Entri Populer

Selasa, 18 Januari 2011

Kau terlahir

Di atas kursi santai tak jauh dari tempat duduk Ny. Ratna, Bu Maria duduk berselonjor. Lalu tanpa basa-basi meluapkan kekesalannya terhadap Ny. Ratna, putri keduanya. Sepertinya Bu Maria masih belum lega, belum puas dengan perdebatan tadi malam dan seakan ingin melanjutkan kembali perdebatan malam itu.
"Puaskah kau sekarang!?" Bu Maria langsung menumpahkan kekesalannya pada Ratna. Sementara Ratna pura-pura sibuk dengan rutinitas pagi harinya, di depan laptop, menyelesaikan beberapa tugas yang dianggapnya masih belum clear menjelang keberangkatannya ke kantor. Ratna tak menanggapi walau sepatah katapun.
"Kau seperti tidak punya hati Ratna?" Bu Maria kembali meluapkan kemarahannya. Ratna masih pura-pura sibuk di depan laptopnya, mencoba bersabar agar tak terpancing oleh kemarahan ibunya. Bu Maria geram sekali, ia tak habis mengerti mengenai sikap Ratna.
"Biar kau tahu Ratna, orang seperti kita ini sudah lebih dari hidup berkecukupan. Apalagi yang kau cari di dunia ini? tidakkah kau pikirkan tujuan hidup dan harus kemana kita akan kembali, Ratna?. Uang itu tidak ada ujungnya. Dan perlu kamu ingat Ratna!. Kamu terlahir dari rahimku di tengah-tengah hutan di tengah malam. Lalu Bu Maria kembali bertutur tentang bagaimana susahnya ia didalam melahirkan Ratna. 
Menjelang sore, usai waktu ashar. Aku dan tatik, bulekmu mulai menumbuk jagung di lesung. Untuk keperluan makan esok hari. Nasi jagung waktu itu adalah suatu primadona. Tak banyak orang-orang kampung yang mengkonsumsinya. Terbatas kepada mereka yang hidup berkecukupan. Sarapan nasi jagung di masa itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan ketersediaan pangan. Walau ketersediaannya kala itu hanya bisa bertahan beberapa bulan lamanya. Lalu biasanya di musim kemarau nasi jagung itu  menjelma menjadi umbi-umbian sebagai sarapan sehari-hari karena mulai memasuki musim paceklik. Bahkan di luar kampung kami yang terpencil, sarapan nasi jagung tak serta merta di konsumsi saban hari. Terkadang sehari makan nasi jagung, hari berikutnya makan gaplek singkong atau umbi-umbian lain semacam talas,uwi , gembili ,atau bahkan makan umbi gadung yang seringkali meninggalkan rasa getir dan gatal di mulut sebagai sarapan pagi. Belum selesai kami menumbuk jagung. Mendadak terdengar suara letupan pistol tak beraturan. Desing peluru terdengar semakin mendekat ke perkampungan. Sebuah teror yang maha dahsyat. Hari itu, kampung kami di serang secara tiba-tiba. Sayup-sayup mulai terdengar tangis histeris dari anak-anak. Teriakan-teriakan orang tua dan para ibu membahana. Dalam hitungan detik, warga kampung berhamburan keluar rumah untuk segera menyelamatkan diri. Himbauan yang tak jelas suaranya menginstruksikan agar segera keluar dari kampung. Sepertinya suara itu berasal dari ketua kampung kami. tak kuhiraukan peringatan dan himbauan dari ketua kampung itu. Dengan suaranya yang semakin lantang dan keras itu, menyerukan agar segera meninggalkan kampung. Tanpa pikir panjang, hal pertama yang kuselamatkan adalah nyawa. Segera kusuruh adik perempuanku dan dua orang keponakanku yang tengah main ke rumah, untuk masuk kesebuah ruangan bawah tanah. Yang hanya bisa di huni tiga orang. Kapasitasnya yang terbatas membuat kami harus berpisah. Aku sendiri menyelamatkan diri bersama suamiku, kang Aryo. Kang Aryo sendiri kulihat tengah menyelamatkan Imran, putra pertamaku di sebuah ruang bawah tanah. Lalu dengan cekatan kami berusaha lari menjauh dari perkampungan dengan tertatih-tatih, berjalan di jalanan berliku. Sebisaku menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Diriku yang telah memasuki masa kehamilan yang ke sembilan bulan, tak menyurutkan langkahku untuk terus melangkah. Hari itu serangan yang kedua kembali dilancarkan. Kali ini yang menjadi sasaran adalah pemuda-pemuda desa yang masih tersisa. Yang di perkirakan masih bersembunyi di rumah-rumah warga kampung, di balik hutan larangan dan di lereng-lereng gunung Muria. Beberapa hari sebelumnya para pemuda-pemudi desa termasuk suamiku, kang Aryo menyerang sebuah markas milik tentara Belanda. Oleh para pemuda-pemudi desa mensinyalir, didalamnya tersimpan peralatan perang, bahan-bahan makanan dan obat-obatan. Di markas itu tinggal lima orang tentara yang berjaga-jaga. Tiga orang di dalam, dan dua orang lainnya berjaga-jaga di luar. Suatu kebetulan sekaligus sebuah kesempatan. Di hari itu bagi orang-orang kampung terutama anak-anak muda adalah suatu kesempatan emas untuk segera menyerbu dan menjarah semua isi di yang ada dalamnya. Tanpa menunggu waktu lama anak-anak muda menyusun kekuatan, seluruh anak muda desa di kerahkan dan pecahlah pertempuran. Dalam hitungan menit, lima orang tentara Belanda tewas seketika. Tertombak oleh tajamnya bambu runcing, yang sebelumnya telah di doakan terlebih dahulu oleh beberapa sesepuh Desa. Hanya perlu waktu sekitar dua jam, puluhan pucuk senjata, bahan makanan dan obat-obatan dijarah dan di kuasai seluruhnya.
            Matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri. Pertempuran masih terus berkecamuk. Suara peluru dan meriam berdesingan memekakkan telinga. Kampung kami di obrak-abrik, di bakar habis. Rumah-rumah penduduk banyak yang hancur berkeping-keping, rata dengan tanah. Sebelum nyawaku ikut hangus terpanggang dalam bara api. Aku terlebih dahulu telah menyelamatkan diri bersama kang Aryo. Sore itu menjelang maghrib. Orang tua, para ibu dan anak-anak banyak yang terperangkap. Mereka di arak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tak berdaya ke distrik militer di dekat rumah letnan van broost. Seperti biasanya, disana mereka lalu di sekap beberapa hari. Di paksa membuka rahasia lalu kemudian di bebaskan. Adapula yang di hukum jemur. Mereka di jerang di bawah panas terik matahari hingga berhari-hari lamanya. Dengan tertatih-tatih Aku dan kang Aryo lari tungang-langgang ke atas gunung melewati lereng-lereng curam dan perbukitan. Belum sempat kami temukan tempat persembunyian. Kang Aryo yang menyuruhku jalan di depan terlebih dahulu tiba-tiba mengerang kesakitan lalu jatuh tergeletak, tepat di belakangku, dia tertembak. Aku melihat sendiri bagaimana kang Aryo menggelinjang. Mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru yang tembus di bagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu juga mengucur membasahi kerah baju dan lehernya. Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir darinya. Kulihat guratan senyum yang tak seperti biasanya. Begitu ruh keluar dari jasadnya, kurasakan sekujur tubuhnya mendadak dingin. Aliran darah yang setia menghangatkan tubuhnya selama puluhan tahun lamanya tiba-tiba terhenti. Sebelum ia tiada, tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ia hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus.
“Maria selamatkan anakmu! Imran!”
Tak lama setelah itu ia kujumpai dengan raganya yang kaku, dingin di sekujur tubuhnya. Tak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Kang Aryo telah mati. Ya. ia telah mati. Orang yang selama ini melindungiku telah terkapar di depan mata. Dari kedua bola mataku, tanpa kusadari air mata terus merembes membasahi wajahku yang coreng-moreng oleh abu untuk mengelabui musuh. Aku yang lemah tak kekurangan akal. Aku sempat berpura-pura pingsan beberapa menit. Tepat di atas mayat kang Aryo, untuk sekedar mengelabui musuh. Lalu demi anakku yang masih di kandung badan selama hampir sembilan bulan. Perlahan dengan langkah gontai kutinggalkan jasad suamiku yang telah membujur kaku. Kurasakan ketika jasad suamiku telah di tinggal pergi penghuninya. Dunia ini serasa hampa. Tiada lagi rasa, hasrat apalagi gairah. Aku biarkan jasad suamiku tergeletak begitu saja, tanpa seorangpun yang mengurusnya. Dalam batinku bertekad, suatu saat apabila nyawaku masih di kandung badan. Akan kudatangi, kucari dimana mayat suamiku tergeletak. Walaupun tinggal bangkai. Akan kukemas bangkainya sedemikian rupa. Lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan. Dan kehidupan adalah pada kematiannya. Kepada anak cucuku kelak, akan ku serukan bahwa semangat hidup takkan pernah mati, dan perjuangan takkan pernah usai. Ku saksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh untuk menjadi korban kerakusan manusia. Di jalan-jalan tikus, mayat orang tua dan anak-anak bergelimpangan. Telah tertulis masanya, bahwasannya mereka akan tiada di waktu yang akan tertera. Mereka yang selamat, lari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan tangis histeris ke atas gunung berhutan. Sebagian lagi terkena coretan ilahi, mati.Tergeletak berserakan di lorong-lorong jalan, di jalan-jalan tikus di bawah tebing. Aku sendiri lari sebisaku ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan, seakan-akan tepat di atas kepala. Spontan aku tiarap di tanah karena ketakutan. Dalam tiarap, aku seperti setengah sadar. Dalam ketidaksadaranku, Aku merasa ruhku telah meninggalkan jasadku. Dengan serta merta Aku berusaha mengikhlaskan ragaku yang tak lagi bernyawa. Tapi itu hanya perasaanku saja yang berlebihan. Tanpa kusadari, karena terlalu lama tiarap di tanah, Aku telah mendiami dunia antah berantah. Dunia bawah alam sadar, Aku ketiduran. Begitu terbangun, hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam. Padang rembulan seperti tepat diatas kepala. Ditengah malam itu mulai kurasakan sakit di perutku. Aku didera rasa mulas yang hebat. Aku mulai merasakan tanda-tanda akan berkontraksi. Akupun mulai mencari tempat di bawah pepohonan hutan jati, diantara rindangnya pohon kemuning. Saat berkontraksi, rasa sakit di perut, mulai berkurang. Namun rasa pusing di kepala kian menyerang, di ikuti nyeri di bagian leher dan pinggang. Sendiri berteman sunyi dan sepi Aku menahan sakit. Sakit sekali. Sambil menahan rasa sakit ku kumpulkan helai demi helai dedaunan kering. Ku tata sedemikian rupa menyerupai sarang burung, tentunya hanya asal-asalan dan masih terlampau jauh dari sarang burung yang memakai seni tersendiri. Tak peduli dengan rasa gatal yang ditimbulkan oleh daun jati kering yang seolah tiba-tiba menyerangku. Bagiku tempat yang masih jauh dari rasa aman dan nyaman itu sudah lebih dari cukup untuk sekedar tempat berbaring. Di tengah-tengah hutan di tengah malam, Aku bergulat antara hidup dan mati. Berteman pohon besar yang setia meneduhiku. hanya sepercik sinar rembulan yang sudi menerobos masuk untuk menerangiku, menemani dalam kesusahan. di keheningan malam menjelang jatuhnya tetesan embun pertama turun itu suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi mungil. Bayi seorang perempuan. Tangis bahagia menemaniku malam itu. Beralas dedaunan kering telah ku lahirkan seorang bayi perempuan, tanpa sentuhan pertolongan dukun beranak, tepat di tengah malam.
 "Itulah sekelumit sejarah sewaktu kamu ku lahirkan Ratna?" Kata Bu Maria pada Ny, Ratna sembari mengusap pipinya yang sembab oleh baluran air mata.
"Aku sudah bosan dengan cerita itu Bu!. Lagi pula itu kan zaman baheula. Lain dengan zaman sekarang!" sahut Ny. Ratna dengan enteng.
"Itulah sejarah hidupmu yang musti dan wajib kamu ketahui."
"Lalu apa hubungannya dengan desakan Ibu agar saya mencabut SK"
"Tidakkah kamu tersentuh dengan cerita sewaktu kau terlahir dari rahimku di tengah malam di dalam belantara hutan Ratna?. Tanpa tempat tinggal yang layak. Dan semua itu sangat berat dan getir kurasakan  Ratna?. Sangat berat, seberat nyawa manakala akan terputus." ujar Bu Maria dengan wajah memerah.
“Tidakkah kau pahami bagaimana perasaan orang yang tidak punya tempat tinggal ?" Lanjut Bu Maria.
"Bukannya saya tidak tersentuh dengan cerita itu Bu. Tapi itu semua memang sudah tuntutan zaman. Kita harus maju ke depan dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, tempat tinggal yang kumuh harus di tertibkan, diganti dengan bangunan yang lebih layak dengan cara di renovasi menjadi rumah susun atau apartemen yang bersih dan sehat. Itu adalah salah satu jalan keluar dari kungkungan kemiskinan dan keterpurukan suatu bangsa". Urai Ny.Ratna dengan panjang lebar.
"Kamu memang sudah tidak punya hati Ratna!. Dengan susah payah kamu dulu saya kuliahkan dan kini kamu telah menduduki jabatan sebagai ketua di pengadilan, setidaknya kau bisa beranikan diri untuk mengambil sikap dan haluan yang berbeda dari teman sejawatmu. Keluar dari lingkaran nafsu dan ambisi yang tak jelas itu. Apa arti kedudukanmu jikalau hanya membuat banyak manusia yang tak berdaya menjadi lebih sengsara karena kehilangan tempat tinggal!".
"Ingat Bu. Keputusan dari pengadilan telah terbit, itu artinya penggusuran akan tetap dilaksanakan. Dan itu sudah final, tidak bisa diganggu gugat". Ny. Ratna tetap bersikukuh dengan pendiriannya. "Baiklah kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu. Tapi Perlu kamu renungkan kembali Ratna, bahwa keputusanmu telah membuat ratusan manusia kehilangan tempat tinggal, termasuk Tatik, bulekmu yang telah mendiami pemukiman itu puluhan tahun silam dan kini ia hidup sebatang kara.”         
Siang itu memasuki waktu dzuhur, di bawah terik panasnya matahari yang terasa menyengat, persis di saat suara Adzan dikumandangkan, exekusi lahan jadi di laksanakan, meski pagi harinya terjadi bentrok antara warga dengan aparat satpol PP. Para pemuda bersama ratusan warga dari berbagai elemen masyarakat yang di bantu puluhan aktivis mahasiswa gagal menghalang-halangi jalannya eksekusi. Gerah dengan aksinya yang yang berlangsung sejak pagi hari tanpa di gubris, tanpa mendapat tanggapan dan perhatian dari pemerintah, Beberapa ibu muda melakukan aksi nekat, Mereka melepas satu persatu pakaian yang di kenakannya hingga telanjang bulat. Tanpa sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya. Di depan buldoser mereka bergulung-gulung, menangis histeris. Seorang ibu muda berbadan kurus bahkan menjerit-jerit sekencang-kencangnya hingga keluar darah dari lidahnya. Tak ketinggalan seorang nenek yang seluruh rambutnya telah beruban ikut-ikutan melepas seluruh pakaian yaang di kenakannya lalu berlari menuju buldoser. Toh akhirnya eksekusi lahan berjalan lancar. Aksi gila dari para ibu-ibu yang tidak berdaya itu masih tidak mempan untuk membuat keder para polisi pamong praja.
Satuan gabungan petugas satpol pp akhirnya berhasil menghalau dan mengusir aksi warga dan mahasiswa dari lokasi eksekusi. Mulai detik siang itu ratusan warga tergusur dari tanah leluhur .
Tanpa menghitung hari, Pemukiman kumuh itupun telah rata dengan tanah, satu persatu penghuninya pergi meningalkan tanah leluhurnya yang telah di huni lebih dari puluhan tahun, mereka berpindah tempat di kolong tol dan di bawah jembatan.
            Selang satu minggu kemudian, segenap jajaran di kejaksaan tinggi yang menangani kasus sengketa tanah yang berujung pada eksekusi lahan permukiman tersebut terjerat kasus korupsi senilai puluhan milyar. Tak urung, segenap jajaran di kejaksaan tinggi di tangkap dan di tahan oleh aparat kepolisian. Di duga kuat mereka  menerima suap dari Haji Martono, pemilik PT Gajah Mas Development, selaku penggugat yang memenangkan perkara sengketa lahan. Bukti-bukti itu di dapat dari hasil penyadapan telephon yang di lakukan atas kerja sama Irjen  polisi Marwan dan Budiono, sopir pribadi Ny. Ratna. Rupanya tanpa sepengetahuan Ny. Ratna, Bu Maria menyewa beberapa polisi bayaran dan juga Budiono. Awalnya Bu Maria ingin menyelidiki desas-desus upaya penyuapan oleh seseorang terhadap putrinya, Ny. Ratna, seorang diri, begitu mendengar sebuah percakapan telepon antara putrinya Ny. Ratna dengan seseorang pria di sebuah taman di samping rumah. Bu Maria mendengarkan percakapan itu tanpa sengaja dan tanpa di ketahui oleh Ny. Ratna. Dalam percakapan itu terdengar suara Ny. Ratna seperti menolak tawaran sejumlah uang dari seorang pria yang kedengarannya terasa asing. Muncullah keinginan dari Bu Maria untuk menguak siapa pria di balik percakapan itu. Tetapi demi sebuah harga diri dan membuang sebuah kecurigaan, Bu Maria lalu meminta bantuan Budiono dan Irjen polisi Marwan dan rekan untuk menyelidiki lebih lanjut..







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun