saben-saben manungso kapesten di wenehi ujian uriping dunyo. Saben-saben manungso kang katitis ono ingatase nduwur lemah kudu biso ngalahake ujineng ngalam dunyo ingkang datenge sangkeng gusti. Ora kalebu manungso pilihan kang agaweane nyerah lan pasrah tanpo arekoso. Opo maneh nyerah lan pasrahe tanpo obahe lelakon. Sak tumleking atusaning masalah sahinggo supados di tanamken ingatase awak dewene sifat gatot koco. Supoyo gampang olehe nemu kecukupaning bathin.
Sebuah bentuk rasa cinta dan kasih sayang dari Tuhan kepada para hambanya. Pada hakikatnya setiap Manusia selalu di beri  ujian dan tantangan. Setiap manusia terlahir diatas Bumi. Sebagai konsekuensinya harus bisa dan berani menahlukkan akan sebuah tantangan. Dari sang Khalik. Namun bukan termasuk manusia pilihan apabila harus menyerah begitu saja. Apalagi penyerahan dan kepasrahannya sebelum babak pertandingan usai. Begitu kompleksnya suatu permasalahan hidup. Sehingga perlu  ditanamkan dalam diri Manusia sifat ulet dan pantang menyerah. Agar mudah  mencapai titik klimaks  sebuah kepuasan bathin. Permasalahan hidup adalah suatu keniscayaan. Bukan untuk di takuti, bukan untuk di kejar dan mengejar permasalahan. Tetapi untuk di hadapi. Sehingga kelak menjadi insan yang mendapat tempat yang tertinggi. 'Maqoomam mahmuuda'.
Kang Karta meninggal dunia karena terjatuh dari pohon kelapa dengan posisi kepalanya dibawah dan menyerupai orang yang sedang bersujud. Sepeninggal Kang Karta Mbok Nah menjalani hidup seorang diri Mengasuh kedua putrinya Marsinah dan Dewi juariyah, akan tetapi setelah dewasa putri pertamanya Marsinah pergi entah kemana. Hingga kini belum di ketahui di mana keberadaannya secara pasti. Konon kabarnya Marsinah pergi mengikuti keinginan hatinya. Secara diam-diam Marsinah ikut buleknya ke negeri Sakura tetapi kepada Mbok Nah ia menuturkan keinginannya pergi ke Jakarta menyusul Faridah tetangganya yang telah bekerja sebagai pedagang lontong pecel. Hanya Dewi juariyah putri bungsunya yang masih setia hidup bersama Mbok Nah. Hingga di kemudian hari setelah menginjak dewasa Dewi juariyah pergi meninggalkan Mbok Nah untuk selama-lamanya. Kepergian Dewi juariyah tidak lama setelah ia menikah dengan Arman dan di karuniai seorang putra. Sebelum meninggal Dewi juariyah sempat mengutarakan keinginannya pergi dari rumah menyusul Marsinah ke negeri Sakura.  

Mulanya Juariyah ingin segera pergi menyusul Marsinah secepatnya. Namun Mbok Nah melarangnya, kecuali apabila sudah memberikannya seorang cucu. Tanpa keberatan Juariyah menyanggupinya. Sebenarnya Juariyah mulai ingin pergi ke negeri sakura lantaran ingin melupakan suatu masalah yang dianggapnya sebagai beban hidup. Ia mencoba untuk menafakuri jalan hidupnya yang monoton, ternyata suaminya kang Arman yang pengangguran itu belum bisa mencerna arti dari sebuah tanggung jawab. Seorang lelaki dengan kebiasaannya nongkrong dipinggir jalan dengan ditemani asap rokok dan secangkir kopi. Lama-lama Juariyah menyebut suaminya dengan sebutan lelaki tempe busuk, lanangan asu buntung. Walau demikian ia akan tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya demi Mbok Nah, Ibu yang selama ini telah membesarkannya meski harus makan hati dan terus-terusan menelan pil pahit kehidupan. Dengan di warnai pertengkaran, cumbu rayu, nafsu dan amarah. Bercampur cinta dan ketulusan. Juariyah pun hamil.
Usai melahirkan selang beberapa menit kemudian Juariyah meninggal dunia, ia telah pergi menuju alam baka. Meski bathin Mbok Nah sebenarnya terpukul karena kehilangan seorang anak perempuan satu-satunya yang masih tersisa, namun tak setetespun air mata yang berlinangan di kelopak matanya. Mbok Nah hanyalah sesosok manusia yang terus mencoba untuk tawakkal dan berusaha mengikhlaskan kepergian putrinya. Toh kalaupun di tangisi dengan lelehan air mata seluas samudra Dewi juariyah tak akan pernah kembali dan bertemu lagi kecuali pertemuan itu hanya di dalam mimpi.
Setelah kepergian Dewi juariyah Mbok Nah mensiasati tangisan Qohar kecil. Dengan merelakan puting susunya yang telah keriput untuk di jadikan pengganti ASI. Walau pada hakikatnya sudah tidak bisa keluar air susu setetespun, tetapi agaknya telah membuat Qohar terhibur. Setiap hari Qohar kecil di beri asupan air tajin sebagai pengganti susu. Dan kini cucu satu-satunya yang senantiasa di cintainya hilang entah kemana. Ia telah mencoba bertanya kepada para tetangga tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak mengetahui keberadaan Qohar secara pasti. Banyak para tetangga yang bersimpati datang silih berganti hingga sore menjelang lalu kemudian satu persatu pamit pulang. Mereka hanya sekedar menghibur kegalauan hati perempuan tua itu.
Di saat-saat suasana kembali lengang pikirannya kembali buyar, linglung dan lesu. Beraneka macam makanan dan buah-buahan di meja pemberian tetangga sama sekali tak di sentuhnya. Tidak ada nafsu makan dan juga gairah hidup malam itu.
Mbok Nah semakin takut berselimut rasa khawatir ketika terdengar suara orang yang sedang mencuci piring. Dalam keputus asa'an bercampur rasa gundah ia masih saja berharap dan tetap meyakini bahwa Qohar pasti kembali ke pangkuannya. Rasa khawatir itu tetap bergelayut dalam pikirannya. Semangat hidupnya dari yang semula menggebu-gebu kini semakin meredup. Tak ada lagi gairah hidup. Sekujur tubuhnya terasa berat seperti orang yang baru kerja seharian. Tubuhnya yang renta semakin lemas tak berdaya. Mbok Nah yang sekuat baja itupun akhirnya pasrah kepada yang Kuasa. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju sumur mengambil air wudlu, hendak melaksanakan shalat ashar. Belum sempat melaksanakan wudlu ia di kejutkan suara gesekan sendok dan piring. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat Qohar tengah menenteng sepiring nasi di ruang dapur yang bersebelahan dengan sumur.
     "Qohar !.kamu masih ingat rumah?" Ujar Mbok Nah tak habis pikir."Ingat makan lagi..!" .
     "Saya lapar Mak!” Sergahnya. Mengalihkan pembicaraan.
     "Kalau lapar ya makan jangan keluyuran. Kamu tau!.Tadi kamu ku cari sampai buyeng?."
     "Saya tidak tahu". Katanya polos."Ooiya mak!. Aku ingat tadi siang Aku ngumpet di bawah kolong tempat tidur sampai ketiduran." Ujarnya berselidik mencoba mengingat kejadian barusan.
     "Jadi kamu sengaja ngumpet?."  Tanyanya dengan geram.
     "Iya." Jawabnya singkat.
     "Dassar gemblung!."
       Kali ini Mbok Nah benar-benar lega, tanpa di komando akhirnya Qohar kembali ke rumah.
       "Ooiya di lemari tadi ada berkat dari Mbok Tamah. Coba kamu makan dari pada basi nantinya."
       "Kayaknya sudah di makan kucing Mak!." kilahnya.
       "Apa? sudah di makan kucing!. Wong di lemari kok di makan kucing, kucing berkepala hitam ?."  Kata Mbok Nah berseloroh.
       "Iya mak." Jawab Qohar cengengesan dan tersenyum geli, pipinya yang dekil itu semakin terlihat cekung menyerupai donald bebek.
       "Kamu tadi sudah sholat?." Tanya Mbok Nah mengalihkan topik pembicaraan.
       "Sudah maknyak."
       "Sudah kemarin siang? sekarang sudah Ashar. Sekarang kamu mandi sana! Terus sholat. Selama kamu masih doyan nasi kamu harus sholat. Biar selalu bersih dan terjaga kesehatannya."
Malam itu selepas sholat isya' Mbok Nah melepas lelah dengan berbaring di kursi panjang, kedua kakinya berselonjor, tangan kanannya mulai menyisir helai demi helai rambut peraknya ia terbersit keinginan untuk membeli gulai lalu di suruhnya Qohar membeli gulai Kambing di warung gulai Mbok pairah.
Tanpa perasaan terbebani Qohar mau saja. Sebenarnya ia takut karena jaraknya yang lumayan jauh di malam hari. Tetapi di hadapan neneknya ia selalu memperlihatkan rasa keberanian dan percaya diri. Sementara di luar rumah banyak ditemui anak-anak seusianya yang tengah bermain singkongan1. Rudi salah satunya. Qohar lalu mengajak Rudi, usianya dua tahun lebih tua darinya, namun dalam hal sifat dan sikapnya sangat manja dan kekanak-kanakan. Sewaktu kecil Rudi pernah mengejar anak ayam sampai terjatuh dan menyisakan belang di keningnya. Hingga kini sebagian teman-temannya memanggil Rudi dengan sapaan si Belang sehingga menyisakan mental minder pada dirinya. Lain dengan Qohar yang penuh percaya diri, kedewasaan akal dan pikirannya mampu menyeimbangkan perkataan dengan siapapun. Mereka berdua akhirnya pergi ke warung sate dan gulai yang tersohor sekampung itu. Warung gulai dan sate kambing Mbok Pairah.
Dirumah Mbok Nah sudah tertidur di atas kursi panjang yang terbuat dari bambu.
   "Maknyak. Bangun Mak! ini gulainya, nanti keburu adem."
   "Taruh saja di lemari nanti bisa di hangatkan lagi. Aku ngantuk, jangan lupa pintunya di tutup" Perintah Mbok Nah sambil berjalan pelan ke tempat tidur untuk merebahkan jasadnya.
Di tengah malam Mbok Nah terbangun lalu melaksanakan shalat tahajjud di akhiri baca'an Do'a Abu Nawas.
Ilaahi Lastulil Firdausi Ahlaa
Walaa Aqwaa A'lannaril Jakhiimi
Fahablii Taubatan waghfir Dlunuubi
Fainnaka Ghaafiruddzanbil Adliimi.
Dzunubi mitslu a'daadir- rimali,
Fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa umri naaqishun fi kulli yaaumi,
Wa dzanbi zaaidun kaifahtimaali
Ilaahi abdukal 'aashi ataaka,
Muqirran bid dzunuubi
Wa qad di'aaka
Fain taghfir fa anta lidzaka ahlun,
Wain tadrud faman narju siwaaka1
Selesai berdo'a Kemudian makan malam dengan lauk gulai Kambing. Tak lupa didalam hatinya mengucap syukur atas rizki dan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Seolah kenikmatan dunia berada dalam genggamannya. Mengingat bagaimana di zaman dahulu harus hidup diantara dentuman bom maupun peluru. Jiwa tergoncang, di hantui rasa takut dan penuh ancaman. Makan sehari sekali dengan perut keroncongan di saban harinya. Hidup di zaman penjajahan. Selesai menyantap makan malam dengan lauk gulai Kambing. Ia lalu menghampiri Qohar yang tengah terlelap. Diusapnya keningnya berulang-ulang lalu diciumi keningnya. Sebuah ungkapan rasa cinta yang tulus dari seorang nenek kepada cucu satu-satunya. Seperti dalam sebuah Syair.
Tahukah kamu ku ciumimu di saat kamu terlelap.  
Tahukah kamu ku dekap kamu di saat kamu termimpi.
Tahukah kamu nggak cuma kamu pemilik hatiku.
Tahukah kamu hatiku ini adalah hatimu.
Tahukah kamu di setiap hidupku ku kagumi wajahmu.
Nanti kau kan tahu
Nanti kau kan dengar bahwa aku begitu.
Kamu-kamu adalah surga yang ada.
Dalam hidupku dalam kenyataanku.
Kamu aku adalah penghuni surga.
Tahukah kamu di saat kamu menangis adalah air mataku yang jatuh berlinang.
Tahukah kamu di saat kamu tersakiti adalah aku yang pertama terluka.
Tahukah kamu yang cuma Aku yang punya cinta untukmu
Tahukah kamu yang cuma Aku yang rela mati untukmu1

       Dikeheningan malam Mbok Nah mencoba merenungi kembali jalan hidupnya. Matanya menerawang kosong. Lalu basah, sembab. Sesekali tersenyum dalam kesendirian. Dengan baluran air mata. Tertawa lirih lalu kemudian menangis. Matanya yang cekung. Basah oleh air mata. Mbok Nah teringat semasa kecil dulu. di usia belia dengan penuh kesadaran. Ia turut serta menyelamatkan nyawa Ayahnya secara tidak langsung. Waktu itu ayahnya, Ki Rasup mendapatkan tugas dari letnan Umar. Menyelamatkan belasan pucuk senjata yang hendak di rampas tentara kolonial Belanda. Ia diberi tugas memindahkan beberapa pucuk senjata dan puluhan selongsong peluru itu. Senjata dan puluhan selongsor peluru itu disimpan dalam gulungan rumput. Ia bersama Ki Rasup, ayahnya. Melewati tebing yang curam dan terjal. Tanpa disadari sebelumnya tiga orang tentara kolonial Belanda menghadang perjalanan. Sontak Ki Rasup seolah-olah kedua lututnya patah. Sekujur tubuhnya gemetar,  keluar keringat dingin. Mendadak kedua tangannya juga menjadi dingin seperti mayat.
       Mbok Nah yang masih polos Waktu itu mencoba untuk memanfaatkan kepolosannya. Meski jiwanya seperti di kejar sekawanan serigala, tanah tempat berpijak serasa bergoyang, matanya nanar tertuju pada wajah beringas tiga orang tentara Belanda. Sambil menangis, merengek. Ia minta tolong kepada salah seorang tentara Belanda. Ia menunjukkkan luka-luka di jemari kakinya yang terus berdarah, sebuah kebetulan. Padahal semasa itu penyakit gudik maupun nanah, sudah biasa menjangkiti sebagian besar orang-orang Desa. Terutama anak-anak kecil. Penyakit nanah maupun gudik apabila semakin digaruk, akan semakin terlihat mengelupas kulitnya. Dan mengeluarkan darah yang terus mengalir beberapa saat. Kepada salah seorang tentara Belanda Ia meminta obat luka yang diderita Ayahnya juga dirinya. Tak dinyana  setelah seorang Tentara serdadu Belanda melihat tetesan darah. Hatinya terenyuh. Seorang tentara yang juga tercipta dari segumpal tanah, dilengkapi akal pikiran dan hati nurani, sanggup mendobrak tembok keegoisan. sebagai satu manusia untuk saling menolong. Sama punya rasa dan karsa sebagai ummat manusia. Seorang tentara itu memberikan syalnya yang putih bersih untuk membersihkan lukanya. Tak Cuma itu saja, ia juga diberi beberapa potong roti. Di hari itu ia merasa menjadi orang yang paling beruntung didunia. Apabila peristiwa itu bersandar dalam lamunannya, hatinya selalu menyeruak rasa bangga, teriring rasa syukur hingga berurai air mata kebahagiaan. Satu ma'unah dari Tuhan.






















Selingkuh


Untuk yang kesekian
Ku selingkuh
Berpaling dari rahmatmu
Berbelok dari jalanmu
Kusadari semua itu

Aku lalai dari tugas-tugasku
Mengingkari sebuah kenyataan
Yang kian kentara

Tetapi suatu saat nanti
Hanya kepadamu ku kan kembali
Kepadamu pula ku bergelayut

Di ujung usiaku
Ku coba menafakuri
Jejak-jejak langkahku
Kotor penuh debu

Tetapi ku yakini
Ketika dosa-dosa menggunung
Berlapis-lapis bertumpuk-tumpuk
Akan memutih lalu bening
Memudar berpendar berpencar
Ketika menyeruak satu penyesalan
Sekilas kering kerontang
Gurun pasir gurun sahara
Tersapu hujan semalam




Usai melaksanakan shalat shubuh Mbok Nah segera beranjak ke dapur menanak nasi lalu mengambil air dari sumur di belakang rumah. Sambil menunggu nasi matang Mbok Nah membersihkan kamar tidur setelah sebelumnya meracik bumbu-bumbu masakan. Begitu  semua selesai Mbok Nah kaget melihat senapan angin tergeletak di pinggiran bale-bale bilik disamping Qohar ketika ia akan membangunkannya. Rupanya tanpa sepengetahuan Mbok Nah Qohar mengambil senapan angin dari balik lemari Mbok Nah.
Teringat di benak Mbok Nah kejadian puluhan tahun silam, kenangan pahit masa-masa sulit, hidup dalam keprihatinan. Disaat-saat bangsa Indonesia masih terjajah oleh bangsa Jepang waktu itu. Semasa pendudukan Jepang di awal-awal kedatangannya ke Indonesia tak menunjukkan ciri-ciri akan menjajah. Kedatangannya kali pertama menunjukkan misi persaudaraan. Baru setahun belakangan kerakusan dan keserakahannya semakin nyata terlihat ke permukaan.
Waktu itu pada tahun 1942 Mbok Nah dan suaminya mengarungi hidup dengan beragam kegetiran. Bahkan saking sulitnya hidup di masa itu umbi-umbian menjadi sesuatu hal yang biasa di makan sehari-hari, lazimnya umbi-umbian yang di makan adalah umbi-umbian mentah. Untuk mendapatkan umbi-umbian tersebut diperlukan gemerincing ringgit, sen atau harus di tukar dengan perasan keringat, singkong rebus semasa itu sangatlah istimewa, tak banyak  dari warga kampung yang mengkonsumsinya.  Terbatas di sebagian kalangan. Semasa itu pula jika ingin menikmati lezatnya singkong rebus tak cukup hanya dengan uang maupun tenaga tetapi harus melewati serangkaian jalanan yang berliku menuju lereng-lereng gunung. Jauhnya bisa mencapai tujuh sampai sepuluh kilo meter, jalan yang di tempuh berkelok-kelok dan lebarnya kurang dari satu meter. Hanya di lereng-lereng gunung tanaman singkong dan umbi-umbian lainnya di budidayakan.
Disaat serba sulit itulah Mbok Nah menemukan Oshi koizumi seorang Serdadu Jepang yang selalu tersenyum tanpa harus diminta. Senyumnya yang khas itu selalu tersungging apabila bertemu dengan Mbok Nah. Satu hal yang unik dari serdadu Jepang itu adalah kebiasaannya yang selalu salah tingkah.
Oshi waktu itu  terjebak di atas ranjau jebakan yang sedianya untuk menjebak babi-babi hutan yang merusak tanaman. Dengan tanggap tanpa memperdulikan siapa dan asal usulnya Mbok Nah datang sebagai malaikat penyelamat. Di dalam sebuah gua yang tak begitu dalam seorang yang di ketahui sebagai tentara jepang itu di rawat Mbok Nah dengan ala kadarnya. Untuk mengobati luka-luka yang menghiasi dadanya oleh tusukan-tusukan kawat Mbok Nah memakai ramuan kuno warisan nenek moyang secara turun temurun.
Atas jasa- jasa dan kebaikan Mbok Nah Oshi selalu menyempatkan untuk menemui Mbok Nah di rerimbunan perkebunan kopi tak jauh dari perkampungan. Dengan sesekali membawa oleh-oleh makanan yang lezat pada Mbok Nah dan itu di lakukannya di setiap pertemuan, setiap selesai bertugas. Sebelum pulang kenegaranya Oshi sempat memberi kenang- kenangan helm, senapan angin dan celana kolor. Lambat laun Mbok Nah seolah seperti semacam wanita simpanan seorang tentara Jepang. Karena pertemuan yang intens sehingga mampu menumbuhkan nafsu-nafsu yang kian merapat dan bersandar. Melihat kenyataan pahit tersebut kang karta menyadari kekurangannya dan merekapun agaknya telah  saling memahami keadaan.
Kang Karta dan Mbok Nah meyadari betul betapa susahnya untuk bertahan hidup di masa itu. Menanam singkong baru berumur sebulan sudah di rusak babi-babi hutan. Musuh  utama semasa itu bukan hanya babi hutan tetapi juga sesama Manusia. Padi belum menguning sempurna telah di sikat habis. Dibabat oleh manusia-manusia rakus. Pada waktu itu orang-orang yang menanam padi harus rela tinggal di gubuk-gubuk persawahan. Menunggui padi siang malam, kalau perlu nyawa sebagai taruhannya. Kalaupun padi itu berhasil dipanen bukan berarti nasib mujur berpihak padanya. Separuh dari hasil panen padi harus disetorkan kepada Pemerintah Boneka kaki tangan para Penjajah. Di masa itu sawah dan lahan tak terhitung luasnya yang sengaja tak tergarap sama sekali. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih memilih  membiarkan sawah dan ladangnya menganggur daripada harus menanaminya lalu hasilnya diserahkan kepada para Penjajah.  
            Setiap kali serdadu Jepang itu datang memberi makanan Mbok Nah selalu tidak langsung memakannya sebagai sebuah bentuk penghormatan pada suaminya. Sering kali Mbok Nah beralasan sudah kenyang lalu kemudian di bawanya pulang makanan itu, begitu seterusnya. Persisnya peristiwa itu berjalan sampai dua tahun, tepatnya setelah pecah perang dunia ke dua berakhir dan jepang mengalami kekalahan telak dengan di hancur luluhkannya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika serikat1. Sebelumnya tentara Jepang membombardir Pearl Harbour, sebuah pelabuhan militer Angkatan Laut. Di kepulauan Hawaii Amerika Serikat[6].
            Mulanya Setiap Mbok Nah pulang membawa makanan. Kang Karta selalu menanyakan dari mana makanan itu di dapat. Namun Mbok Nah selalu merahasiakannya. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu. Kang Karta mengetahui dari mana makanan itu berasal. Kang Karta berusaha memahami keadaan dan berusaha mengikhlaskannya karena tidak kuasa terus-terusan harus bergelut dengan kehidupannya yang serba kekurangan.
       Apabila mengingat masa lalunya Mbok Nah begitu bangga. Seperti tak terbersit sedikitpun rasa bersalah pada diri perempuan tua itu, apalagi menyesali perbuatanya. Karena ia yakin semua ini adalah  sandiwara, ada dalang di balik semua ini. Baginya tak ada yang perlu disesali sepanjang tidak melanggar aturan dan merugikan orang lain, meski perbuatannya dia sadari telah menyimpang dari koridor Agama, tetapi demi kelangsungan hidup suatu laranganpun bisa saja dilanggar dan itu adalah suatu prinsip hidupnya. Prinsip-prinsip hidup yang ganjil itu adalah bagian dari wejangan suaminya yang senantiasa berusaha memastikan secara pelan dan pasti mampu merubah kepribadian Mbok Nah yang semula minder menjadi perempuan yang pemberani, rela mengorbankan nyawa demi keberlangsungan hidup Ummat Manusia.
       Apabila melihat celana dan helm di lemari pemberian dari Oshi tentara Jepang itu terkadang Mbok Nah tertawa- tawa sendiri seraya meneskan air mata. Masa lalu yang getir, indah, dan mengharukan campur aduk menjadi satu layaknya rujak pecel. Karena seringkali melihat, menghayati dan terbiasa dengan perilaku keseharian Mbok Nah Qohar Secara tidak langsung tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang humoris dan cerdik.
       Seingat Mbok Nah tak pernah sekalipun ia memberitahukan perihal keberadaan senapan angin yang tergeletak di balik lemari. Muncul beribu tanda tanya di benaknya namun urung ia tanyakan pada cucunya. Menunggu suasana yang pas untuk menginterogasi.  Usai menanak nasi dan mencuci piring kotor di dapur Mbok Nah segera membangunkan Qohar sambil mengelitiki kaki kirinya seperti yang dilakukan sehari- harinya, lalu dengan cekatan Qohar pergi ke padasan1 dan cuci muka kemudian kembali ke kamar tidur dan mengambil senapan angin yang telah menjadi mainan baru baginya.
       " Kok tidak shalat? "
       " Kan sudah kesiangan Mak!" Timpalnya beralasan.
       "Ya sudah. Sana sarapan!"
       " Lauknya apa? "
       "Pecel terong sama tempe."
       "Kok tiap hari makan terong terus Mak!"
       "Maunya sama ayam ?"
       "Iya." Qohar mengangguk senang.
       "Ya sudah. Makan sana sama ayam di kebun!. Sudah berapa kali maknyak bilang, kita harus hidup sederhana bahkan kalau perlu jangan sekali-kali makan lauk daging ayam, kambing dan binatang darat lainnya, kecuali ikan hasil tangkapan dari laut. Kita sebagai Manusia harus ada bedanya dengan binatang agar menjadi mahluk yang dicintai Allah." Begitu pesan Mbok Nah pada Qohar berkali- kali.
       Sebuah prinsip' tidak makan daging daratan' di pegang teguh oleh Mbok Nah atas nasehat kyai Idris, kyai kampung di desa tetangga. kyai yang berkepribadian teguh dan bersahaja itu sangat menjunjung tinggi nama besarnya. Kyai haji Idris adalah tempat Mbok Nah selama ini didalam berkeluh kesah tentang liku-liku dan permasalahan hidupnya.
       Seperti biasa Qohar melahap sepiring nasi beserta pecel terong dan tempe goreng hingga tiada tersisa, takut di marahi Mbok Nah apabila tak di habiskan. Selesai makan Mbok Nah lalu menanyainya.
       "Qohar!. Sejak kapan kamu bermain-main senapan di kamar?" Tanya Mbok Nah sambil menahan senyum "Tau dari mana senapan itu ku simpan ?."
       "Maknyak sudah pikun?."
       "Pikun bagaimana? Lha wong di tanya kok malah nanya!."
       "Tuh kan ? Maknyak pikun lagi."
       "Dassar cucu ndableg."
       "Maknyak sudah lupa? Maknyak kan sering cerita kalau Maknyak itu pejuang. Pembela Tanah Air. Mencarikan makan umbi-umbian untuk para tentara, naik turun gunung mencari singkong dan jadi kurir senjata. Bukan begitu Mak ceritanya?."
       "Lalu apa hubungannya ?"
       "Tidak ada!. Tapi saya kan penasaran Mak? masa setiap hari hanya di suguhi cerita tanpa ada bukti. Apa saya salah Mak ?."
       "Siapa yang menyalahkan. Tapi lain kali tanya dulu sama Maknyak biar nanti Maknyak ajarin."
       "Bener Mak ?."
       "Apa untungnya Maknyak bohong sama kamu."
       Demikianlah setiap kali Mbok Nah mengakhiri sebuah nasehat apabila orang yang di nasehatinya mulai memperlihatkan tanda ketidakpercayaan.


                              




























Masalah

Di batas akhir akan tampak sekumpulan manusia
Tersiksa diantara hidup dan mati
Tidak kuasa mencari pintu surga
Meski disepanjang hayatnya
Bersujud beribu tahun
Mereka adalah mereka
Dengan segala waktu
Menghujam di dada
Beribu dengki
Tak henti memperpanjang urusan
Tak lekang olehnya
Kesengajaan menggantung
Menelikung
Ketidak berdayaan.







           





           




Biasanya setelah sarapan pagi Mbok Nah pergi ke ladang, tetapi  di pagi itu tidak. Kepalanya merasakan pusing dan agak pening. Dengan bergelayut rasa bimbang ia langkahkan kakinya menuju kebun pisang tak jauh dari rumahnya sambil membawa parang dan cangkul. Ia mengira dengan pergi ke kebun rasa nyeri yang di deritanya berangsur-angsur sembuh, karena tempatnya teduh dan tidak terlalu panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya.
            Di kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya hari itu shobari tak bertegur sapa dengan Mbok Nah. Dari raut muka dan sorot matanya terlihat seperti ada sesuatu yang ingin di utarakannya. Namun Ia hanya nggerundel1 seperti orang yang sedang menahan amarah. Sebagai Orang tua Mbok Nah berusaha mengalah dengan mengawali sebuah pembicaraan.
       "Pisangnya sudah tua Shob?." Tanya Mbok Nah serius tanpa basa-basi.
       "Mau tua mau muda bukan urusanmu Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang!." Jawabnya seperti sengatan kalajengking. Dengan air muka memerah seperti hendak mengajak perang. Lelaki kurapan yang berjerawat hampir di seluruh badannya itu agaknya ingin menguasai tanah yang belum selesai di bukukan itu.
       "Aku tidak melarang kalau perlu ambil semua pisang yang ada!." Ucapnya dengan hati dongkol. Hatinya serasa teriris setelah mendengar perkataan Shobari yang kasar , kata-kata itu telah menghujam tepat di jantung hati perempuan tua itu. Seketika itu juga hatinya seperti  berdarah dan meninggalkan luka, tidak mudah untuk mengobati apalagi menyembuhkannya. Sambil menahan kepedihan hati Mbok Nah pergi meninggalkan kebunnya begitu saja.
            Seumur hidup Mbok Nah dalam kamus hidupnya selalu memegang prinsip pantang menyerah, mengalah dan menangis di hadapan siapapun. Tak terkecuali pada preman kampung sekalipun. Tapi hari itu Mbok Nah yang setegar karang seganas lautan akhirnya hanya bisa menjerit sakit di dalam batin. Lalu kemudian ditumpahkan di dalam rumah. Menangis tersedu hingga beberapa waktu lamanya. Qohar yang tak tau duduk perkaranyapun hanya ikut-ikutan menangis hingga menitikkan air matanya.
            Sejatinya Mbok Nah adalah perempuan biasa yang lembut penuh kasih sayang dan gemar bersilaturrahim. Namun bukan berarti Mbok Nah hidup tanpa musuh. Yang seringkali menyakitkan hati Mbok Nah adalah timbulnya rasa dengki dari sebagian tetangga, sahabat maupun saudaranya sendiri tanpa di ketahui sebabnya. Tetapi Mbok Nah selalu berusaha mengalah dan memposisikan dirinya sebagai orang tua yang lemah dan lebih banyak mengalah, ia merasa sebagai perempuan biasa kebanyakan, lebih memilih menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut apabila sedang terjadi kisruh dengan tetangga. Tetapi tidak demikian apabila menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu di kenalnya, bahkan dengan perangkat desa sekalipun.
            Pernah suatu ketika Mbok Nah berhadapan dan perang mulut dengan pak Taufik seorang ladu. Akar masalahnya waktu itu jatah pengairan untuk Mbok Nah belum selesai, tinggal kurang lebih hanya seperempatnya, namun Pak Taufik mengklaim telah selesai dan memutus mata rantai aliran air tersebut. Kontan Mbok Nah tak terima dan di acung-acungkannya parang serta sebatang patahan pohon singkong. Dengan bersuara lantang Mbok Nah meminta jatah airnya dikembalikan, tetapi Pak Taufik tetap bergeming. Tak mempedulikan kemarahan Mbok Nah. Bahkan pak Taufik malah berbalik mengancam akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.
            Segagah apapun Mbok Nah dia adalah seorang perempuan biasa yang masih punya hati sanubari, ia tak mungkin berbuat senekat itu dan pak Taufik tahu betul siapa itu Mbok Nah watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Taufik tak takut sama sekali dengan bentuk perlawanan dari Mbok Nah. Lelaki yang selalu berpenampilan necis, berkalung dan perutnya membuncit itu telah terbiasa menghadapi orang-orang yang dianggapnya membandel macam mbok Nah.
            Mengetahui gertak sambalnya tak di gubris Mbok Nah tak habis akal. Di lucutinya pakaian yang menempel di badannya satu persatu hingga kemudian terlihat bertelanjang dada, tak sehelai benangpun yang menempel di tubuh Mbok Nah. Walhasil tanpa banyak kata Pak Taufik segera pergi meninggalkannya. Aksi gilanya itu sempat membuat pasang-pasang mata Ibu-ibu buruh tandur disawah tetangga terbelalak dengan mulut menganga tetapi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan semua itu.
Masya Allah......
Peristiwa itu menjadi headline berita para ibu-ibu terutama para biang gosip seperti Bu Lela hingga beberapa minggu lamanya. Setelah suasana kembali tenang dan aman di kenakannya kembali pakaianya. Mbok Nah tak peduli para tetangga sawah melihatnya dan mau bilang apa. Kemudian dengan cekatan Mbok Nah berlalu pergi menuju sawah pak Taufik dengan tujuan menutupi aliran air serta membedahnya untuk dialirkan ke sawahnya yang masih belum terairi dengan rata.
            Awal mulanya kebun yang sekarang di garap Shobari itu puluhan tahun yang lalu adalah milik Mbok Nah. Waktu itu Mbok Nah punya lahan yang lumayan luas di berbagai tempat, tak semua lahan terawat baik, bahkan di beberapa tempat menjadi bero1 karena lahannya tak di olah. Salah satunya adalah lahan yang sekarang telah menjadi kebun yang rimbun di penuhi pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. Zaman dahulu tanah itu di berikan pada Mbok Rini dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis. Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya mengingat pada masa itu tak semua orang bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.
            Mbok Rini Ibu Shobari keadaannya memprihatinkan kala itu. Pada masa penjajahan Mbok Rini bersama Suami dan anak-anaknya hidup dengan serba kekurangan. Harus memutar otak agar dapurnya tetap bisa mengepul. Hingga di kemudian hari kehidupan Mbok Rini yang memprihatinkan kala itu mengundang rasa simpati dari Mbok Nah. Sebagai mahluk sosial, Mbok Nah tidak tega melihat kenyataan pahit di depan mata. Lalu di suruhlah Mbok Rini dan suaminya agar mau mengurus dan menggarap lahan tersebut Seumur hidup dengan syarat apabila Allah lebih dulu mengambil nyawa Mbok Nah, maka tanah itu menjadi milik Mbok Rini. Dan sebaliknya apabila Mbok Rini diambil nyawanya oleh Allah terlebih dahulu maka tanah itu kembali menjadi milik Mbok Nah. Tetapi akhirnya takdir menunjukkan jika Mbok Nah adalah pemilik tanah yang sah karena beberapa bulan yang lalu Mbok Rini telah lebih dulu di panggil ke haribaan Ilahi maka kini tanah itu jatuh ke tangan Mbok Nah dengan sendirinya. Atas kebijaksanaan Mbok Nah, maka hasil kebun boleh di ambil anak-anak Mbok Rini selama masih mau merawat dan memelihara lahan pekarangan tersebut dengan cara di bagi sepertiga. Awalnya Mbok Nah memberi pilihan satu per dua namun dari pihak anak-anak Mbok Rini tak menyetujui dan mengajukan usul agar di bagi satu pertiga. Dua bagian untuk anak-anak Mbok Rini dan satu bagian untuk Mbok Nah. Atas usulannya itu Mbok Nah menyetujuinya tanpa syarat. Tapi agaknya sifat serakah yang pada dasarnya telah tertanam dalam setiap diri manusia menyeruak ke permukaan, bermetamorfosa menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas. Shobari seorang lelaki yang memiliki banyak tahi lalat itu seolah  ingin merebut kebun begitu saja dari tangan Mbok Nah.
            Terkadang Mbok Nah sebagai perempuan biasa menafakuri jalan hidupnya yang harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu dan nenek buat Qohar cucu semata wayangnya. Harus menghadapi berbagai macam persoalan yang membelitnya. Lenyap permasalahan lama muncul permasalahan baru begitu seterusny. Rasa keragu-raguan terkadang datang menyergap, di dalam benaknya bertanya-tanya.
            Apakah selama ini apa yang di lakukannya bisa mendapatkan keridlaannya?. Ridla dari Allah untuk bersanding di sisinya?.
            Apakah dirinya bisa mendapatkan pahala yang setimpal dengan kaum laki-laki yang lebih banyak mendapatkan keutamaan melebihi perempuan?.
Rasa takut bercampur bimbang mengusik kalbunya. Supaya memperoleh kemantapan hati dan ketenangan Mbok Nah pernah mencoba menanyakan permasalahan itu kepada Kyai Idris sehabis pengajian selesai tentang permasalahannya yang masih mengganjal di hatinya itu. Walau secara lahiriyah tak terlihat sama sekali jika Ia menyimpan rasa gundah, akan tetapi hati kecilnya tidak bisa dibohongi.
           



Ketika ditanyakan kepada kiai Idris perihal prinsip hidupnya yang liar, keras dan bebas,  juga penilaian aneh oleh sebagian tetangga serta penuturannya sebagai seorang nenek yang harus merangkap sebagai orang tua bagi cucunya, Kiai Idris hanya tersenyum dan tidak memberikan saran apapun  kepada Mbok Nah.
            Kiai Idris hanya bercerita pada masa zaman Rasulullah tentang seorang muslimah yang tidak malu bertanya dan kritis terhadap permasalahan perempuan dan juga tentang persoalan Agama yang belum dipahaminya. Ia mewakili kaum muslimah dalam bertanya langsung kepada Rasulullah. Ia adalah Asma binti yazid bin sakan. Asma binti Yazid adalah seorang ahli pidato yang ulung, wanita pemberani yang halus perasaannya dan budi bahasanya.  Asma binti Yazid datang kepada Rasulullah Saw berkenaan dengan tawanan wanita.
       "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh muslimah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang Aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengutus engkau bagi seluruh kaum pria dan wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai'atmu. Namun kami sebagai kaum wanita terkurung dan terbatas langkah kami, kami hanya tinggal di rumah, kami yang mengandung dan melahirkan anak-anak mereka, kami menjadi penyangga rumah tangga kaum pria dan kami adalah tempat melampiasan syahwat mereka. Akan tetapi kaum pria diberi kelebihan dan mendapat keutamaan melebihi kami dengan sholat jum'at, mengantar jenazah dan berjihad. Manakala mereka keluar untuk berjihad kamilah yang menjaga harta mereka, mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dari amalan mereka?"
            Mendengar pertanyaan tersebut Rasulullah Saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda kepada para sahabatnya, " Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang  dia tanyakan?" Para sahabat menjawab. " Benar. Kami belum pernah mendengarnya ya rosululloh!" Kemudian Rosululloh bersabda : Kembalilah Wahai Asma dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang dari mereka kepada suaminya dan meminta keridhaan suaminya itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan. Pahalanya sebanding dengan pahala yang didapat kaum pria yang engkau sebutkan itu."
            Beliau adalah seorang ahli hadits yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan dien1 yang bagus dan ahli argumen sehingga beliau dijuluki sebagai 'juru bicara wanita'. Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan. Begitulah penuturan KH Idris yang mengalir begitu saja.
            Penuturan KH Idris itu semakin memantapkan prinsip hidupnya. Pelan dan pasti mampu mengobati kegundahan hati yang selama ini menghantuinya. Selama apa yang dilakukannya mendatangkan manfaat baginya dan tidak mendatangkan madhorot bagi orang lain maka selama itu pula mubah suatu amalan untuk di amalkan. Di usia senja ia tak lagi kehilangan semangat tapi justru ia malah seperti menemukan kehidupan yang baru yang penuh tantangan dan mesti di hadapinya.
            Tak ingin di rundung duka yang berkesudahan setelah sebelumnya di sapa Shobari dengan kata-kata yang tidak sepantasnya Mbok Nah tak habis harapan untuk melanjutkan hidup. Dengan sisa serpihan asa yang ada Mbok Nah segera pergi ke kebun menuju dua buah pohon lima abad, pohon sawo. Di lihatinya dengan seksama satu persatu penuh dengan buah. Sebagian telah terlihat tua dan sebagian lagi masih terlihat muda. Mbok Nah lalu memanggil qohar dengan suara datar, menyuruh untuk diambilkan horok.
"Haar ...Qohar!"
"Ada apa Mak?."
"Maknyak ambilkan horok1 di samping rumah!."
"Ya mak. Tunggu sebentar!!."
            Setelah sawo terkumpul yang sebelumnya telah di sortir terlebih dahulu lalu dicuci bersih kemudian dijemur hingga layu. Manisnya sawo yang tercecap di lidah tidak serta merta langsung bisa di nikmati kecuali yang sudah matang di pohon. Diperlukan serangkaian panjang mengiringi proses masa kematangannya. Setelah melalui proses pencucian lalu penjemuran kemudian di karbit barulah sawo manis itu tinggal menunggu kematangannya dan setelah matang baru bisa dinikmati.
Rasa syukur yang agung kepada Tuhan mampu mengalahkan ego yang seringkali menguasai manusia. Melunakkan sifat syirik, dengki, hasud dan kawanannya. Entah telah berapa kali Mbok Nah menjadi tempat pergunjingan para tetangga dan masyarakat mengenai ulahnya yang di nilai melanggar kaidah hukum agama oleh ibu-ibu pengajian. Seringkali selentingan itu terdengar langsung di telinga Mbok Nah, seringkali pula rasa benci dari sebagian tetangga itu sengaja di hembuskan ke telinga Qohar cucu semata wayangnya. Mbok Nah seorang wanita tua yang semakin gila harta dan tak kenal waktu di dalam bekerja. Tetapi Mbok Nah selalu cuek dan malah bersyukur karena masih ada manusia yang mau meluangkan waktunya guna menegurnya secara tidak langsung. Dalam kegalauan berselimut sepi Mbok Nah teringat suatu ketika di tengah malam ia bermimpi bertemu dengan kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat. Beberapa bulan sebelumnya Mbok Nah pernah mendatangi makamnya di mantingan Jepara dengan tujuan berziarah. Dalam sebuah mimpi itu Mbok Nah di perintah Nyai Kanjeng Ratu Kalinyamat agar mau di jadikan abdi dalem sebagai tukang pijit Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat. Tanpa berpikir panjang Mbok Nah lalu menyatakan kesediaannya untuk dijadikan abdi dalem, tak lama kemudian Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat memberikan sebuah keris namun Mbok Nah dengan halus menolak pemberian Keris dari Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat karena takut tidak bisa menjaganya, lalu kemudian Kanjeng Ratu Kalinyamat memberikan hadiah sekarung benih padi. Anehnya dalam mimpi itu Mbok Nah menerima begitu saja sekarung benih padi dari Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat tanpa ada perasaan terbebani sedikitpun. Benih padi sekarung itupun di bawa pulang dengan tanpa membawa selendang. Tak ada rasa berat, lelah ataupun letih. Justru sebaliknya benih padi sekarung itupun terasa ringan untuk di bawa pulang. Entah apa arti sebuah mimpi  yang datang kepada Mbok Nah malam itu. Mimpi-mimpi itu eratt kaitannya dengan keseharian Mbok Nah yang selalu menghabiskan waktunya di sawah dan kecintaannya pada tanaman.
Besok hari senin legi. Mbok Nah hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari itu di bacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek. Dengan menyuguhkan bubur merah putih untuk di bacakan do'a-do'a lalu kemudian bubur merah putih itu di bagi-bagikan ke tetangga sekitar dengan harapan orang yang telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Allah yang Kuasa. Mbok Nah segera menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kulit kepala hingga seperti menemukan sesuatu. Persediaan bumbu-bumbu dapur sepertinya telah menipis hanya tinggal beberapa cabe, bawang putih, dan kelapa. Mbok Nah hendak ke kebun mengambil daun pisang, kunyit dan sayur-sayuran beserta bumbu dapur lainnya. Sebelum berangkat di lihatnya Qohar tengah bermain senapan angin di dalam kamar.
       "Maknyak mau ke kebun dulu. Jaga rumah ya?" Ujar Mbok Nah sambil menyibak tirai pintu kamarnya.
       "Aku ikut Mak!." sahut Qohar manja.
       "Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!." Kata Mbok Nah berpesan.
            Segera di simpannya Senapan angin itu lalu berlari mengejar Mbok Nah yang lebih dulu meninggalkannya. Hanya dalam hitungan menit merekapun sampai di jalan raya. kemudian berhenti sejenak menunggu jalannya mobil tronton lalu menyeberanginya. Kali ini Mbok Nah tidak langsung menuju ke sawah. Di langkahkan kakinya menuju sebuah pohon asem jawa yang buahnya lebat tepat di tepi jalan. Di bawah pohon asem Mbok Nah mengais sisa-sisa asem tua yang berjatuhan. Dahannya yang rimbun dan bercabang-cabang memudahkan Qohar untuk segera memanjat pohon tersebut.
            Dipetiknya beberapa dompolan buah asem yang tengah masak, pikir Qohar dengan mengambil langsung di dahan dan ranting neneknya tidak perlu susah-susah untuk memulung yang tercecer di tanah. Tanpa di duga sebelumnya sedompol buah asem yang tengah masak yang baru di petiknya itu jatuh mengenai kepala Mbok Nah. Tetapi tidak menimbulkan rasa sakit.
"Aduh!! " Ujar Mbok Nah spontan setelah buah asem jatuh mengenai kepalanya.
" Tidak apa-apa kan mak?"
" Iya, tidak apa-apa."
            Pohon asem meski tinggi dan besar tetapi buahnya hanya seukuran jari, apabila telah masak dan mulai berjatuhan meski menghujani kepala beribu kali tidak akan menimbulkan rasa sakit ataupun luka yang serius. Tetapi seandainya pohon asem itu berbuah sebesar buah semangka atau mungkin sebesar labu pasti orang yang tertimpa akan pingsan dibuatnya atau bahkan mungkin bisa mati berdiri karenanya. Tetapi kebanyakan pohon yang besar dan tinggi buahnya tidak sebesar buah semangka. Semua itu adalah satu bukti keadilan Tuhan yang hanya di mengerti dan di pahami oleh orang-orang yang berfikir. 
            Tanpa di sadarinya Mobil merah silver di parkir tak jauh dari pohon asem. Sebelumnya tak terdengar suara bising sama sekali. Tak seberapa lama kemudian keluar dua orang laki-laki muda dari dalam mobil. Salah satunya berkulit putih, matanya sipit dan berkacamata hitam. Dan seorang lagi berperawakan sedang seperti orang jawa pada umumnya. Mereka lalu menghampiri Mbok Nah yang tengah mengumpulkan buah Asem. Dengan agak terbata-bata  berbahasa jawa salah seorang dari mereka lalu memperkenalkan diri. Seorang yang bermata sipit Pak Yusuf chen lau seorang wakil manajer direktur sebuah perusahaan minyak goreng dan juga pengelola perkebunan kelapa sawit. Dan seorang lagi Pak Amin ong gwe seorang Betawi berdarah jawa sunda menjabat Consultant dan merangkap sebagai wartawan lepas sebuah harian Ibu Kota. Mereka kemudian menanyakan kepada Mbok Nah perihal tanah kosong di sepanjang jalan.
Mbok Nah kemudian menunjukkan yang tengah mangkrak di dua tempat di tepi Jalan Raya. Dari selentingan yang beredar di masyarakat rencananya dua tempat tersebut akan segera di jual oleh pemiliknya. Di satu tempat milik Bu Marni tetangga jauh mbok Nah. Seorang perempuan paruh baya yang lebih mementingkan gengsi dari pada fungsi serta menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai seorang keturunan priyayi, trah darah biru. Kabarnya perempuan paruh baya itu ingin menjual tanah kapling warisan ayahandanya untuk membiayai perjalanan Haji tahun depan. Di tempat yang kedua tanah kapling milik pak Sarwo yang rencananya akan hijrah ke Lampung membuka usaha warung pecel.
            Tanah-tanah itu berada di jalur lintas Provinsi. Sangat strategis untuk pengembangan usaha dengan hasil alamnya yang masih melimpah. Di tambah lagi ketersediaan bahan baku dari para petani dengan variasi harga yang sangat murah. Sayangnya oleh orang-orang kampung tanah-tanah itu tidak dikelola dengan baik, bahkan tidak jarang di beberapa tempat di biarkan mangkrak tidak tergarap sama sekali. Sengaja di biarkan bero oleh pemiliknya. Sedangkan pemiliknya kebanyakan menjadi kaum urban di perkotaan, menjadi buruh kaum kapitalis.
            Hari telah sore mentari di ufuk barat telah memberi pertanda sebuah sinyal akan segera membenamkan diri. Mbok Nah hanya menyarankan agar pertemuannya di sambung di lain waktu.  Menemui di rumahnya. Mereka lalu mohon diri kemudian  memberikan sebuah amplop berisi uang sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih. Diterimanya amplop itu lalu dengan terburu-buru Mbok Nah dan Qohar bergegas melanjutkan perjalanan menuju kebun. Mengambil daun pisang, memanen cabe, kunyit dan sayur-sayuran.
            Langit dibagian barat telah terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan tergesa-gesa membenamkan diri. Langit segera memancarkan auranya. Bintang-bintang bermunculan di ikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa. Sampai di rumah tepat waktu magrib. Selesai shalat maghrib dan dzikir Mbok Nah teringat dua hari yang lalu Mbok Sarmah mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah kecil seumuran Qohar yang menderita sakit cikungunya akut. Masih tergolek lemas hingga berbulan-bulan. Tetangga kampung sebelah.
            Selesai shalat Isya’ Mbok Nah langsung ke rumah Mbok Sarmah   dan mengajaknya menjenguk Bambang.
"Assalamualaikum."
            "Waalaikumussalam."
            "Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?"    
"Ya. Jadi Mbok." Jawab Mbok Sarmah sambil ngeloyor ke dalam rumah. " Aku salin pakaian dulu”.
Mereka lalu berangkat bersama dengan membawa barang bawaan ala kadarnya. Mbok nah sendiri membawa setandan pisang dan sekilo gula merah.Tak ingin ketinggalan. Qohar segera membuntutinya setelah sebelumnya mengunci rumahnya rapat-rapat.
            Di rumah Shohibul Musibah Mbok Nah tertegun melihat kenyataan yang ada. Dengan segala upaya ia dan Mbok Sarmah berusaha membesarkan hati dan menghibur shohibul musibah1, sementara Qohar berdiam diri di teras rumah menunggu neneknya pulang. Miris menggambarkan cobaan yang di timpakan kepada Bambang.
            Di usianya yang ke tujuh Berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak berusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Jari-jari kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak dengan balutan kulit yang amat tipis setebal kain. Hanya daging tipis yang menghiasi tubuhnya, selebihnya seperti tengkorak yang bergerak-gerak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk, membiru dan bernanah. Bambang demikian orang-orang memanggil bocah malang itu terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit di sekujur badannya yang ingin di pijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin di katakannya namun terasa sulit untuk melafadzkannya. Semenjak seminggu yang lalu mendadak ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan bahasa isyarat, paling jauh hanya bisa dengan menggeleng-gelengkan kepala. Di rumahnya yang hanya berdinding bambu beratapkan ilalang hanya ada Bambang dan kakak perempuannya Handayani yang setia menungguinya. Ayah Ibunya telah lama pergi meninggalkannya. Mengadu nasib di Ibu Kota.
            Ikhtiar berobat saban hari telah di lakukannya dan telah menjadi suatu kebutuhan. Harta bendanya yang berupa sawah dan kebun telah habis untuk membiayai pengobatan Bambang. Tak ada lagi barang yang berharga satupun di rumahnya yang hanya beratapkan daun ilalang kering. Satu-satunya modal yang masih tersisa hanyalah tenaga, tenaga dari Ani kakak perempuan satu-satunya. Seorang perempuan belia yang masih ringkih untuk ukuran pekerja pada umumnya. Dengan memeras tenaganya untuk kemudian di tukar dengan bulir-bulir beras dan bumbu-bumbu dapur. Selama ini Ani yang pontang-panting  memeras keringat agar asap dapurnya senantiasa tetap mengepul. Hakikatnya Ani berjuang hidup demi sebuah tantangan untuk menjadi insan yang terbaik di mata Tuhan. Kedua orang tuanya merantau ke kota setelah tergiur iming-iming pak Kumolo tetangga sebelah.
Menyaksikan kenyataan pahit Mbok Nah hanya bisa menjerit sakit dalam bathin. Seakan-akan protes kepada Tuhan. Kenapa semua ini harus di timpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan?. Mungkin saja orang-orang yang berkalang duka dan penderitaan itu akan menemukan kebahagiaannya di akhirat kelak. Bersanding dengan Rabnya menjadi manusia pilihan atau bahkan mungkin menjadi kekasihnya.
            Di tengah malam mereka bertiga kemudian pamit pulang. Dengan membawa sejuta hikmah teriring rasa syukur yang Agung kepada Tuhan atas karunia yang telah di berikan selama ini berupa kesehatan jasmani maupun rohani.
Pagi-pagi sekali Mbok Nah telah selesai menanak bubur merah putih. Untuk memperingati hari kematian kang karta. Sedangkan Qohar mempersiapkan daun pisang untuk bahan bungkusan bubur merah putih. Tak lupa jajanan tradisional ikut di sertakan dalam bungkusan daun pisang. Selesai mempersiapkan semuanya Qohar segera pergi menyambangi rumah teman-temannya para tetangga sebelah kemudian acarapun dimulai. Acaranya di Imami oleh mbok Nah sendiri. Di awali dengan bacaan Basmalah, Hamdalah lalu Istighfar kemudian Tahlil dan diakhiri doa.
            Acara prosesi peringatan kematian kang karta yang digelar sederhana itu telah selesai. Bubur merah putih itupun di bagikan dengan disertai oleh-oleh berupa jajanan tradisional berupa pisang, pepaya dan jeruk sebagai buah tangan. Mbok Nah lalu kembali mengisi rutinitasnya, pergi kesawah bersama Qohar dengan membawa pupuk kompos setengah karung.
            Sesampai dijalan raya perjalanan terhenti. Di ujung sana di sepanjang pinggiran jalan raya anak-anak muda Desa berkerumun menyaksikan arak-arakan rombongan pak Menteri yang tengah melintas entah kemana. Suara  klakson mobil mulai bersaut-sautan persis suara ambulans. Di tambah suara sirine meraung-raung memekakkkan telinga karena saking asingnya. Iring-iringan mobil pengawal Pak Menteri melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah perkampungan yang mulanya sunyi senyap mendadak penuh dengan gegap gempita euphoria kehidupan. Sekumpulan kambing dan kerbau  berlarian seperti ada rasa kaget yang tiba-tiba mendera. Tanpa diduga sebelumnya banyak binatang ternak berhamburan kejalan Raya. Ternak-ternak itu yang biasa diikat disepanjang pinggiran jalan Raya tiba-tiba lepas karena saking takutnya dengan keadaan yang drastis. Orang-orang kampung hanya bisa menyaksikan dengan pasang-pasang mata yang penuh kedongkolan disepanjang pinggiran jalan Raya yang menjadi tempat penggembalaan ternak-ternak na'as itu. Akhir dari semua itu adalah banyaknya binatang ternak yang luka-luka dan hilang karena lari sekencang-kencangnya tak tentu arah. Adapula yang mati tertabrak mobil pengawal Pak Menteri. Ternak yang mati itu diketahui  milik pak Suro, seekor kerbau dan Khoir satu ekor kambing.
            Dari pihak pengawal tak ada yang mau bertanggung jawab. Hanya satu pengawal yang terlihat berhenti lalu mengulurkan segepok uang, itupun karena aksi nekat pak Suro yang menghadang ditengah jalan, pak Suro yang berbadan tinggi dan berkulit hitam legam itu menuntut pertanggung jawaban pihak pengawal yang menabrak ternaknya. Segepok uang yang di berikan itu di taksir hanya bisa menebus seekor kerbau. Tak lama setelah salah satu pihak pengawal mengulurkan uang pada pak Suro mobil rombongan pengawal Pak Menteri yang terakhir itupun lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Seakan tak ada rasa bersalah  dan merasa sebagai pahlawan kesiangan. Tidak ada  rasa peduli dengan nasib dan ganti rugi kematian ternak-ternak yang lain.
            Peristiwa itu meninggalkan luka bathin yang mendalam bagi khoir atau biasa di panggil si punjul, karena jari jemari di kakinya semuanya berjumlah dua belas, enam buah jari di kaki kanan dan kirinya. seorang  anak yatim piatu yang setiap hari bekerja menggembalakan kambing sejak masih usia belia. Ia menggembalakan kambing milik pak Haji Malik dengan upah sepantasnya. Dari upah yang tak seberapa itu ia kumpulkan Rupiah demi Rupiah. Setelah terkumpul uang itupun ditasyarufkan untuk membeli seekor kambing betina ukuran sedang. Baru digembalakan beberapa hari kemudian akhirnya kambing yang hanya satu ekor itu mati dalam keadaan mengenaskan karena ditabrak oleh mobil-mobil rombongan pak menteri itu. Menyaksikan sandiwara nyata di depan mata hanyalah menyisakan trenyuh di dada. Mbok Nah dan Qohar lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju sawah untuk memupuk tanaman-tanamannya dengan pupuk kandang setengah karung itu..      
      
      
   
     
                                                       


                                 













Happy birtday


Mengapa penyesalan harus berlabuh
Di ujung senja
Di sudut-sudut sandiwara
Di akhir cerita 
Kini umurku berkurang setiap waktu  
Tanpa kusadari
Sebuah kenyataan
Menghadang
Menerjang 
Tak jua ku pahami
Dimana dan kemana ku harus melangkah 
Diantara serpihan-serpihan umur ku yang tersisa 
Akan kurangkai mozaik keindahan
Mengiring perjalananku




     




           

           




Hari-hari berlalu tanpa tiada terasa seiring berdzikirnya bumi sepanjang waktu. Musim berganti dan zaman akan selalu berbenah menuju peradaban yang madani. Para insan berlomba-lomba membangun jatidirinya yang seolah-olah hidup untuk selamanya. Kali ini musim kemarau telah bergeser dan berganti musim hujan. Semua mahluk hidup gegap gempita menyambutnya termasuk burung-burung kuntul yang menjelang musim hujan  biasanya akan di sertai  musim  kawin. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan bunga-bunganya. Luasan tanaman Padi membentang sejauh mata memandang. Mulai menguning. Rumput-Rumput keringpun mulai bersemi.
            Menyambut datangnya musim hujan kali ini sekumpulan Katak di segenap penjuru merayakan hari kemenangannya, hujan kali pertama. Dengan mengeluarkan suaranya yang khas seperti alunan melodi silih berganti mewarni kesunyian. Belalang-belalang kecil ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari melupakan musuh-musuh yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. Di saat-saat seperti itulah suatu kesempatan bagi sekumpulan Kadal untuk segera memangsanya. Tanpa harus bersiap-siap siaga tiba-tiba belalang seakan seperti menawarkan diri untuk di jadikan mangsa oleh kadal. Tanpa di sadari sebelumnya belalang-belalang kecil itu beterbangan persis di depan kadal. Telah menjadi semacam takdir dari yang kuasa jika petualangan hidup sang belalang akan berakhir tragis di depan sang kadal, demikian pula dengan nasib kadal yang harus menyerah pada takdir ketika berhadapan dengan sang musang. Burung-burung, Jangkrik, Siput, sekumpulan ikan dan binatang lainnya tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim hujan tahun ini. Pucuk-pucuk dahan dan ranting pepohonan mulai basah memperlihatkan kesegarannya.
            Pagi itu masih terlihat gelap suara kokok ayam sudah mulai  terdengar seakan-akan menyuruh si empunya untuk segera membukakan pintu dapur tempat di mana kandang ayam berada. Usai sholat shubuh Mbok Nah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memperingati hari lahirnya Qohar, lalu diambilnya beberapa bekas keringat di leher Qohar yang masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahirnya. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai sebuah bentuk penyadaran Jika sesuap nasi itu harus di dapat melalui jerih payah memeras keringat dan banting tulang demi kesejahteraan hidupnya.
            Sejumput daki Qohar di taburkannya ke dalam tungku bakal tempat pembuatan bubur.  Tanpa terasa dari kedua bola matanya yang cekung merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama anak-anaknya, bercengkrama, bersendau gurau, dan tertawa lepas. Dengan sepenuh hati merawat, membesarkan dan menyayangi tanpa ada batasnya namun kini tidak di ketahui secara pasti di mana keberadaannya. Walau mereka hakikatnya  tidak ada namun bagi Mbok Nah mereka ada untuk selama-lamanya. Kedua bola matanya tak henti-hentinya mengeluarkan bulir-bulir air mata yang terus menetes perlahan.
            Di dapur persediaan kayu telah menipis, hanya tinggal beberapa ranting. Di ambilnya kayu dari belakang rumah yang hanya tinggal beberapa lapis. Di ambilnya semua kayu yang ada hingga tinggal serpihan kayu-kayu kecil kemudian tanpa sengaja ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu seperti membentuk formasi sarang. Tanpa pikir panjang ia mengambil ranting kayu kecil lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat ada sesuatu di bawah gundukan serpihan-serpihan kayu-kayu kecil. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar, guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya.
            Teringat waktu itu sekitar dua bulan yang lalu cucunya kehilangan kura-kura kesayangannya hingga kemudian dua hari dua malam Qohar tidak mau makan. Telah berbagai cara Mbok Nah lakukan waktu itu namun Qohar masih saja ngotot dengan pendiriannya. Tidak mau makan selagi kura-kuranya belum juga di temukan, hanya air minum yang sesekali diteguknya  tanpa sepengetahuan Mbok Nah. Hingga suatu ketika dihari ketiga sewaktu Qohar terlihat lelah sehabis bermain Mbok Nah melihat Qohar sedang melahap sepiring nasi di ujung dapur. Betapa senangnya Mbok Nah waktu itu tapi didepan Mbok Nah Qohar masih menunjukkkan dirinya mogok makan. Akhirnya dengan tenang Mbok Nah mencarikan jalan keluarnya sembari memberi syarat. Qohar Akan dibelikannya marmut jikalau mau disuapi olehnya. Dengan malu-malu Qohar menyanggupi persyaratan itu. Sampai di kemudian hari Qohar merelakan marmutnya disembelih Mbok Nah untuk ritual penyembuhan Mansyur keponakan Mbok Nah yang telah satu minggu menderita penyakit kuning. 
            Kini adalah dua bulan yang lalu. Kura-kura mungil berekor pendek itu tetap saja seperti sedia kala ukuran dan bentuknya. Tak banyak terjadi perubahan pada fisiknya.
            Seikat serpihan Kayu ditaruh didapur lalu Mbok Nah beranjak pergi ketempat tidur Qohar. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang kecil agar tak lagi hilang sekaligus membuat kejutan pada cucunya. Benang yang terlihat tipis itupun di ikatkan pada kain sprai persis di dekat Qohar.  Kemudian kura-kuranya di taruh tepat di depan Qohar yang masih tidur.
            Menyadari ada sesuatu benda aneh yang bergerak-gerak di jari jemari Qohar di kegelapan fajar yang belum sepenuhnya terang ditambah lagi jendela-jendelanya yang masih tertutup rapat. Qohar terperanjat merasa takut dan gemetar. Ia segera lari kedapur namun tak didapati seseorang yang selama ini menjadi tempat bertumpu dan bermanja-manja ria. Ia lalu segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk santai di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.
Aku pancen wong seng tuno aksoro.
Ora biso nulis ora biso moco.
Nanging ati iki iseh nduwe roso.
Roso tresno koyo tumrape manungso.
Aku pancen wong cilik ra koyo rojo.
Iso mangan wae aku uwes trimo.
Nanging ati iki isih nduwe roso.
Jero ning bhatin sak tenane pingin kondo.
Pupus godhong gedang.
Ajang pincuk saiki wus ra kelingan.

Aku memang orang yang buta aksara.
Tidak bisa menulis  tidak bisa membaca.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Rasa cinta seperti manusia kebanyakan.
Aku memang orang kecil bukan orang kaya.
Bisa makan saja aku terima'bersyukur'.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Dari hati yang dalam ingin berkata.
Pupus'kuncup' daun pisang.
Piring dedaunan sekarang mulai terlupakan1.
       Kura-kura adalah binatang Reptil yang pertumbuhannya lambat, usianya bisa mencapai puluhan tahun, bahkan ada yang bisa mencapai ratusan tahun apabila terawat dengan baik.
Kura-kura mungil itu ditemukan Mbok Nah secara tidak sengaja sewaktu sedang menyiangi rumput di sawah. Dikiranya sebuah bulatan kecil berwarna hitam kecoklat-coklatan yang menyerupai helm mini itu adalah batok kelapa separuh yang mengambang. Begitu diperhatikan beberapa menit kemudian sesuatu yang menyerupai batok kelapa itu bergerak-gerak lalu berenang ke tepian guludan. Kura-kura mungil itu lalu diambilnya dan kemudian di bawa pulang.


Cukup lama kura-kura itu di pelihara Mbok Nah sebagai teman bermain Qohar sedari kecil.  Lama-lama kura-kura itupun menjadi akrab dengan keseharian Qohar hingga akhirnya kura-kura itu hilang entah ke mana.
       Waktu itu Qohar tengah asyik bermain dengan kura-kuranya diteras rumah hingga kemudian lupa mengandangkannya. Dengan terburu-buru ia pergi menyusul Mbok Nah kesawah, begitu pulang dari sawah dan mengetahui teman selama bertahun-tahun telah hilang tanpa di ketahui rimbanya. Seketika itu Qohar merengek menangis menyesali kelalaiannya. Qohar tak bisa menyimpan kesedihannya, hilang semangat hidupnya dan sempat linglung tidak mau makan hingga berhari-hari. Tidak tega membayangkan kura-kuranya terlantar ia tak sampai hati bisa menelan nasi meski Mbok Nah telah membujuknya berulang kali agar mau makan.
       "Maknyak! Kok malah nembang!." Teriak Qohar dengan nada marah.
       "Ada apa lee? Kamu mencariku?" Mbok Nah pura-pura bertanya.
       "Sudah tahu malah tanya. Apa maknyak tidak dengar saya panggil-panggil?!!."
       "Apa yang terjadi cucuku??." Selidiknya berbasa-basi.
       "Tidak usah tanya ayo kekamar." Ajak Qohar dengan terburu-buru.
       "Ada apa? Mau tidur lagi? Aku mau ke sawah." Bantah Mbok Nah.
       "Jangan begitu Mak."
       "Ada apa dulu?." Tanya Mbok Nah pura-pura  penasaran.
       "Ada setan Mak!." ucapnya serius.
       "Ooo ..kamu setannya?."
       "Serius Mak!"
       "Ya sudah nanti kalau ketemu biar ku makan. Kalau tidak ketemu kamu yang ku makan."
       "Ah .. Maknyak. Jangan bercanda terus!."
       "Maknyak serius Haar..."
       "Ya sudah ayo kita lihat.!." Rengek Qohar dengan penuh penasaran dan di hantui rasa takut.
       Mereka berdua menuju ke kamar lalu dibukanya dua jendela satu-persatu. Kura-kuranya nampak terlihat jelas namun Qohar tak mengetahui jika kura-kura itu ternyata diberi ikatan benang oleh Mbok Nah agar tidak memungkinkan untuk lepas dari tempat tidur.
       "Itu apa Qohar??." Tanya Mbok Nah sembari menunjuk ke arah kura-kura.
       "Itu kan Kura-kura mak!." Selorohnya dengan raut muka berbinar-binar.
       "Siapa yang bilang kalau itu setan. Sudah ayo ditangkap! Lalu di sembelih biar maknyak yang makan!." Perintah Mbok Nah sembari menakut-nakuti Qohar.
       "Maknyak gemblung apa! Maknyak kan tahu sendiri kalau aku suka bermain dengan kura-kura."  Dengan wajah menggerutu Qohar mengexpresikan kekecewaannya.
       "Siapa peduli, yang penting maknyak lapar."Jawabnya seolah tak ada rasa peduli.
       "Ahh..Maknyak! pokoknya jangan!.
       "Yo wis, kalau begitu kamu yang ku makan!." Sahut Mbok Nah menakut-nakuti.
       "Maknyak memang gemblung!."
            Karena saling ngotot  di antara keduanya akhirnya Qohar hanya bisa menangis tersedu. Dengan berurai air mata didekatinya kura-kura mungil itu lalu di ambil dengan sentuhan penuh kasih sayang. Mbok Nah pergi berlalu begitu saja meninggalkan Qohar menuju dapur. Setelah di perhatikan dengan seksama Qohar terperangah kaget bercampur heran bukan kepalang. Ternyata salah satu kaki kura-kuranya telah terikat benang. Terpikir di benak Qohar pasti ada dalang di balik semua ini. Teringat pesan Mbok Nah padanya dalam suatu kesempatan. Tak ada sesuatu tanpa ada sebab. Terciptanya tulisan pasti ada yang menulis. Begitupula dirinya dan alam seisinya pasti ada yang menciptakan. Lalu siapakah yang menyebabkan kura-kuranya terikat?, terbersit di pikirannya, siapa pelaku di balik semua ini kalau bukan neneknya sendiri. Ia pun langsung menemui neneknya dengan penuh dongkol. Menuduhnya tanpa basa-basi terlebih dahulu.
       "Maknyak sengaja menakut-nakuti Qohar! Qohar sama sekali tidak takut!."
       "Kok tahu?." Tanya Mbok Nah tanpa basa-basi  sambil tertawa sumringah.
       "Yaa iya to." Jawabnya penuh bangga.
       "Lalu kenapa kamu gatal minta tolong?."
       "Itu kan hanya pura-pura Mak!."  Kilahnya.
       "Apa??!!.Maknyak tidak dengar!."
       "Maklum, kan sudah tua. Tapi aku juga punya kejutan Mak!. Tunggu saja".  Kilahnya lagi dengan muka serius seperti mengancam.
       "Tantanganmu selalu ku tunggu cucuku. Maknyak tidak takut! Sekarang kamu makan dulu buburnya nanti keburu adem. Jangan lupa beri makan kura-kuranya." Ucapnya datar sembari mengingatkan.
       "Maknyak buat bubur?"
       "Iya, nyelametin hari lahirmu biar panjang umur dan sehat selalu”. Jawab Mbok Nah dengan bijak."Buburnya nanti di habisin yaa?." Sambungnya.
       "Baik mak." Katanya sambil tersenyum "Sudah di do'ain?". Tanyanya kemudian.
       "Sudah!" jawabnya singkat.
Mulai saat itu Qohar dengan setia merawat dan membawa kura-kuranya kemanapun dia pergi. Dengan hadirnya kura-kura di tengah-tengah keluarga Qohar seperti menemukan kembali kehidupannya yang baru.
Siang itu Mbok Nah pulang dari pematang seperti biasanya, dari kejauhan Mbok Nah melihat mobil merah silver di bawah pohon sawo di sebuah kebun miliknya. Mobil itu persis dengan warna mobil yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu pada saat mengais buah asem bersama Qohar. Tanpa pikir panjang Mbok Nah mencoba menemui si empunya namun tak di dapati seorangpun. Di longoknya seisi ruangan di dalam mobil dari balik kaca hitam. Tak ada seorangpun yang berada di dalam. Karena merasa benar dan mobil itu terparkir di area kebunnya Mbok Nah tidak takut menungguinya sambil duduk di cangkruk tak jauh dari pohon sawo.
            Dari rumah terlihat Qohar berlari tergopoh-gopoh seperti ada sesuatu yang ingin di utarakannya.
       "Maknyak ?!" Panggil Qohar dengan keras.
       "Ada apa cucuku?."
       "Maknyak di cari orang kemarin sore."
       "Kemarin sore kapan?."
       "Itu lho Mak sewaktu memulung buah asem."
       "Ooh, iya Aku ingat." Kata Mbok Nah mengangguk-angguk.
       "Dimana orangnya?."
       "Orangnya sudah menunggu dirumah!.Ayo Mak cepat!." Ajak Qohar terburu-buru.
            Di teras telah ada Bu Lela tetangga sebelah. Menemani tamu mengobrol. Mereka datang hanya berdua. Pak Amin ong gwie yang seorang Wartawan dan seorang lagi pak Puji, sopir pribadinya.
       "Ee bu Lela Silahkan masuk." Sapa Mbok Nah pada bu Lela. Lalu kemudian menyapa pak Amin dan pak Puji. "Silahkan masuk pak!. Pak Yusufnya tidak ikut pak?" Tanya Mbok Nah pada pak Amin.
       "Kebetulan pak Yusuf hari ini sedang ada meeting di kantor jadi saya yang di tunjuk mewakilinya. " Kata pak Amin. Lalu mereka duduk lesehan bersama di ruang depan.
       "Sampeyan kenal neng ndi? Kok di lura-luru1" Canda Mbok Nah pada Bu Lela. Seorang janda beranak tiga. Dengan bahasa jawa halus agar tak di ketahui oleh para tamu.
       "Tidak salah Mbok? Beliau ini cari Simbok. Tanya kesana ke mari akhirnya ya tak bawa ke sini. Wong yang namanya Aminah hanya kamu di kampung ini."
       "Lho adikmu namanya bukan Aminah?." Seloroh Mbok Nah.
       "Kuwi Atinah bukan Aminah!." Timpal bu Lela.
       "Oo bunder!. Kamu kok dungaren belum ke sawah?" Tanya Mbok Nah setengah nerocos.
       "Habis nyuci pakaian setumpuk, capek. Ke sawah ba'da dzohor wae." Kata bu Lela sambil tangan kanannya memegangi pinggangnya.
       "Yo wis nanti bareng yoo?."
       "Yoo..."
Lalu Mbok Nah kembali menyapa dua orang tamunya.
       "Jangan sungkan-sungkan pak, memang beginilah keada'ane wong ndeso."
       "Lela! tolong jagongi riyen, tak buat minum dulu saja'e kok kering!." Pinta Mbok Nah pada bu Lela.
       "Ya Mbok!." Jawab Bu Lela singkat. Lalu dengan agak sungkan bu Lela, seorang janda yang paling hobi ngegosip itu mencoba memberanikan diri untuk menanyai perihal pembelian tanah kapling.
       " Ma'af ya Pak? Kalau boleh tahu nanti rencananya lahan kaplingnya untuk membangun apa?" tanya bu Lela sungkan.
       " Untuk membangun pabrik kopra, di sini kan belum ada apalagi dari sumber yang dapat di percaya bahan baku kelapa di sini sangat murah dan didukung infrastruktur jalan yang telah memadai, berangkat dari dua faktor tersebut kami dari pihak perusahaan melihat prospek ke depannya sangat cerah, dari itu kami berniat membangun pabrik kopra di kampung ini setelah sebelumnya dikaji terlebih dahulu dampak Amdalnya." Urainya panjang lebar menjelaskan tujuan pembelian tanah kapling.
"Oh begitu." Kata bu Lela menganggau-angguk.
            "Apakah di Kampung ini sering ada kejahatan bu?" Kata pak Amin dengan merendahkan suaranya.
"Tidak ada pak! Kampung ini Alhamdulillah selalu aman." Kata bu Lela meyakinkan. "Memangnya kenapa pak" Tanyanya kemudian.
            "Begini bu, sepanjang perjalanan kami merintis usaha kami lebih mengutamakan keamanan disamping dua faktor penting yaitu sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga ke depannya kami bisa lebih fokus dalam pengembangan usaha tanpa banyak hambatan. Intinya dengan iklim usaha yang kondusif kami optimis kemajuan perusahaan akan terkatrol dan bahkan mungkin bisa berkembang dengan pesat."
            "Jadi nomor satu itu keamanan ya pak?" Ujar bu Lela berkesimpulan.
            "Iya, keamanan menjadi syarat yang mutlak." 
            Bu Lela mendengarkan penjelasan Pak Amin dengan sungguh-sungguh seperti seorang anak TK  yang khidmat mendengarkan dongeng dari gurunya.
            "Qohar!." Panggil Mbok Nah dengan suara datar.
            "Ada apa Mak?."
            "Gula putihnya habis. Sana belikan, ini uangnya!."
Setelah memerintah Qohar Mbok Nah lalu kembali ke ruang tamu kemudian mulai membuka topik pembicaraan.
            "Bagaimana? Bapak jadi beli tanah yang di seberang jalan itu?."
            "Masalah itu jangan di tanya yang penting bagaimana dengan pihak penjual, apa sudah di beri tahu?."
       "Sudah Pak, kebetulan Lela ini  saudaranya yang punya tanah." Ujarnya sambil ibu jari menunjuk lurus ke arah bu Lela.
       "Lela!. Tolong kang Sarwo suruh ke sini mumpung ada pak Amin." Pintanya kepada bu Lela.
       "Kang Sarwo sudah ke sawah, kemarin Aku di beritahu, katanya sih terserah. Bagi siapa saja yang bisa menjualkan tanahnya akan di beri komisi sepuluh persen. Kang Sarwo sudah keburu akan pergi bulan depan ke Lampung pengen buka usaha di sana." Jawabnya panjang lebar.
       "Yo wis, kalau begitu tinggal bu Marni Pak." Kata Mbok Nah sambil menahan nafas. “Kemarin Saya dari rumah bu Marni. Katanya, kebunnya di jual dengan harga biasanya, tetapi dengan syarat beberapa pohon kelapa dan durian yang berada tepat di pinggir jalan tidak ikut di jual, jadi Bu Marni boleh kapan saja mengambilnya." Sahut Mbok Nah, menjelaskan dengan detail.
       "Gampang!. Semuanya bisa di atur asal jangan ada sengketa di kemudian hari." Ujar pak Amin lugas.
       Dengan terburu Mbok Nah mohon ijin ke dapur mengambil minuman dan suguhan berupa pisang dan bubur merah putih yang kebetulan hari itu sedang merayakan hari ulang tahun Qohar. Lalu kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk mencicipinya.
       Setelah semuanya jelas pak Amin memberikan uang muka kepada Mbok Nah agar akadnya menjadi lebih jelas di saksikan bu Lela dan pak Puji. Lalu kedua orang tamu itupun segera pamit dengan memberikan dua buah amlop lagi kepada Mbok Nah dan bu Lela. Sebelumnya Mbok Nah terlebih dahulu membawakan oleh-oleh berupa kacang kering dan ubi jalar setengah karung. Dalam pertemuan itu di anggapnya sebagai pertemuan awal, rencananya tiga sampai empat hari lagi pak Amin akan segera melunasi sekalian mengurusi surat-surat tanah. Dalam pertemuan itu pula di jelaskan latar belakang serta maksud dan tujuan pembelian tanah kapling. Dan telah tercapainya kesepakatan diantara ketiga belah pihak dengan akad Muwakkalah.
                          
                                                          

                                    



















Zaman Belanda


Sejarah
Kepadanya
ku berguru 
Ku mengetuk pintu 
Tempatku mengadu
Tempatku berpijak
Sejarah
Kepadanya ku berpegang
Berjalan
Beroleh petunjuk 
Kutafakuri  
Aku kalah tanpa sejarah 
Tanpa sejarah ku menyerah 
Ku resah tanpa sejarah
Tanpa sejarah aku pasrah.


     







             



Terhitung telah dua hari Mbok Nah tidak ke sawah, pagi ini atau lusa harus ke sawah karena di khawatirkan rumput liar semakin bertambah, padi tak terairi dan mengering. Sayuran-sayuran apabila tidak di pangkas akan menjalar ke mana-mana. Dicarinya parang untuk keperluan penyiangan rumput-rumput liar disepanjang tepian guludan namun tak juga di dapatinya .
       “Qohar ! dimana kau simpan parangnya?.”
       “Sepertinya masih di teras." Jawab Qohar, matanya menerawang "Saya lupa naruhnya. Mau ke sawah Mak?”.
       “Ya. kamu dirumah apa ikut?”
       “Aku ikut, bawa nasi apa tidak Mak?”
       “Terserah kamu, hari ini Maknyak puasa. Ini hari kamis.”
       “Bungkusin ya Mak?”
       “Ya. Pakai sambal tidak?.”
       “Tidak usah!.” Ucapnya sambil geleng-geleng kepala.
            Setelah semua beres Mbok Nah dan Qohar berangkat ke sawah berjalan kaki setapak demi setapak dengan di selingi sendau gurau di sepanjang perjalanan. Tanpa terasa mereka sampai di sawah.
       “Alhamdulillah sudah pada menghijau.” Gumamnya dalam hati.
       “Mulai dari sini saja cucuku." Ajak Mbok Nah pada Qohar memulai pekerjaan menyiangi rumputan liar. "Bismillahirrahmanirrakhiim nyambut gawe1.”
             Sambil mencabuti rumput mereka berdua berbincang-bincang ringan. Tentang bagaimana susahnya hidup di zaman penjajahan hingga bermuara pada sejarah hidup Mbok Nah semasa mudanya.
            Waktu itu tahun Empat puluhan negeri ini masih di jajah oleh Belanda. Suatu hari di pagi buta Mbok Nah kedatangan seorang tamu dua orang serdadu Belanda. Waktu itu Mbok Nah masih berumur antara empat belas sampai lima belas tahun sedangkan adik Mbok Nah Sukarti masih berumur sembilan tahun. Di pagi buta itu kedua orang tua telah lebih dulu pergi ke lereng-lereng gunung mencari umbi-umbian berupa talas, kerot, ganyong dan sejenisnya bersama kang Imran kakak Mbok Nah satu-satunya. Semua itu untuk makanan pokok sehari-hari.
       Biasanya sebelum orang tua pergi kami sering di wanti-wanti agar jangan takut di dalam menghadapi siapapun termasuk terhadap para serdadu belanda, bahkan kalau perlu perdayai para serdadu belanda agar mau memberikan bahan makanan. Waktu itu mencari makan susahnya tiada terkira. Waktu itu mencari makan tak segampang mencari ikan.
            Awalnya kedatangan dua orang tentara Belanda membuat bulu kuduk Sukarti merinding namun Mbok Nah berusaha menenangkan Sukarti yang terlihat ketakutan. Setelah di ketahui perihal maksud dan tujuan kedatangannya suasananya menjadi lebih cair. Sukarti tak terlihat ketakutan lagi, rupanya maksud dan tujuan mereka datang hanya untuk mencari Kang Umar seorang gerilyawan yang selama ini menjadi pahlawan di kampung ini. Terkenal sakti, tubuhnya tak mampu di tembus ratusan peluru. Seorang jawara kampung andalan orang-orang pribumi. Ketika di tanyakan mengenai keberadaannya, Aku dan Sukarti menjawab tidak tahu menahu, namun karena di desak terus menerus. Kamipun mau membuka rahasia dengan syarat di beri imbalan. Tetapi karena mereka tidak membawa apa-apa maka kami di beri beberapa lembar mata uang Belanda.
            Dengan semburat kesedihan Mbok Nah memberitahukan keberadaan Kang Umar. Sebelum memberitahukan keberadaan kang umar, terlebih dahulu Mbok Nah menyuruh Sukarti agar ke dapur. Mbok Nah hendak merencanakan sesuatu, disuruhnya Sukarti mengambil getah air tuba di belakang rumah. Setelah di dapat lalu supaya di sajikan bersama teh manis.
            Setelah instruksi di jalankan Mbok Nah kembali menemui dua serdadu belanda itu lalu memberitahukan keberadaan kang Umar yaitu di gua Ngerong. Jaraknya lumayan jauh dari kampung Bendo yaitu sekitar tujuh kilo meter. Sebelum memberi tahu tempat persembunyian kang Umar dirayunya terlebih dahulu kedua serdadu Belanda itu hingga kemudian mereka bisa betah berlama-lama di rumah Mbok Nah. Dengan mimik serius Mbok Nah memberitahu arah jalan untuk menuju gua Ngerong yang terkenal medannya sangat sulit itu. Tempat persembunyiannya itu telah bertahun-tahun menjadi markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar.
            Sebelum Mbok Nah menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah di campur dengan air tuba. Mbok Nah terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit di bagian pinggulnya untuk mengalihkan sebuah perhatian. Setelah itu teh manis di suguhkan dengan tersenyum simpul. Tak lama kemudian setelah meminum teh manis buatan Sukarti dua orang serdadu itupun pergi, lalu Mbok Nah dengan cekatan membagi tugas kepada Sukarti agar segera memberitahukan pada pak Abdullah, tetua kampung perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah di ketahui tentara Belanda. Sementara itu Mbok Nah mengawasi dari jauh arah dan langkah kedua serdadu itu. Tidak lama hanya berselang beberapa menit kemudian Mbok Nah dengan mata kepala sendiri menyaksikan dua orang itu ngajal, menggelonjot hampir bersamaan tepat diatas lahan perkebunan kopi yang tidak jauh dari perkampungan. Setelah keduanya di pastikan meninggal Mbok Nah mendekati mayat-mayatnya. Dari kedua mulutnya keluar busa yang tidak berukuran, lalu satu persatu dari pakaian mayat-mayat itu di geledah. Mbok Nah mendapati dua pistol laras panjang, dua puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar uang gulden mata uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu di serahkan kepada pak Abdullah Untuk keperluan para pejuang kemerdekaan. Selang beberapa minggu kemudian tersiar berita mengenai penangkapan Kang Umar oleh tentara Belanda, selanjutnya Kang Umar di penjarakan dan di asingkan di pulau Karimunjawa hingga akhir hayatnya.
            Sukarti kini sudah hidup berkecukupan di negeri sakura bersama Meiji Shiojiro suaminya.
            Usai bercerita sebagian perjalanan hidupnya semasa dulu. Mbok Nah tak mampu membendung kesedihan. Entah kenapa tiba-tiba kedua bola matanya sembab, tak kuasa menahan air mata mengingat kegetiran masa lalu meski hanya bulir-bulir tipis. Qohar berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.
       “Jadi Maknyak dulu jadi seorang pembunuh para penjajah? Aku jadi takut kalau melihat Maknyak..” Canda Qohar.
       “Badanku malah jadi menggigil gemetaran karena melihatmu.” Balasnya dengan mimik serius.
       “Kenapa Maknyak?”
       “Lha wong kamu kayak tuyul, nggak mau pake baju.” Timpal Mbok Nah.
       “Segera pakai bajumu, matahari sudah terasa semakin menyengat.” Sambungnya.
       “Ya Maknyak. Tapi?”
       “Apa ?”
“Maknyak kok kelihatan!.” Canda Qohar sembari jari telunjuknya menunjuk lurus ke arah Mbok Nah.
“Kelihatan apanya?.” Tanyanya dengan memperhatikan tubuhnya dari atas hingga ke bawah.
“Itu…?” kembali ujung jari telunjuknya menunjuk lurus.
“Apanya cucuku?.” Kali ini pertanyaannya semakin bertambah geram.
“Kelihatan bajunya.” Jawabnya kemudian dengan nada santai.
“Ooo…dassar cucu ndableg!.” Dimuntahkannya rasa kesal itu lalu tersenyum cukup lama.
Mbok Nah hanya bisa menelan ludah, berusaha menyimpan kekesalannya. Sementara itu Qohar diam sejenak seperti patung sembari meringis manja. Sebuah kemenangan telah diraihnya, satu upaya untuk menunjukkan jati dirinya sebagai cucu seorang Mbok Nah. Perempuan tua tahan banting yang senantiasa menantang takdir dan tidak ingin menyerah kepada nasib.Demikian, siang itu Qohar tiba-tiba seperti menemukan senjata super mujarab untuk mengalahkan neneknya. Mbok Nah sendiri mengakui kekalahannya, sudah merasa kesulitan mencari kata-kata ampuh untuk mengimbangi atau bahkan mengungguli kata-kata cucunya. Betapapun akhirnya Mbok Nah berhenti pada satu titik sebuah kepuasan meski terasa menjengkelkan.   





                                                             













Surprise 



Malam ini Kutemukan sebuah kado  
Ku dapati sandiwara kecil menghiasi bumi
Kusaksikan air laut bergulung setinggi pohon-pohon  
Lalu menyapu daratan 
Gunung-gunung beterbangan seperti kapas 
Lautan manusia mengambang  diliputi ketakutan 
Dan Aku menganga
Nanar berselimut kalut 
Aku berlari
Berlindung
ku sebut Asmanya dalam sebuah mimpi.




           












Ketika matahari telah merangkak naik hingga sepenggalah ketinggiannya biasanya Qohar sudah memohon diri untuk pulang terlebih dahulu. Tapi tidak dipagi itu. Saat itu dari kejahuan terlihat Doni dan Amar digubuk sawah tetangga. Mereka melambaikan tangan mengajak Qohar untuk bergabung. Qohar lalu memohon diri untuk ikut teman-teman kehutan Jati milik Pak Haji Badawi.
       “Maknyak!. Aku ke hutan Jati sama teman-teman!” Ujar Qohar berpamitan untuk berpetualang ke hutan jati.
       “Ya hati-hati.” Ucap Mbok Nah berpesan.
            Di dalam hutan jati itu banyak ditemui berbagai jenis pepohonan lain selain hutan jati. Di tengah-tengah dan sepanjang pinggiran hutan Jati banyak di temui pohon mangga liar, jengkol, dan jambu Monyet. Sayangnya Hutan itu telah lama terlantar ditinggal pergi pemiliknya ke Kota. Hanya sekali dua kali dalam setahun dikunjunginya. Hutan jati itu tidak terawat dan terabaikan, sementara dikanan kiri hutan jati hanya tanah kosong yang banyak ditumbuhi ilalang dan semak-semak. Saban hari tidak sedikit orang-orang kampung yang sengaja ke hutan tersebut untuk sekedar mencari kayu maupun mencari buah Jambu dan Jengkol.
            Didalam hutan Qohar dan teman-teman berlari-larian, bermain petak umpet dan bersenandung Ria.
Gundul-gundul pacul-cul gembelengan.
Nyunggi1-nyunggi wakul2-kul gelelengan.
Wakul ngglempang3 segane dadi sak ratan
Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.
 Seorang anak berkepala pelontos berjalan dengan sempoyongan.
 Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.
 Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.4
Udara di dalam memang lebih dingin. Qohar memandang langit-langit hutan yang senantiasa menghadang ribuan percikan sinar mentari. Setidaknya Qohar bisa mengingat kembali sepenuhnya kata-kata Mbok Nah beberapa hari yang lalu, mestinya semuanya benar. Lepas dari kenyataan bahwa di dalam hutan itu suasana di siang hari tak ubahnya seperti suasana pada malam hari, terasa mencekam apabila tanpa terdengar suara ayam-ayam hutan berkokok serta burung-burung berkicau dan jerit lirih binatang-binatang kecil lainnya. Tetapi kesan teduh, angker dan sejenisnya tak terbayang sama sekali di benak anak-anak kecil itu. Didalam hutan jati itu pula berjajar pohon-pohon besar lainnya, pohon mahoni, kapuk randu dan beringin. Sementara itu persis di bawah pohon-pohon besar di penuhi daun-daun kering yang menebal dan akan terus bertambah sampai tiba masanya musim penghujan. Lalu lambat laun dedaunan kering itu menjadi humus, membaur kedalam tanah. Meski panas terik matahari begitu panas, tidak seberkas sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Dengan hembusan angin yang sepoi-sepoi menjadikannya betah berlama-lama bermain didalamnya.
Lama-lama rasa bosan kian merasuk diantara teman-teman Qohar, apalagi Amar yang berbadan gendut dan mempunyai kebiasaan ngorok semenjak kecil itu sudah mengajukan beberapa syarat. Pada syarat-syarat tertentu yang diajukan secara khusus ia bahkan akan memboikot permainan petak umpet apabila batas  waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi. Ada satu hal yang unik dari obesitas yang mendera Amar yang sewaktu masih kecil sangat kurus itu. Suatu hari Amar yang kurus kering itu pulang dari mengaji Alqur’an di musholla, karena di dera rasa haus dengan serampangan ia meminum sebungkus cairan berwarna kuning di atas meja yang di sangkanya teh manis. Rupanya sebungkus cairan berwarna kuning itu adalah minyak goreng seperempat liter yang diminumnya sekaligus. Ibunya biasanya memang mendapatkan bungkusan teh manis dalam plastik sehabis dari pengajian, baik itu pengajian senenan, selasanan, maupun rebonan. Aneh memang, tetapi atas karunia Tuhan pelan-pelan Amar yang kurus kering itu bobotnya bertambah dari hari ke hari.
Selesai bermain petak umpet di dalam hutan mereka akhirnya pulang. Dalam perjalanan pulang hampir saja Doni yang sebelah matanya berwarna putih dan tidak bisa melihat itu menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam hutan yang melintas didepan Doni tetapi urung ditangkap karena anak-anak ayam hutan tersebut lari kedalam semak-semak berduri. Anehnya anak-anak ayam itu melintas dijalur setapak yang di laluinya tanpa diketahui dua orang rekannya, hanya Doni yang tahu. Sungguh sesuatu hal yang ganjil, seperti menyeruak sesuatu yang berbau aura mistis tetapi Doni sengaja merahasiakannya karena dirinya ketakutan, ia bermaksud menceritakan kejadian aneh itu setelah sampai di rumah. Kali ini mereka bertiga melewati perkebunan singkong yang luas, tidak seperti biasanya melalui jalur setapak Qohar kemudian memotong jalan mengambil jalan pintas menuju kampung, sengaja pulang tanpa mampir ke sawah terlebih dahulu untuk menemui neneknya memohon diri pamit pulang.
            Lama tidak kunjung kembali Neneknya mulai waswas. Pikiranya mulai dihinggapi perasaan khawatir. Ia menduga mungkin telah terjadi apa-apa pada cucunya. Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya, Kang Aryo tetangganya yang hilang sewaktu mencari kayu di dalam hutan jati itu. Hanya sepikul kayu waktu itu yang didapatinya, beberapa hari kemudian baru di temukan jasadnya tanpa kepala. Jasad kang Aryo yang tanpa kepala itu ditemukan tepat di atas tumpukan ranting-ranting kayu jati yang mirip sebuah sarang burung raksasa. Maka tak heran meski tak ada yang menakut-nakuti, rasa khawatir dan takut kehilangan cucu semata wayangnya terus bergelayut dan terus menerus membayanginya.
       “Rasanya aku belum siap melepas cucuku. Aku harus tahu keadaannya sebelum semuanya menjadi bubur.” Pikir Mbok Nah dalam hati.
            Di laluinya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa. Sesampainya di hutan, kekhawatiran Mbok Nah semakin bertambah. Di dalam hutan itu tak di jumpai sama sekali seorangpun, meski telah mengitari berulang kali, tidak ada satupun jalan setapak yang luput dari penelusuran Mbok Nah. Rasa lelah dan letih tiada lagi terasa, sementara kedua bola matanya tetap memperhatikan sekitar hutan jati tanpa jemu, dari kedua bibirnya yang telah mengerut tidak henti-hentinya mengadu dan mengucap asma Allah.
Yaa Allah Gusti..Dimana engkau sembunyikan cucuku Ya..Rabb. Astaghfirullaahal adziim. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini Gusti. Hanya kepadamulah ku memohon ampun.
            Siang itu kegalauan hatinya di tumpahkan. Ia berjanji untuk selalu ta’at dan senantiasa menjauhi larangan-larangannya.
Ya Allah Yaa Rabbi, jika engkau kembalikan cucuku akan ku tambah ketaatanku padamu Ya Allah. Menaati perintahmu dan menjauhi laranganmu. Ya Allah. Bukakanlah pintu maaf bagi hambamu yang nista ini Yaa Allah.
            Usai mengadu kepada Tuhan Mbok Nah seperti mendapat ketenangan. Dalam hatinya meyakini jika Qohar mungkin telah pulang terlebih dahulu bersama teman-temannya. Dengan berat hati ia langkahkan kakinya pulang kembali menuju sawah tempatnya menyiangi rumput sembari menanti kepulangan cucunya. Siapa tahu Qohar mencarinya, begitu pikirnya dalam hati. Begitu melangkahkan kaki beberapa langkah, Mbok Nah seperti melihat seorang kakek berjubah putih tak jauh dari tempatnya berdiri. Awalnya bulu kuduk Mbok Nah merinding begitu melihat seorang kakek berjubah putih tanpa memperlihatkan muka, hanya terlihat jubah dan punggungnya. Namun setelah terlihat menoleh dan menyiratkan senyum rasa takut itu mencair menjadi suasana yang penuh kehangatan. Tanpa sepatah kata terlebih dahulu Kakek berjubah putih itu lalu memberi petuah
 “pulanglah!”. 
            Dalam hati Mbok Nah ingin mengutarakan sesuatu hal, sementara mulutnya seolah terkunci rapat-rapat, terasa berat untuk melafadzkan sebuah kata-kata. Akhirnya Mbok Nah pulang dengan memendam beribu tanda tanya. Seakan ia tidak percaya dengan peristiwa itu, baginya ia seperti berada dalam kisaran dunia mimpi. Padahal logikanya ia tidak perlu takut meski hanya menanyakan sesuatu.
            Dirumah Mbok Nah mendapati Qohar telah menenteng sepiring nasi lengkap dengan lauk beserta lalapan di dalam kamarnya. Dengan nada menggerutu Mbok Nah ngomel dari kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar melepas panas dan gerah.
“Masih ingat nasi!”.
“Tidak! saya ingat piring.” Jawabnya serampangan.
“Kenapa tidak sekalian kamu makan saja piringnya biar kenyang.” Timpal Mbok Nah seperti menantang Qohar sambil menahan senyum.
“Iya. Nanti.” Ucapnya enteng sambil cengar-cengir.
“Awas kalau tidak dihabiskan!” Ancam Mbok Nah sambil mengambil ember sekalian hendak mencuci pakaian.      
Sehabis mandi dan mencuci pakaian, Mbok Nah memanggil Qohar dengan nada tinggi.
“Qohar! sini kamu!”      
Diambilnya sapu lalu dipukulkan ke tubuh Qohar dengan keras. Sebagai sebuah bentuk hukuman demi kedisiplinan dan kemandirian karena sehabis makan tidak mencuci piringnya.
“Kenapa piringnya tidak kamu cuci?”
“Lupa Mak!.”
“Apa? Ucapkan sekali lagi!”
Mbok Nah kali ini lebih tegas dari biasanya karena itu adalah sebentuk metamorfosa dari sebuah rasa sayang yang tulus darinya. Seandainya rasa sayang yang tulus itu telah lenyap dari dirinya maka cucu semata wayangnya akan dibiarkan begitu saja menjadi anak manusia liar yang hidup tanpa aturan. Sementara qohar hanya terdiam membisu, tak terucap sepatah katapun dari mulutnya lalu tak lama kemudian ia melafadzkan beberapa patah kata.
“Maknyak! Aku pergi.” Ucapnya datar.
“Kemana?”
“Main.. “
“Ingat! kalau main jangan nakal jangan suka ngerjain teman dan jangan lupa ingat waktu.”            Begitulah pesan itu sering terucap dari bibir perempuan tua berambut perak itu setiap kali Qohar akan main ke rumah teman atau disaat-saat akan pergi tanpa dampingan darinya.      Tanpa sepengetahuan Mbok Nah Qohar main ke rumah Toni, kedua orang tuanya serta adiknya pergi kondangan ke rumah teman sejawat di luar desa menghadiri acara perkawinan kang Badrun yang terbilang masih kerabat dekatnya, sebuah kebetulan. Sementara Toni tidak di ajak serta supaya jaga rumah. Jarak rumah Toni dengan rumah Qohar tidaklah jauh, hanya di batasi tiga bangunan rumah dan beberapa petak kebun pekarangan. Kepada Toni Qohar menuturkan jika dirinya telah mendapat ijin dari Mbok Nah dengan tujuan supaya di ijinkan untuk tinggal dan menginap semalam. Bak di sodori uang, Toni tak bisa menolak karena dirinyapun memang kesepian dan kebetulan tanpa di komando teman itu hadir dengan sendirinya dengan menawarkan diri.   
            Sore itu Qohar melakukan aksi nekat, ia tak memberitahukan perihal keberadaannya. Ia pikir Mbok Nah sudah tidak lagi mencarinya karena baru saja di marahi. Sebenarnya di dalam hati Qohar berkecamuk antara bilang mengenai keberadaannya atau tidak sama sekali. Ia seperti kesulitan membohongi diri sendiri, hati kecilnya yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terus bergejolak, mendesak agar berterus terang dan jujur perihal di mana keberadaannya sekarang agar tak membuat neneknya gusar dan gundah di liputi tanda tanya. Tapi benih-benih nafsu agaknya terus membiak, menyatu dan menguasai akal beserta hati nuraninya. Rasa khawatir lambat laun kian tergerus dengan sendirinya karena terobati dengan kehangatan bercengkrama, guyonan diantara keduanya.     
            Kekhawatiran rupanya tak hanya berpihak pada Qohar semata, begitu pula pada diri Mbok Nah. Tidak biasanya di waktu menjelang maghrib Qohar masih di luar rumah. Biasanya di waktu-waktu seperti itu Qohar sudah mandi dan terlihat rapi. Menunggu saat-saat adzan maghrib. Menjalankan sholat lalu pergi mengaji ke musholla, tapi sore itu tidak.
Setiap kali selesai waktu isya’ sejauh apapun dan di waktu kapanpun Mbok Nah selalu dengan setia dan sabar menunggui, menjemput, dan terkadang pula menggendongnya pulang. Walau Mbok Nah telah ringkih tapi tidak  menyurutkan semangatnya untuk tetap setia menjemput Qohar dari acara mengaji Alqur'an. Karena hanya Qohar satu-satunya pengganti suami dan anak-anaknya untuk tempat berbagi dan bercengkerama.
            Menjelang petang Mbok Nah duduk di teras depan dengan tatapan mata kosong, hatinya bergejolak dan bertanya-tanya lalu mencoba mengingat perkataannya tempo hari. Mungkinkah perkataannya sanggup membuat hati Qohar yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terluka?    
            Kembali Mbok Nah merenungi nasib dan perjalanan hidup cucu satu-satunya itu. Sejak kecil tumbuh dan berkembang tanpa asuhan kedua orang tua, hanya dirinya satu-satunya orang  yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya dengan berbagai keluh kesah yang ada. Walau bagaimanapun belaian kasih sayang darinya akan tetap di harapkan. Mbok Nah yang seorang diri berusaha menyadari kekurangannya, tetap setia mencurahkan segenap kasih sayangnya.      
Adzan maghrib telah berkumandang kekhawatiran Mbok Nah akan keberadaan Qohar semakin merapat di benaknya. Perasaan takut mulai menghinggapi pikirannya, menunggu dan terus menunggu hingga gerah, lalu kemudian mencoba berikhtiar menanyai para tetangga satu persatu tetapi hasilnya nihil, dari keterangan para tetangga tidak juga ia dapati jawaban pasti mengenai keberadaan dan keadaannya.
“Nyari siapa Mbok ?” Tanya kartinah, tetangga sebelah yang hendak pergi ke Surau untuk menunaikan  Ibadah  sholat  maghrib.
“Nyari cucuku gini hari kok belum juga pulang. Apa Mbok Karti tau di mana cucuku?.”
“Aku tidak tahu Mbok. Aku baru saja pulang dari rumah mertua.” Jawab Mbok Karti.   
“Kalau lihat Qohar tolong suruh pulang ya Karti?” Pinta Mbok Nah memelas.    
“Ya Mbok!.” 
“Kok maghrib-maghrib baru nyari Mbok? tidak tadi sore.” Sergah Mbok Mini yang juga hendak ke Surau bersama Kartinah, seakan ia ingin menyalahkan Mbok Nah.
“Saya kira ya akan pulang seperti biasanya, tapi setelah ku tunggu sampai maghrib kok masih juga belum pulang, bikin pegal hatiku saja.” Kata Mbok Nah menggerutu sambil ngeloyor pergi meninggalkan dua orang tadi.      
            Dengan tergopoh-gopoh Mbok Nah lalu pergi ke rumah pak RT meminta pertolongan. Belum kelar ke rumah pak RT hujan sudah mulai turun setelah sebelumnya langit mendung memayungi seluruh perkampungan. Mbok Nah malam itu mengakhiri pencarian karena sepertinya hujan akan turun lebat dengan ditandai datangnya angin kencang dan suara   gemuruh gledek di sertai petir yang terus menyambar.     
Dengan wajah lesu Mbok Nah pulang diliputi kekecewaan. Rasa dongkol, khawatir, cemas bercampur menjadi satu seperti bubur ayam. Malam itu Mbok Nah mengambil air wudlu  lalu melaksanakan sholat-sholat sunnah. Duduk bersimpuh mohon ampun kepada Allah. Selesai mengadu kepada Allah terpikir olehnya jujugan saudaranya satu persatu. Ipar, sepupu, sampai kemenakan.
Kalau tak ada aral melintang besok pagi ia akan menyambangi saudara-saudaranya, pikirnya siapa tahu Qohar menginap di rumah salah satu saudara terdekatnya. Sehabis mengadu kepada Rabbnya Mbok Nah lalu ke dapur untuk makan malam. Malam itu sesuap nasipun tak bisa tertelan, pikirannya terus teringat cucu satu-satunya. Tidak ada nafsu makan, tidak ada gairah hidup, tidak ada keceriaan dan tidak ada cerita-ceritaan di malam itu.     
Di tengah malam kedua orang tua Toni pulang dari kondangan. Tiga kali mengucap salam Toni baru terbangun, karena tertidur pulas sehabis guyonan semalaman dengan Qohar. Sebenarnya Qohar sewaktu ayahnya toni mengucapkan salam yang pertama telah terdengar  karena terkadang biasanya di tengah malam ia di bangunkan neneknya untuk sekedar di ajak sholat tahajjud tetapi malam itu Qohar tak berani membuka pintu, ia menunggu sambil mencubiti kaki Toni agar secepatnya terbangun. Toni lalu terbangun dan membukakan pintu.    
“Kok lama sekali?” Tanya ayahnya pada Toni.
“Cari gemboknya dulu.” Jawabnya beralasan.
“Lho Qohar kok di sini. Apa tidak di cari Mbok Nah nantinya?” Tanya ibunya  pada Qohar begitu pintu terbuka.     
“Tidak kok budhe.” Jawab Qohar membela diri.
“Yo wis. Ini berkat1nya di makan!.” Di dalam ada bolunya sama pisang. perintahnya pada Toni dan Qohar.
Selesai makan Qohar memohon diri.
“Saya pulang dulu ya Pakdhe?”  Pintanya dengan polos.
“Jangan! sudah tengah malam, tidur di sini saja sama Toni, nanti pagi saja pulangnya, di luar masih gerimis.” Ayah Toni melarangnya pulang. Rencana pulang pun urung di lakukannya. Malam itu Qohar tidur di rumah Toni. 
            Di saat shubuh menjelang mulai terdengar suara kokok ayam bersaut-sautan dari rumah ke rumah seperti terdengar irama yang indah. Menjadi suatu pertanda akan datangnya fajar.  Mengulang siklus. Matahari kembali mempercikkan sinar merahnya di ufuk timur, awan Menumpuk membentuk sebuah formasi dan memperlihatkan keindahannya lalu menjelma menjadi awan putih dan terciptalah pagi. Alam yang senantiasa memamerkan sayap-sayap keagungan Tuhan. Begitu bangun tidur Qohar segera pamit pulang tanpa mencuci muka terlebih dahulu. 
            Di pagi buta Mbok Nah telah memulai menata buah pisang yang akan di bawa sebagai buah tangan untuk saudaranya, kang Imran. Sambil sekalian di mintai tolong agar di caritahukan keberadaan Qohar. Belum kelar menata pisang terdengar suara ketukan pintu. Lalu tak lama kemudian di iringi salam.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum salam..”    
Di bukanya pintu dengan perlahan dan ketika pintu telah terbuka ia terkejut bukan main, perasaan Mbok Nah waktu itu sulit untuk di gambarkan, campur aduk menjadi satu. kaget, Senang, marah ,geram, sebel menjadi satu.
“Kamu too..! tak kira siapa, dari mana saja kamu? Masih ingat rumah segala!. Kamu kira maknyak tidak mencarimu, jangan sampai diulangi lagi ?” Kata-kata Mbok Nah nerocos begitu saja.   
            Tanpa sepatah kata Qohar berjalan pelan menuju kamarnya. Memperhatikan kura-kuranya yang terlihat lesu. Seakan-akan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sambil terus mengomeli Qohar Mbok Nah mengikutinya dari belakang seraya memerintah Qohar seolah-olah sebagai sebuah ganjaran baginya.
“Dari tadi sore Maknyak tidak ngeliwet2 gara-gara memikirkanmu. Sekarang  kamu kupas rebungnya juga sekalian kangkungnya di potong-potong!. Maknyak mau belanja dulu ke warung membeli keperluan dapur.”   
            Sambil berbelanja Mbok Nah mampir kerumah tetangga. Sekedar memberitahukan perihal cucunya yang baru saja pulang. Pagi itu hatinya lega karena orang yang telah di carinya telah kembali.      
            Beberapa hari kemudian Pak Amin bersama A kwan Asisten pribadi Pak Yusuf Chen Lau serta Supardi sopir pribadinya datang memenuhi janjinya, menyambangi rumah Mbok Nah untuk melunasi pembayaran tanah kavling sekaligus akan mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat perijinan lainnya ke Kelurahan. Pagi itu di rumah Mbok Nah telah berkumpul dua orang, bu Marni dan Ambar putri sulung pak sarwo. Pak sarwo berhalangan hadir karena pergi mengantar bu Sarwo ke puskesmas. Kebetulan pagi itu Bu Lela sedang main di rumah Mbok Nah sehingga menambah kehangatan suasana. Seperti biasa apabila si biang gosip itu sedang tidak ada kerjaan kerapkali yang dilakukan adalah pergi kerumah tetangga lalu membicarakan keborokan orang yang sedang menjadi buah bibir. Mengurai benang kusut mulai dari A sampai Z. Biasanya si biang gosip itu kalau sudah keenakan ngerumpi bisa sampai berjam-jam. Itulah kebiasaan orang kampung, yang konon baru bisa di sebut sebagai orang kampung tulen apabila bisa ngerumpi hingga berjam-jam. Wajar mengingat orang-orang kampung pada umumnya hanya mengenal dua musim, musim tanam dan musim panen. Di perlukan waktu beberapa bulan untuk mengulang siklus musiman itu. Pak Amin dan A Kwan datang dengan mengendarai mobil mercy. Pak Amin yang berperawakan sedang, berambut lurus membawa beberapa berkas. Gerak-geriknya mantap serupa dengan model papan atas sekalipun. Disampingnya A Kwan yang tambun berkepala botak dan berkaca mata hitam menenteng sebuah laptop, wajahnya menyiratkan keseriusan tingkat tinggi. Mungkin karena saking seriusnya yang totally itu ia seperti kehabisan otak untuk berfikir sehingga menjadi botak.  Dua orang itu masuk ke rumah Mbok Nah.  Merekapun berembug.
           
























Keuangan Yang Maha Kuasa


Cari-cari uang
Pikir-pikir uang
Sana-sini uang
Ini jaman uang
Selalu menjadi rebutan
Selalu menjadi pikiran
Tapi jangan karena uang
Menghalalkan segala cara
Walau zaman sekarang semuanya uang
Jatuh cinta bisa karena uang
Yang pendek tampak jangkung
Yang pesek jadi mancung
Itu semua karena uang
Jangan heran kalau ada pasangan
Yang satu dua lima
Satunya lima dua
Bisa jadi karena uang
Mina jadi mince
Yanto jadi yanti
Juga karena uang.1






Kesepakatan hitam di atas putih diantara ketiga belah pihak telah di buat, semua berkas surat-surat penting dan kartu pajak telah terkumpul. Tinggal mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat perijinan lainnya ke kelurahan.
"Bagaimana proses selanjutnya?. Apa sudah bisa di bukukan?" Tanya Pak Amin sambil tangan kanannya menyingkap lengan bajunya lalu memelototi jam tangan di pergelangan tangan kirinya sembari mengerutkan dahi, seperti para pebisnis lainnnya yang sangat menghormati arti sebuah waktu.
"Biasanya kalau berkas-berkas sudah lengkap lalu dilakukan serah terima dahulu di kelurahan atau dirumah Pak Lurah, baru kemudian di bukukan. Atau bisa juga di rumah Pak Carik" kata Bu Marni menjelaskan.
"Sutiyem kemarin sore ngomong, katanya sekarang ada peraturan baru, serah terima harus di rumah Pak Carik sekaligus nanti langsung bisa di bukukan. Oh ya sekalian bawa saksi-saksi" Sahut Ambar memotong pembicaraan antara pak Amin dan bu Marni.
"Berapa kira-kira saksi yang di perlukan?"  Tanya Pak Amin.
"Tidak banyak Pak, biasanya ya dari pihak pembeli dua orang dan pihak penjual juga dua orang itu saja sudah cukup." Sahut Bu Lela menambahkan.
"Ya sudah! kalau begitu kita bisa ke rumah Pak Carik sekarang?" Pungkas pak Amin
"Ya Pak, biar semua cepat kelar". Ucap Bu Marni sambil mengangguk setuju.  
“Aku ikut apa tidak?" Tanya Mbok Nah sembari membawa beberapa tandan pisang rebus dari dapur, lalu menyuguhkannya di atas meja.
"Yo ikut too, nanti jadi saksinya sama saya" Gerutu Bu lela.
“Lha Cucuku bagaimana?. Ujar Mbok Nah seakan ingin mengikut sertakan cucunya dalam rombongan itu.
"Lha wong biasane yo ditinggal ke pematang kok". Sahut Bu Lela cepat dan keras.
"Ikut juga tak apa tak ada yang melarang kok!" Ujar Ambar cuek. 
            Mereka semua berangkat kerumah Pak Carik dengan mengendarai mobil mercy yang di kemudikan Pak Supardi. Di dalam mobil meski jalanan terjal dan berliku mereka tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena seumur-umur mereka belum pernah menaiki mobil semewah itu. Toh kalaupun pernah sepuluh tahun sekali belum tentu kenangan manis itu terulang sehingga wajar jika Mbok Nah tak tega melihat Qohar sendirian di rumah sementara dirinya pergi menikmati ladzatnya dunia dengan menaiki mobil mercy.
"Kalo kayak gini setiap hari yo enak to?"  Ucap Bu Lela memecah keheningan.
“Ikut Pak Amin saja biar nanti bisa naik mobil setiap hari" Ujar Ambar.
"Trus mangan opo kalo ndak kerjo, mosok ngintil wae?" Potong Mbok Nah. Sementara pak Amin, pak A kwan dan pak Supardi hanya bisa cengar-cengir menyaksikan ulah dan celoteh para ibu-ibu itu meski tak memahami betul bahasa dan maksudnya.
"Yo mangan kacane tah mangan joke wae" Ucap Bu Marni yang sejak tadi cuek saja.
"Ngawur!" Timpal Bu Lela.
"Walah sampeyan iku lho kelihatan ndeso" Ejek Ambar pada Bu Lela.
"Pancen aku wong ndeso, apa kamu kelihatan orang kota?" Jawab Bu Lela membela diri sembari berseloroh.
"Aku sih bukan orang kota, tapi walaupun bukan orang kota tapi aku kan kotangan" Ambar membela diri.
"kotangan kok di bilangin ke orang-orang, dassar ndesoooo." Ejek Bu Lela pada Ambar, tidak mau kalah.
"Lha kamu malah katro pake sendal kok kebalik.” Kata Ambar berkelit, sambil menunjuk ke arah sandal yang di pakai Bu lela.
"Yo wis ben." Balasnya cuek.
"Pancen nyaman yo naik mobil alus, adem lagi". kata Mbok Nah kepada Bu Lela memecah kebekuan.
"Memang nyaman." Sahut Bu Lela.
"Bukan nyaman  tapi nyuaman!" Ujar Ambar dengan mantap.
            Tanpa terasa Mbok Nah dan rombongan sampai di rumah Pak Carik. Mobil mercynya hanya boleh diparkir di pintu gerbang. Oleh tukang kebun tidak di ijinkan kendaraan roda empat masuk ke dalam karena masih dalam tahap pengerjaan paving block. Di dalam gerbang ada empat orang pekerja yang tengah mengerjakan pemasangan paving, dua orang tukang dan dua orang kenek. Halaman rumahnya yang begitu luas dipenuhi dengan kandang dan kerangkeng berjeruji besi, berisi burung-burung langka dan binatang-binatang aneh. Sekawanan kera yang menghuni kerangkeng besi tampak kepanasan. Burung-burung dan hewan langka lainnya terlihat mondar-mandir seperti tengah kelaparan. Sekumpulan tupai bersama kancil dijadikan satu kandang berukuran dua kali dua meter, sekumpulan tupai-tupai dan kancil itu tampak sayu berkerumun di bawah tumpukan rumput kering dan kulit pisang, beberapa anakannya tampak mondar-mandir seperti ingin berontak. Sang pemilik Sepertinya tidak menyadari jika hakikatnya kedua jenis binatang itu dari spesies yang berbeda.
            Beberapa ekor penyu spesies langka dan biawak  tampak bolak-balik  nyemplung ke dasar air yang dangkal. Tak ada langit-langit sejengkalpun yang menaunginya. Di halaman yang sangat luas untuk ukuran taman pada umumnya itu hanya di isi dua buah pohon cemara berukuran sedang. Dua tanaman itu seperti meranggas karena kekurangan nutrisi atau mungkin unsur haranya telah berkurang. Ketika menyaksikan mahluk-mahluk Tuhan yang tidak berakal itu dalam mengisi kehidupannya hanya menyisakan rasa trenyuh, binatang-binatang itu merana diantara nafsu keserakahan dan kepongahan manusia, sebuah dilema yang memprihatinkan.
"Silahkan masuk!". Sapa seorang wanita tua yang juga hendak masuk kerumah sambil menenteng sekeranjang barang belanja.
            Begitu memasuki rumah pak Carik mereka tertahan di teras depan, menunggu tuan rumah mempersilahkan masuk terlebih dahulu, tak lama kemudian muncul dari balik pintu seorang perempuan muda yang tengah mengandung. Seperti yang di ketahui dari kabar yang beredar di masyarakat pak Carik telah menghamili seorang janda muda beranak satu, sementara Pak Carik sendiri telah berkeluarga dan telah dikaruniai  tiga orang anak. Perempuan asing yang tengah mengandung itu menjadi sebuah misteri tersendiri dengan statusnya yang masih belum jelas. Menambah pekerjaan orang-orang kampung untuk terus bergunjing serta menempatkan objeknya sebagai artis ndeso.
"Eeee ada tamu, monggo silahkan masuk." Ucap perempuan muda yang tengah hamil itu berbasa-basi.
"Ada perlu sama Pak Carik?". Sambungnya kemudian.
"Ya neng". Jawab Bu Lela.
" Bapak masih di kebun, tadi pagi bawa bibit mahoni yang dari kelurahan kemarin. Mungkin Bapak sebentar lagi datang. Saya istri barunya tidak tau apa-apa hanya disuruh jaga rumah". Akunya dengan memberi sedikit gambaran. Sebuah pengakuan yang mampu sejukkan keadaan, mengunci rapat-rapat sebuah tanda tanya yang terkadang mengusik sebuah ketenangan serta menyapih akan fitnah dan memutus tali prasangka.
            Hanya beberapa menit kemudian keluar hidangan senampan teh hangat dan beberapa cemilan dalam toples. Pak Carik belum pulang, ada lagi seorang tamu perempuan tengah baya, tukang jahit pesanan. Menenteng dua buah pakaian, mencari Bu Carik.
"Bu Cariknya ada? " Tanyanya pada perempuan yang tengah hamil itu.
"Lagi pergi ke rumah saudara perempuannya, katanya lagi ada acara mitoni.”ujarnya menjelaskan.
"Ya sudah, ini tolong nanti berikan sama Bu Carik terus bilang. Uangnya sudah pas, itu saja.” Pinta tukang jahit pesanan itu sambil menyodorkan dua bungkus pakaian yang dikemas dalam plastik.
“Aku pamit dulu.."
"Ya, terimakasih!."
"sama-sama."
            Tak seberapa lama Pak Carik pulang dengan mengendarai colt bersama seorang anak laki-laki.
"Walah ada tamu rupanya, tunggu sebentar ya?." Pintanya sambil bersalaman.
" Aku mau salin pakaian dulu, habis nganter bibit mahoni masih belepotan. Silahkan di minum dulu tehnya."
Pak carik masuk ke dalam rumah sebentar lalu kemudian keluar menemui para tamu. Belum sempat Mbok Nah mengutarakan maksud kedatangan rombongannya. Datang lagi dua orang, sepasang suami istri. Tanpa basa-basi terlebih dahulu mereka mempertanyakan kejelasan status tanah mereka yang baru di belinya setahun yang lalu. Hingga kini belum juga di bukukan, sementara kartu pajaknya masih mengatas namakan pihak penjual. Dengan santai Pak Carik mampu meredam keadaan, di suruhnya tamu itu menunggu proses dua bulan lagi karena dua bulan lagi akan ada pengukuran massal dan pembukuan tanah. Pak Carik lalu menawarkan dua pilihan. Pertama menunggu dua bulan dengan biaya standar atau yang kedua dalam minggu ini tetapi dengan biaya yang lumayan tinggi karena diluar ketentuan, alasannya uang tambahan itu untuk biaya warawiri ke kecamatan lalu ke kabupaten.
            Karena tak ingin terlalu lama menunggu tanpa suatu kepastian, dua orang semuhrim itu memilih pilihan yang kedua. Memang, sepertinya tak ada manusia di dunia ini yang menginginkan suatu urusan atau permasalahan yang tak berujung kecuali manusia yang bodoh. Permasalahan berlarut-larut dalam dimensi waktu yang tak berkesudahan.
            Dari pada harus menanti sesuatu yang tidak pasti dan tak ingin menunggu  proses terlalu lama seperti yang sudah-sudah. Kepada Mbok Nah, Bu Marni, dan Ambar  Pak Amin mengutarakan keinginannya, mengurus kepemilikan tanah dengan cara yang secepatnya, seperti halnya dua orang itu meski dengan cara mengeluarkan biaya yang berlipat. Mulanya Bu Marni menentang dan tidak menyetujui tatacara yang di tempuh pak Amin, tetapi setelah di jelaskan ihwal keseluruhan pembiayaan di luar perhitungan semula akan di tanggung pihak pembeli bukan dari kedua belah pihak maka kemudian Bu Marni menyetujuinya. Sementara Mbok Nah sebagai orang tua yang kurang tau duduk perkaranya hanya bisa mengiyakan, meski hatinya ngedongkol, ingin rasanya protes mempertanyakan tata cara yang terkesan di persulit, tetapi apa boleh buat, orang kecil macam Mbok Nah tidak bisa berbuat apa-apa. Kepada Bu Marni Pak Amin menyatakan berani membayar lebih jikalau memang prosesnya bisa di percepat dan urusan cepat kelar.
Setelah urusan pak Carik dengan suami istri itu selesai pak Amin kemudian langsung menemui pak Carik di ruang tengah, entah apa yang di bicarakan, kedua orang itu hanya berbicara empat mata dan langsung di capai sebuah kesepakatan. Keduanya lalu keluar ke ruang tamu dan menandatangani sebuah kwitansi lengkap dengan sebuah materai, dan yang terakhir pak Amin menandatangani akad jual beli bersama Bu Marni dan Ambar disaksikan kedua belah pihak. Pak carik meminta kerelaan saksi dari kedua belah pihak untuk memberikan tanda tangan atau cap jempol. Dari pihak penjual ada Bu Lela dan Mbok Nah yang bertindak sebagai saksi sedangkan dari pihak pembeli pak A kwan dan pak Supardi.  Di luar perjanjian tanpa sepengetahuan pihak penjual, pak Carik meminta uang tambahan kepada pak Amin tanpa rasa canggung. Dengan enteng pak Amin menambahkan lagi segepok uang, dan hasilnya kemudian di capai sebuah kesepakatan yang fantastis. Apabila masyarakat desa biasa menunggu proses hingga dua tahun bahkan lebih. Pak Amin di janjikan hanya butuh waktu selama dua minggu.
            Selama berabad-abad bangsa Indonesia pernah di jajah dan kini telah merdeka, walau hakikatnya hanya formalitas belaka. Kemerdekaan itu bagi orang-orang pinggiran, kaum marjinal masih sebatas hanya dalam kisaran dunia mimpi. Bangsa ini tak akan lekang oleh penjajahan, penjajahan oleh sebangsanya sendiri. Para penjajah merancang undang-undang yang sekiranya bisa di langgar. Satu bentuk penjajahan yang mengusik ketenangan Mbok Nah adalah adanya peraturan yang di kotak-kotakkan, Sengaja dibuat rumit oleh pihak pemerintah Desa. Mengurus suatu permasalahan bisa dengan jalur cepat bagi orang-orang berduit dan jalur lambat bagi orang-orang yang tidak mampu. Prosedural di persulit, semua itu sebenarnya bisa di permudah, tetapi entah kenapa semua urusan yang bernilai sepele itu di buat sulit dan sengaja disulapnya menjadi mesin rupiah. Meski telah renta di makan usia Mbok Nah tak habis semangat juangnya untuk terus mengkritisi meski hanya di dalam bathin. Di benaknya muncul benih-benih perjuangan untuk menguak ketidak adilan. Ghirah itu semakin berkobar di dadanya sementara ia tidak tahu harus bagaimana, ia bertekad akan terus berusaha mencari jalan keluar meski itu jalan konyol sekalipun. Di benaknya bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin bertambah heran, mengapa orang-orang yang mengaku mendedikasikan dirinya sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat Desa justru bermain topeng dan mempermainkan jati dirinya?. Untuk apa semua itu?. Tak bisakah mereka hargai jasa orang-orang terdahulu di dalam merebut kemerdekaan. Mereka relakan jasadnya menjadi korban keganasan perang, membayar mahal dengan bentangan ratusan mayat, terpaksa harus merelakan ceceran darah di sepanjang jalan sebagai tumbal kemerdekaan. Kemerdekan adalah keinginan untuk bersatu dalam membangun sebuah peradaban menuju kemajuan. Dalam kemelut galau Mbok Nah pergi ke rumah Mbok Karmini adik dari suaminya. Ia mencari keponakannya, Mansur. Setahun lalu Mansur telah merampungkan studynya. Anak bungsu dari Mbok Karmini itu kini melanjutkan sekolahnya di sebuah perguruan tinggi dengan beasiswa penuh dari pemerintah.
"Mini....?" Panggilnya dengan suara keibuan.
"Ya Mbakyu. Ada apa?" Tanya Mbok karmini sambil membawa pakaian satu ember penuh ke sungai untuk keperluan mencuci pakaian.
"Nyari Mansur!" Jawab Mbok Nah. "Dimana dia sekarang?" Sambungnya
"Lagi ngirim Pakne ke sawah."
"Nanti suruh ke rumahku ya?" pesannya
"Ada apa?" Tanya Mbok Karmini setengah penasaran.
"Ada kejutan dan makan enak." Ujarnya sambil guyon.
"Tenane? yo wis nanti tak suruh ke rumahmu." Timpal Mbok Karmini dengan gurauan.
            Tak lama kemudian, Mansur datang menyambangi rumah Mbok Nah. Di teras hanya ada Qohar yang tengah asyik bermain dengan kura-kuranya di sebuah balok kayu.
"Qohar! simbahmu di mana?."
"Di dapur, lagi masak." Tanpa di perintah,  kemudian Qohar segera berlari menuju dapur.
"Mak! ada paklek Mansur!."
"Ya, suruh masuk. Aku cuci tangan dulu."
"Di kesempatan yang sempit di saat Qohar pergi ke dapur. Mansur dengan cekatan mengerjainya, secepat para pesulap profesional. Di ambilnya kura-kura mungil itu dan di masukkan ke dalam kantong celananya.
"Masuk paklek!" Lalu Qohar kembali ke teras. Kaget. Kura-kuranya tak ada di dalam ember di samping sebuah balok kayu. Di longoknya setiap sudut kayu bakar di samping rumah, di samping kursi, tak juga di dapatinya. Wajah Qohar terlihat semakin memerah tak dapat di sembunyikan lagi. Ia semakin bingung harus mencari kemana, segala arah dan tempat telah di perhatikan dengan seksama, namun tak juga di temukan kura-kura kesayangannya.
Kura-kuraku kemana?. pikirnya dalam hati. Lalu menanyakan pada pakleknya.
"Paklek tau dimana kura-kuraku ?." Tanyanya berselidik.
"Kau tanya Aku, Aku tanya siapa?" Timpal Mansur balik bertanya.
"Maknyak, kura-kuraku hilang, tolong carikan Mak." Teriak Qohar meminta tolong neneknya dengan suara parau lalu ke dapur menyimpan balok kayu.  
Mbok Nah keluar rumah dan seketika itu juga tanpa sepengetahuan Qohar, Mansur memperlihatkan kura-kura dan memberikannya pada Mbok Nah. Kemudian dengan santainya Mbok Nah menyuruh Qohar mengambilkan sesuatu.
"Paklek ambilkan pisang dulu di dapur sama kolak nangkanya, biar kura-kuranya Maknyak yang cari." Hiburnya dengan santai.
Dengan cekatan Qohar mengambilkan suguhan buat Paklek Mansur, lalu segera menghampiri Mbok Nah yang telah terlebih dulu bermain dengan kura-kuranya di atas dipan di teras depan.
"Lho kok bisa ketemu Mak?" Tanyanya dengan nada heran.
"Masa tidak bisa!" Ujarnya.
“Tidak munkin!”.
“Nyatanya mungkin.”
"Tadi ku cari-cari tidak ada." Kilahnya.
"Lha wong kenyataannya ada! di bilangin kok ngeyel. Sudah! sana main lagi, Aku mau belajar sama Paklekmu jangan di ganggu!" Suruhnya dengan nada gurauan.
Mbok Nah ke ruang tamu menemui keponakannya, menyodorkan dua buah lembaran kertas dan ballpoint pada Mansur. Ia perintahkan Mansur untuk menulis dan Mbok Nah sendiri yang mendikte.
"Untuk apa Budhe?"
"Di gawe pepeleng1!"
"Pepeleng nopo?"
"Poko'e ono gunane."
Jawaban itu seperti mematikan sebuah pertanyaan, dari kata-katanya yang terakhir sudah bisa ditebak seakan tak ingin di ketahui perihal maksud dan tujuan dirinya menyuruh menuliskannya meski itu oleh sekretarisnya sendiri, Mansur. Mansur tak lagi melontarkan pertanyaan.
Mbok Nah mulai mendikte.
Manungso sing becik iku gampangan lan amrih nggampangake perkoro. Ora seneng gawe mungkar lan olo. Wong sing gawe angele perkoro iku ora bedo karo njajah sedulure dewe. Luwih tega tinimbang perilakune kewan sing buas. Manungso kang ora ono bedo karo kewan. Opo ora kepikiran? mbiyen tanah iki di jajah pirang-pirang tahun ngente'ake korban ora itungan. Wong tuo-tuo mbiyen berjuang ngelawan penjajah, kanti tujuan kepingin urip merdeko lan mulyo. Saiki wes merdeko, tapi malah sedulure tego jajah sedulure dewe. Urip koyo ora ono aturan. Ilingo kabeh! kowe poro perangkat deso. Ora nganti sak abad nyawamu kumantil. Kowe kabeh bakal mati mbaur karo lemah[7].               
Tulisan itu selesai ditulis Mansur lalu pulang tanpa di hujam rasa penasaran. Ia tidak memahami maksud dan tujuan Mbok Nah mendiktekan tulisan semacam itu. Sementara siang itu meski terik matahari tepat di atas ubun-ubun. Tak menyurutkan niat Mbok Nah untuk pergi ke balai desa sekedar menempelkan selembar kertas di papan pengumuman. Perjalanan yang di tempuh dari rumah ke Bale Desa cukup jauh, berjarak sejauh enam kilo meter, diperlukan waktu hingga dua jam perjalanan pulang pergi. Qohar siang itu tengah asik bermain dengan kura-kura tak terlalu merisaukan kepergian neneknya, ia mengira neneknya pergi ke sawah seperti biasanya. Sementara itu menjelang kepergiannya ke balai desa ia menyaksikan di sudut pintu seekor laba-laba jantan sedang berkorban nyawa dan jasad, merelakan tubuhnya di jadikan santapan laba-laba betina. Sekujur tubuh laba-laba jantan di penuhi lilitan jaring yang keluar dari air liur laba-laba betina lalu seakan-akan seluruh energi dan asupan gizi yang terdapat pada jasad sang jantan di sedot habis. Hukum alam mengajarkan sebuah pengorbanan yang maha agung demi kelestarian jenis. Tak lama setelah itu laba-laba betina akan bunting. Tak jauh dari jaring laba-laba, di bawah dipan seekor kucing jantan tengah mengawasi gerak-gerik seekor kucing betina yang tengah menggigit seekor anak kucing yang baru saja di lahirkan. Induk kucing itu memindahkan anak-anaknya ke tempat yang lebih aman, menghawatirkan jika sewaktu-waktu tanpa sepengetahuannya kucing jantan akan menerkam anakannya terutama apabila terlahir seekor anak kucing berkelamin jantan. Induk kucing senantiasa mewaspadai gerak-gerik kucing jantan. Waktu berlalu terasa seperti kilatan petir, bumi langit dan seisinya berdzikr kepada sang khalik tanpa jengah, sementara manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya. Ketika siang berganti malam dan seterusnya hingga sandiwara ini usai para penghuni di dalamnya kian terlena meski bukti kekuasannya kian kentara terasa. Kini seakan-akan pupus semua tabir yang ada, tinggallah bukti-bukti nyata yang selalu hadir di tengah-tengah kebimbangan, tetapi terkadang itu semua datang tanpa disadari dan di tafakuri. Bukti-bukti yang semakin terlihat jelas itu justru melengahkan manusia dari fungsi utamanya, merefleksikan bentuk terimakasih kepada yang kuasa dengan bersujud barang beberapa menit.
            Esok harinya menjelang keberangkatannya ke sawah pak RT datang menemui Mbok Nah, tanpa berbasa-basi terlebih dahulu pak RT menyodorkan sepucuk surat berisi pemanggilan dirinya dari kelurahan dengan diringi pertanyaan sengit.
"Mbok! Sampeyan wingi ke kelurahan iku ngopo? kok kabare jare gawe ele'e Deso. Wes tuo mbok yao ngilingi tuane, di akeh-akehno olehe ngaji. Ora soyo di tambah ngajine kok malah ele'e seng soyo ndadi, ngisin-ngisini kampunge wae." Kata-kata kasar itu mampu memancing kemarahan seorang perempuan berambut perak itu, ia lalu membalasnya dengan kata-kata sengit pula.
"Opo Aku wingi wudo ning tengah ndalan?, kok ngisin-ngisini!."
"Ambuh pikiren dewe!" Jawab pak RT tak kalah kecut, jawaban itu seakan mampu menyentakkan dada perempuan tua itu.
"Oooo sontoloyo!" Balasnya dengan kedongkolan, sementara pak RT diam tidak menanggapinya lalu ngeloyor pergi dengan tersenyum sinis meninggalkan perempuan tua itu.
            Selama ini perempuan tua itu merasa apa yang telah di lakukannya adalah haq. Sekedar ingin mengingatkan para perangkat Desa bahwa kedzaliman sebenarnya tidaklah pantas sebagai pakaian manusia. Mbok Nah sendiri tidak tau pasti untuk apa dirinya di undang ke Balai Desa, Pak RT hanya menyodorkan sepucuk surat undangan tanpa memberi tahu lebih jelas ihwal undangan itu berisi apa. Dari wajahnya hanya terlihat semburat wajah sinis dan kecut, hanya berkelakar dan menyuruhnya ke Kelurahan besok pagi.
Tidak ingin di cap sebagai Warga Negara yang membangkang atau bahkan mungkin penghianat Bangsa, ia bertekad memenuhi undangan ke Kelurahan. Tak ada yang di risaukan, tak ada sesuatu hal yang ganjil atau firasat apapun tapi pagi itu Qohar seperti tidak merelakan kepergian neneknya ke Kelurahan. Dari kedua bola matanya menetes perlahan bulir-bulir air mata, seakan bocah kecil itu tau apa yang akan terjadi nanti. Seketika itu Qohar meratap menangis, meminta agar dirinya di ijinkan ikut ke Kelurahan. Dengan berat hati Neneknya mengijinkan Qohar ikut ke Kelurahan.
Di sepanjang jalan Mbok Nah bercerita tentang kepahlawanan seorang wanita, Ratu Kalinyamat, cita-cita luhurnya ingin menyatukan Nusantara. Bersama kerajaan Johor di Malaka terhitung telah dua kali Ratu Kalinyamat berupaya mengusir orang-orang Portugis, tetapi upayanya gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat[8].
Bagi anak muda jarak enam kilo meter  tidaklah terlalu jauh untuk di tempuh. Tapi bagi seorang nenek yang telah berusia kepala tujuh, jarak enam kilo meter itu terasa berlipat-lipat jauhnya, apalagi jalanan berliku dan naik turun.

Setelah menempuh setengah perjalanan perempuan tua itu mulai merasakan rasa letih. Keringat-keringatnya yang seukuran biji jagung mulai tampak membasahi lehernya. Separuh baju di punggungnya mulai basah oleh biang keringat, tetapi Qohar masih menikmati perjalanan. Di sa'at rasa letih kian menyerang ada sebuah bangku kayu di pinggir jalan,  tempat nongkrong anak-anak muda,  suatu kebetulan. Lumayan Mbok Nah dan Qohar lalu beristirahat sebentar, Duduk selonjor diatas bangku lalu mengeluarkan sebotol minuman dari balik selendangnya.
"Alhamdulillah seger tenan." Ucapnya dengan menghela nafas panjang-panjang. "kamu tidak minum?." Tanyanya kemudian.
“Tidak Mak!". Jawabnya dengan menggelengkan kepala.
            Kembali perjalanan di lanjutkan, di sepanjang jalan pikirannya mulai di hantui rasa khawatir. Ia mencoba merenungkan kenapa dirinya di panggil ke kelurahan? mungkinkah perbuatan kemarin itu adalah suatu kesalahan fatal yang di buatnya? sehingga pihak kelurahan mengutus pak RT untuk melayangkan sebuah surat panggilan bagi dirinya. Apa yang akan terjadi nanti?. Akankah orang-orang lingkaran Balai desa tega menganiaya dan mendzalimi seorang perempuan yang telah renta nan lemah seperti dirinya?  Apapun yang akan terjadi perempuan berambut perak itu tak gentar untuk menghadapinya. Sementara sejauh mata memandang tak jauh dari tempatnya berdiri di ujung pematang tak jauh dari perkebunan tebu seekor anjing tengah menenteng seekor musang hasil buruannya, tiba-tiba musang yang terlihat sudah mati itu lepas dari gigitan anjing lalu kemudian lari terbirit-birit kedalam semak-semak, hikmah yang mungkin bisa diambil, ternyata musang yang tidak punya otak itu juga bisa berakting lyaknya Manusia. Torehan takdir nanti dari yang kuasa tidak ada seorangpun yang tahu, hanya pasrah kepada tuhan yang bisa ia lakukan.
Yaa Allah ya Tuhanku, mati hidupku adalah hak Mu. Apa yang akan terjadi nanti semoga Aku bisa terima, Aku pasrah!. Pintanya dalam hati.
Tak seperti apa yang ia duga sebelumnya. Di depan balai Desa telah berjajar puluhan sepeda motor, sepeda pedal hanya terhitung dengan hitungan jari. Rupanya seluruh ketua RT/RW dan semua perangkat desa juga di undang, mereka telah hadir menunggu kedatangannya. Memasuki halaman Balai Desa tanpa sepatah katapun basa-basi yang mereka ucapkan. Sekali sapaan itu terdengar serasa menyayat hati dan menggores leher.
"Jadi ini rupanya orang yang telah mempermalukan Desa kita.". ucap pak Carik nerocos begitu saja.
"Dulu aku di ajari falsafah hidup darinya, tapi setelah tahu sifat aslinya Aku sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata maupun petuahnya." Celetuk pak Edi yang tengah menjabat sebagai Modin Desa, tetangga sawah. Emosi perempuan tua itu tertahan, ia terima kesumat-kesumat yang di muntahkan begitu saja, tidak terpancing sama sekali. Tidak sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang mulai kelu membiru, walau hakikatnya hati dan perasaannya seperti tersambar petir. Salah seorang perangkat desa masih muda dengan gayanya yang di buat-buat mempersilahkannya duduk terlebih dahulu.
"Monggo Mbah! duduk dulu, Pak Lurah masih melayani banyak orang. Seorang perangkat desa yang masih muda itu mengelu-elukan kesibukan pak lurah, pada hal mbok Nah tau sendiri dan telah menjadi rahasia umum jika pelayanan di balai desa tak pernah genap setengah hari, karena minimnya orang-orang yang berurusan dengan balai Desa. Mereka enggan mengurus surat-surat ke balai desa karena urusannya bisa tambah runyam dan berbelit-belit. Pada umumnya masyarakat lebih memilih jalur instan dari pada harus warawiri ke balai desa dan ke kecamatan, toh kalaupun diurus sendirian urusannya belum tentu kelar dalam sehari atau dua hari tetapi bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan. Jarang sekali penduduk desa yang membuat kartu identitas karena repotnya itu. Dalam sehari pihak Balai desa  melayani ratusan orang itu berarti telah mencapai rekor tersendiri.
"Mbah! perlu saya beri tahu! bahwa setiap ada masalah maupun keperluan warga pihak pemerintah Desa selalu mempermudah urusan, bahkan kalau perlu sampai tengah malam sekalipun, dua puluh empat  jam nonstop melayani dengan sepenuh hati." Ujar seorang perangkat desa berbadan kurus.
"Mbah! kalau tidak setuju dengan program-program Desa bilang saja langsung pada pak Carik, jangan nulis seperti itu, jadinya kan malah tambah ruwet urusannya." Seloroh yang lain.
Tidak ada jawaban dari kedua bibirnya yang kelu seperti kehabisan pasokan darah. Darah yang semula mengalir deras dengan detak jantung yang gelagapan seolah terhenti. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Hati, hanya didalam hatinya ia berdialog dengan Tuhan, memohon ampun dan pertolongan darinya, hingga beberapa saat lamanya Mbok Nah tetap diam memaku. Dibiarkannya lalat-lalat kecil menghinggapi matanya yang sembab lalu kembali terbang menghinggapi anggota tubuhnya yang lain yang mulai tercium aroma pengap oleh keringat. Seakan-akan lalat-lalat kecil itu tengah menertawakan nasib yang tengah menimpa perempuan tua itu. Lalat yang tercipta tanpa etika itu tak jemu-jemu mengerubunginya. Binatang yang tidak punya sopan santun dan selalu membawa virus kemanapun dan dimanapun, hinggap di tempat-tempat kumuh, sampah busuk dan segala bentuk kotoran, bahkan bangkai menjadi tempat peraduannya yang utama. Satu bentuk takwil dari Tuhan, perumpamaan orang yang tidak menyandang akhlak sebagai pakaiannya niscaya seperti seekor lalat. Sementara Qohar semakin merapatkan gayutan di ujung selendangnya, wujud dari sebuah kekhawatiran. Seperti dua sisi mata uang keterikatan batin diantara keduanya.
Melihat neneknya diperlakukan kasar oleh orang-orang yang tak begitu di kenalnya, tidak kuasa ia meyembunyikan kepedihan bathin, seperti mengetahui apa yang tersimpan di benak neneknya. Tetapi ia hanyalah seorang bocah dengan dunianya yang teduh, jernih tanpa keserakahan nafsu dan amarah. Diam, hanya bisa diam dihantui rasa takut diliputi tanda tanya besar atas ucapan dan gelagat kasar sebagian perangkat desa kepada neneknya. Pelan dan pasti di kedua pipinya yang putih bersih basah oleh air mata. Suasana hening diliputi pasang-pasang mata yang kosong terisi nafsu dan keberingasan. Semakin terlihat jelas topeng-topeng diwajah sebagian perangkat desa yang awalnya memandang biasa mendadak terlihat geram beringas dengan tatapan mata seolah  berwarna merah darah. Darah seakan memenuhi bola matanya dan menjelma menjadi iblis.
Tiba waktunya perempuan tua itu dipanggil pak lurah. Di sebuah ruangan yang seharusnya untuk dua hingga tiga orang itu di penuhi tujuh orang. Meski hawanya sejuk oleh dua kipas angin, tetapi di dalam ruangan itu menyimpan beribu aura panas di liputi hawa nafsu yang berselubung ke dalam jiwa-jiwa yang kosong. Didalam ruangan itu telah berjajar empat orang, berdiri disamping kanan dan kiri.  Sementara di luar ruangan pasang-pasang mata terus mengawasinya, mengintip dari balik jendela, meski pintu dan semua jendela telah di tutup rapat-rapat. Tidak pernah menyangka jika akhirnya ia akan di interogasi lima orang penting di Balai desa. Ia baru menyadari jika dirinya ternyata akan disidang karena ulahnya tempo hari.
"Silahkan duduk di tengah Mbah?" Perintah salah seorang perangkat Desa. Mbok Nah diapit empat orang, dua orang di bagian kanan dan dua orang lagi di sebelah kirinya. Perempuan tua itu beradu arah dan  berhadapan langsung dengan pak Lurah. Disampingnya, Qohar mendekap erat-erat tubuh neneknya. Sidang belum juga di mulai, suasana hening sejenak, pasang-pasang mata keempat perangkat disisi kanan dan kirinya terpaku tajam ke arah dua orang yang hakikatnya tidak berdaya dari segi fisik itu. Mereka  menyiratkan sebuah rasa sinis berbalut benci, raut mukanya mendadak memerah menyeruak bintik-bintik benih kedengkian. Semakin terlihat kentara diantara mereka lingkaran nafsu yang merapat. Seolah-olah Mbok Nah adalah objek, orang yang patut disalahkan atau bahkan kalau perlu didzalimi sekalian. Mbok Nah mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan meski batinnya ingin berteriak dan memberontak. Senyum yang dipaksakan itu  lalu berhenti pada gerak bibir seperti orang yang hendak menangis.
"Mbah!  sampeyan ini sudah tua kok malah neko-neko nulis kayak gini." Ujar pak Lurah sambil menyodorkan tulisan tempo hari. "Siapa yang menyuruh?. Akal-akalannya siapa ini ?" Tanyanya kemudian.
"Tidak ada yang menyuruh!, Aku hanya ingin sekedar  mengingatkan agar pemerintah Desa Rakusan selalu mempermudah urusan bukan malah mempersulit urusan." Jawabnya dengan tegar dan tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa ia hanya sekedar ingin mengingatkan sebagian para perangkat desa yang entah berapa kali melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang lemah, orang yang buta tentang pemerintahan seperti dirinya.
"Mbah! itu memang sudah aturan dari pemerintah pusat. Memangnya simbah  itu siapa kok berani-beraninya protes ke kelurahan. Sampeyan belum tau saya ini siapa?" Sebuah keakuan, ananiyah atau bisa jadi sebuah kepongahan dari seorang  Lurah.  Wujud nyata suatu pembangkangan yang bermetamorfosa pada keakuan diri yang sejujurnya justru ia sendiri merasa terbebani atas pengakuan itu. Atas keakuan itu pada hakikatnya ia berlindung di dalamnya, berlindung dari kesalahan, berlindung dari kealpaan. Satu bentuk kesengajaan spontan yang di dasari perlindungan diri. Kesadaran diri sebagai pelayan masyarakat yang pantas mendapat protes dan peringatan dari masyarakat tiba-tiba sirna begitu saja tergantikan sifat lahiriyah manusia yang  serakah, pongah manakala kekuasaan berada dalam genggaman. Seringkali kata-kata keakuan itu digunakan orang-orang atasan ataupun para pejabat di berbagai bidang keilmuan dan pekerjaan untuk melindungi kesalahan itu sendiri.
"Mbah! tolong jawab yang jujur! Siapa dalang di balik semua ini?." Tanya pak Lurah dengan mata melotot.
"Di bayar berapa Mbah?." tanya yang lain.
"Semenjak jadi makelar tanah untuk orang china tiongkok kan?." Sambung seorang pejabat yang lain menambahkan.
"Tidak ada hubungannya sama sekali Aku ra kedanan duit[9]." Jawabnya lantang dengan keberanian yang masih tersisa.
"Aku tidak percaya." Timpal pak Lurah sambil geleng-geleng kepala.
            Sebagai perempuan renta, walau sekuat apapun ia takkan pernah bisa menandingi kekuatan-kekuatan  lawan dengan tenaga yang berlipat-lipat. Secara dzahir ia lemah dan tidak berdaya menghadapi sekumpulan manusia yang ganas seganas harimau yang sewaktu-waktu tiba-tiba menyerang dan menerkamnya. Meski batinnya tetap tegar setegar batu karang yang dihempas ombak setinggi puluhan meter ia tetap kalah dan mengalah pada kepasrahannya, mengalah untuk menang. Tanpa terasa air matanya meleleh setetes demi setetes dari kedua bola matanya yang cekung dan berkerut mewakili perihnya bathin. Lebih sakit dari pada terputusnya urat-urat syaraf, lebih terluka dari perpisahan ruh dan jasad. Walaupun raganya seperti masih tersisa serpihan-serpihan  kekuatan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan konyol, tidak bisa di pungkiri dan tidak kuasa untuk di sembunyikan lagi, jiwanya melemah seperti musnah daya dan upaya, ibarat kuli panggul yang tidak kuasa lagi menahan beban di luar kemampuannya. Menanggung beban yang sedemikian berat diperlukan seumpama pancaran sinar kekuatan. Tetapi hari itu tak seberkas sinarpun yang datang berpihak padanya. Diatas bangku kursi panjang yang seyogyanya hanya bisa memuat  tiga orang itu Mbok Nah duduk terdiam dengan kepala menunduk. Disampingnya, Qohar mulai merasakan getar-getar kekhawatiran berselimut takut. Wajah culunnya yang putih bersih sejernih embun di pagi hari itu tak henti-hentinya memandangi wajah sendu neneknya. Raut mukanya mulai di hiasi kesedihan, kedua tangannya yang masih remah  masih bergelayut  di ujung selendang neneknya yang mulai lusuh oleh keringat dengan sesekali memegangi erat-erat kedua  tangan neneknya. Seandainya Qohar yang masih kecil itu diberi kekuatan berlebih dari yang kuasa, maka ia akan pertaruhkan raganya untuk dijadikan perisai bagi neneknya, tapi ia hanyalah seorang anak kecil yang belum disunat, anak kecil yang belum memasuki masa akil baligh. Seorang anak yang apabila di tendang salah seorang perangkat desa Rakusan bisa terlempar beberapa meter jauhnya. Hanya bergelayut di ujung selendang neneknya yang bisa ia lakukan. Kedua tangan neneknya mendadak dingin seperti habis pasokan darah untuk mengaliri seluruh ujung jari-jarinya. Dadanya naik turun menahan nafas yang tiba-tiba mendadak terasa berat, di dalam hatinya tiada henti melafadzkan istigfar, memohon ampun kepada Tuhan yang maha pemurah.
"Mbah! memangnya dengan air mata dan tangisanmu itu kami bisa kasihan begitu!."  Ucap Pak Lurah sambil tersenyum sinis. Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut pak Lurah. Satu bentuk pengakuan yang tiada di sadari telah menguak kebobrokan dirinya sebagai manusia, yang telah hilang dari rasa dan karsa. Satu bentuk metamorfosa tanah yang kelak akan kembali ke tanah yang lembut, sejuk dan tawadu'. Tetapi Lurah Desa Rakusan itu telah mengingkari dirinya sendiri, menafikan diri sebagai insan yang sejatinya teduh dan bersahaja. Nafsu amarah telah berselubung dan menelikung dirinya hingga hilang rasa kemanusiaan dari dalam jiwanya.
"Jawab Mbah!." Bentak seorang yang berdiri di samping kanan Pak Lurah sambil menggedor-gedor meja.
"Maknyak!!." Teriak Qohar spontan dengan menangis histeris. Tangis itu membuncah seketika. Satu ungkapan kesedihan dan kekecewaan yang  mendalam atas sikap salah seorang perangkat Desa yang sangat arogan. Tangis itu lalu tertahan pada nafas yang terburai, terputus-putus lalu berhenti. Sebentar saja, tak pernah terlalu lama Qohar menangis. Tak ada lagi rasa belas kasihan  yang tercecer dari pak Lurah.
Setelah tangis Qohar terhenti pak Lurah mengambil  kertas yang berisi tulisan tempo hari lalu di kibaskan ke muka Qohar agak keras. Qohar hanya diam menahan rasa sakit dengan meringis, kedua pipinya basah oleh air mata namun tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang bergetar kelu. Tak puas dengan satu bentuk penghinaan, Pak lurah menambahkan kata-kata  sinis dan kecut, sangat menyakitkan seumpama kalbu yang teriris.
“Kok malah diam!. Tidak menangis lagi ?” Kata-kata itu terasa pahit dan seolah mampu menyulap telinga menjadi merah, penuh oleh darah.
Mbok Nah tidak tinggal diam, dengan lantang ia melontarkan pertanyaan yang tidak kalah sengit.
"Cucuku tidak tau apa-apa kenapa kamu pukul. Apa kamu yang memberi makan?" Pak Lurah diam tanpa sepatah katapun terucap, di wajahnya tersirat sikap tak acuh.
“Anda ini sudah jelas-jelas dinyatakan bersalah Mbah.!" Ucap salah seorang perangkat Desa yang lain. Seperti manusia yang tak pernah khilaf, orang-orang di lingkaran pemerintahan  Desa langsung memvonis tanpa melihat duduk perkaranya secara obyektif terlebih dahulu.
"Kita bawa saja ke pihak yang berwenang." Celetuk perangkat yang lain.
Mbok Nah tetap pada pendiriannya meski ia di diteror tak sepatah katapun kata-katanya yang berubah. Beribu-ribu detik Mbok Nah yang telah renta itu di interogasi tetapi tidak juga menemukan hasil yang mereka harapkan. Lalu Mbok Nah di suruh keluar dari ruangan.
            "Ya sudah! kalau begitu Mbok Nah ikut kami!." Ucap seorang perangkat Desa disamping kirinya lalu dengan diapit dua orang di kanan kirinya Mbok Nah dan Qohar yang masih polos itu dibawa ke dalam sebuah ruangan tertutup. Di dalam kamar yang lebih mirip dengan kandang kambing itu dipenuhi kertas-kertas lusuh, koran bekas dan kursi meja yang rapuh dengan kaki penyangga yang telah ganjil. Tumpukan kursi-kursi  yang telah usang itu memenuhi ruangan hingga langit-langit di pojok kamar. Belum sempat bernafas lega di ruangan pengap itu Mbok Nah kembali di datangi dua orang perangkat desa yang masih belum puas dengan pertanyaan beberapa menit yang lalu.  Dengan mimik beringas dan geram dua orang perangkat Desa itu menunggui dan menginterogasi kembali dengan beberapa pertanyaan yang dianggap oleh pihak pemerintah Desa belum tuntas. Belum ditemukan adanya kejelasan dan titik terang.
"Mbah! semua ini pasti ada yang mendalangi. Siapa Mbah yang mendalangi?. Simbah  tinggal jawab kalau ingin bebas.!" Tawar salah seorang perangkat Desa.
Karena tidak tahan lagi menghadapi kedzaliman dan kemunafikan, Mbok Nah mencoba ngawur dengan menjawab sekenanya meski sebenarnya sama sekali tak ada yang mendalangi. Mbok Nah sempat tergagap sebelum terucap sebuah jawaban yang ngawur.
"orang-orang china Tiongkok."
"oh...jadi orang china yang mendalangi. Kenapa Sampeyan mau diperbudak?" Tanya yang lain sambil mengangguk-angguk.
" Karena ketidak adilan" Jawab Mbok Nah sekenanya.
“Ketidak adilan seperti apa?" Timpalnya dengan wajah geram dan matanya melotot.
"Aku tidak tahu."
            Lelaki tua yang tinggi seperti tiang listrik itu diam sejenak lalu bertanya lagi.
"Sampeyan menempelkan tulisan ini ke Balai desa sendirian, bukan?" Dahinya berkerut. Sementara Mbok Nah sendiri diam tidak menjawab. Nafasnya tiba-tiba serasa sesak, kedua mulutnya seolah terkunci, sekujur tubuhnya mendadak dingin kehilangan daya tahan tubuh. Perempuan tua berambut perak itu seperti seorang prajurit yang terpojok lalu dikepung oleh segerombolan musuh-musuhnya, ia hanya seorang perempuan rapuh termakan usia. Ibarat ranting kecil yang kering ditengah-tengah gurun pasir, sekali di terpa angin akan terserak seketika. Seorang perempuan jelmaan dari iga seorang Adam yang tipis dan bengkok. Sekali di luruskan ia akan patah, rapuh. Ia hanya bisa di luruskan dengan keris, keris estetika berlandaskan nilai sebuah rasa kemanusiaan, yaitu pedang perasaan. Meski menghadapi manusia-manusia konyol ia sendiri merasa kuat untuk menghadapi sebuah kenyataan, tetapi ia sendiri tidak kuasa melawan keadaan dan menghindari satu kenyataan. Bahwa sebenarnya ia telah renta, lapuk di makan usia. Pertanyaan konyol yang tidak di dasari oleh perasaan itu seperti tak kuasa untuk dijawabnya.
"Dibayar berapa Sampeyan melakukan semua ini?" Kembali pertanyaan konyol itu terlontar.
"Aku tidak dibayar dan tak ingin di bayar. Uang dan perhiasanku sudah lebih dari cukup untuk membiayaiku seumur hidup!." Jawabnya dengan dongkol.
" Yo wis kalau begitu sampeyan disini dulu menunggu kebijakan dari pak Lurah." Dua orang itupun pergi meninggalkan ruangan lalu menutup pintu dari luar dan menguncinya rapat-rapat. Tiada kepastian sampai kapan kebijakan itu selesai di buat. Berjam-jam menunggu sebuah jawaban tanpa kepastian seumpama menantikan sebuah pencarian sebutir garam di tengah-tengah lautan. Menunggu dan menunggu dengan harap-harap cemas dalam kisaran waktu yang terus berlalu. Dari bibirnya yang kering mengeriput tak henti-hentinya melafadkan kalimah istigfar, satu bentuk perwujudan existensi pengakuan diri sebagai bagian dari 'mahallul khoto' wannisyan', seorang manusia yang tidak akan bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan..
            Jenuh dan bosan berselimut takut membaur menjadi satu. Qohar merengek meminta agar dirinya segera di pulangkan, kedua bola matanya berkaca-kaca seiring tangis lirih yang tertahan, namun akhirnya ia bisa memahami keadaan setelah neneknya memberikan sebuah isyarat. Sesenggukan tangis kecil mengisi kesunyian, Sementara itu tidak jauh dari tempatnya duduk, di ujung pojok kamar seekor laba-laba tengah membuat sarang dengan air liurnya, dalam hitungan menit laba-laba  itu sanggup merampungkan rumahnya. Tetapi rumah yang yang bisa dibangun dalam sekejap itu apabila di hempas angin dan badai akan hancur berkeping-keping, bahkan oleh tiupan angin seorang anak kecil. Karena terlalu lama menangis akhirnya terhenti pula pada satu titik kelemahan. Kekuatan dalam diri seperti menghilang seiring perlahan terkurasnya airmata. Lambat laun air mata yang membasahi kedua pipinya yang putih bersih mongering, tanpa disadari Qohar lalu tertidur di pelukan neneknya.
"Allahu akbar Allahu akbar...."
            Terdengar alunan suara adzan Ashar. Adzan yang senantiasa mengawal perputaran matahari dan rembulan serta jutaan planet-planet diangkasa raya hingga akhir zaman itu menyentakkan bathin Mbok Nah. Waktu shalat dhuhur telah berlalu berganti waktu ashar. Waktu dimana matahari mulai condong kearah barat. Belum sempat menjalankan shalat dhuhur kini telah berganti saatnya shalat ashar. Shalat, satu bentuk persembahan, satu bentuk rasa terima kasih kepada Al Khalik telah ia abaikan. Ia merasa telah berhutang kepada Tuhan karena hingga detik ini ia masih bisa mengecap kehidupan. Merasakan nikmatnya umur panjang, masih bisa bernafas sepuasnya tanpa harus mengeluarkan gemerincing rupiah.  Ia diberinya ujian hidup karena itu adalah satu bukti dari kecintaannya. Tapi semua itu belum bisa ia balas walau hanya berkorban waktu beberapa menit lamanya untuk mendirikan tiang agama. Ia hanya bisa berdzikir melafadzkan asma-asma nya yang mampu menyejukkan kalbu kala di dera seribu permasalahan. Kepada Tuhan ia mengadu.
Ya Allah, sekiranya engkau buka mata hati mereka, engkau lunakkan dan bersihkan hatinya, niscaya akan kutambah ketaatanku padamu Ya Rabb. Qohar terbangun dari tidurnya, ia kebelet ingin kencing lalu tanpa pikir panjang Mbok Nah mengambil plastik bekas yang terserak di lantai untuk menampung air seninya kemudian menaruhnya ke dalam laci di sebuah meja yang telah lusuh oleh debu yang menumpuk. Senyumpun mengembang menghiasi wajah dua insan yang terpaut puluhan tahun lamanya itu, mereka terhibur sejenak oleh ulahnya sendiri. Selang beberapa menit setelah terdengar iqamah shalat ashar di kumandangkan Mbok Nah dan Qohar di keluarkan dari ruangan pengap yang lebih bersih dan terawat dari kandang sapi itu. Diluar ternyata lengang berselimut sepi tidak seperti apa yang terbayang di benaknya, penuh dengan manusia-manusia yang selalu siap menghakimi. Di luar hanya tinggal beberapa orang yang masih setia menunggui balai Desa. Dengan nada yang terdengar bijak salah seorang perangkat desa  mempersilahkan pulang.
            "Mbah ! …berdasarkan kebijakan dari pak Lurah dan semua perangkat desa setelah di musyawarahkan dengan matang-matang ternyata sampean sudah terbukti melakukan banyak kesalahan, tetapi karena adanya kemurahan dari pak Lurah sampeyan sekarang sudah di perbolehkn pulang dengan catatan jangan mengumbar permasalahan ini ke masyarakat apalagi melaporkan peristiwa ini ke kepolisian, kalau sampai masalah ini di ketahui oleh polisi, maka bukan tidak mungkin rumah tanah sampeyan akan habis untuk membiayai masalah ini. Dan perlu sampeyan tahu, kemarin di desa tetangga seorang ibu muda kehilangan rumah, tanah dan tambak ikannya hanya karena untuk membiayai pengadilan." Ucap salah seorang perangkat Desa dengan bijak seraya menambahkan peringatan bernada mengancam.
            Di sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya terucap rasa syukur ke hadirat Ilahi. Dipeluknya tubuh cucu satu-satunya erat-erat lalu menciumi wajahnya yang sayu dengan berurai air mata, pulang dengan membawa serpihan semangat dan secercah asa yang tersisa.
" Maknyak kan tidak salah, kenapa orang-orang di balai Desa bilang maknyak itu bersalah?" Tanyanya penuh selidik sambil berjalan.
"Sudah, sudah, jangan diingat-ingat!" Larangnya, berusaha untuk melupakan peristiwa barusan.
"Kenapa harus di hukum di kamar terus di kunci?" Qohar makin bertambah penasaran dan ingin tahu duduk perkaranya.
"Biarlah Allah nanti yang akan membalas" Jawabnya singkat.
"Maknyak tidak salah kan?" Rasa keingintahuannya seakan tak bisa di bendung lagi.
"Qohar! kamu makan tidak cukup hanya dengan nasi dan sambel, masih perlu lauk yang lain kaan?." Ujarnya bermetafor. Qohar mengangguk sambil tersenyum.
Hidup di dunia jangan hanya memandang antara salah dan benar, hitam dan putih. Jadilah engkau cucu yang baik yang bisa kuandalkan kelak. Jangan terbiasa memandang hidup ini antara salah dan benarnya, apabila kamu melihat seseorang yang berbuat kemungkaran dan maksiat belum tentu orang itu salah atau benar, kita harus terlebih dahulu memahami latar belakang seseorang melakukan semua itu, apa maksud dan tujuannya?. Jangan pernah kamu bertindak gegabah lantas menghakimi, itu berarti kamu mengabaikan Tuhanmu dengan berbuat sewenang-wenang. Itu sama artinya bertindak sebagai Tuhan dan merebut hak-hak Tuhan. Jadilah engkau manusia sederhana yang berada di jalur tengah, mencintai semua orang, semua ummat manusia seperti nabi Muhammad mencintai pamannya Abu thalib  dan Orang-orang yahudi, meskipun mereka telah di nash dalam kitab sebagai kaum pemberontak. Mbok Nah menerangkan secara gamblang. Mengutip nasihat dan pesan-pesan  dari KH. Idris. Di tengah-tengah perjalanan pulang tiba-tiba ada seseorang yang tiba-tiba menghadang dengan mengendarai motor, lalu Mbok Nah dan Qohar berhenti. Diperhatikannya dengan perasaan cemas seseorang berbadan tambun berambut keriting dengan wajah seperti orang yang ingin mengutarakan sesuatu. Oh, rupanya pak Susilo yang tengah menjabat sebagai kamituo Desa Rakusan.
"Mbah!" Panggilnya dengan sorot matanya membulat.
"Ada apa lagi?"
"Aku mohon maaf mbah. Karena tidak bisa membantu apa-apa."
"Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Simbah tidak menaruh dendam padaku, bukan?"
"Untuk apa aku dendam!. Apa untungnya? semuanya sudah diatur sama Gusti."
“yo wis kalau begitu. Mari Mbah?”
“Monggo..”.    
            Dari hati yang paling dalam sebenarnya pak Susilo ingin membela Mbok Nah dengan terang-terangan tetapi ia menghawatirkan kedudukannya sebagai kamituo. Rasa takut menyelubungi jiwanya, khawatir apabila tiba-tiba ia di copot dari jabatannya karena tidak sehaluan dengan pemerintah Desa Rakusan.
            Sesampai dirumah Sore itu, Mbok Nah lalu merebus air kemudian menanak nasi. Sembari menunggu nasi matang Mbok Nah lalu ke sumur mengambil air wudhu dan mendirikan shalat ashar. Qohar tidak disuruh untuk mendirikan shalat, hanya di suruh belanja keperluan dapur ke rumah Bu Maryam. Selesai shalat ashar Mbok Nah lalu ke dapur  menyiapkan lauk pauk untuk makan malam. Ketika hendak mengambil nasi dari periuk tiba-tiba tubuhnya lemas, ia terduduk lunglai di atas kursi kecil di depan tungku. Kedua kakinya gemetar dan sulit untuk di gerakkan di sertai ngilu di kedua lututnya, sekujur tubuhnya menggigil kedinginan meski di dekat tungku perapian yang masih membara. Bara api yang masih membara itu agaknya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang di landa kedinginan. Sementara kepalanya mulai terasa pusing, panas disertai demam. Ia menyangka mungkin dirinya hanya masuk angin biasa, Mbok Nah lalu beranjak ke tempat tidur kemudian istirahat. Tetapi suhu di sekujur tubuhnya semakin terasa bertambah panas, kepalanya serasa berat. Ia hanya bisa tergolek lemas di pembaringan.
"Qohar!" Panggil Mbok Nah dengan suara lirih.
"Ya Mak."
"Nasinya kalo sudah matang pindahkan ke bakul"
".ya!".
            Qohar sore itu makan dengan lahapnya dengan lauk seadanya. Kesederhanan hidup yang ditanamkan Mbok Nah kepadanya pelan dan pasti telah mengakar pada dirinya. Tidak lupa setelah selesai  makan ia suapi neneknya, namun hanya satu dua suapan yang sanggup memasuki kerongkongannya. Nasi yang biasanya nikmat rasanya apabila tercecap di lidah itu mendadak tiba-tiba terasa pahit, selebihnya di geleng-gelengkan kepalanya, sebuah isyarat ketidak sanggupan menelan nasi walaupun hanya sesuap. Mulutnya semakin terasa bertambah pahit, makanan yang telah tercecap di lidah serasa seperti racun, seolah jiwa dan raganya mulai tidak mampu lagi menyokong kegetiran hidup. Begitu berat permasalahan hidup yang ditanggungnya hingga hilang gairah dan  semangat hidupnya. Spirit hidupnya serasa memudar bagai kapas di hempas angin. Masih teringat segar dalam ingatannya kiamat kecil di balai desa. Trauma, pikirannya terus di hantui rasa takut. Tak lekang dari ingatannya bagaimana dirinya di cerca pertanyaan oleh empat orang yang seolah-olah hendak menerkamnya. Di lecehkan seperti anak kecil dan di sekap dalam ruangan kosong yang lebih pengap dan kotor dari kandang sapi. Seumur hidup baru kali ini ia mengalami nasib yang amat perih di banding ujian-ujian hidup yang sebelumnya. Kini dirinya seperti mendiami jiwa yang kosong, menyelami ruang hampa dan melangkah tanpa arah. Dunia seakan tidak lagi menampakkan warna, hanya satu yang senantiasa merapat di kepalanya. Yaitu rasa takut.. Keimanan di dadanya serasa runtuh lalu menjauh dari dalam dirinya. Peristiwa di balai desa itu membuatnya sakit lahir dan bathin. Perempuan tua berambut perak itu seperti tidak mampu lagi menahan beban pikiran yang menderanya.
            Malam itu Qohar tidur disampingnya, menemaninya tidur sambil memijiti kaki dan tangannya, tetapi pijatan Qohar yang lembut itu tetap tidak mampu mengobati kegundahan hatinya. Kedua bola matanya yang sayu membiru sulit terpejam meski telah berusaha ia pejamkan. Ia hanya pura-pura tertidur kala Qohar memijitinya, hingga akhirnya Qohar tertidur pulas disampingnya. Di tengah malam kedua bola matanya masih liar dan sulit untuk di takhlukkan. Mata sebagai cerminan jiwa, penyibak sebuah rahasia, pembuka tabir yang terangkum dalam kalbu seakan ikut merasakan beban pikiran yang terlampau jauh bersarang di kepalanya. Semua itu tak mudah untuk di lupakan. Sesakit dan seberat apapun permasalahan hidup yang melilitnya seringkali dengan mudahnya terlupakan. Paling jauh permasalahan itu hilang setelah bangun tidur, tapi kali ini tidak, belenggu itu masih terus menghantui pikirannya. Hingga fajar menyingsing kedua bola matanya masih liar. Dengan nafas tersengal-sengal ia mencoba untuk mengingat kalimah Allah, disebutnya asma-asma Allah.
"Qohar! bangun cucuku!" Mbok Nah membangunkan sambil membelai lembut  keningnya.            Qohar terbangun dari tidurnya. Di rabanya jari jemari di kedua tangan neneknya, terasa panas.
" Tanganmu terasa panas sekali Mak. Maknyak tidak apa-apa kan?.".
"Aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Cepat ambil air wudlu dan laksanakan shalat!."
Selesai sholat tak lupa Qohar memanjatkn doa sebisanya, meminta dan mengharapkan kesembuhan neneknya.
"Qohar! kamu sudah shalat.”
"Sudah Mak!.”
"Sekarang buka pintu dan jendela dapur lalu beri makan ayam-ayamnya dan jangan lupa beri makan kura-kuramu, setelah itu Maknyak buatkan bubur!.”
 Tanpa menunggu komando susulan, berlandaskan keprihatinan Qohar dengan cekatan membuka pintu dan jendela lalu memberi makan ayam dan kura-kuranya kemudian ia mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bubur.
"Maknyak! kelapanya habis!" Ucapnya sambil melongok ke bilik Mbok Nah.
"Masih satu butir di dalam ember." Jawab Mbok Nah dengan suara lirih.
            Persedian kayu di dapur tinggal sedikit, hanya tersisa beberapa ranting ia lalu kebelakang rumah mengambil kayu bakar. Di belakang rumah ia tertegun menerawang ke atas pucuk ranting pohon bambu yang menaungi rumahnya, ia mulai khawatir dengan kesehatan neneknya yang tak kunjung sembuh di tambah lagi keadannya yang sudah tidak sanggup lagi menelan nasi dalam bentuk utuh. Jalan satu-satunya adalah dengan mengolahnya menjadi bubur nasi sehingga memudahkannya untuk bisa di telan karena bentuknya yang lebih lembut. Setelah orang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang secara tulus padanya kini keadaannya terpuruk tak berdaya ia jadi lebih menyadari dan memahami arti hadirnya seorang nenek baginya, yang selalu setia dengan tulus dan penuh kesabaran merawat, mendidik dan membesarkannya. Seandainya semenjak dilahirkan tidak ada orang yang sudi merawatnya, mungkinkah dirinya masih bisa hidup?. Atas semua ketulusan yang telah di berikan padanya ia berjanji kepada diri sendiri akan merawat neneknya dengan segenap tenaga dan kemampuannya, ia ingin membalas rasa tulus neneknya yang selama ini di curahkan hanya kepada dirinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, dengan cekatan diambilnya kayu bakar satu persatu.
Kini bubur nasi aroma santan kelapa yang praktis itupun tersaji di meja makan di samping tempat tidur Neneknya. Dulu jauh sebelum Neneknya jatuh sakit setiap kali membuat bubur nasi atau masakan lainnya  secara tidak langsung Qohar selalu melibatkan diri. Baik itu membantu mengambil daun pisang, memarut kelapa atau pekerjaan lainnya sehingga ketika Qohar di perintah membuat bubur nasi oleh neneknya ia langsung mengiyakannya tanpa merasa keberatan. Bubur nasi adalah sesuatu hal yang tidak asing lagi baginya.
Kali ini Qohar berperan sebagai motivator, menjadi sumber spirit bagi neneknya, ia mencoba bermetamorfosa menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir. Bertindak sebagai penyejuk bagi jiwa yang masih di liputi rasa ketakutan. Dengan sabar ia suapi Neneknya sesuap demi sesuap. Dengan memaksa diri perempuan tua itu mencoba menelan suapan dari Qohar meski lidahnya terasa pahit, semua itu di lakukannya demi sambungan nafasnya yang kian terburai. Semangkuk bubur itupun akhirnya habis di lahapnya, bubur yang rada berasa asin itu telah mampu merangsang kerongkongannya untuk segera di guyur air minum. Dipintanya segelas teh manis suam-suam kuku.
Alhamdulillah....
Terbersit rasa syukur di hatinya lalu dari keningnya yang kusut seperti keluar titik-titik embun kecil yang bening dan seperti menjalar di sekujur tubuhnya. Segelas teh hangat itupun seperti bocor melalui celah-celah yang sangat kecil dan samar. Hanya melalui mikroskop ukuran sepuluh kali sepuluh. Celah-celah  samar itu bisa terlihat menganga dengan jelas. Perlahan tubuhnya basah oleh keringat.
"Qohar! kakiku masih terasa ngilu. Nanti habis nyuci piring, Maknyak carikan jahe, temulawak sama rumput teki di kebun, terus di rebus seperti yang biasa ku lakukan” Pinta Mbok Nah pada Qohar.
Di tepi kampung, Qohar di kesendiriannya sedang bersusah payah mencabut sebagian rumpunan temulawak, Temulawak yang tinggi tanamannya bisa mencapai dua meter setengah dan tentunya lebih tinggi dari tubuhnya itu baginya seperti halnya upaya menahlukkan seekor ayam muda untuk di tangkap. Tidak mudah untuk di cabut apalagi ia sendiri lupa tidak membawa peralatan semacam cangkul atau peralatan lainnya. Dirinya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar temulawak yang panjang dan terpendam dalam tanah lempung itu. Ia terengah-engah namun batang temulawak itu masih tetap tegak di tempatnya, ia nyaris putus asa seandainya ia tidak menemukan akal yang lebih cemerlang. Ia teringat sewaktu neneknya menaruh pisau usang yang sudah tumpul di simpan dibawah gubuk kecil di bawah pohon nangka. Dibawah gubuk itu pula ia menemukan sebatang cungkil. Di galinya tanah lempung yang elastis itu di sekeliling temulawak dengan perlahan memakai cungkil dan pisau usang yang entah telah berapa minggu tidak pernah di asah. Dengan tekad terakhir ia mencoba mencabut batang temulawak itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung mulai menegang, ditolaknya bumi dengan entakan kaki sekuat mungkin, serabut-serabut akar halus mulai terputus, perlahan tanah merekah. Temulawak yang gagah itupun menyerah di titik nadir. Perakaran panjang yang mengarah ke segala penjuru terputus semua. Ketika temulawak itu berhasil tercabut ia jatuh terduduk. Tetapi hatinya terbersit kegembiraan yang tak terukur, seperti menemukan satu kemenangan.
Satu pekerjaan telah selesai, ia lalu mencari rimpang jahe dan rumput teki. Tak seperti rimpang temulawak yang berbatang tinggi sehingga sulit di cabut. Rimpang jahe dan rumput teki berbatang pendek dan remah, mudah untuk di cabutnya, sehingga tidak menemui kesulitan untuk mendapatkannya. Dengan mudah kedua rimpang itu ia dapatkan. Sesampai di rumah bahan-bahan untuk ramuan itu di cuci bersih lalu di tumbuk di sebuah lumpang kemudian di rebus dengan air tiga gayung seperti biasanya sewaktu neneknya membuat ramuan. Malam itu kesehatan Mbok Nah berangsur-angsur pulih setelah meminum ramuan buatan Qohar. Kedua bola matanya yang semula sayu membiru pelan-pelan terlihat semakin hitam jernih. Kedua tangan dan kakinya yang semula terasa berat kini telah terasa ringan.
Merasa dirinya sudah agak baikan di suruhnya Qohar mengambil jarek di teras belakang. Ia lalu beranjak ke sumur mengambil air wudlu. Setelah selesai berwudlu ia mendapati Qohar tengah gemetar di ujung bale-bale biliknya.
"Kamu kenapa cucuku?" Tanya Mbok Nah penasaran. Tak ada jawaban, Qohar  terdiam dan sekujur tubuhnya gemetar.
"Bocah bagus ada apa? kok seperti di kejar babi." Tanyanya kali kedua. 
"Aku baru saja melihat setan Mak!."
"Setan-setanan? " Jawab Mbok Nah balik bertanya.
"Bukan, bukan setan-setanan." Kata Qohar sambil geleng-geleng kepala." Yang ini beneran Mak!, tadi sewaktu mengambil jarek di teras belakang Aku melihat putih-putih seperti melayang di bawah pohon dadap. Aku takut sekali mak!"
"Di kibuli setan kok takut, Itu karena sewaktu kamu mengambil jarek tidak membaca basmalah terlebih dahulu. Ya to?"
"Iya, saya lupa Mak." Jawab Qohar tersungging senyum.
" Lupa kok di pelihara. Setiap mengawali segala pekerjaan bacalah Basmalah supaya selamat. Mungkin yang kamu lihat tadi hanyalah plastik putih kecil tertiup angin. Karena kamu tidak membaca basmalah, maka kamu dengan mudahnya di perdaya oleh setan. Putihnya kertas di malam hari di dalam kamarpun akan tampak seperti pocong kalau kamu sendiri lupa membaca basmalah!"
" Mak! kata faldi sekarang sudah tidak ada setan. Apa itu benar mak?"
"Iya benar, sekarang itu sudah tidak ada setan. Tapi perlu kamu tahu bahwa setan di masa sekarang ini sudah menyatu dalam diri manusia, termasuk bisa juga bersemayam di tubuhmu, yang jelas setan sekarang sudah berubah, bukan tidak ada!. Kalau ada orang yang marah lalu  mengamuk seperti kesetanan, maka di situlah setan bersemayam. Karena akal, hati dan pikirannya telah di kuasai oleh nafsu dan amarah yang di timbulkan oleh setan. Ketika akal, hati dan fikiran manusia sudah tidak lagi berfungsi karena di kendalikan setan, maka hakikatnya orang yang seperti itu lebih hina dari pada binatang. Dulu kata Mbah Rasup Buyutmu, sewaktu maknyak masih kecil katanya setan itu bisa kelihatan, terkadang menampakkan diri dalam bentuk manusia, binatang, genderuwo, kuntilanak dan lain sebagainya. Tetapi sekarang apakah kamu pernah lihat setan?"
"Tidak pernah."
"Maknyak sendiri sudah pernah lihat?.
"Tidak pernah, tapi kalau melihat orang yang sudah mati lalu hidup lagi Maknyak pernah melihatnya."
"Bagaimana Mak ceritanya?"
Mbok Nah bertutur. 
     Suatu hari di siang bolong Aku pergi menyusul bapak ke pematang, jalannya waktu itu melewati tengah kuburan. Biasanya di tengah kuburan itu memang tidak ada apa-apa baik itu di saat pagi hari maupun sore hari. Tapi hari itu terasa ganjil, Aku berpapasan dengan kakek tua berbaju serba putih, di tangannya menggelantung seutas kain putih yang telah lusuh. Kakek tua itu  melintas persis di depanku, jalannya tertatih-tatih, pakaiannya compang-camping dan kotor penuh dengan bekas tanah basah seperti habis dari sawah mengolah lahan. Dari kedua sorot matanya mengisyaratkan sebuah kekecewaan yang mendalam, tampak pucat dan sayu membiru seperti seseorang yang tengah menderita katarak. Rambut kakek tua itu meski pendek tapi terlihat acak-acakan seperti tak pernah di sisir berbulan-bulan. Sebelumnya ku memperhatikan kakek tua itu datang dari perkampungan, Aku sendiri merasa tidak pernah melihat dan mengenalinya. Karena saking penasaran Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Dari mana Mbah?"
"Dari rumah anakku."  Jawabnya dengan suara lirih agak terbata-bata.
"Rumahnya di mana Mbah?"
"Di kampung seberang."
“Ma’af Mbah, namanya siapa?”
“Namaku Munarman.”
"Kok membawa kain putih cuma segitu?. Untuk apa?." Tanyaku penasaran.
"Untuk keselamatanku. Sudah beberapa minggu lamanya setiap sabtu pahing saya mengingatkan anak-anakku, jika tali pocongku sebenarnya belum di buka, yang telah di buka hanyalah kain di lapis pertama." Jawab Kakek tua itu dengan nafas seperti tersengal-sengal.
"Masya Allah!!." Aku kaget, bulu kuduknya berdiri dan seluruh kepalaku tiba-tiba seakan seperti diperban kuat-kuat, di tekan-tekan tanpa terlihat pelakunya.
        Seketika itu Aku menjerit histeris, berteriak sekeras-kerasnya sambil berlari namun ndilalah kersaning Gusti, tak seorangpun yang mendengar teriakanku. Aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kakek tua itu. Setelah sampai di kejauhan  Aku teringat beberapa minggu yang lalu ada sebuah berita kematian dari kampung seberang, nama orang yang telah meninggal itu tidak lain adalah Munarman. Sesaat setelah kematiannya orang-orang kampung terutama para ibu-ibu memperbincangkan beberapa persoalan yang masih membelit Munarman, diantaranya persoalan harta warisan. Meski di usianya yang telah udzur dan telah memiliki banyak cucu dan beberapa cicit akan tetapi harta pusaka dan peninggalannya terutama beberapa petak sawah dan kebun belum dibagi dan di serahkan kepada anak-anaknya. Belum selesai kisah mistis itu di ceritakan Qohar secepat kilat mendekap ke tubuh neneknya lebih erat.
"Memangnya tali pocong itu harus di buka ya Mak?" Tanya Qohar berselidik.
"Ya iya to!"
"Kok tidak di buka sendiri tali pocongnya?" Rasa keingintahuannya tiba-tiba membuncah. 
"Kamu kira mayat bisa membuka sendiri tali pocongnya?" Seloroh Mbok Nah balik bertanya. 
"Mayat itu bangkai manusia, sudah tidak bisa apa-apa lagi karena ruhnya telah pergi. Ruh itu barang gaib, bisa melihat tetapi tidak bisa meraba. Ada suara tapi tanpa ada rupa seperti kamu!"
"Ah Maknyak menakut-nakuti saja. Oh ya Mak! barang gaib itu seperti apa?" Tanya Qohar penasaran
"Ya tidak seperti apa-apa!." Mbok Nah diam sejenak. "Kamu pernah melihat angin?"  
"Pernah."
"Ya kira-kira seperti angin itu, bisa di raba dan di rasakan tapi tak bisa di lihat.
"Ohh begitu."  Ujarnya mengangguk-angguk puas.
"Yo wis kalau begitu kamu baca basmalah terus berdoa seperti biasanya terus tidur."
            Merasa dirinya sudah sembuh, di pagi buta tanpa sepengetahuan Qohar, Mbok Nah mengambil air wudlu lalu mendirikan sholat kemudian menuju dapur hendak menanak nasi. Diambilnya air dari sumur untuk mencuci beras lalu memasaknya. Karena airnya di rasa kurang iapun mengambil lagi ke sumur. Begitu air di dapat lalu di bawa ke dapur, tetapi ia malah terpeleset dan jatuh di dekat sumur hingga pingsan, kepalanya terbentur sebuah tiang bambu di samping sumur. Tak ada seorangpun yang mengetahui hal ini, beberapa saat kemudian Qohar terbangun dan tidak mendapati neneknya di sampingnya, iapun bergegas mencari neneknya, begitu di temukan Qohar kaget bukan kepalang..
"Maknyak! bangun mak!." Setelah tersadar Qohar membantu memapahnya ke dalam bilik.
"Maknyak kan belum sembuh benar, kenapa tidak istirahat saja?" Dari kedua bola matanya seperti meleleh bulir-bulir air mata.
"Nasinya kalau sudah matang di buat bubur saja."
"Sudah! masalah itu jangan di pikirkan yang penting maknyak sehat dulu."
             Setiap kali Mbok Nah mengangkat periuk dari tungku Qohar seringkali melihatnya tanpa melapisi lampi atau tatakan lain di kedua tangannya, tetapi setelah di coba ternyata tak semudah dengan yang ia kira, antara berat dengan dimensi panas menyatu, tak kuasa ia bertahan terlalu lama barang beberapa detik. Ketika periuk belum selesai di pindah ujung jari di tangan kirinya tiba-tiba terkena bara api kecil yang menempel di dinding periuk sehingga melepuh dan meninggalkan bekas luka.         
Bubur nasi putih itu telah matang dan kini telah tersaji di meja. Diambilnya semangkuk buat dirinya dan semangkuk lagi buat neneknya. Bekas luka yang masih terlihat melepuh berusaha ia tutup-tutupi namun karena suatu ketidak sengajaan lukanya terbentur mangkuk bubur di sampingnya, meski benturannya tidak terlalu keras tetapi ia telanjur mengaduh pelan secara spontan tanpa sengaja.
“Aduh!.”
"Kenapa dengan tanganmu?"
"Kena percikan api Mak!"
"Kenapa tidak hati-hati, siapa nanti yang merawatku jika kamu juga ikut sakit?" Keluh Mbok Nah menghawatirkan keadaan Qohar.
"Tidak apa-apa Mak, nanti juga sembuh.?”
 Di luar sana kabar miring mengenai persekongkolan Mbok Nah dengan orang-orang China Tiongkok cepat tersebar. Orang-orang kampung yang masih lugu dan masih menganggap tabu kehadiran orang-orang asing itu jelas-jelas dengan mudahnya terpancing hasutan pihak-pihak yang tidak menyetujui penguasaan lahan oleh orang-orang China Tiongkok. Satu bentuk kesalah pahaman yang kian mengakar di masyarakat. Bumbu-bumbu dusta pelan dan pasti merasuk ke dalam sendi-sendi percakapan para ibu-ibu. Headline beritanya, Mbok Nah sekarang menjadi lebih berani kepada pemerintah Desa Rakusan  semenjak bertemu dan bersekongkol dengan orang-orang China tiongkok.
            Belum genap dua hari peristiwa balai Desa itu, kini beritanya telah tersebar luas hingga kepelosok-pelosok kampung, pelan dan pasti gaungnya terdengar dimana-mana. Seperti lautan luas yang kejatuhan rembulan, gelombang ombak lalu pelan-pelan menjalar menyambangi daratan. Dari mulut ke mulut kesimpang siuran kabar mengenai Mbok Nah kian meluas, Tersiar kabar Mbok Nah mulai berani melawan pemerintah Desa Rakusan karena ada yang mendalangi, tersiar kabar pula Mbok Nah membantu pengusaha China tiongkok di dalam upaya menguras sumberdaya alam yang ada dengan menguasai tanah ulayat warga kampung setempat. Jika semua itu terjadi dikhawatirkan akan mengganggu kearifan lokal yang telah lama mengakar dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari warga kampung setempat. Apabila kearifan lokal, sebuah tradisi positif yang membudaya kian tercerabut dari akarnya maka bukan tidak mungkin akan hilang mata pencaharian penduduk warga kampung.
Begitulah satu gambaran kekhawatiran warga kampung yang semakin menjadi-jadi. Semua itu sengaja di hembuskan oleh sebagian orang yang tak menghendaki adanya penguasaan lahan oleh orang asing, belum lagi kabar-kabar yang melenceng lainnya. Kabar yang berhembus dari mulut ke mulut itu tak lagi utuh, dari satu orang kepada yang lain selalu di hiasi dengan bumbu penyedap atau bahkan tidak jarang dari berita itu sengaja ada yang mengurangi ataupun menambahi isi pokok dari berita itu, menjadi topik hangat untuk di perbincangkan oleh ibu-ibu di warung, di kebun dan juga di sawah yang tengah mulai musim tanam. Kabar yang tak jelas juntrungannya itupun sampai juga ke telinga KH Idris, pemimpin pondok pesantren Attaubah sekaligus pembina dan pengasuh sebuah majlis taklim. Seorang Kiai yang sangat kuat berpegang teguh pada Al qur'an dan Hadits, teguh pendiriannya dan keras penerapan sistem pengajarannya serta semangat jihadnya yang luar biasa, seorang kiai yang tak pernah meninggalkan jubah itu sangat menjunjung tinggi dalil naqli dibanding dalil aqli meski keponakannya sendiri kiai Ubaidillah yang -lebih mengutamakan dalil Aqli- seringkali meributkan masalah Muhammad dengan pamannya Abu thalib. Kenapa Muhammad tidak mengislamkan Abu thalib pamannya sendiri?. Kenapa pula menuntut ilmu dan membangun madrasah itu hukumnya wajib, padahal di zaman Muhammad tidak satupun dijumpai walaupun hanya sebuah madrasah?.
Di majlis taklim Attaubah asuhan KH Idris itu Mbok Nah mengaji dan menuntut ilmu selama ini. Begitu kuat pengaruh KH Idris di masyarakat, seolah-olah melebihi peran pemerintah. Setiap kali ada permasalahan yang mencuat, peran kiai selalu di elu-elukan dan selalu menjadi jujugan masyarakat sekaligus sebagai tempat berbagi dan berkeluh kesah. Bagi KH Idris Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah suatu keniscayaan, harga mati yang tidak bisa di tawar-tawar. Setelah mengetahui adanya desas-desus  penguasaan lahan oleh orang asing dari selentingan warga yang tak menghendaki adanya monopoli yang di dasari oleh kesalah pahaman. Tanpa menunggu waktu lama Kiai Idris mengerahkan sebagian santrinya ke balai Desa Rakusan, menuntut agar lahan yang telah di beli oleh pengusaha china Tiongkok supaya secepatnya dibatalkan dan segera di blokir sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara di waktu yang sama KH Idris mengutus dua orang santrinya menemui Mbok Nah. Dalam pertemuan itu dua orang santri itu  menyampaikan pesan dari KH Idris yang berisi himbauan agar Mbok Nah tidak usah lagi hadir mengikuti pengajian majlis taklim yang diasuhnya karena telah dianggap mencemarkan nama baik majlis taklim. Majlis taklim yang diasuhnya sebulan sekali itu tidak menerima jama'ah yang mempunyai cacat moral macam Mbok Nah.
Tanah kapling yang telah dibeli beberapa hari yang lalu  dengan sah itu di datangi ratusan santri. Mereka membawa batu, kayu, minyak tanah dan peralatan lain untuk memblokir tanah kapling yang dianggapnya terlaknat itu. Dengan di bantu para pemuda kampung setempat mereka semakin leluasa mengobrak-abrik tanah kapling yang sedianya untuk pembangunan pabrik kopra itu. Gubuk kecil yang menjadi tempat persinggahan barang sebentar oleh pak Yusuf dan pak Amin  juga tidak luput dari amukan para santri dan pemuda-pemuda kampung, gubuk kecil berukuran dua kali dua meter itu ikut terbakar hangus hingga rata dengan tanah. Dengan di bakar semangat jihad mereka teriakkan yel-yel takbir sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya. Saling menyambung dan mengisi satu sama lain. Kalimah takbir yang suci itu dengan sengaja mereka menodainya, mempermainkan bahkan semua itu sama artinya dengan menginjak-injak kesuciannya. Atas nama Tuhan mereka memblokade tanah yang pada hakikatnya bukanlah haknya. Tanah kapling yang mulanya untuk pembangunan pabrik pengolahan kelapa demi kemajuan bersama itu akhirnya terbengkalai dan entah sampai kapan pembangunan itu di lanjutkan. Di sadari atau tidak mereka telah menjajah saudaranya sendiri, saudara seiman yang sama punya hati sanubari meski tak sama wajah dan haluan. Hanya karena dzahir yang asing itu mereka bertikai, memamerkan sayap kekuasa'an satu sama lain.
Apakah dengan berbuat demikian Tuhan akan bangga?.Atau bahkan menjadi menang mungkin?. Tanpa semua itupun Tuhan telah menang, telah berkuasa, mutlak diatas segala-galanya. Mereka orang-orang yang lugu mungkin kurang memahami jika Tuhan tidak memerlukan semua itu. Apalagi sedu sedan Kiai Idris maupun para santri yang pongah itu untuk memperoleh kehormatan di mata sebangsanya. Tidakkah cukup bagi mereka kenikmatan yang senantiasa Tuhan limpahkan? Hingga mereka tega merampas hak orang lain. Jika memang mereka berdalih akan sebuah jihad dan pembelaan Agama, Agama yang manakah yang mereka bela?. Dengan samar mereka ingin menuhankan diri dan semua itu adalah bagian dari taktik iblis yang amat sangat halus sehingga tiada lagi terasa, sungguh seperti tanpa sekat. Ketika semua itu berhasil maka para iblis dan hulu balangnya akan berpesta pora merayakan kemenangannya, karena telah mendapatkan umpan yang kelak bisa diandalkan untuk dijadikan kerak di dalam neraka
Belum sepenuhnya sembuh dari sakit ujian hidup kembali datang bertubi-tubi. Kini seorang Kiai yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah telah berbalik menyerangnya dari belakang. Ratusan santrinya dikerahkan untuk menolak apa yang telah menjadi angan-angannya selama ini. Dampak dari semua itu muncul sentimen dan protes keras dari masyarakat. Oleh para tetangga Mbok Nah di juluki sebagai orang tua berotak udang, perempuan tua yang sudah tidak waras. Hanya beberapa tetangga yang terhitung jari memberikan dukungan atas jalan hidup yang di tempuhnya. Terasa berat beban pikiran yang di tanggung, di wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam, membendung penderitaan tetapi tidak menampilkan dendam. Walau sakit dihatinya tak serta merta mudah untuk dihapus, tetapi ia tetap  berusaha menghapus memori peristiwa balai Desa yang membuatnya sakit lahir bathin itu. Sakit hati yang tak akan pernah ada obatnya itu hanya bisa di obati oleh virus, virus cinta dan tawakkal kepada Ilahi. Rasa sakit yang tak biasa itu memperlambat proses kesembuhannya. Di usianya yang menginjak kepala tujuh muncul kekhawatiran dalam dirinya, kelak suatu saat ia harus berpisah dengan  ruhnya, ia mencoba untuk merelakan sebuah perpisahan yang abadi. Di dalam bathinnya bertanya-tanya mungkinkah diriku memang sudah waktunya? Atau mungkin ini yang disebut penyakit renta? Berapapun waktu yang telah dijatah oleh gusti Allah harus diterima. Biarpun waktu yang ditorehkan untuknya hanya tinggal beberapa hari. Bukan Aminah namanya jikalau harus berhenti dari ikhtiar, itu sama artinya menyerah sebelum babak pertandingan usai.
"Baskom cuci tangannya mana?" Pintanya sehabis menghabiskan setengah mangkuk bubur.
"Ya Mak, sebentar!.”
"Kenapa tidak dihabiskan ?"  Tanya Qohar setelah mengantarkan baskom kecil untuk mencuci tangan.
"Mulutku terasa pahit.” Ujar Mbok Nah mengeluh. ”Kamu sudah makan?” Tanyanya kemudian.
"Belum lapar Mak!” Jawab Qohar Dengan wajah lesu.
"Kalau begitu Maknyak ambilkan uang di lemari lalu belikan bubur kacang hijau dua bungkus. Sekalian belikan pil reumatik dan flu tulang dua kaplet, kedua kakiku terasa ngilu.”
"Tadi saya mau mencuci tapi sabun cucinya habis Mak!.”
"Ya sudah! kamu belikan sabun cuci sekalian." Perintahnya kemudian.
            Bubur kacang hijau telah didapat, tidak lupa Qohar mampir ke rumah Bu Maryam untuk membeli obat dan sabun cuci. Sementara di waktu yang sama seorang Ibu muda yang tengah belanja di warung Bu Maryam menanyakan keadaan Mbok Nah kepada Qohar.
"Kata Bu Mirna kemarin nenekmu sakit, bagaimana keadaannya sekarang? sudah sembuh?".
"Belum."
"Sudah lama sakitnya?.
"Baru dua hari."
            Begitu barang yang di pesan telah di dapat lalu dengan terburu-buru Qohar membayar barang belanjaan tetapi oleh Bu Maryam sebagian uang dari Qohar sengaja di kembalikannya itung-itung sebagai amal sirran1.
"Kapsulnya tidak usah bayar!."
"Nanti saya di marahi maknyak."
"Wis ra opo-opo, lha wong nenekmu sakit kok masih banyak bertingkah!.
"Terima kasih Budhe."
            Malam mulai menampakkan wajahnya, rembulan yang diwaktu siang bersembunyi di balik awan itu kini waktunya menampakkan diri. Sekumpulan kelelawar mulai keluar dari lubang pada ruas-ruas bambu di setiap teras rumah. Sebagai suatu pertanda waktu maghrib telah tiba. Kearifan alam hadirkan pengetahuan yang bermetamorfosa menjadi sebuah tradisi. Anak-anak dengan busananya yang rapi mulai menyandang kitab suci lalu dengan indahnya anak-anak kecil melafadzkan kalam ilahi. Kalimah-kalimah yang selalu selaras dengan berbagai zaman itu tidak akan pernah bisa dinodai hingga dunia di gulung. Setiap hari setiap minggu muncul tunas-tunas baru al khamil2 di seluruh penjuru dunia yang senantiasa mengawal dan menjaga kesuciannya. Sementara ayam, kambing dan ternak-ternak lain telah masuk kandangnya masing-masing. Burung hantu, mahluk Tuhan yang unik, bisa memutar lehernya hingga seratus delapan puluh derajat itu mulai mengasah ketajaman indera penglihatannya dengan  sorot matanya yang kaku seolah tak bisa bergerak. Seandainya seseorang memperhatikan sorot matanya berlama-lama maka akan tersipu malu dan meringis di buatnya, siapapun orangnya, karena sorot matanya yang tajam itu terus memaku seperti sedang berakting. Tetapi aktingnya keterlaluan dan mampu mengalahkan rekor hingga berjam-jam lamanya. Burung itu menanti dan terus menanti datangnya mangsa, begitu mangsa datang secepat kilat burung itu menyambarnya. Selepas waktu Isya' para tetangga dengan beberapa anaknya datang menjenguk Mbok Nah.
Malam itu Qohar sedikit sumringah, para ibu-ibu secara sukarela membagi tugas masing-masing. Ada yang membantu merapikan tempat tidur, melipat baju, memijiti, dan  memasak air. Adapula beberapa ibu yang sengaja datang untuk menghibur dengan banyolan-banyolannya yang khas.
"Lho setelah di pijiti kok malah sekujur tubuhnya makin terasa dingin bagaimana ini?. Wah jangan-jangan..." Kata seorang perempuan kepada rekannya.
"Ah kamu menakut-nakuti saja." Sahut yang lain.
"Lha wong tubuhnya makin terlihat segar gitu kok, ya mbok ya?" Tanya seorang perempuan yang berpakaian abu-abu. Mbok Nah cuek saja sambil menahan senyum. Lalu kemudian senyumnya mengembang.
"Lha mukamu kenapa? kok coreng moreng, habis masak ya?" Tanya yang lain sambil terus memijiti kaki Mbok Nah, mengada-ada. 
"Masa iya, lha wong saya tadi mau kesini ya bedakan dulu." Keluhnya sambil mengelus-elus pipinya. "Yang mana sih?". Tanyanya kemudian. 
"Itu lhoo itu." Tipu yang lain ikut nimbrung sambil  jari telunjuknya mengarah lurus ke arah orang yang tengah menjadi bahan tertawaan.
" Yang mana?" Tanyanya lagi." Ngaco kamu!."
"Lha wong kamu di kibuli kok mau." Ujar yang lain membuka tabir.
"Sudah tua kok gampang di tipu Mbok Sarmi... Mbok Sarmi. "
"Mbok! sampeyan ini sudah tua perbanyak istirahat saja." Nasehat seorang yang memakai pakaian merah marun, lalu kemudian memohon diri pamit pulang.
" Wes poko'e tenangkan pikiran, perbanyak dzikir biar cepat sembuh." Ujar yang lain.
"Wes poko'e sing sabar Mbok!"
"Jangan lupa makan makanan yang bergizi."
"Kok makannya cuma bubur. Mbok yao di belikan sate atau ayam goreng gitu lho, uang banyak kok pengiritan." Gerutu yang lain dengan wajah cemberut sambil memberikan bungkusan plastik berwarna merah.
            Malam semakin larut, para ibu beserta anaknya satu persatu pamit pulang. Dari para tetangga itu Mbok Nah mendapatkan banyak buah tangan berupa roti, mie instan, sate ayam, lontong pecel, keripik singkong hingga kacang rebus. Dengan senang hati setelah semuanya telah pulang, Qohar membuka dan mencicipi sebagian oleh-oleh dari para tetangga itu tanpa harus menunggu perintah dari Mbok Nah. Melihat aksi dan semangat Qohar cucu satu-satunya di dalam membuka bungkus demi bungkus itu, guratan-guratan kecil di wajahnya mulai bertambah dekil. Menyiratkan kebahagiaan yang tak ternilai. Mbok Nah Semakin bertambah  sumringah setelah melihat Qohar makan roti coklat belepotan. Ingatannya melayang jauh ketika Qohar masih lucu-lucunya, teringat pula tingkah polah Qohar sewaktu gagal menangkap anak ayam, berebut lauk dengan kucing sewaktu ditinggal dirinya mengambil air minum. Sewaktu ingin  belajar makan sendiri lalu di tinggalnya dan belum lama di tinggal nasinya tumpah lalu dengan terburu-buru di tutupinya dengan debu pada hal waktu itu Mbok Nah melihat semuanya dari balik pintu. Teringat pula di saat ia membuatkan titilo jago tilo[10] membuat Qohar gembira bukan main, saking gembiranya kakinya kesandung dan terjatuh lalu menangis. Begitu mudahnya tawa itu menjadi tangis.
"Maknyak kok malah bengong?Maknyak tidak makan!" Tanya Qohar memecah kebekuan.
"Tidak, tapi lapar!." Candanya dengan nada serius." Coba kamu lihat yang di plastik merah itu isinya apa.?"
"Maknyak kepengen?. Saya suapin ya Mak?." Tawar Qohar.
"Isinya apa?" Mbok Nah tetap kekeh dan kembali mengulang pertanyaannya.
"Ayam goreng."
"Jangan kau makan!. Buang saja atau berikan pada kucing!" Larang Mbok Nah sambil geleng-geleng kepala.
"Kenapa Mak?"
"Barang itu tadi di berikan dengan setengah hati, itu artinya pemberiannya tidak ikhlas. Kamu tahu kan maksudnya?"
Qohar terdiam.
"Jika kamu pengen nanti kita beli sendiri!." Hibur Mbok Nah kemudian.

























Prasangka

Dari prasangka  
Penyesalan itu datang 
Karena prasangka
kejernihan kalbu menghilang 
Oleh prasangka
Beribu dusta menghadang 
Di dalam sudut-sudut ruang 
Di setiap sisi kehidupan























Telah beberapa hari Mbok Nah belum mengunjungi sawahnya, pada hal setiap kali dalam sehari sawahnya harus terairi agar bisa mendapatkan hasil yang di harapkan. keadaannya memang belum pulih benar. Sewaktu Mbok Nah masih sehat setiap hari setiap waktu ia habiskan hari-harinya hanya untuk di sawah, jarang sekali Mbok Nah menghabiskan waktunya untuk mengobrol hingga berjam-jam seperti kebanyakan orang kampung pada umumnya. Sebelum ia kembali ke sawah ia ingin memastikan jika dirinya sudah benar-benar sembuh. Kedua kakinya masih merasakan ngilu dan pegal-pegal. Tidak ingin sawahnya telantar dan mengering begitu saja, Mbok Nah menyuruh Qohar agar ke sawah mengambil jatah pengairan.
"Qohar...kamu ke sawah mengambil jatah pengairan, nanti kalau ada yang melarang bilang saja sudah berhari-hari belum dapat jatah. Jangan sampai tidak dapat soalnya mungkin sekarang sawahnya sudah kekeringan." Perintah Mbok Nah sembari menasehati dengan memberikan sebuah jurus jitunya.
            Di pematang Qohar bertemu dengan ibu-ibu yang tengah menyiangi rumput di sawah tetangga. Mereka bercuap-cuap ria dan saling mengungguli satu sama lain. Suasana ramai mengisi hari-hari di persawahan. Tak jauh dari tempat para ibu-ibu yang bercuap ria itu ada lagi sekumpulan ibu-ibu yang juga tengah mengobrol dengan sesekali di selingi tawa yang secara tidak langsung telah menjadi sumber semangat tersendiri. Tanpa di sadari waktu terus berjalan dan tanpa terasa pekerjaan selesai lalu pulang. Begitulah orang-orang kampung dengan keluguannya  di dalam mengisi hari-harinya.
            Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan jatah pengairan karena sawah-sawah di sekitarnya telah terairi, air yang melimpah itu ia arahkan begitu saja kesawahnya.
"Yang mengairi kok kamu? Mbahmu ke mana?" Sapa seorang ibu yang biasa akrab dipanggil Mbak Rumini.
"Di rumah, sedang tidak enak badan."
"Mbahmu katanya sakit ya?” Tanya perempuan yang lain.
“Ya, sakit”
"Kebanyakan uang kalii?" Sahut seorang perempuan yang memakai caping gunung bercat hijau sambil mencabuti rumput sembari bercanda.
"Sakit apa?." Tanya seorang perempuan yang berselempang selendang.
"Hanya ngilu di kakinya."
"Ooh kena reumatik mungkin." Sahut yang lain.
"Biasanya kalau kebanyakan uang yang sakit itu kepalanya karena pusing mau di kemanakan itu uangnya” Sahut yang lain lagi sambil cengar-cengir.
“Tapi kalau kakinya apa dibuat mikir?" Seloroh perempuan paruh baya yang tengah mengumpulkan rumput hendak di buang.
"Kamu ini ada-ada saja."
Begitulah para ibu-ibu buruh tani berceloteh ria. Dari waktu kewaktu selalu ada saja topik yang di bicarakannya.
            Tidak ingin ikut hanyut dalam obrolan ibu-ibu itu. Qohar pergi menjauh memperbaiki dan mengecek saluran air sambil menyiangi rumputan liar di sela-sela tanaman padinya. Biasanya pekerjaan itu dilakukan sambil menunggu ratanya permukaan air. Di sepanjang guludan rumput-rumput liar dan ilalang di bersihkan dengan rapi. Dari jauh samar-samar tanpa di sengaja, masih terdengar pembicaraan ibu-ibu tadi. Semenjak kedatangannya ke sawah pelan-Pelan mereka menggiring dan mengalihkan topik pembicaraan ke masalah neneknya. Di bawah terik panasnya mentari yang kian menyengat tak menyurutkan para ibu-ibu itu untuk terus bergosip, bahkan kesannya malah terasa semakin asyik. Ada semacam rasa puas dan bangga menghinggapi hati mereka apabila mengetahui berita itu secara mendetail. Sekaligus sebagai hiburan untuk upaya keluar dari keadaan yang menelikungnya, terkungkung oleh rasa jemu, keram dan pegal-pegal di sekujur badan ketika mulai memasuki waktu dzuhur karena telah capek, biasanya waktu dzuhur adalah waktu istirahat untuk melepas lelah dan letih. Mereka seperti terhibur dengan cara bergosip ria dan seolah terobati akan sebuah candu yang telah lama mengakar dan bersarang di kepala para ibu-ibu itu. Sambil menyiangi rumput para ibu-ibu itu tak henti-hentinya ngomongin orang lain. Sementara Qohar semakin asyik pula dengan dunianya sendiri, mengairi sawah sembari menyiangi rumput, lalu sesekali pergi ke sungai dan nyebur dengan gaya sirkusnya.
"Kayaknya memang sudah cukup lama ya. Mbok Nah tidak ke sawah." Ujar perempuan yang dari tadi pagi pekerjaannya hanya membuang rumput ke selokan
"Mungkin sakitnya sudah ada seminggu, kalau tidak salah semenjak dari balai Desa." ujar yang lain.
"Mbak yu tak bilangin!. Jangan bilang ke orang-orang ya? Kabarnya Mbok Nah itu sudah tidak di perbolehkan ngaji di majlis taklim asuhan pak Yai Idris karena bisa mendatangkan aib bagi Majlis Ta'lim itu sendiri. Kalau Mbok Nah tetep nekat ikut pengajian itu sama artinya dia mencemarkan nama baik pak Yai, sampai-sampai kata Mbok Karti  yang ikut pengajian kemarin pak Yai berpesan kepada seluruh para jamaah agar supaya berhati-hati di dalam bekerja, bertindak maupun bersikap. Jangan menjadi manusia yang kebablasan. Janganlah sampai menjadi Mbok Nah yang kedua kali, yang lurus-lurus saja gitu lho." Bisik Nyai Sarkem kepada katimeh.
"Katanya Mbok Nah cuma jadi makelar tanah?" Timpal Katimeh pelan.
"Makelar sih makelar tapi buktinya kan kayak gitu, sekongkol dengan orang-orang kafir." Ujar nyai Sarkem yang biasa menyamakan orang-orang asing itu dengan orang kafir.
"Sakitnya mungkin adzab dari gusti Allah." Seorang perempuan yang lain berkesimpulan.
"Adzab kepalamu!. Lha wong Mbok Nah itu katanya bela-belain ke balai Desa demi keadilan kok!." Bela Kasanah, tetangga jauh Mbok Nah yang sejak tadi diam saja. "Dia itu protes dengan aturan yang di buat pak Carik yang katanya berubah-ubah itu!."
"Aku dengar-dengar sih katanya Mbok Nah itu menempelkan kertas, entah isinya apa gitu lho di papan balai desa sehingga memancing amarah para perangkat  Desa." Ujar yang lain.
"Bukan begitu, tapi yang jelas menurutku Mbok Nah itu cuma negur atau sekedar mengingatkan pihak  pemerintah Desa. Pihak pemerintah Desa kan juga manusia yang bisa saja salah dan khilaf. Siapa lagi yang mau menegur atau mengingatkan pemerintah kalau bukan masyarakatnya seperti kita, benar apa tidak.?" Kata yang lain kepada rekan-rekannya.
"Aku saja setahun yang lalu waktu membukukan surat tanah yang di belakang rumahku itu baru jadi kemarin, itupun karena sering-sering  tak beri uang tambahan biar cepet kelar, sampai habis dua juta lho!."
"Apa semua itu harus dibiarkan terus menerus.?” Sahut perempuan yang lain.
"Yaah mau bagaimana lagi, ya dimaklumi saja. Lha wong nyalon kades saja modalnya sudah ratusan juta, dari mana modal bisa kembali kalau bukan dari masyarakat!." Pungkas kasanah nerocos begitu saja lalu berlari-lari kecil menuju sungai, hendak ngising.
            Beberapa hari ini Mbok Nah menjadi bahan perbincangan, baik itu di rumah, di warung, di sawah, bahkan di majlis ta'lim dan tempat-tempat pengajian para ibu-ibu. Kini Qohar telah terbiasa mendengar neneknya diperbincangkan, tidak ada lagi rasa heran maupun kaget mendengar pembicaraan-pembicaraan konyol tentang neneknya. Selesai mengairi sawah ia langsung pulang dan tidak lupa di setiap jejak langkahnya di sepanjang perjalanan ia sempatkan diri untuk memunguti kayu-kayu kering. Tanpa terasa semakin banyak kayu bakar yang di dapatnya, dengan tergopoh-gopoh ia membawanya sambil sesekali istirahat di bawah rimbunnya pohon asem. Di waktu yang sama tak jauh dari tempatnya beristirahat terparkir sebuah mobil colt dengan warna hitam metalik, salah seorang penumpangnya datang menghampirinya. Sejenak ia teringat beberapa hari yang lalu dengan salah seorang yang akan mendekati dirinya, teringat sewaktu rumah neneknya di datangi dua orang tamu asing yang tidak begitu di kenalnya itu, lama-lama ia mengenali betul wajah seseorang yang mulai mendekatinya, namun ia tak mengetahui siapa namanya.
"Memang itu orang nya." Ujar pak Puji, sopir pribadi pak Amin  yang tengah menunggu di pintu mobil setengah berteriak.
"Hai bocah bagus kamu cucunya Mbok Ginah, bukan?" Tanya pak Amin setelah menghampiri Qohar.
"Ya pak. Saya cucunya."
"Di mana dia sekarang?"
"Di rumah, kemarin sewaktu Maknyak pulang dari balai Desa badannya langsung panas demam, Maknyak di hukum di balai desa." Ujarnya polos.
"Oohh...Ya sudah jangan bersedih!" Hiburnya kemudian. "Ayo ikut sekalian, taruh kayunya di atas bak, kita ke rumahmu!."
Ajak pak Amin dengan mengangguk-angguk.
            Di teras rumah Mbok Nah duduk selonjor diatas dipan sambil mengupasi kacang tanah. Sementara Qohar, pak Puji dan pak Amin datang beberapa menit kemudian. 
Tanpa basa-basi, begitu sampai di rumah Pak Amin dan pak Puji langsung menanyakan tanah kapling yang telah di blokir itu. Qohar masuk ke rumah hendak makan siang, sebelumnya telah dipersiapkan Mbok Nah.
"Nenek masih sehat?"
"Alhamdulillah sehat."
"Nenek sudah tau mengenai tanah kapling yang telah kami beli kemarin sekarang telah di blokir?.Tanya pak Amin sambil duduk di sebelah Mbok Nah.
"Ya tahu. Saya mohon maaf pak, saya tidak bisa berbuat apa-apa, kata Sarmi kemarin tanah itu sudah di palangi kayu. Sungguh saya tidak mengira kalau akhirnya di tutup seperti itu, saya sama sekali tidak mengerti dengan semua ini."
"Oke kalau Nenek tidak mengerti, tapi setidaknya Nenek tahu jika tanah itu bermasalah kan? Lalu kenapa Nenek tidak berterus terang saja dari awal. Sehingga kami dari pihak perusahaan yang merugi. Anda tidak sekongkol kan dengan pelaku pemblokiran?." Tanya pak amin dengan sungguh-sungguh. Tetapi tak sepatah katapun yang terlontar dari Mbok Nah. 
"Tolong jawab dengan jujur Nek?" Sela pak Puji menambahkan. Mbok Nah masih tertunduk lesu, dari kedua bola matanya meleleh bulir-bulir air mata.
"Aku benar-benar  tidak tahu dengan semua ini."
"Saya lebih tidak mengerti kenapa Nenek bisa di hukum di balai desa?"
"Bagaimana semua itu bisa terjadi?"
"Nenek bisa berbagi kepada kami perihal kejadiannya sehingga bisa sampai di hukum?"
"Tidak. Saya tidak di hukum, saya hanya ditahan dan di kurung beberapa jam."
            Lalu Mbok Nah bertutur tentang peristiwa itu hingga tuntas. Selesai bertutur tentang pengalaman pahitnya itu pak Amin meminta ijin agar Mbok Nah bersama Qohar bersedia di potret.
"Kok di photo segala untuk apa?. Wong saya sudah tua gini kok!" Tukas Mbok Nah dengan lugu. .
"Nek! perusahaan kami selain mengelola pabrik kertas juga mengelola media cetak harian dan rencananya tahun depan perusahaan kami akan merambah di bidang pengolahan hasil perkebunan di lima wilayah di Indonesia. Dan jangan salah nek! pak Amin yang memotret ini selain mempunyai pekerjaan sebagai konsultant juga merangkap sebagai seorang wartawan, spesialis ilmu pengetahuan dan informasi." Ujar pak puji menerangkan." Nenek tahu itu?”
"Yaah aku hanya orang kampung yang tidak tahu apa-apa."
"Ooh ya nek! kami baru saja meliput sebuah insiden pembunuhan di desa Sekar tak jauh dari kampung ini sebelum kami meninjau bakal lokasi proyek yang tengah di blokir itu. Nenek belum tahu kan kabarnya?”
"Aku malah tidak tahu, pada hal desa Sekar itu tetangga kampung ini.
"Kejadiannya tadi malam Nek! seorang istri di bakar suaminya di belakang rumahnya sendiri. Awalnya warga menyangka pelaku pembakaran sedang membakar sampah karena di jumpai banyak kertas kardus dan kertas folio di sekitar lokasi pembakaran. Baru kemudian pagi harinya warga kampung di buat geger setelah seorang pemulung menemukan jasad seorang perempuan tanpa busana yang telah gosong di sekujur tubuhnya, kuat dugaan suaminya sedang stress berat karena tidak dilayani istrinya malam itu. Dari saksi mata seorang penjual jamu, sebelumnya pelaku memesan dua butir jamu kuat..
"Masya allah!!. Ujar Mbok Nah takjub sambil mengurut dada.
            Hanya berselang dua hari kemudian kisah pilu Mbok Nah di balai Desa Rakusan lengkap beserta dua fotonya bersama Qohar terpampang di salah satu harian terbitan Ibu kota. Belum ada satupun warga kampung Bendo dan sebagian besar warga Desa Rakusan yang mengetahui perihal nongolnya Mbok Nah di harian Ibu Kota itu. Tetapi dari pihak balai Desa hanya berselang satu hari kemudian setelah berita itu diturunkan para perangkat Desa Rakusan baru mengetahuinya. Begitu diketahui berita mengenai penuturan Mbok Nah yang blak-blakan itu di sebuah harian Ibu Kota, pihak pemerintah Desa Rakusan langsung geger di buatnya. Dengan cepatnya bola liar berita itu menggelinding ke segenap sudut-sudut perkampungan. Di warung makan, pos kamling, aula, musholla maupun masjid. Pak Lurah sendiri begitu melihat berita tentang kelakuan buruknya beserta jajarannya di tulis di sebuah media massa terbitan ibukota darah pak Lurah seakan ikut mendidih. Bagi Pak Lurah kewibawaannya kali ini benar-benar tercoreng, di tampar sekeras-kerasnya oleh perempuan Renta yang hakikatnya tidak mempunyai daya dan upaya. Mbok Nah sendiri semenjak berita mengenai profil dirinya diturunkan malah sama sekali tidak tahu. Tetapi ia harus mengalah kepada nasib, pihak pemerintah Desa Rakusan menduga semua ini adalah sebuah rekayasa terencana, suatu permainan dari Mbok Nah seorang, sebuah permainan fatal yang tidak bisa di maafkan. Berita itu dinilainya sudah lebih dari mencemarkan nama baik Desa Rakusan. Atas dugaan pencemaran nama baik itulah Mbok Nah kembali di gelandang ke balai Desa Rakusan.
            Belum sepenuhnya pulih dari rasa sakit lahir bathin yang menderanya Mbok Nah  harus menghadapi kembali kenyataan pahit. Berhadapan dengan manusia-manusia yang bertindak dan bersikap seperti anjing-anjing yang kelaparan. Kembali dihujani pertanyaan-pertanyaan konyol yang seharusnya tidak pantas untuk di pertanyakan. Kali kedua Mbok Nah di tahan justru terasa lebih menyakitkan. Tetapi karena kali ini ia lebih siap lahir bathin sehingga tidak terlalu menggoncang jiwanya. Penahanannya di balai Desa kali ini bahkan tanpa ada kepastian kapan akan dibebaskan karena dari pihak pemerintah Desa Rakusan menyatakan masalah yang kedua kali ini masih dalam tahap pengkajian. Pada hal untuk menunggu masalah di kaji ulang terlebih dahulu bisa saja dari pihak pemerintah Desa mengulur-ulur waktu sebagai sebuah bentuk pembalasan. Sementara Qohar di usianya yang belum genap sepuluh tahun harus mulai membiasakan diri bolak balik dari rumahnya ke balai Desa Rakusan atau sebaliknya, perjalanan itu di tempuhnya sejauh enam kilo meter. Jarak yang lumayan melelahkan untuk ukuran anak kecil seusia Qohar. Menjenguk neneknya saban pagi dan sore hari, mengantarkan makanan, pakaian dan keperluan lainnya.
Tiga hari berlalu, Qohar dengan setia menjenguk neneknya di tahanan gadungan itu. Hingga suatu hari di sore hari seusai pulang dari balai Desa Rakusan Qohar kedatangan dua orang tamu yang mengaku sebagai wartawan tempo hari, suatu kebetulan. Mereka terdiri dari pak Amin dan pak Puji.
"Nenekmu ada di rumah?" Kata  pak Puji kepada Qohar.
"Tidak ada, lagi di balai desa."
"Karena kami terburu-buru, ini ada sedikit uang sebagai ungkapan rasa terima kasih kami karena  kemarin nenekmu mau meluangkan waktunya dengan kami untuk sekedar berbagi cerita dan peristiwa." Kata pak Amin sambil menyodorkan secarik amplop berisi uang.
            Oleh Qohar amplop itu diterima dengan wajah memerah, matanya berkaca-kaca lalu di bukanya dengan seksama. Dan setelah mengetahui isi amplop itu berisi uang kemudian tanpa pikir panjang uang itupun di buang dan tercecer di tanah.
"Gara-gara uang itu maknyak di hukum lagi.."
"Dasar anak kecil sombongnya selangit. Apa maksudmu uang itu kamu buang!" Kata pak Amin dengan geram lalu membuang ludah.
"Orang miskin yang tidak tahu diri." Timpal pak Puji menambahkan..
            Tak ada kebencian atas hujaman kata-kata kasar yang dilontarkan para tamu itu kepada dirinya, yang tergurat di wajahnya hanyalah wajah kepolosan seorang anak kecil yang tengah di rundung duka. Air matanya terus meleleh meski telah berulang kali ia menyekanya.
"Maafkan saya ya bocah bagus, bukan maksudku untuk menghinamu, tapi kenapa uang pemberianku harus kau buang ?" Rasa bersalah itu tiba-tiba bergelayut di benak pak Amin setelah melihat beningnya air mata bocah kecil itu yang terus meleleh.
"Karena photo yang beredar di koran itu Maknyak kembali di marahi dan sekarang masih di hukum di balai Desa."
"Ya Tuhan kenapa bisa jadi begini runyam urusannya. Ya sudah, kalau begitu kamu sekarang ku antar ke balai Desa. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk nenekmu. Kita tidak boleh gegabah, hanya pihak yang berwenang yang berhak menyelidiki masalah ini. Kamu jangan khawatir! biar nanti saya hubungi pihak yang berwenang agar segera membebaskannya." Kata pak Amin meyakinkan Qohar lalu diambilnya handphone dari dalam kantong celananya dan menelepon pihak Kepolisian.
            Hari itu juga Qohar diantar ke balai Desa dan hanya diantar sampai di seberang jalan, tepat didepan balai Desa Rakusan. Sebelum berpisah pak Amin memberikan sebuah bungkusan berisi biscuit sembari berpesan kembali kepada Qohar agar tidak usah lagi mengkhawatirkan keadaan Neneknya karena nanti polisi akan datang dan membebaskan neneknya.
"Jangan khawatir!. Nenekmu pasti akan baik-baik saja, polisi nanti akan datang menyelamatkan Nenekmu. Karena hari ini kita ada meeting di kantor. Insya Allah saya akan datang kerumahmu untuk menindak lanjuti masalah ini."
Lalu mereka pergi meninggalkan Qohar.
            Memasuki balai Desa Rakusan seperti memasuki sarang binatang buas. Kalau bukan karena keterpaksaan mungkin Qohar tidak akan pernah sudi untuk menyambanginya, juga karena ketulusan cintalah Qohar memberanikan diri menemui neneknya di balai Desa Rakusan. Di mata Qohar para perangkat Desa Rakusan tak ubahnya seperti monster yang menakutkan. Seorang perangkat Desa yang berbadan tambun, besar, tinggi dan berkumis tebal dengan mata melotot  terlihat  mondar-mandir layaknya setrika tepat di depan kamar yang di huni neneknya. Sementara di pojok ruangan empat orang yang masih berbaju dinas tengah bermain kartu domino. Dengan tegar Qohar memberanikan diri menemui Neneknya, membawakan selembar jarek dan sebungkus nasi serta biskuit pemberian dari pak Amin.
Tak sampai satu jam kemudian apa yang dikatakan pak Amin terbukti. Sejumlah enam orang polisi tiba-tiba mendatangi kantor kepala Desa Rakusan, dua diantaranya memakai baju sipil.
"Selamat siang pak!"
"Ya siang. Ada apa ini?"
"Kami dari kepolisian mendapatkan surat perintah penyelidikan mengenai adanya dugaan penyekapan terhadap seorang Nenek, ini suratnya!."           
Belum tuntas sudah surat itu di baca seorang perangkat Desa berbadan kurus dan berpakaian batik  menanyakan perihal siapa yang mengadukan masalah ini ke kepolisian. Di dalam surat itu tanpa dicantumkan nama terang sebagai pihak pelapor, tetapi data-data dan alamat pelapor telah di kantongi di kepolisian. Pelapor mengatas namakan PT Wahana Nusantara.
"Bagaimana bisa masalah ini ditindak lanjuti tanpa adanya pihak pelapor?. Ini fitnah!. Siapa yang berani mencari gara-gara seperti ini?." Ujar seorang perangkat Desa yang mengenakan batik lurik.
"Yang jelas ada yang melapor pak!. Mustahil kami ditugaskan tanpa adanya perintah."
"Bapak lihat sendiri,  disini tidak ada apa-apa seperti yang di tuduhkan pihak pelapor. Silahkan di cek kebenarannya kalau tidak percaya!" Ucap perangkat yang lain membela diri.
            Seolah para perangkat Desa Rakusan sudah tahu apa yang seharusnya dikerjakan. Tanpa harus membagi tugas masing-masing, salah seorang petugas memperlakukan Mbok Nah dan Qohar dengan layak atau bahkan mungkin seperti raja di depan para polisi. Faktanya para Polisi memang mendapati seorang nenek beserta seorang cucunya di dalam sebuah ruangan tetapi tidak ditemui adanya tanda-tanda tindak kekerasan atau penyekapan. Fakta itu tidak berbanding lurus dengan apa yang di tuduhkan pihak pelapor. Dari fakta-fakta yang yang ditemukan, sama sekali tidak di jumpai adanya penyekapan maupun tindak kekerasan, kenyataannya seorang nenek beserta cucunya memang tengah makan dengan lahapnya di sebuah kamar yang lebih mirip gudang.
"Perempuan tua itu beserta cucunya kami temukan tengah luntang-lantung di depan balai Desa, itulah yang membuat kami iba dan kami  beri makan seadanya, lagian nenek itu telah berulang kali memalukan pihak balai Desa dengan caranya yang mondar-mandir di depan balai Desa tanpa ada perlunya, pantas saja makannya kami beri tempat di gudang."
            Dari tingkah polah dan sikap para perangkat Desa, sejumlah Polisi itupun  memahami jika para perangkat Desa Rakusan tengah membela diri terutama cara-cara  musangnya itu terbaca dari keterangan yang terakhir. Tercium gelagat aneh nan ganjil yang seharusnya tak di ambangkan ke permukaan.
"Ya sudah. Kalau begitu sediakan kami makan siang kalau tak ingin di periksa lebih lanjut." Kata seorang polisi kepada seorang perangkat yang berbadan tinggi dan berkumis.
            Tanpa babibu salah seorang perangkat  langsung bergegas menuju warung makan yang terletak disamping balai Desa. Selesai di jamu makan siang salah seorang polisi mengecek kembali keadaan perempuan tua itu beserta cucunya di dalam sebuah ruangan yang lebih mirip gudang itu.
            Di ruangan itu Mbok Nah dan Qohar terlihat tengah makan buah jeruk, pemberian dari salah seorang perangkat Desa. Satu upaya pengelabuan untuk bersembunyi dibalik topeng kemunafikan. Dengan nada halus seorang polisi yang berambut keriting itu lantas menanyainya.
"Nenek kenal dengan PT Wahana Nusantara?"
"Saya tidak kenal, tidak  tahu apa-apa."
"Punya saudara di PT Wahana Nusantara? "
"Tidak punya."
"Maaf. Seberapa luas sawah dan tanah Nenek?"
"Untuk apa?. Saya hanya punya sawah dan kebun tinggalan."
"Bukan begitu Nek!. Seandainya kalau masalah ini masuk ke ranah hukum dan berlanjut ke pengadilan, maka bukan tidak mungkin sawah dan kebun Nenek akan habis untuk membiayai pengadilan seperti yang sudah banyak terjadi."
"Siapa yang sudi membawa masalah ini ke pengadilan? ke kantor polisi saja aku tak pernah!.Aku tidak mau masalah ini menjadi runyam, Aku sudah tua. Di usia tuaku ingin kuhabiskan waktuku di rumah bersama cucuku, Aku ingin hidup tenang bersama cucuku."
"Ya sudah, kalau begitu Nenek boleh pulang sekarang."      
            Tanpa berbelit-belit Mbok Nah dan Qohar di ijinkan pulang. Keesokan harinya Pak Amin datang memenuhi janjinya. Pak Amin datang bersama dua orang, seorang berkaos putih berbadan tambun dan seorang lagi berjas rapi dan bertopi untuk sekadar menutupi kepalanya yang pelontos. Dari dalam mobil pria tambun itu mengeluarkan beberapa bungkusan plastik warna hitam serta dua kaleng biskuit berukuran sedang. Diteras rumah Qohar masih asyik menikmati pekerjaaannya, mengupasi pisang yang telah masak untuk bahan dasar pembuatan nogosari, rencananya kalau tak ada aral melintang nanti malam Mbok Nah akan menggelar syukuran kecil-kecilan.
Pagi itu Mbok Nah sudah tidak ada di rumah, ia pergi ke kebun mengambil keperluan dapur dan juga daun pisang.
"Bagaimana kabar nenekmu?.
"Baik. "
 “Ada di rumah, bukan?"
“Tidak ada, sedang di kebun.”
"Bisa kau panggilkan sekarang!"
"Ya pak, tunggu sebentar "  Terlebih dahulu dengan cekatan Qohar membersihkan sisa kulit-kulit pisang yang tercecer untuk dikumpulkan lalu di buang di belakang rumah.
Belum sempat di tunaikannya perintah dari pak Amin tiba-tiba Mbok Nah sudah kembali pulang dengan membawa beberapa macam barang bawaan.
"Itu Maknyak!." kata Qohar kepada pak Amin sembari menunjuk lurus kearah Mbok Nah lalu menemuinya.
"Ada tamu Mak!"
"kenapa tidak disuruh masuk?"
"Saya lupa."
"Masih kecil kok sudah pikun. Ini daun pisangnya jerang di depan tungku lalu jahe sama kunyitnya taruh di ember." Perintah Mbok Nah bersahaja lalu menemui para tamu.
"Silahkan masuk pak? Tadi malam cucuku sudah cerita semuanya. Saya tidak tahu harus ngomong apa. Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan dan tidak lupa saya haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kebaikan dan ketulusan bapak. Kini Alhamdulillah Saya bisa kembali kerumah dengan keadaan sehat wal afiat."
"Sudah lupakan saja Nek!. Biarlah itu semua menjadi pelajaran hidup."
"Lalu bagaimana nasib orang balai Desa?apakah mereka di tangkap?"
"Aku tidak tau apa-apa, aku hanya di tanyai seorang polisi seputar harta bendaku sebelum di ijinkan pulang. Sementara para perangkat Desa  membiarkanku pulang bersama cucuku begitu saja. Sebelumnya cucuku melihat mereka makan bersama di aula depan dan di waktu yang sama kami juga di beri makan ditambah pemberian sesisir pisang raja dan jeruk beberapa buah. Tapi pak! biarlah masalah ini cukup sampai di sini, jangan di besar-besarkan apalagi di perkarakan. Aku khawatir melihat masalah kriwikan menjadi grojogan[11]."
"Saya melihat ini semua penuh dengan persekongkolan dan kesewenang-wenangan dari segelintiran orang yang sengaja menghalang-halangi niat tulus kami. Sehingga lahan bakal proyek yang telah kami beli dengan sah menjadi terbengkalai karena keputusan sepihak, ini sama sekali tidak adil. Apabila masalah ini di lanjutkan apa yang harus di takutkan?. Kita tidak perlu takut, tidak ada yang perlu ditakutkan dalam masalah ini bahkan kepada siapapun juga termasuk para perangkat Desa Rakusan itu. Kita tidak boleh takut kecuali hanya kepada Allah!."
"Begitu fasih kau melafadzkan kalimah Allah, bukankah kau dari etnis tiongkok?"
"Bukan. Saya bukan dari etnis tiongkok, saya keturunan betawi tulen, hanya saja mungkin sejak kecil saya di rawat dan dibesarkan oleh orang Tiongkok sehingga saya  mirip seperti orang tiongkok, dari sifatnya,sikapnya maupun tindakannya” Pak Amin diam sejenak lalu bertutur tentang bagaimana dirinya terlahir ke dunia. Semasa terlahir kedunia aku tertahan di rumah sakit karena orang tuaku tidak mampu membiayai biaya persalinan dan ditambah lagi ibuku wafat sesaat kemudian setelah melahirkanku, ayahku sendiri seperti tak kuasa menahan beban penderitaan setelah tahu belahan jiwanya sudah tidak lagi bernyawa. Di tambah lagi hutang pembiayaan rumah sakit yang masih terkatung-katung tidak jelas kapan bisa terbayar. Waktu itu ayahku sengaja menahanku di rumah sakit karena tidak mempunyai biaya untuk menebusnya. Kepada setiap orang yang di temui tanpa rasa malu ayah meminta bantuan biaya tapi hasilnya nihil, tak seorangpun yang mau membantu membiayai biaya persalinan yang lumayan besar waktu itu .Mendengar kabar mengenai ketidak mampuan ayahku di didalam membiayai biaya persalinan, Lie kang tjoan  seorang tetangga yang kebetulan dari etnis tiongkok membantu membiayai seluruh biaya persalinan. Lalu kemudian sebagai sebuah bentuk penghormatan dan rasa terimakasih ayahku memberikan hak asuh kepada keluarga Lie kang tjoan dan meminta kesediaannya untuk memberikan sebuah nama. Jadilah diriku menjadi Amin ong gwee. Atas pemberian nama yang berbau tiongkok itu aku sangat bersyukur dan sama sekali tidak mempersoalkannya, tetapi justru saya sangat bangga karena itulah keadilan dari Tuhan. Berangkat dari kenyatan pahit itulah saya menjadi begitu mencintai orang-orang tiongkok dalam berbagai hal. Ayahku bertutur. Semenjak ayahku belum terlahir di kampungku memang telah bermukim orang-orang  tiongkok dari klan Tjoan
"Apakah Nenek tidak melihat jika semua ini penuh dengan ketidak adilan dan penuh dengan  kemunafikan?. Ini adalah sebuah bentuk dari kedzaliman!. Nenek tidak usah khawatir biar nanti saya dan rekan yang akan mengatur semuanya.”
            Mbok Nah terdiam, seraut wajahnya muram lalu tertunduk lesu. Hatinya seperti tersayat jika teringat kisah pilu bagaimana ia  dilahirkan dulu. Ibunya Nyai Rasup sang pejuang tanpa tanda jasa itu pernah bercerita tentang bagaimana Mbok Nah kecil terlahir di tengah-tengah kesusahan. Waktu itu Nyai Rasup tengah mengandung menginjak usia sembilan bulan. Di saat-saat suasana sedang gawat-gawatnya. Pemerintah kolonial Belanda mengepung rumah-rumah pemukiman orang-orang pribumi dari berbagai arah. Pemerintah kolonial Belanda kembali melancarkan serangannya secara besar-besaran. Serangan yang membabi buta itu tidak hanya terfokus dari daratan melainkan juga dari udara dan laut. Benar-benar keadaan suatu Bangsa sedang genting-gentingnya. Di hari itu para tentara Nasional dan warga sipil banyak yang gugur di medan pertempuran, kalaupun selamat tidak sedikit diantara para pejuang maupun warga sipil yang terperangkap di medan pertempuran, terkena peluru panas. Banyak warga sipil yang menderita luka parah hingga kemudian menjadi cacat seumur hidup. Perkampungan warga di kepung meskipun  tempat perkampungan itu terletak di lereng-lereng gunung sekalipun. sebagian Ibu-ibu dan anak-anak yang selamat dan berhasil lolos dari kepungan tentara kolonial Belanda lari tungang langgang ke atas gunung dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa.
            Nyai rasup sendiri menyelamatkan diri bersama suaminya Ki Rasup. Dengan sekuat tenaga Nyai Rasup dan suaminya lari dengan tertatih-tatih menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Nyai Rasup yang tengah hamil sembilan bulan itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus melangkah meniti jalanan berliku. Pada hari itu adalah serangan kali kedua dilancarkan. Kali kedua yang menjadi sasaran adalah pemuda-pemuda desa yang masih tersisa , yang di perkirakan masih bersembunyi di rumah-rumah warga. Di balik hutan larangan dan di lereng-lereng gunung Muria. Beberapa hari sebelumnya para pemuda-pemudi desa termasuk Ki Rasup suaminya,  menyerang sebuah markas milik tentara Belanda yang disinyalir didalamnya tersimpan bahan makanan dan obat-obatan. Di markas tentara kolonial Belanda itu hanya tinggal lima orang tentara Belanda, tiga orang di dalam dan dua orang lagi berjaga-jaga di luar. Suatu kesempatan emas untuk segera menyerbu dan menjarah segala yang ada di dalamnya. Dengan segera para pemuda Desa mulai menghimpun kekuatan, seluruh anak muda Desa di kerahkan dan pecahlah pertempuran sengit itu. Dalam hitungan menit lima orang tentara Belanda itu tewas seketika, tertombak oleh tajamnya bambu runcing yang sebelumnya telah di doakan dan di jampi-jampi terlebih dahulu oleh beberapa sesepuh Desa. Tanpa menunggu waktu puluhan pucuk senjata, bahan makanan dan obat-obatan dijarah seluruhnya. Sehari setelah peristiwa itu, saat matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri terdengar suara peluru berdesingan. Seluruh perkampungan di obrak-abrik lalu di bakar habis. Rumah-rumah warga banyak yang hancur berkeping-keping, rata dengan tanah. Sebelum nyawa Nyai Rasup ikut hangus terpanggang dalam bara api yang membara itu, Nyai Rasup sudah terlebih dulu menyelamatkan diri bersama Suaminya. Sore itu menjelang maghrib orang tua para ibu dan anak-anak terperangkap. Mereka di arak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tak berdaya ke distrik militer di dekat rumah letnan Abraham. Seperti  biasanya, disana mereka di sekap beberapa hari lalu di paksa membuka rahasia kemudian di bebaskan. Adapula yang di hukum jemur di tengah-tengah lapangan, di jerang di bawah panas terik matahari hingga berhari-hari lamanya. Dengan tertatih-tatih Nyai Rasup dan Suaminya terus menapaki jalanan curam dan terjal, mencari tempat persembunyian. Belum sempat Nyai Rasup bersama suaminya menemukan tempat persembunyian, takdir berkehendak lain, Ki Rasup  yang mulanya menyuruh Nyai Rasup agar berjalan di depan dan mendahuluinya itu akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Tepat di belakangnya Ki Rasup yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi dirinya itu, kini telah tertembak peluru panas. Nyai Rasup melihat sendiri bagaimana ki Rasup menggelinjang, mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru panas yang tembus di bagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu juga mengucur  membasahi kerah baju dan lehernya. Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir dari jasad Ki Rasup, dilihatinya wajah suaminya itu. Guratan senyum yang merekah menjelang kepergiannya tak seperti biasanya. Tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ki Rasup hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus.
"Selamatkan anakmu Imran!. Dia ku letakkan di bawah tanah di kamar kita, tepat di bawah tempayan."
            Tak lama setelah itu Nyai Rasup menjumpai raga suaminya yang kaku tak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Dipeluknya jasad yang tidak bernyawa itu erat-erat. Ki Rasup telah mati. Ya ia telah mati, jasadnya telah berubah menjadi mayat. Orang yang selama ini melindunginya telah terkapar di depan mata. Kedua bola matanya pelan-pelan terpejam, dari kedua bibirnya seperti ada senyuman yang tersungging. Sementara Mbok Nah berusaha tegar menghadapi sebuah kenyataan, dari kedua bola matanya tanpa disadari merembes bulir-bulir air mata membasahi wajahnya yang coreng-moreng oleh abu untuk mengelabui musuh. Nyai Rasup yang lemah tidak berdaya tidak  kekurangan akal, ia sempat pura-pura pingsan beberapa menit lamanya dan berada tepat di atas mayat Ki Rasup. Air matanya tak henti-hentinya jatuh berderai membasahi jasad suaminya, semua itu dilakukannya untuk sekedar mengelabui musuh. Lalu demi jabang bayi yang masih di kandung badan selama hampir sembilan bulan itu perlahan dengan langkah gontai Nyai Rasup meninggalkan jasad suaminya yang telah membujur kaku. Dibiarkan jasad suaminya tergeletak begitu saja tanpa seorangpun yang mengurusnya. Dalam batin Nyai Rasup berjanji kepada diri sendiri. Suatu saat apabila nyawaku masih di kandung badan akan kudatangi, akan ku cari dimana mayat suamiku tergeletak. Akan ku caritahu di mana keberadaannya, walaupun hanya tinggal bangkai. Akan kukemas bangkainya sedemikian rupa lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan dan kehidupan adalah pada kematiannya. Kepada anak cucuku kelak akan ku serukan bahwa semangat hidup takkan pernah mati dan perjuangan tak akan pernah usai.
Di depan mata Nyai Rasup menyaksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh untuk menjadi korban kerakusan manusia, mereka telah tertulis masanya, bahwasannya mereka akan tiada di waktu yang akan tertera. Mereka para ibu, orang tua dan anak-anak lari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan histeris ke atas gunung berhutan. Sebagian lagi terkena coretan ilahi, mati. Tergeletak berserakan di jalan-jalan tikus di bawah tebing. Nyai Rasup sendiri lari sebisanya ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan seakan-akan tepat di atas kepala. Spontan Nyai Rasup tiarap di tanah. Dalam tiarap itu Nyai Rasup seperti setengah sadar, dalam ketidaksadarannya Nyai Rasup merasa ruh telah meninggalkan jasadnya. Dengan serta merta berusaha di ikhlaskan raganya yang tidak lagi bernyawa itu meski terasa berat tetapi itu semua hanyalah perasaan takutnya yang berlebihan. Tanpa disadari karena terlalu lama tiarap di tanah, Nyai Rasup  telah mendiami dunia antah berantah, dunia bawah alam sadar. Nyai Rasup ketiduran, begitu terbangun hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam.
Padang rembulan seperti tepat diatas kepalanya. Ditengah malam itu mulai dirasakan sakit di perut lalu dicarinya tempat yang kering di bawah pepohonan hutan jati diantara rindangnya pohon kemuning. Saat berkontraksi rasa sakit di perut tak henti-hentinya mendera, rasa mulas yang luar biasa sakit tidak seperti biasanya. Sambil menahan rasa sakit dikumpulkannya helai demi helai dedaunan kering, ditata sedemikian rupa untuk sekedar tempat berbaring. Sendirian Nyai Rasup bergulat antara hidup dan mati, berteman pohon-pohon besar yang setia meneduhinya, hanya sepercik sinar rembulan yang sudi menerobos masuk untuk meneranginya, menemaninya dalam kesusahan.  Di keheningan malam itu suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi mungil. Tangis bahagia menemaninya malam itu. Beralas dedaunan kering dilahirkannya  seorang bayi perempuan tanpa sentuhan pertolongan dukun beranak tepat di tengah malam. Bagaimana pedihnya perjuangan seorang ibu di dalam melahirkan dan bertahan untuk bisa tetap hidup sungguh tidak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata. Perlu rentang waktu dari mulai mengandung melahirkan hingga menyusui selama tiga puluh bulan.   
Pak Amin masih menunggu jawaban dari Mbok Nah lalu kembali bertanya dengan nada agak lebih keras.
"Apakah Nenek sendiri tidak tahu jika semua ini adalah bentuk kedzaliman atau bahkan mungkin satu bentuk penjajahan baru?"
Mbok Nah tersentak oleh pertanyaan pak Amin yang kedua. Terputus dari lamunan panjangnya.
"Saya tahu!. Ini semua sama artinya dengan penjajahan oleh sebangsanya sendiri, tetapi diriku hanyalah perempuan biasa tidak bisa berbuat apa-apa. Kemarin saja sewaktu aku mencoba untuk protes sekedar ingin mengingatkan barang secuil anda tau sendiri apa yang ku alami dan ku rasakan kini?."
"Ya sudah. Mulai sekarang Nenek tidak perlu takut dan tidak perlu khawatir, biarlah dari pihak kami nanti yang akan mengurus semuanya."
Siang itu seluruh warga Desa Rakusan geger. Kantor kepala Desa di grebek pihak kepolisian. Akhir dari semua itu kepala Desa Rakusan beserta para kroni-kroninya di tangkap  dan di tahan. Lagi-lagi masyarakat Desa Rakusan tidak banyak yang tahu mengenai akar permasalahan itu. Warga Desa Rakusan hanya bisa menerka-nerka dengan kejadian di hari sebelumnya yaitu peristiwa penahanan Aminah di balai desa. Kesimpangsiuran berita mengenai penggerebekan tidak dapat di elakkan lalu kemudian kecurigaan mengarah dan bermuara kepada Mbok Nah yang diketahui sehari sebelumnya di tahan di balai Desa. Tak satupun warga Desa Rakusan  yang tahu jika yang memperkarakan masalah itu adalah pak Amin. Dalam sebuah perbincangan di handphone tempo hari pak  Amin mengancam pihak kepolisian. Ancaman itu tidak main-main, apabila permintaan penahanan kepala Desa tidak diindahkan maka pak Amin tidak segan untuk memberitakan ke publik perihal pembiaran dan kongkalikong dengan pihak-pihak  yang tidak bertanggung jawab ke berbagai media.
            Sejak peristiwa penggerebekan balai Desa Rakusan pelan dan pasti Mbok Nah menjadi terkucil dari pergaulan. Ia menjadi sesosok mahluk yang terasing di tengah-tengah keramaian. Tidak ada lagi tegur sapa yang merapat padanya. satu-satunya yang masih tetap bersahabat hanyalah alam, alam pesawahan diujung pematang.



Nama     :Syaiful Hisyam
T T L      : Jepara 16 april 1987
Alamat    :Gemiring lor Rt.02 Rw.07 Nalumsari Jepara
Pendidikan Terakhir. Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim Semarang 2009.(tidak tamat)
No Hp    : 083870099418        
               :082325769418
Alamat Email   : syaifulhisyam@rocketmail.com
Alamat Blog : http//melanjutkan mimpi.blogspot.com
14 mei 2012
18 desember.10.

Novel ini di tujukan untuk semua kalangan dan tidak terbatas oleh usia.
Sebuah novel edukasi yang nyentrik dan penuh intrik berisikan nilai-nilai kehidupan universal.




[2]  Kain batik serba guna. Fungsi utamanya sebagai selendang namun bisa juga di jadikan rukuh, kebaya hingga selimut.
1 Tempat shalat
2 Kain batik serba guna.Untuk selendang maupun pakaian wanita. Pakaian adat Perempuan Jawa pada umumnya.
1  Acara liwetan anak-anak muda.Sebuah tradisi yang mengakar di seantero pulau Jawa,di kampung-kampung. 
[3]  Sebangsa tanaman perdu. Batang pohon Merambat. Getahnya untuk meracuni hewan/ikan yang berdarah merah
[4]    Racun Ikan berbentuk padat. Biasanya untuk meracuni ikan Gabus, Ikan Bader. Yang berdarah merah.
[5]    Racun kontak. Untuk yang berdarah putih Seperti udang, ulat bakal capung dan trhompo.

1   Ibu,emak

1 Sejenis unggas liar berukuran  kecil,  yang lebih mirip burung puyuh dalam hal ukuran, bentuk, warna tubuh dan telurnya.
1  Gentong, tempat untuk menampung air bersih
1 Syair lagu yang di populerkan oleh Abim Ngesti

1 Permainan tradisional dengan memakai sebilah kayu per seorang anak.

1 Artinya. Yaa Allah Gusti..tidak layak aku masuk ke dalam sorga-Mu
Tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa
Dosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai, Maka anugerahilah hamba bertaubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
Sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku Ya Allah gusti.. hamba-Mu penuh maksyiat, Datang kepada-Mu bersimpuh memohon Ampunan,Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap.
 Sumber.http;//taubatku.wordpress.com.
1 Syair lagu yang di populerkan oleh pentolan group band Dewa.Ahmad Dhani.  

[6]  senin 6 Agustus dan kamis 9 Agustus1945
[6] 2  Pengeboman ini dilakukan pada tanggal 7 Desember 1941. Kala itu Angkatan Laut Jepang menyerang markas AL Amerika Serikat secara tiba-tiba di Hawaii.Hasil serangan ini ialah rusaknya atau tenggelamnya  20 kapal tempur Amerika, 188 pesawat terbang rusak dan 2.403 korban jiwa. Di pihak Jepang, Jepang 'hanya' kehilangan 55 pesawat tempur dari 441 pesawat tempur.sumber.Wikipedia Indonesia.

1   Tempat penampungan air dengan sisi bawahnya di beri kran. Untuk berwudlu,mandi dan keperluan dapur lainnya.

1   Dongkol, bersikap acuh tak acuh.

1  Mangkrak, menganggur, tak tergarap.
1  Agama



1 Alat untuk memanen buah-buahan semisal Mangga, Sawo dan sebangsanya.
1  Pihak keluarga yang terkena musibah.

1   Lagu pop jawa di populerkan oleh penyanyi Didi kempot. Dengan judul lagu Aku Dudu Rojo.

1 Anda kenalnya dimana?kok di cari-cari.

1 kerja,cari nafkah.

1  nyunggi berarti menyunggi atau membawa sesuatu di atas kepala.
2  Wakul,Bakul, Tempat/wadah nasi.Biasanya terbuat dari bambu,sekarang banyak barang tiruannya yang terbuat dari plastik.
3  tumpah
4  Lagu jawa yang mulai di lupakan. Di sadur dengan seadanya.
1  Oleh-oleh yang biasanya berupa nasi beserta lauk dari acara kondangan Atau dari berbagai acara tradisional lainnya  seperti acara selamatan, mitoni, dan berbagai seremonial lainnya.
2 Memasak nasi.
1 Syair lagu yang di populerkan oleh Abiem  Ngesti(alm) dengan judul  “ini Jaman Uang”.
1  Peringatan atau semacam sebuah nasehat.
[7] Manusia yang baik itu ringan tangan dan selalu mempermudah urusan, tidak menyukai perbuatan keji dan mungkar. Orang dengan kebiasaannya memperumit suatu masalah itu tiada bedanya dengan menjajah saudaranya sendiri. Lebih buas dari buasnya binatang buas. Secara dzahir sungguh tiada beda dengan binatang. Apakah tidak terpikir? Zaman dahulu tanah air ini di jajah selama bertahun-tahun, memerlukan pengorbanan yang tiada terhingga. Orang-orang terdahulu berjuang melawan segala bentuk penjajahan dengan tujuan ingin merdeka seutuhnya. Kini telah merdeka tetapi yang terjadi penjajahan malah semakin beringas dengan menjajah sebangsanya sendiri. Hidup seperti halnya tanpa suatu aturan. Ingatlah semua para perangkat desa tidak akan sampai satu abad nyawamu tertancap di dada, kamu semua bakal mati membaur dengan tanah.

[8] Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa yang melayani eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak. Sebagai seorang penguasa Jepara yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara kala itu sebagai bandar niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai “RAINHA DE JEPARA”SENORA DE RICA”, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya. Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hampir 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat. Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia. Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”. Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu. Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa.
Sumber. Wikipedia bahasa Indonesia.



[9] Aku tidak gila harta.
1  Rahasia: Suatu amal saleh yang tidak ingin diketahui orang lain. Sebagai cerminan suatu ketulusan dan keikhlasan. 
2  Sebutan untuk seseorang yang bisa menguasai dan menghafalkan Al Qur’an.
[10] Sebuah permainan rakyat. Caranya sebutir jagung rebus ditusuk dengan tusuk sate lalu ditancapkan pada selembar daun yang telah di ikat atau bisa juga di tancapkan pada pohon pisang.
[11]  Aliran air yang kecil menjadi kian membesar. Masalah kecil menjadi masalah yang kian membesar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun