Ameena
Mengejar Keadilan
Prakata
Pertama-tama, aku sanjungkan segala puji kepada Allah Ta'ala. atas limpahan rahmatnya. Selanjutnya aku haturkan Shalawat dan salam kepada junjungan kita, Muhammad, keturunan Adam Alaihissalam paling mulia, yang diutus sebagai penyempurna akhlak bagi semesta alam. Beserta segenap keluarganya yang menghuni tempat penjagaan yang terhormat. Juga untuk para sahabatnya yang merupakan orang-orang pilihan, serta orang yang mendapat petunjuk dari sunnahnya hingga hari kemudian.
Novel ini saya tulis bermula dari perbincangan kecil antara saya, pak zubaidi seorang buruh tani, dan pak eshmail seorang tukang kayu di tengah-tengah pematang sawah. Kami bertiga waktu itu sedang ngaso sehabis jungkir balik, membanting tulang mencangkuli pematang yang hendak di garap memasuki musim tanam yang ke tiga. Di kampung kami profesi sebagai petani adalah sesuatu hal yang bersifat tradisi. Di kampung kami setiap orang dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda mulai dari tukang kayu, tukang batu, tukang ngukir dan lain sebagainya, pasti tidak 'kuasa' menolak untuk menggarap sawah. Karena memang dari orang tua terdahulu kebanyakan mewariskan sawah disamping 'ilmu'. Orang-orang dikampungku pada umumnya mempunyai luasan sawah di bawah setengah hektar. Sehingga otomatis pendapatan panen yang di hasilkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Dalam Obrolan 'diskusi lesehan' di pematang sawah itu kami bertiga membahas masalah penegakan hukum dan ketidak adilan di' negeri tetangga' yang konon katanya hanya omdong. Bincang-bincang kami bertiga waktu itu terkait dengan peristiwa penganiayaan seorang anak kecil -baca bocah-di pasar beberapa hari yang lalu, usianya sendiri belum genap sepuluh tahun. Kebetulan pelaku yang masih bocah itu adalah tetangga kampungku. Bocah kecil itu ketahuan mencuri ballpoint di pasar, walhasil bocah itupun di keroyok massa hingga luka-luka lebam di sekujur tubuh dan mukanya. Dan yang lebih ngeri, pelaku pengeroyokan adalah orang-orang muslim -tapi sayang seribu sayang hanya simbol dan formalitas belaka-. Tidak cukup sampai di situ saja, anak kecil yang masih di bawah umur itupun di gelandang ke kantor polisi dan di tahan beberapa hari tanpa adanya kepastian kapan akan di bebaskan. Memang seakan-akan benar juga opini kang Gimin teman lamaku yang berpendapat . Orang miskin sebaiknya tidak usah bersekolah dan tidak usah bercita-cita.
Menanggapi masalah anak kecil yang masih ditahan tadi, pak Zubaidi hanya berujar, seandainya yang ketahuan mencuri itu presiden, katakanlah korupsi. Mungkin nasibnya tak semalang itu, toh kalaupun seorang pejabat macam presiden terbukti maling, maka tahanan ataupun LP bukanlah tempatnya, melainkan di Hotel atau bahkan mungkin LP bisa saja di sulap jadi hotel kalau memang seorang pejabat itu di tempatkan di LP. Sementara pak Eshmael beropini dari sudut pandang yang berbeda. Seharusnya anak kecil itu tidak perlu di hakimi kecuali jika sudah menginjak akil baligh. Terkecuali lagi jika anak kecil itu melakukan tindak kejahatan atau mungkin kriminalitas lebih dari dua kali. Saya sendiri hanya bisa berseloroh, mau orang tua atau anak kecil mereka semua adalah manusia yang layak untuk di hormati, bahkan kalau perlu di ma'fu. Karena setiap manusia tidak akan bisa menghindari kesalahan dan kekhilafan 'Mahallul khoto'i Wannisyan'. Sudah tidak adakah pintu maaf sehingga jalan keluarnya harus di aniaya?. Pada hal seberat apapun dosa-dosa Manusia, Allah senantiasa membuka lebar-lebar pintu maaf..
Dari semenjak saat itu saya ingin merangkai cerita yang mengulas tentang penderitaan anak-anak kecil yang terseret ke ranah hukum atau telantar karena tengah di cekik kefakiran atau bahkan mungkin saya ingin merangkai cerita seputar sepak terjang anak-anak jalanan. Tetapi entah kenapa dalam novel ini tiba-tiba saya terpeleset dengan mengangkat seorang nenek tua yang telah renta sebagai lakonnya, pemeran utamanya..
Dari Obrolan 'diskusi lesehan' di pematang sawah itu saya menangkap ada semacam ghirah 'Hubbul wathon' cinta tanah air dan sebangsanya yang menyembul dari bapak-bapak tadi. Itu tersirat dari caranya menyikapi, mengexpresikan, dan menghayati betul penderitaan hidup anak kecil itu.
Sinopsis
Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lanjut usia yang masih memegang teguh tradisi dan adat serta budayanya. Mengisi hari-harinya di pematang sawah seperti orang-orang desa pada umumnya. Suaminya wafat dalam sebuah kecelakaan kerja, terjatuh dari pohon kelapa. Hanya bersama cucu satu-satunya Aminah melanjutkan hidupnya. Hari-hari mereka sebagai keluarga kecil terasa tentram dan bersahaja, sampai kemudian drama itu terjadi. Aminah di gelandang ke balai Desa Rakusan hanya gara-gara sehari sebelumnya Aminah melayangkan sebuah surat protes ke kelurahan.
Di balai Desa itu ia di sidang dan terpaksa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol dari para perangkat Desa Rakusan. Tanpa di duga sebelumnya Aminah mendapat sokongan dari pak Amin, seorang wartawan lepas sebuah harian terkemuka di Ibu Kota. Tanpa sepengetahuan Aminah kasus itu di perkarakan oleh pak Amin. Ketika permohonan penyelidikan dari pak Amin sengaja di abaikan dan di ulur-ulur oleh pihak Kepolisian, pak Amin tidak percaya lagi dengan sistem hukum. Karena tidak ada kejelasan kapan kasus itu diselidiki dan di limpahkan ke kejaksaan, pak Amin menggunakan caranya sendiri. Sebagai seorang wartawan yang merangkap sebagai seorang konsultant pak Amin tidak segan mengancam pihak Kepolisian dengan membocorkan kebobrokan sistem pelayanan ke publik, ke berbagai media massa dan televisi apabila tuntutan penyelidikan tidak segera di penuhi.
Tanpa menghitung hari, kepala Desa Rakusan beserta kroni-kroninya langsung di tahan pihak kepolisian atas tekanan pak Amin. Dalam hal ini masyarakat Desa Rakusan tidak mengetahui siapa sebenarnya pelaku yang memperkarakan masalah ini. Kemudian kecurigaan mengarah kepada Aminah yang sebelumnya terlibat bermasalah dengan orang-orang balai Desa. Pada hal Aminah sendiri dalam hal ini tidak tahu menahu mengenai masalah ini. Dan ketika kasus balai desa telah mulai di proses untuk segera dilimpahkan ke kejaksaan, sepercik sinar keadilan menyeruak. Sebagai sebuah bentuk kemenangan Aminah. Tetapi ternyata, ketika Aminah akan menemukan sebuah keadilan, justru ia malah semakin terpuruk. Kali ini bahkan membuat jiwanya serasa terburai. Aminah terasing dalam sepi di tengah-tengah keramaian. Semua orang menjaga jarak dan mengucilkannya. Hanya gubuk kecil di pematang sawah yang senantiasa menyambut kedatangannya.
Persembahan
Ku persembahkan novel ini untuk kedua Orang Tuaku yang senantiasa dengan penuh kesabaran. Merawat, Membesarkan dan mendidikku tanpa kenal lelah. Layaknya Mentari yang tak akan pernah lelah untuk terus menyinari dunia. Tanpa berharap suatu imbalan, terus memberikan sumbangsih demi kebahagia'an yang baka. Mbah Suntari, Oase tempatku berpijak. Mbah Asiyah, Sumber Inspirasiku. Keponakanku Yuztami' Latief, Sang Penghibur di kala duka melanda, Pengobat keluh kesah yang terkadang mendera. Kedua adikku. Noor Akheeda dan Siti Afrokhatul Milhana Sari. Dan kakak-kakakku yang tercinta.
Dan juga….
kepada setiap insan yang beriman.
Kepada setiap manusia yang bergelut dengan ujian dan tantangan.
Kepada para Pahlawan dan para pejuang yang telah gugur mendahului kita semua. Tulus berkorban harta dan nyawa, demi terciptanya negeri yang madani dan merdeka.
Kepada orang-orang yang rela dan ikhlas dengan Ketentuan yang terakhir.
Kepada para aktivis yang senantiasa mencurahkan waktu tenaga dan pikiran demi kemanusiaan.
Kepada setiap Ibu dan juga Nenek yang berjihad sepanjang hidupnya.
Kepada setiap wanita yang di rundung duka, kesusahan dan kesedihan.©
Kepada para mujahidin yang tidak dzalim yang mengerahkan hidupnya demi sebuah peradaban dan kemakmuran.
Kepada setiap wanita salehah yang ikhlas mengorbankan waktu dan tenaganya untuk anak-anaknya demi kemajuan suatu bangsa.
Kepada para Guru yang mendedikasikan hidupnya karena mencari ridha Tuhan semata.©
Sambutlah kemudahan dari Tuhan yang tidak disangka-sangka kedatangannya dengan memanjatkan puji syukur ke hadiratnya..
Surga Dunia
Ketika kian tercerabut sebuah kejujuran diri
Ketika kian terhimpit satu ketulusan hati
Ketika surga telah menjadi tujuan
Dan semua kerana surga
Surga siapakah?
Surga yang manakah kau banggakan?
Oleh nafsu dan amarahmu yang sesaat itu
Pengabdianmu terhalang
Al Jannah bukanlah tercipta untuk orang-orang yang berharap
Al Jannah menawarkan diri bukan ditawar
Al Jannah adalah kesungguhan bukan basa basi
Tak berharap akan surga dan berbalut rasa tulus adalah pencarian Al Jannah
Seorang Alim
Abid
Ketika di selubungi pengharapan
Al jannah enggan menyapa.
Usianya mulai senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Kulitnya mulai berkerut di sana sini. Matanya mulai terlihat cekung. Tapi giginya masih terlihat utuh. Hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal.
Jari-jemari di kedua tangannya telah berkerut dan mengeriput seiring berkurangnya usia, kedua kakinya telah ringkih tetapi meskipun ringkih perempuan tua itu masih sanggup menopang tubuh rentanya. Masih mampu menaiki dan menuruni tanjakan menyusuri jalan berliku menuju peraduannya, yaitu sawah. Menapaki jalanan hingga beberapa kilometer di setiap hari. Melepas lelah dan menghabiskan hari-harinya di sebuah gubuk di pinggir persawahan di pinggiran sungai. Pakaian kebesarannya hanyalah kebaya kuno dan beberapa utas jarek. Tak ada kemewahan sama sekali dalam diri perempuan tua itu. Sekilas tubuhnya seperti kebanyakan orang-orang jawa pada umumnya, tidak kurus dan tidak terlalu gemuk, sedang-sedang saja.
Semangat juangnya untuk menjalani hidup, tak pernah kendur dan pantang menyerah. Tak ingin menggantungkan hidup pada orang lain. Jikalau mau, sebenarnya perempuan tua itu bisa hidup enak tanpa harus bersusah payah bekerja. Sepeninggal suaminya, Sukarta atau yang lebih akrab dipanggil kang Karta ia di tinggali sawah, kebun dan rumah tanah. Semasa itu, suaminya mendapatkan beberapa hektar tanah dari pemerintah karena jasanya ikut berjuang melawan penjajahan. Belum lagi pemberian sawah beberapa petak dari pemerintah kolonial Belanda semasa itu. Karena di tinggal pemiliknya, pulang ke negara asalnya, Belanda
Sawah tanahnya yang sedemikian luas, bisa saja Ia serahkan kepada para penggarap. Dan ia bisa hidup enak, bersahaja dan istirahat di rumah. Tanpa harus bersusah payah memeras keringat. Tapi hidup yang serba instan tidak berlaku baginya. Ia tak mau menyerah dan tidak pula mengeluh. Ia tetap bersikukuh ingin menggarap sendiri sawah dan kebunnya. Ia tak ingin menjadi parasit, menyusahkan orang lain. Selama raganya masih mampu untuk bekerja, Ia akan tetap terus memeras keringat dan banting tulang. Dengan begitu, Ia bisa mendapatkan kesehatan jasmani dan rohani tanpa harus mengeluarkan rupiah. Untuk urusan sehat yang tidak bisa di beli dengan Rupiah itu ia letakkan di tempat yang paling utama. Ada semacam kepuasan dalam dirinya, abila Ia makan dan minum dari hasil keringatnya sendiri. Ia percaya bahwa hidup harus selalu di syukuri dengan tetap bekerja sekuat yang Ia mampu.
Sepeninggal suaminya, tanah dan kebunnya di beberapa tempat justru satu persatu Ia jual dan di berikan begitu saja kepada orang-orang yang tidak mampu. Hakikatnya kalau mau ia bisa dan mampu menunaikan Ibadah Haji. Bahkan kalau perlu untuk memberangkatkan dua sampai tiga orang sekaligus. Tapi entah kenapa Ia tak ada niat untuk menunaikan Ibadah Haji.
Hal itu di lakukannya karena Ia mempunyai kepekaan sosial yang tinggi. Tak etis apabila Ia menunaikan Ibadah haji sementara tetangganya masih banyak yang hidup dengan serba kekurangan. Hidup di atas garis kemiskinan. Tak jauh dari rumahnya, tinggal beberapa janda tua tanpa anak yang hidup dengan serba kekurangan.
Seringkali Ia mendengar kabar ada seorang yang rela jual tanah demi untuk untuk membiayai pemberangkatan Ibadah Haji. Namun Ia justru prihatin dengan keadaan yang demikian. Baginya, lebih baik tidak usah menjalankan ibadah haji dari pada harus jual tanah meski tanahnya luasa membentang. Ia menyebut orang-orang yang berangkat Haji dengan menjual sawah dan tanah dengan sebutan Haji Bangkrut. Baginya orang yang melaksanakan ibadah haji dengan menjual kebun atau sawah adalah orang yang egois. Tidak memikirkan kelangsungan hidup anak cucu dan keturunannya.
tetapi prinsip itu Ia pegang sendiri tanpa di tularkan kepada orang lain. Demi menjaga nilai-nilai keberagaman dan toleransi antar sesama agama.
Hasil jerih payahnya yang tak mengenal waktu sering di sedekahkan untuk janda-janda tua itu, sampai di dukuh-dukuh maupun kampung tetangga. Janda-janda tua itu lazimnya beranak lebih dari dua. Jalan hidupnya lebih mirip dengan perjalanan hidupnya, menjadi korban kekerasan sexual kaum penjajah, setelah perempuan-perempuan yang lugu, polos, dan bersahaja itu berbadan dua lalu ditinggalkan begitu saja ke negaranya. Yang istimewa, perbuatan menyimpang yang di lakoninya akhirnya mendapat restu dari Suaminya. Semasa itu tak terhitung banyaknya perawan-perawan desa yang di gauli begitu saja oleh para penjajah. Pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang. Dirinya lebih beruntung karena mendapat imbalan makanan untuk anak-anaknya dan keluarganya.
Siang itu di atas jerami kering di antara bebatuan, Ia duduk bersila. Di pinggir sungai yang mengalir jernih. Di bawah pohon nangka yang adem,sejuk dan teduh. Dengan di temani semilirnya angin sepoi-sepoi,membuatnya betah berlama-lama untuk sekedar duduk bersila,sembari membuang lelah,capek setelah seharian bekerja.
Tepat diatas sungai, terbentang sawah beberapa petak miliknya. peninggalan dari suaminya, sawah pemberian dari pemerintah atas jasa-jasanya di dalam ikut serta memperjuangkan kemerdekaan. Waktu dzohor telah berlalu beberapa jam yang lalu. Panasnya terik matahari agaknya telah mulai berkurang. Tapi perempuan Tua itu masih belum juga beranjak dari Musholla1. Yang di desain dari jerami kering. Ia masih duduk bersimpuh, melawan kantuk. Dari kedua bibirnya yang keriput. Tak henti-hentinya melafadzkan Asma-Asma Allah. Memanjatkan rasa syukur, teriring dzikir lalu dikhiri doa sapu jagat seperti biasanya. Setiap hendak pergi kesawah perempuan tua itu selalu menyempatkan diri membawa perbekalan makanan, secukupnya. Dua lapis jarek2 untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih.
Apabila ia lupa membawa barang bawaan. Sebisa mungkin ia sempatkan untuk pulang, sebelum tiba saatnya waktu dzohor. Usai melawan kantuk dengan berdzikir, Ia lalu beranjak pergi menuju cangkruk, sebuah gubuk kecil yang di desainnya sendiri untuk sekedar istirahat di sela-sela kesibukannya di sawah. Diambilnya selembar daun pisang langsung dari pohonnya. Tak jauh dari tempatnya duduk bersimpuh. Selembar daun pisang dijadikannya sebagai alas makan nasi, pengganti piring. Lalu di ambilnya nasi putih bersih beserta urap sambal daun singkong, oseng-oseng kangkung, ditemani lalapan kacang panjang mentah, daun kemangi, dan dua buah mentimun sedang. Apabila sudah di hadapkan dengan kenikmatan duniawi maka seakan-akan rasa syukur senantiasa tercurah dari kedua bibirnya tanpa henti. Sebuah kenikmatan dunia yang tidak bisa di beli maupun ditukar. Walaupun di tukar dengan kenikmatan di Surga sekalipun. Maka wajar jika di dalam pikirannya, tak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga di akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah melebihi dari cukup. Tak ada yang lain. Cukup satu kata yang mengiringi langkah hidupnya yaitu syukur. Ungkapan dari sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah. Begitu pula pada cabe dan terong. Mengingat bagaimana zaman dahulu harus mati-matian berjuang untuk bertahan hidup. Kelak yang Ia harapkan setelah dirinya di panggil yang Maha Kuasa adalah keridzaannya bukan surga maupun neraka. Ia ingin menjadi kekasih Allah, tidak lebih.
Setelah selesai makan di teguknya air kendi. Ces!! dingin dan bening. Peluh-peluh keringat dari kening, leher dan di sekujur punggungnya mulai keluar,perlahan mengalir membasahi bajunya. Lalu kemudian angin yang sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya bisa di dapat di persawahan, di bawah rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang hanya bisa di rasakan bagi orang-orang yang bersyukur. Tak terbayar, dan tak bisa di bayar dengan Rupiah.
Sawah adalah Surga bagi orang-orang yang mecintainya dengan meluangkan waktunya untuk menggarap dan memeliharanya. Tak begitu jauh dengan pepatah Arab yang mengatakan "man jadda wa jada". Siapa yang mau bersungguh-sungguh pasti akan menemukan hasil dari apa yang telah di tanamnya.
Sawahnya yang tepat diatas bibir sungai banyak di tanami sayur-sayuran yang beragam. Sayuran yang ditanaminya itu pada umumnya, mampu bertahan hingga setengah tahun bahkan lebih. Tak banyak jenis sayuran yang di tanaminya. Setiap jenis sayur- sayuran hanya satu sampai lima tanaman di setiap guludannya, namun mampu menghasilkan sayuran yang melimpah.
Terbatas hanya disela sela guludan tanaman padi. Namun untuk memanen satu jenis sayuran yang hanya beberapa pohon, masa panennya bisa mencapai tujuh bulan. Bahkan bisa mencapai satu tahun. Seperti lembayung. Tanaman kacang- kacangan yang biasa menjalar kemana-mana. Tanaman sayur sebangsa kacang-kacangan. Meski hanya beberapa tanaman, tapi bisa menghasilkan puluhan ikat. Begitu juga dengan sayuran Kangkung yang di tanam di beberapa guludan, sayuran yang mudah bersemi dan berkembang biak itu bisa di panen dua hari sekali. Itupun bisa menghasilkan dalam jumlah yang sama seperti halnya Lembayung. Belum lagi daun singkong, koro dan kecipir yang masa panennya bisa bertahan hingga umur dua tahun bahkan lebih. Tak hanya terbatas pada ukuran usia, sayuran-sayuran itu bisa di panen. Ada pula yang bisa di panen sepanjang tahun. Seperti sayur buah pepaya muda, rebung dan nangka muda.
Walau demikian, hasil sayuran yang melimpah tersebut jarang sekali di jual ke pasar. Kerapkali sayuran-sayuran itu yang biasa di ikatnya besar-besar, di bagi-bagikan kepada para tetangga dengan cuma-cuma. Ia hanya mengambil secukupnya untuk di olah hari ini dan esok hari. Hanya hasil buah-buahan semacam nangka, mangga dan jengkol yang terkadang di bawa sebagai barang bawaan ke pasar. Itupun terbatas pada saat-saat datang musim buah. Tetapi ada saja musim yang menyertainya. Jika di bulan ini musim nangka, bulan kemarin musim rambutan, lalu di bulan depan musim durian, begitu seterusnya. Itulah harmoni Alam Semesta yang senantiasa menghadirkan keseimbangan untuk memenuhi hajat hidup para penghuninya. Selama Alam itu di jaga, di pelihara dan dirawat dengan setulus hati.
Setiap kali melihat tanaman-tanamannya yang terus menghijau, tak jemu-jemu untuk terus di kunjunginya setiap hari. Tiada hari tanpa aktifitas. Setiap hari ada saja pekerjaan yang menantinya, menyiangi rerumputan, mengairi sawah, memanen sayuran, mengambil rebung, mencari ikan ,memancing belut, dan masih banyak lagi pekerjaan lain yang setia menantinya. Seakan pekerjaan di sawah itu tidak ada habisnya. Apalagi bila musim buah telah tiba seperti nangka, mangga, pete, dan jengkol. Praktis keseharian hidup orang-orang Desa hanya di habiskan untuk ke sawah.
Tepat di atas pinggiran sungai banyak di tanami pohon-pohon keras. Semacam pohon pisang, bambu, kapuk randu, sengon dan lainnya. Di samping bertujuan untuk diambil manfaatnya, pohon-pohon tersebut berguna untuk mencegah dan mengurangi erosi. Selama pohon-pohon keras itu masih hidup maka selama itu pula ekosistem sungai dan sawah akan tetap terus terjaga. Kenyataannya tanaman-tanaman keras itu memang mampu menyeimbangkan tanah, sehingga tidak mudah longsor.
Tak jauh dari tempat perempuan tua itu duduk bersila, ikan-ikan bader dan udang berkejaran, lalu menggerombol menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa makanan yang biasanya sengaja di sisakan untuknya. Biasanya sisa-sisa nasi putihnya di tumpahkan begitu saja. Ke arah aliran sungai. Ikan-ikan dan udangpun terkesiap sambil berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau perempuan tua itu bisa saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu, yang jinak-jinak merpati, untuk lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan, sifat kanibalisme tergeser menjadi nomor yang kesekian.
Menyaksikan sebuah sandiwara makhluk-makhluk lain semacam ikan di depan mata. Adalah suatu keistimewaan tersendiri baginya. Perempuan Tua itu merasa telah menyatu dengan alam. Demikian pula dengan burung-burung belibis. Berkeliaran bebas, berkejar-kejaran di satu tempat ke tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya di siang hari. Di saat suara-suara riuh mulai lenyap, sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Di saat orang-orang mulai kembali pulang, melepas lelah dan letih. Setelah seharian memeras keringat. Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas suasana benar-benar sepi. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Burung-burung itu tampak anggun dan elegan dengan kombinasi warna hitam, hijau perak di leher dan kepala serta bintik-bintik kuning hitam di bagian ekornya. Sesekali terlihat menyelam, menghilang kedasar sungai, mencari mangsa dengan lincahnya. Bulunya yang anti air lebih mirip dengan angsa berukuran lebih kecil sepuluh kali-lipat. Berenang-berenang berlalu lalang, berkejar-kejaran. Sayangnya kemunculannya, disaat-saat sepi setelah keadaannya terasa aman, barulah burung-burung itu keluar dari semak-semak. Ada pula yang bermalas-malasan, bertengger di dahan dan ranting-ranting rumpun pepohonan bambu. Telornya yang lebih mirip seukuran telur ayam sering di buru pemuda-pemuda kampung untuk mayoran1.
Setelah burung-burung belibis berlalu pergi. Datang sekawanan burung bubut yang mencari katak, cacing dan ikan-ikan kecil sisa garapan burung belibis. Mereka tak pernah hadir bersamaan. Diantara burung-burung itu menyadari kekalahan dan kelemahannya. Rela menunggu, lalu silih berganti sampai menjelang sore.
Dengan dihiasi birunya langit dan mentari yang terkadang mengintip dari balik awan yang bergerombol. Di kesunyian pada siang hari burung-burung kutilang, burung betet bersaut-sautan. Saling unjuk gigi dan kebolehan. Memamerkan suaranya masing-masing. Suaranya melengking-lengking seolah-olah tak mau kalah dengan lengkingan suara penyanyi populer Melly goeslaw sekalipun.
Di bibir-bibir sungai biawak tampak hilir mudik menanti giliran. Mencari bangkai-bangkai ikan, katak dan sejenisnya. Dengan sesekali menjulurkan lidah panjangnya. Menelisik aroma bangkai di setiap sudut-sudut di pinggiran sungai.
Walau hanya sekedar melintas. Sekawanan ikan, burung-burung dan binatang lainnya tidak takut ataupun gentar menampakkan diri didepan perempuan tua itu. Seakan perempuan tua itu telah menyatu dan berjanji untuk tidak saling mengganggu, menyakiti dan menguasai. Hanya orang-orang yang berhati sebersih embun pagi yang senantiasa disambut kehadirannya.
Akhir-akhir ini mulai muncul kekhawatiran dalam benak perempuan Tua itu. Ia merisaukan dengan keadaan sekarang ini. Keadaan alam yang mulai rusak oleh ulah tangan-tangan manusia, hampir di semua tempat Perempuan tua itu menjumpai sawah-sawah sudah berbau obat penyemprot hama. Berceceran bangkai-bangkai ikan kecil, belut dan berbagai jenis serangga air yang mati di sepanjang aliran kalen. Sepanjang bau busuk bahan kimia mengalir, sepanjang itu pula ikan-ikan kecil dan serangga air mati secara tidak wajar, menggelinjang menemui ajalnya. Sementara di tempat lain setiap hari ada saja para pemuda yang menyandang senapan angin. Apabila menyaksikan ulah para pemuda desa yang mencari sarang burung dengan membabi buta seolah perempuan tua itu ingin melarang, mengusir, atau bahkan menghardiknya dengan suara lantang. Tapi semua itu hanya timbul sesaat di dalam hatinya, ia sendiri merasa tidak punya kewenangan untuk melarang-larang apalagi memarahinya. Untuk ukuran hewan sejenis Unggas, semacam belibis atau ayam alas, seharusnya yang boleh diambil adalah telurnya saja, yang besarnya hampir menyerupai telur ayam biasa. Tapi sering kali anakannya ikut serta diambilnya. Sehingga akhirnya berujung pada kematian. Juga perlakuan beberapa pemburu liar yg menembaki apa saja yg melintas didepannya. Tanpa mempertimbangkan keseimbangan Alam. Belum lagi cara-cara mengambil ikan yang serampangan. Dengan menaruh tuba1 di beberapa tempat. Sehingga pelan dan pasti telah merusak keseluruhan ekosistem sungai.
Terakhir kali rombongan Kepala Desa Rakusan beserta jajarannya. Beramai-ramai mencari ikan dengan puluhan gelondong racun apotas2 dan insektisida3, racun-racun itu di tebar di sepanjang aliran sungai. Beberapa botol kaleng insektisida bekas diantaranya masih tercecer di pinggir-pinggir sungai. Sebagai satu bukti kepongahan dan kerakusan Manusia.
Sepulangnya dari sawah perempuan Tua itu menyempatkan waktunya, untuk memulung kacang tanah yang telah usai di panen. Pemilik lahan yang di tanami kacang tanah itu adalah pak Edi, seorang lelaki tambun dan pendek. Yang kini tengah menjabat sebagai Modin Desa Rakusan. Lelaki berkepala botak itu, dua hari yang lalu baru saja menyerahkan kacangnya seluas satu hektar untuk di tebas oleh pak Tomo. Seorang bakul kacang senior. Pak Tomo telah menekuni usaha sebagai bakul kacang selama puluhan tahun lamanya. Pak tomo merintis usahanya sejak masih nol. Bersama pak Parjo Ayahanda pak Edi yang terlebih dahulu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya, sejak dua tahun yang lalu. Bagi orang kampung seperti perempuan tua itu, memulung kacang tanah adalah suatu kenikmatan tersendiri yang tiada tara. Dalam beberapa jam bisa mendapatkan satu ember ukuran sedang. Cukup kalau hanya untuk camilan beberapa hari. Apabila di keringkan bisa bertahan hingga tujuh bulan lamanya. Biasanya apabila memulung hingga tengah hari bisa terkumpul tiga ember ukuran sedang atau satu ember besar. Lebih dari cukup untuk sekedar sebagai camilan selama satu minggu. Biasanya, apabila tersisa, kacang-kacang itu akan dikeringkan untuk camilan di musim penghujan. Telah menjadi suatu kebiasaan apabila datang musim hujan orang-orang kampung, dari mulai anak-anak hingga orang tua bawaannya selalu ingin ngemil. Tak seperti di musim kemarau karena di musim penghujan diperlukan gizi yang banyak mengandung karbohidrat untuk menghangatkan badan.
Setiap perempuan Tua itu pulang dari sawah, ada saja setiap harinya barang-barang bawaan semisal kayu, sayuran atau buah-buahan. Bakul yang biasanya untuk membawa bekal makan siang, di jadikannya wadah untuk menampungnya. Kendati tidak membawa bakul Ia punya banyak cadangan untuk persiapan mana kala di butuhkan. Sekadar untuk kebutuhan mendadak seperti memulung kacang tanah, mengambil umbi-umbian ataupun barang-barang yang tak terduga sebelumnya.
Pulang dengan tangan hampa baginya adalah sesuatu hal yang tabu. Tiada hari tanpa barang-barang bawaan. Sementara bahan-bahan dan kebutuhan dapur memang senantiasa di perlukan. Plastik-plastik lusuh yang di dapat dari sepanjang aliran sungai sengaja Ia simpan. Di selipkan diantara bebatuan di bawah pohon nangka untuk wadah apabila sewaktu-waktu di perlukan.
Begitu tiba di perkampungan. Seorang perempuan setengah baya menghampirinya, lalu menanyakan perihal barang bawaannya. Perempuan setengah baya itu biasa di panggil dengan panggilan Rukini, seorang Ibu muda yang tengah menggendong seorang anak balita. Sesekali anak kecil itu merengek ingin menetek ibunya. Matanya yang bulat terus memandangi perempuan tua itu, seolah terasa asing atau bahkan mungkin anak kecil itu ingin tau lebih dekat. Rambutnya kaku menantang langit sepert tidak pernah terjamah air. Rambutnya berwarna merah terang, seperti terjerang panas matahari beberapa hari. Kini Ibu muda itu tengah mengandung kembali dari buah pertarungan dahsyat dengan suaminya.
"Bawa sayuran lembayung Mbok3?. Minta ya Mbok?" Pintanya dengan penuh keakraban.
"Bawa tapi sedikit. Ini aku bawa daun singkong banyak kalau mau!"
"Daun singkong juga tak apa, kebetulan udah lama nggak mecel daun singkong." Tak ada rasa malu ataupun canggung pada diri Rukini, karena memang telah menjadi suatu kebiasaan dan lambat laun menjadi suatu keakraban.
Apabila ada pesanan sayuran dalam jumlah yang lumayan banyak. Biasanya orang-orang yang memesan akan mengganti ongkos, ongkos tenaga ala kadarnya.
Perempuan Tua itupun mengeluarkan daun singkong dari balik selendangnya. Lalu memberikan seikat daun singkong yang lumayan besar, untuk ukuran seikat daun singkong pada umumya.
Perempuan Tua itu yang kesehariannya hidup bersahaja itu biasa di panggil dengan panggilan Mbok Ginah. Ada pula yang menyebutnya dengan sebutan Mbok Nah. Sesuai nama yang sebenarnya, Tri Aminah. Di namakan demikian karena dirinya terlahir sebagai anak ketiga. Tri yang berarti tiga berasal dari bahasa Sansekerta. Yang waktu itu sangat masyhur dikalangan orang-orang Jawa kuno ratusan tahun silam. Nama Tri adalah suatu kebanggaan. Sebuah nama titisan turun temurun dari ajaran Agama nenek moyangnya. Hingga kini perempuan tua itu masih mengagumi ajaran-ajaran Agama nenek moyangnya. Sebuah ajaran yang jejak-jejaknya masih bisa di lihat dan di saksikan hingga kini diseluruh seantero Nusantara. Kekaguman pada Agama nenek moyangnya, tidak terlepas dari kakeknya, ki Bagja. Kakeknya dulu adalah seorang Resi dan konon, kakek perempuan Tua itu berwasiat kepada Ayahnya Ki Rasup. Agar kelak bila di karuniai anak perempuan yang ketiga supaya di berinya nama Tri pada anak ketiganya.
Kendati ia masih belum bisa melupakan ajaran-ajaran luhur Agama terdahulu serta sangat mengaguminya. Diakui atau tidak, ajaran-ajaran orang-orang terdahulu adalah peletak dasar kebudayaan Jawa yang santun, ramah dan bersahaja. Ia tidak akan membuang dan melupakan begitu saja ajaran-ajaran yang telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa pada umumnya, semenjak ratusan tahun yang lalu. Perempuan tua itu tinggal di kampung bendo. Sebuah kampung yang secara administratif ikut dengan kawasan desa Rakusan. Meski letaknya terpencil, ada satu kebanggaan yang melingkupi warga kampung bendo. Karena kampungnya dekat dan terasa menyatu dengan jalan raya lintas provinsi. Jalan raya lintas provinsi itu membelah tepat di tengah-tengah perkampungan. Jalan raya itu persisnya di bangun lima tahun yang lalu. Mulanya jalan itu adalah rel kereta api peninggalan Belanda yang tidak lagi terurus. Pemerintah kala itu terpuruk, tak punya anggaran hanya untuk sekedar perawatan rel kereta api, sehingga pelan dan pasti rel sepanjang ribuan kilometer yang membentang di atas lahan dua provinsi itupun tidak lagi bisa layak pakai, usang dan berjelaga di sana-sini. Baru kemudian beberapa tahun belakangan lintasan rel kereta api itu di sulap, di alih fungsi menjadi jalan raya lintas provinsi.
Setibanya di rumah, Mbok Nah langsung mengakrabi sayurannya. Dicuci bersih lalu di simpan diatas genuk yang berisi air. Agar tetap terjaga kesegaranya. Kemudian membasuh kedua kaki dan tangannya, hendak tidur siang. Sebelum merebahkan badannya. Dilihatinya satu persatu kamar di rumahnya. Tak ada orang sama sekali. Qohar, bocah berusia enam tahun, cucu satu-satunya itu tak ada di kamarnya. Pada hal biasanya di waktu siang, Qohar tidur lelap di kamarnya. Hanya di waktu malam, terkadang Qohar tidur bersamanya. Itupun lebih karena ketertarikannya pada dongeng-dongeng dan cerita semata.
"Kemanaa cucuku. Pintu terbuka, ayam di biarkan masuk. kemanaaa ini orangnya!." Gumamnya dalam hati.
"Maknyak? !??" Panggil Qohar dengan polos.
Ia lalu menoleh ke asal suara. Cucunya berlari ke arahnya sambil menangis. Ia mengernyitkan dahi.
"Ada apaaa?." Tanyanya penasaran.
"Gemakku hilang !." Jawabnya dengan muka muram, dari kedua bola matanya terlihat basah oleh air mata.
"Hilang yo wis!. Jangan di tangisi. Mbok ya coba kamu pikir. Apa kamu ndak kasihan. Bayangkan kalau seandainya kamu tak kurung di dalam kamar sampai seharian. Bahkan berbulan-bulan. Apa kamu mau?" Hibur Mbok Nah sambil menasehati dengan mengandai-andai.
"Burung itu juga mahluknya Gusti Allah. Biarkan saja burung itu terbang bebas. Bila terus-terusan kamu kurung, kamu kekang. Nanti kamu akan di bales di Akhirat, di hukum, di kurung juga. Seperti apa yang telah kamu perbuat terhadap burung itu."
Pada mulanya panggilan Maknyak dari Qohar kepada neneknya. Hanyalah gurauan semata. Karena waktu itu Qohar baru saja main kerumah Fariz, temannya. Usianya jauh lebih muda dari Qohar namun Fariz tergolong bongsor. Fariz yang mempunyai kebiasaan mengisap jempol menjelang tidur itu tak pernah jauh-jauh dari permen coklat sehingga wajar gigi-giginya pada hitam dan keropos, lebih mirip dengan gigi nenek-nenek yang hitam coklat oleh baluran kapur sirih. Fariz adalah anak Pak Karim yang kebetulan baru beberapa minggu di belikan televisi. Di rumah Fariz Ia menonton televisi serial drama Betawi Si Doel Anak Sekolahan. Di situ si Doel dan Mandra sang pemeran utama memanggil Ibunya dengan sebutan Maknyak. Qohar yang masih polos itupun ikut-ikutan memanggil neneknya dengan sebutan Maknyak. Kini panggilan Maknyak menjadi suatu kebiasa'an yang mengakar dan berangsur menjadi sebuah kebanggaan sekaligus hiburan baginya.
Tak terbersit rasa risih sama sekali ataupun rasa malu pada diri Mbok Nah atas panggilan itu. Dengan legawa Ia terima segala bentuk panggilan. Meskipun berbau penghinaan sekalipun dan juga dari siapapun. Karena Ia menganggap nama hanyalah nama, tidak terlalu penting untuk di bahas. Apa arti sebuah nama apabila hati dan jiwanya kotor penuh dengan kerakusan.
Di panggilnya Maknyak dari seorang cucu. Tak ada rasa canggung sama sekali. Walau sebenarnya Ia hanyalah seorang nenek bagi Qohar, Cucu satu-satunya yang memiliki selera tradisional. Sangat menyukai singkong rebus sehingga berdampak pada giginya yang rapi seperti biji mentimun, menjadi semakin bertambah putih saja. Justru di hatinya ada semacam rasa tentram di jiwanya apabila panggilan Maknyak itu terlontar dari mulut Qohar, cucu kesayangannya, karena memang sejak kecil ia yang merawat dan membesarkannya meskipun tidak terlahir dari rahimnya. Sedari kecil, semenjak usia satu tahun dirinya yang menggantikan Dewi Juariyah, ibunya.
"Di genuk1 ada beberapa ikat daun singkong. Ambil seikat saja. Lalu berikan sama Mbok Rondo!. Nanti terus pulang. Jangan keluyuran." Perintah Mbok Nah sembari menasehati.
"Kemarin sore kan sudah di beri maknyak?" ujar Qohar, gayanya manja.
"Kamu kemarin sore kan juga sudah makan!." Timpal Mbok Nah, enteng.
"Aku tidak makan. tapiii..sarapan." kilahnya.
"Sarapan kok sore-sore. Sudah!. Sana buruan, besok tak carikan Burung Gemak lagi." Perintahnya sambil menghibur, Untuk mengobati kegalauan Qohar.
"Saya mau kencing dulu maknyak!." Tunda Qohar sembari beralasan.
"Pinterrr!! yo wis kencing dulu sana!." Ujarnya memberinya ruang untuk beralasan.
Janda Perawan
Di sebelah muka menganga
Tersungging beribu tawa
Di sebelah lagi terhimpit menjerit sakit
Di ujung sana ku dengar kesah menyelubung jiwa
Yang kosong
Dan disini ia histeris
Berbalut kekaguman ‘Nenekku masih perawan!!!"
Di belantara dunia ini
Apa yang tak mungkin?
Seorang Yusuf terbuang pun
Bermetamorfosa seorang raja
Menjelma
Menuai benih-benih kebesaran
Seorang Muhammad tidak bertangan
Tidak berkaki
Mampu merubah seantero negeri
Memimpin segala bangsa
Dengan perisai Ahlak budi nan mulia
Dan ketika " Kun fayakun" turun
Tak seorang kan menolak.
Mbok Rondo yang yang berarti Ibu janda itu, telah lanjut usia. Walau sebenarnya usianya terpaut jauh lebih muda dari Mbok Nah. Tapi Mbok Rondo terlihat lebih tua dan di tambah lagi sudah sering sakit-sakitan. Ibarat pohon beringin yang rimbun dengan berhias dedaunan yang sangat lebat, akan tetapi cepat meranggas. Daunnya dengan mudah berguguran lalu mengering, laksana menghadapi musim kemarau selama bertahun-tahun. Hidupnya sebatang kara, tak punya keturunan maupun sanak saudara untuk mengisi tempat berbagi. tak ada teman bercengkerama dan tak ada yang bisa dibanggakan. Karena memang tidak punya keturunan seorangpun. Hanya sesekali, terkadang tetangganya datang bertamu untuk sekedar menjenguk dan menghiburnya dengan membawa sedikit oleh-oleh. Keadaannya, sangat kontras dengan apa yang di alami semasa mudanya. Konon dulu, semasa mudanya Mbok Rondo bekerja di Kota sebagai pembantu selama bertahun-tahun. Bekerja pada orang-orang Arab keturunan, di Semarang. Sebuah kota pelabuhan nun jauh di seberang, negeri antah berantah. Semasa bumi Nusantara masih di bawah penjajahan Belanda. Atas kendali Ratu Yuliana. Sampai setelah Indonesia merdeka. Kendati semasa mudanya dihabiskan di Kota. Tak pernah bergelut dengan pekatnya Lumpur hitam atau panas teriknya matahari, di tengah-tengah sawah, Namun cara pergaulannya tergolong kuper. Cara hidupnya tak jauh beda dengan cara hidup perempuan Desa pada umumnya, walaupun penampilannya selalu bersih seperti perempuan pingitan. Tak ada yang tahu arah hidupnya yang terkadang ingin selalu tampil beda. Selalu membawa tas, sisir dan selalu mengenakan kulot. Sifatnya pendiam, jarang sekali berbicara kalau tak ada yang memulai pembicaraan. Walau pembawaannya pendiam dan terasa ganjil, namun tidak menyurutkan para lelaki kampung untuk tidak segan menyambanginya untuk sekedar menikmati keelokan wajahnya.
Tubuhnya yang tinggi semampai, kulitnya putih dengan alis mata yang beriringan seperti semut yang sedang beriringan, serta bulu matanya yang lentik. Kakinya yang mulus, putih. Tak ada bandingannya, dengan perempuan-perempuan desa pada umumnya. Tubuhnya yang sintal itu, selalu di rawat, putih bersih, wangi dan istimewanya ia selalu mengenakan jilbab. Itu adalah sebagian dari kelebihan dan gambaran hidup semasa mudanya. Dan satu hal yang melekat dalam diri seorang Mbok Rondo dan sangat mudah untuk di ingat yaitu murah senyumnya yang "Lillahi Ta'ala". Setiap bertemu dengan siapapun mbok Rondo selalu menyebarkan virus murah senyum, kepada siapa saja, orang tua, anak-anak, orang gila sampai pengemis, bahkan kepada monyet sekalipun, tak pandang kulit maupun bulu.
Sepulangnya ke kampung halaman, banyak pria kampung yang tergila-gila padanya. Pancaran rona wajahnya, mampu meredupkan perangai para preman yang keras dan bajingan tengik sekalipun. Hingga bertekuk lutut dihadapannya. Kecantikannya mengalahkan perempuan-perempuan sekampung. Dalam waktu singkat, dengan mudahnya Mbok Rondo bertengger sebagai Primadona Desa. Lamaran demi lamaran berdatangan dari para lelaki yang terhormat, hampir kesemuanya berdarah biru. Datang silih berganti. Namun seringkali di tolaknya dengan cara baik-baik. Hingga pada suatu saat, pilihan jatuh kepada kang Amran. Anak Tumenggung Sastro Djoyodiningrat. Yang waktu itu menjabat sebagai Wedana. Seorang Wedana dengan predikat termuda, di usianya yang tergolong masih sangat muda, dua puluh satu tahun. Jabatannya itu Setingkat camat dimasa kini. Kang Amran yang berwatak keras, sangar, kaku dan di takuti banyak kalangan itu, akhirnya tahluk di pelukan Mbok Rondo. Tapi sayangnya Kang Amran sama sekali tidak mengenal seni bercinta. Perangainya yang keras, dan kaku. Menjadi batu sandungan buatnya. Kang Amran gagal mencumbui dan merayunya. Setelah Mbok Rondo resmi dinikahi Kang Amran, ia masih tetap menjunjung tinggi kesuciannya.Tak ingin ternoda sama sekali, agak janggal memang. Dari cerita yang beredar dari ibu-ibu di sawah, sewaktu Mbok Rondo belum di nikahi kang Amran ia pernah berujar kepada Bu Maryam, pemilik warung sembako, sewaktu berbelanja. Katanya waktu itu sebenarnya Mbok Rondo tidak ingin menikah karena sebenarnya ia sudah kawin dengan kekasih abadinya, yaitu Gusti Allah. Tetapi waktu itu Bu Maryam tidak menangkap secara utuh kata-kata Mbok Rondo. Bu Maryam menyangka perkataan Mbok Rondo waktu itu hanyalah guyonan semata. Sehingga tidak ditanggapinya dengan serius. Ada pula selentingan yang mengatakan jika kang Amran orangnya terlalu keras sehingga Mbok Rondo dengan tegas menolak di setubuhi. Entah kenapa semua itu bisa terjadi. Dan apa maunya masih menjadi teka-teki.
Mbok Rondo yang bernama asli Maryamah itu adalah perempuan yang aneh, sekaligus nyeleneh. Mau dinikahi, tetapi sama sekali tidak mau digauli. Ia tidak ingin menjadi perempuan yang ternoda oleh suaminya sendiri. Sekalipun Kang Amran telah menjadi suaminya yang sah. Tepatnya dua hari setelah Akad nikah. Mbok Rondo di ceraikan oleh Kang Amran. Dengan alasan yang tidak logis. Mbok Rondo tidak mau disentuh. Jadilah Maryamah menjadi seorang janda yang masih terjaga kesuciannya.
Hingga detik ini tak terpikir sama sekali dalam benak Mbok Rondo untuk menikah lagi. Apalagi di masa tuanya kini ia Ibarat seorang perempuan paling lemah di dunia. Di usia tuanya ia tinggal sendiri di sebuah gubuk berukuran dua kali empat meter. Sedikit lebih luas jika di bandingkan dengan ukuran kandang kambing pada umumnya. Sawah, hasil jerih payahnya selama puluhan tahun bekerja di kota, kini tak berbekas lagi. Karena tipu daya orang-orang yang tidak bertanggung jawab, pelakunya tidak lain adalah tetangganya sendiri yang bertindak sebagai makelar. Tetapi Mbok Rondo tetaplah Mbok Rondo yang teduh dan semakin bersahaja, terlebih di usia tuanya. Tegar menerima segala bentuk ujian dari kekasihnya. Sepenuhnya Ia tertipu dengan sadarnya. Sawah satu-satunya yang lumayan luas, dijualnya dengan harga yang semurah-murahnya. Ia mengira nilai nominal uang sekarang, tak ada bedanya dengan uang di zaman dahulu. Harga tanah yang di sangkanya naik tipis. Justru pelan dan pasti, telah mencekiknya secara perlahan. Tetapi ia hanya bisa pasrah dengan semua itu. Tidak menaruh dendam sama sekali kepada tetangga yang bertindak sebagai makelar dan tidak bertanggung jawab itu.
Tak kurang dari satu tahun, uang hasil penjualan sawah akhirnya ludes. Untuk biaya makan sehari-hari. Walau nasi telah menjadi bubur. Tuhan yang kuasa masih tetap mencurahkan Rahmatnya bagi seluruh Alam, termasuk kepada dirinya. Setiap mahluk yang tercipta telah mendapat cadangan rizki masing-masing. Terkadang sekali dua kali Mbok rondo mendapatkan bantuan dari para tetangganya, Serta saudara-saudara jauhnya. Yang masih menaruh simpati kepadanya. Walau nominalnya tidaklah seberapa, namun cukup membantu untuk mengurangi beban hidup dan pikirannya untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Setiap hari, setiap minggu ada saja rizki yang dicurahkan Allah lewat hamba-hambanya itu.
Sekarang agaknya nasib baik, telah merapat padanya. Gubuknya yang rata dengan tanah telah berdiri kembali seminggu yang lalu. Para tetangga gotong royong memperbaiki dan membangunnya kembali. Sebelumnya ia menumpang makan dan tidur di rumah Kartini tetangganya, seorang ibu muda yang hidup dalam kesendirian karena di tinggal pergi suaminya semenjak usia perkawinannya masih seumuran jagung. Hingga kini suami dari kartini tak di ketahui dimana rimbanya. Karena rumah mbok Rondo yang lebih mirip gubuk, bertiang bambu dan beberapa kayu yang telah lapuk, dindingnya terbuat dari bilah-bilah bambu yang di anyam dan beratap daun kelapa itu, tiba- tiba ambruk, rata dengan tanah oleh ulah kambing- kambing snewen. Maka dengan kerelaan hati, kartini menerima Mbok Rondo menumpang di rumahnya.
Kambing- kambing snewen itu milik Haji Malik. Tiga kambingnya terlepas dari kandangnya. Dua ekor kambing jantannya snewen ingin kawin. Lalu mengejar seekor kambing betina. Ketiganya berkejar-kejaran dan berlari-lari bebas mengelilingi kampung. Tanpa diduga sebelumnya Salah satu kambing jantan, tali tambangnya tersangkut di salah satu tiang rumah Mbok Rondo. Rumah yang lebih mirip gubuk dan hanya bertiang bambu itupun roboh, hanya kurang dari hitungan menit, ambruk dan berantakan. Untungya Mbok Rondo waktu itu tengah pergi ke Sungai untuk keperluan buang hajat sehingga selamat dari musibah.
Tak ada yang di salahkan maupun menyalahkan, dan memang tak perlu ada yang di salahkan. Barangkali itu memang telah menjadi suratan baginya. Mbok Rondo tidak marah, tidak pula menuntut. Seperti tidak ada guratan kesedihan sama sekali di wajah Mbok Rondo. Rasa kehilangan seperti tidak menghinggapi pikirannya. Dirinya sudah terbiasa mengakrabi hidup dengan bergelut penderitaan, terbiasa menjadi bahan cercaan, semenjak sawahnya di jual murah-murahan untuk biaya hidup sehari-hari. Dirinya tau diri, dan menganggapnya tidak layak untuk meminta-minta apalagi menuntut.
Dalam musibah itu tak ada yang mau bertanggung jawab. Pak Haji Malik pemilik kambing-kambing yang tengah snewen itu hanya menyumbang beberapa potong bambu dan beberapa ikat daun ilalang kering, untuk keperluan atapnya. Masih sangat jauh dari mencukupi. Selebihnya, orang yang selalu memakai baju koko dan berkopiah itu justru menyalahkan keadaan dan menganggapnya bukan suatu musibah.
"Wong rumahnya memang sudah tua kok! sudah waktunya ambruk!." Begitulah kata-kata Pak Haji Malik terlontar begitu saja tanpa berfikir terlebih dahulu. Orang dengan kebiasaannya, yang lebih suka menganggap enteng suatu masalah.
Di mata Mbok Rondo kata-kata Pak Haji Malik adalah sebuah petuah. Tak banyak yang harus di perbuat. Padahal semestinya Ia punya hak untuk meminta lebih, atau bahkan kalau perlu ia bisa menuntutnya.
Mendapatkan bantuan dari Pak Haji Malik yang tak seberapa nilainya. Bagi Mbok Rondo sudah lebih dari cukup. Tetapi para tetangga dan saudara-saudara jauhnya, justru muak. Tidak terima dengan kenyataan yang ada. Tapi mereka tidak bisa berbuat banyak, karena Mbok Rondo sendiri tak ingin masalahnya menjadi semakin runyam. Merekapun hanya bisa mengumpat dalam hati. Dan hanya bisa menilai, Jika titel Haji yang telah di sandangnya sama sekali tak ada gunanya.
"Haji gombal.!!." Demikian para tetangga berujar.
Malam begitu terang di malam purnama. Dalam penanggalan tahun hijjriyah, biasanya jatuh tepat di pertengahan bulan. Beribu-ribu atau bahkan berjuta-juta bintang bertaburan menghiasi langit. Konon seluruh pasir di seluruh alam tak mampu mengimbangi jumlah bintang yang bertebaran di angkasa raya. Bintang dan ribuan galaksi itu tak ada yang menjinjing, tiada pula yang menyangga, tapi tetap pada porosnya. Itulah sebuah maha karya dari yang kuasa. Tak akan pernah tertandingi walaupun oleh sekumpulan para ilmuwan sekalipun. Benda-benda angkasa bergerak, berputar pada porosnya sesuai fungsinya masing masing. Karena saking banyaknya, pada hakikatnya tak akan mampu manusia untuk menamakan kesemuanya. Setiap planet- planet mempunyai galaksi masing-masing, seperti beranak-pinak.
Malam itu Mbok Nah dan Qohar duduk santai di dipan teras depan, bercengkrama, berbagi cerita dan sesekali di selingi guyon. tak lama kemudian Qohar segera pamit mohon diri untuk tidur terlebih dahulu, rasa kantuk mulai menyerang perlahan. Mbok Nah sendiri di keheningan malam, Tatapan kedua bola matanya mulai memudar lalu kosong. Seperti ada sesuatu yang memasuki jasadnya. kedua bola matanya menerawang, jasadnya seolah-olah terpaku dan bermetamorfosa menjadi sebuah patung. Sementara di luar sana hanya sesekali terdengar celepuk burung hantu, di selingi walang kekek dan jangkrik jalenggong yang senantiasa mengisi kesunyian. Di keheningan malam Ia teringat semasa kecil dulu sewaktu zaman penjajahan. Ingatan masa lalunya pelan-pelan merapat dalam benaknya. Mbok Nah teringat sewaktu kecil, puluhan tahun yang lalu. ia, Badrun, Amar dan Rodiyah mencuri tebu milik para cukong Belanda. Ia berempat mencuri tebu di atas truk yang terperosok di pinggir kampung. Kejadian itu persis di malam purnama. Tanpa dinyana sebelumnya truk berisi penuh dengan muatan tebu itu ditunggui dua orang berbadan kekar yang tengah tertidur. Ia berempatpun kaget bukan kepalang, setelah salah seorang penjaga tebu tiba-tiba terbangun. Dengan membawa masing masing beberapa batang tebu. Ia berempat lalu lari terbirit birit. Pada saat lari itulah mata Rodiyah sebelah kiri tertancap ujung tebu. Ketika lari dengan sekencang kencangnya Ia menjadikannya sebatang tebu itu sebagai tongkat. Sedangkan tebu pada umumnya lancip di kedua ujungnya.
Musibah tak bisa di tolak, datang begitu saja tanpa di undang. Tebu yang sebenarnya sepele itupun membawa petaka. Setelah ujung tebu menancap di bola mata sebelah kirinya dilepas, darah lalu mengucur dan mengalir deras. bajunya yang tlah usang, menjadi basah di penuhi darah. Rodiyah, perempuan yang tak pernah lepas dari tusuk konde itu menangis sejadi-jadinya. Ia berempat tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa menangis, di hantui rasa takut yang mencekam. Di tengah malam Ia berempat tidak pulang, takut di marahi orang tua. Ia berempat lalu tidur di sebuah gubuk di persawahan di bawah pohon kapuk randu, kebetulan waktu itu tengah musim buah kapuk. Kami pun membalut, mengelap dan membersihkan bekas-bekas darah di sekitar mata dan sebagian mukanya dengan kapuk randu.
Malam itu hingga fajar tiba Ia berempat tidak bisa tidur. hanya bisa menangis, bergelayut rasa takut dan meratapi nasib.
Selang sebulan kemudian luka-lukanya mulai mengering, Rodiyah pun sembuh. Sejak saat itu Ia mulai mengobarkan benih-benih kebencian pada para penjajah, tanpa gentar. Menginjak remaja Ia dengan gigih memperjuangkan hak-hak orang-orang pribumi. Meski harus meniti hidup dengan satu mata, tiada kata minder dalam melanjutkan hidup. Hingga suatu saat Ia di persunting kang Umar, tanpa prosesi lamaran ataupun tunangan terlebih dahulu. Kang Umar seorang pemuda kampung yang terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi itu sangat di segani dan diperhitungkan kaum penjajah. Kang Umar dan Rodiyah sama- sama satu tujuan, gigih melawan segala bentuk penjajahan. Sampai di usia tuanya Ia tetap gigih melawan dan memerangi para penjajah. Hingga suatu ketika di tengah malam Ia bersama suaminya Kang Umar berniat menyamar ke markas tentara Belanda. Dengan sangat hati-hati Ia dan suaminya mengendap-endap di balik gudang senjata milik tentara Belanda, hendak mencuri senjata. Namun takdir berkata lain, Ia dan suaminya ketahuan tentara Belanda. Oleh tentara Belanda keduanya lalu di tembak dengan puluhan selongsong peluru di kedua kakinya. Dalam peristiwa itu tubuh kang Umar tak mampu di tembus peluru dan berhasil melarikan diri, sedangkan Rodiyah langsung tergeletak tak berdaya. Dalam ketidak berdayaan, Rodiyah lalu di gelandang ke rumah letnan jenderal van houten. Lalu di berondong dengan puluhan peluru di saksikan jenderal van houten. Puluhan peluru itupun bersarang di tubuhnya. Sepeninggal Rodiyah. Tak ada tanda gelar ataupun jasa yang di berikan pemerintah kepadanya.Tetapi Tuhan maha adil dan bijaksana. Meski tanpa uang tunjangan ataupun bantuan sepeserpun dari pemerintah, Anak-anak dan cucu dari Rodiyah dan kang Umar, tak kurang suatu apa. Bahkan hidup mereka sekarang sudah lebih dari cukup. Menjadi orang terpandang di Desanya. Tak banyak yang di harapkan dari seorang Rodiyah selain kemerdekaan dan kemakmuran suatu bangsa.
Mengalun kecapi tua dan suara sumbang menggema
Juga dendang dan balada isi kisah hidupnya
Dia
Yang pernah merasakan pahitnya penjajahan.
Perang kemanusiaan telah sirna terabaikan.
Yang pernah merasakan kerasnya perjuangan.
Untuk kemerdekaan bangsa dan negerinya.
Bertopang tongkat penyangga.
Dan timpang langkah kakinya.
Namun langkah nuraninya tetap tak tergoyahkan.
Dia
Masih bergelora semangat di dalam dada.
Walau tubuh telah renta termakan usia.
Bukan tanda jasa atau istana dan harta.
Tapi yang di dambakan.
Negeri yang sentosa.
Kini tinggal tugas kita.
Wahai generasi muda.
Capai adil makmur bangsa jaya.1
Tanpa terasa di kedua pipinya yang telah mengeriput basah oleh airmata. Mbok Nah lalu segera beranjak tidur menyusul Qohar yang telah tidur terlebih dahulu....
Maqoomam Mahmuuda
Bukanlah para petinju yang terkuat
Bukan pula bodyguard
Seorang yang mampu menahan bebanlah
Puncak segala kekuatan
Beban-beban nafsu dan amarah
Terkekang dalam telikung takwa
Berbalut ketulusan
Berhias tawakkal
Satu keniscayaan
Satu bekal manusia pilihan
Satu tempat tiada tara
Maqoomam Mahmuuda.
Pagi-pagi benar Mbok Nah telah lebih dulu pergi ke sawah. Di rumah hanya tinggal Qohar seorang yang masih tidur. Telah menjadi suatu kebiasaan, apabila Qohar bangun tidur, lalu tanpa di dapatinya Mbok Nah di sampingnya. Ia lalu cuci muka, kemudian melaksanakan sholat shubuh, berdzikir beberapa saat, dan di akhiri do'a sapu jagat yang senantiasa diajarkan Mbok Nah di dalam sehari-harinya. Ia lalu minum air putih dua gelas. kemudian segera pergi menyusul Mbok Nah ke sawah. Di usianya yang ke tujuh, Qohar terbiasa pergi menyusul ke sawah atau kebun, yang lumayan jauh untuk ukuran anak kecil pada umumnya. Sekedar membantu Mbok Nah. Paling banyak, Qohar membantu dengan cara menghibur neneknya yang biasa di panggilnya Maknyak.
Dengan berpakaian ala kadarnya. Qohar menyusul Mbok Nah, tanpa sarapan terlebih dahulu. Cukup hanya minum dua gelas air putih. Ia mengira nantinya akan pulang pagi-pagi seperti kemarin. Letak sawahnya yang jauh dari perkampungan, tak mematahkan semangatnya untuk tetap menyusul neneknya. Waktu demi waktupun terus berjalan. Di tengah perjalanan ia merasakan capek. Biasanya, apabila dirinya merasa pegal di kakinya. Ada yang mau menggendongnya. Tapi kali ini tak ada yang di mintai untuk mengeluh. Ia lalu istirahat sejenak di bawah pohon asem di tepi jalan. Dari kejauhan Ia melihat segerombolan perangkat Desa sedang mengukur sawah. Biasanya orang-orang penting macam perangkat Desa yang biasanya ogah di sebut sebagai pelayan masyarakat itu membawa serta makanan yang lezat-lezat. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika makanan yang di bawa biasanya ada lauk opor ayam, dan gulai kambing.
Dilihatnya para perangkat Desa sedang menikmati hidangan. Tak sampai satu jam. Merekapun kembali ke sawah. Mengukur Sawah. Karena persawahannya begitu luas di hiasi rimbunnya pohon tebu. Sehingga apabila sisa-sisa makanan dimakan. Tak akan ada yang tahu kecuali Allah. Qohar dengan sigap merayap menuju letak makanan dan buah-buahan itu berada. Makanan-makanan itu sengaja ditinggal, lalu mereka kembali membagi tugas mengukur persawahan.
Qohar makan dengan santai tanpa takut ada yang melihatnya. Karena tak satupun petugas yang terlihat. Setelah kenyang, tak lupa Ia ambil serantang nasi beserta ayam goreng, gulai kambing, dan buah-buahan. Sebagai oleh-oleh kepada neneknya terkasih.
Sesampainya di dekat persawahan, Ia melihat neneknya tengah membungkuk menyiangi rumput sambil sesekali berdiri, membuang kumpulan rumput. Sembari menghilangkan rasa pegal-pegal. Sawah Mbok Nah yang hanya tinggal beberapa petak, sengaja di tanami berbagai macam tanaman. Qohar sendiri seringkali di ingatkan Mbok Nah, agar selalu merawat dan memelihara tanaman. Syukur-syukur mau menanam apa saja yang bisa mendatangkan manfaat, seperti kacang panjang, kangkung, dan lembayung secara intens dan bergiliran. Bila sudah tidak produktif segera di ganti, begitu seterusnya. Mbok Nah dalam mensiasati jalan hidupnya.
Dengan mengendap-endap di bawah pohon ketela. Qohar mencoba untuk mengelabuhi Mbok Nah dan membuatnya kaget. Tetapi, hari itu agaknya nasib baik tidak memihak kepada Qohar. Sebelum rencana miringnya terlaksana, Mbok Nah terlebih dahulu tahu rencana cucu kesayangannya ini. Karena hampir tiap hari Ia di buatnya kaget
Sambil membungkuk menyiangi rumput. Mbok Nah melirik cucu kesayangannya. Lalu dengan sigap Qohar menghela nafas panjang-panjang hingga kemudian memuntahkan suara sekeras-kerasnya
"Darrr !!!."
Seketika itu juga Mbok Nah terjatuh pingsan. Kali ini Mbok Nah mencoba membalas kenakalan Qohar. Dengan berpura-pura pingsan di depan Qohar.
"Maknyak !! Maknyak kenapa ? bangun Maknyak!." Qohar membangunkan sambil menangis tersedu-sedu.
Sambil menangis sesenggukan Ia berujar seraya berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatan konyolnya itu. Qohar yang masih polos itupun, tak tau harus bagaimana. Sedangkan Mbok Nah masih melanjutkan aktingnya. Tanpa mempedulikan tangisan Qohar yang terus memelas.
"Maknyak! bangun maknyak!!. Jangan mati maknyak! Saya nanti hidup dengan siapa?." Keluhnnya. Tanpa terasa pipinya basah oleh air mata, diusapnya air mata yang bening itu.
"Maknyak!. Qohar bawa makanan dan buah-buahan. Jangan mati maknyak!!." ucap Qohar sambil menyodorkan bungkusan nasi bersama lauknya.
Seketika itu juga Mbok Nah langsung terbangun dan berkata.
"Maknyak lapar cucuku?." Keluh Mbok Nah sambil tangan kirinya membelai perutnya.
"Lapar segala seperti manusia." Celetuknya sambil mengusap kembali air matanya, dan menahan senyum lalu kemudian senyumnya mengembang menghiasi wajah culunnya. Kedua pipinya yang dekil itu semakin terlihat cekung. Menambah kelucuan untuk mengundang tawa.
Kali ini Qohar tak ingin kehilangan Mbok Nah kesayangannya, hingga kedua kalinya. Iapun menyuapi Mbok Nah dengan setulus hati sampai kenyang. Setelah kenyang Mbok Nah baru teringat, jika dirinya tadi pagi tidak merasa membuat masakan ayam goreng maupun gulai kambing.
"Lhoo kamu tadi pagi aku buatkan terong goreng sama pecelan oyong..kok bisa jadi ayam??." Selidiknya dengan penuh penasaran.
"Kamu mulai belajar mencuri??."
"Nggak maknyak ! Itu tadi saya menemukannya di jalanan. Mungkin itu buangan dari orang kaya yang melintas."
Alasan tersebut agak logis, karena memang di kampungnya terdapat jalan raya lintas Provinsi yang membelah perkampungan.
Dulu sekitar dua minggu yang lalu, ditengah teriknya matahari disiang hari, Mbok Nah pulang dari sawah bersama Qohar. Sewaktu melewati areal perkebunan tebu milik pak Carik Handoyo. Mbok Nah mendapati berbagai macam hidangan tepat di bawah pohon mangga. Tanpa seorangpun di sekitarnya. karena ditinggal pergi pemiliknya mengukur sawah. Tanpa babibu Mbok Nah mengambil sebagian tanpa sepengetahuan pak Carik Handoyo. Suatu kebetulan.
Mbok Nah melakukan semua itu semata-mata bukan karena lapar sehabis dari sawah. Tapi lebih dari sekadar lapar. Ia melakukan semua itu sebagai sebuah bentuk rasa kesal. karena tiga minggu sebelumnya, Mbok Nah mengurus surat-surat tanah untuk yang ke sekian kalinya ke kelurahan. Namun tak kunjung di urus pemerintah Desa. Padahal Jarak yang di tempuh pun sangat jauh untuk ukuran seorang Mbok Nah. Perjalanan itu ditempuhnya sejauh enam kilometer pulang pergi. Surat-surat tanah itu telah diajukan sejak beberapa tahun yang lalu. Sementara Bu Ani tetangganya.Yang masih terhitung sebagai adik ipar Pak Handoyo hanya memerlukan waktu beberapa bulan. Qohar yang masih polos itupun melihat semua itu sebagai sesuatu yang di perbolehkan, suatu hal yang biasa, tanpa mengetahui lebih mendalam maksud dan tujuan Mbok Nah lalu kemudian dengan serta merta secara instant ia mengikuti langkah dan cara-cara Mbok Nah. Lazimnya seorang anak manusia yang cenderung mengikuti pola pikir, sikap, dan tindakan dari pada menuruti suatu perintah. Tanpa terasa hari telah siang, suara burung belibis mulai terdengar bersahut-sahutan di sudut-sudut sepanjang aliran sungai. Burun-burung kutilangpun tak mau kalah, mulai memamerkan suaranya yang khas, melengking cukup lama seperti seorang Qori'. Burung-burung itu memanggil kawanannya. Selang beberapa menit kemudian sekawanan burung kutilang terbang melayang meniti angin, lalu hinggap di dahan-dahan, diatas pucuk pohon kapuk randu. Seakan-akan suara lengkingan burung kutilang yang pertama adalah suatu instruksi dari atasan agar secepatnya mengatur barisan, bersatu dan menyusun strategi. Mencari mangsa. Sementara diatas sana langit begitu cerah, seperti terhampar karpet biru yang sangat luas. Sayup-sayup terlihat rembulan, seperti merana di kesendiriannya. Kalah oleh pancaran sinar terik panasnya matahari.
Merekapun pulang. Sesampainya dirumah, Mbok Nah langsung menanak nasi, sementara Qohar mulai asyik bermain Egrang. Mainan kuno yang cukup menantang, sanggup memacu adrenalin lebih kencang. Qohar dalam bermain egrang bisa betah berlama-lama. Sesuai karakternya yang sangat menyukai tantangan. Setelah bosan bermain egrang. Qohar mencoba tantangan baru. Ia ingin neneknya bingung dan panik dibuatnya. Ia segera pergi ke kamar dan mengendap-endap masuk ke kolong tempat tidurnya. Cukup lama ia sembunyi, hingga akhirnya Qohar tertidur di bawah kolong tempat tidur.
Usai memasak, Mbok Nah mencari cucu kesayangannya. Seluruh isi rumah telah di periksa, namun belum juga ditemukan. Neneknya mengira, Qohar pergi kesungai seperti biasanya untuk mandi bersama teman-teman sebayanya. Setelah di cari di Sungai ternyata juga tidak di ketemukan. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya terus menetes dari kelopak matanya yang cekung dan keriput. Selama ini kedua bola matanya jarang basah oleh airmata. Matanya yang terlihat kering keriput hanya bisa meneteskan air mata dikala berdo'a di tengah malam.Selebihnya jarang sekali menangis. Di bulan-bulan tertentu Mbok Nah memang menangis. Tetapi itu terjadi lantaran teringat saat-saat melahirkan sang buah hati. Merawat, dan membesarkan anak, tapi setelah dewasa tak ada juntrungannya. Dimana tempat tinggalnya. Paling jauh, moment yang membuatnya menangis adalah sewaktu mengenang bagaimana susahnya hidup pada zaman penjajahan.
Hidupnya yang begitu tegar, setegar batu karang. Tak terlepas dari peran suaminya, Kang Karta. Ilmu siasat yang secara tidak langsung turun temurun dengan sendirinya itu diyakini telah merasuk ke dalam diri perempuan tua itu, dari semula yang biasa-biasa saja kini pelan-pelan telah menjadi seorang perempuan tua yang bermental baja. Dengan ilmu siasat titisan dari kang Karta itu membuat dirinya tidak pernah kekurangan di dalam hidupnya, meskipun harus membiayai kebutuhan hidup seorang diri. Pesan-pesan kang Karta itu masih teringat di benak Mbok Nah.
Sebuah bentuk rasa cinta dan kasih sayang dari Tuhan kepada para hambanya. Pada hakikatnya setiap Manusia selalu di beri ujian dan tantangan. Setiap manusia terlahir diatas Bumi. Sebagai konsekuensinya harus bisa dan berani menahlukkan akan sebuah tantangan. Dari sang Khalik. Namun bukan termasuk manusia pilihan apabila harus menyerah begitu saja. Apalagi penyerahan dan kepasrahannya sebelum babak pertandingan usai. Begitu kompleksnya suatu permasalahan hidup. Sehingga perlu ditanamkan dalam diri Manusia sifat ulet dan pantang menyerah untuk menghadapi hidup. Satu persatu permasalahan itu harus di selesaikan hingga mencapai titik klimaks sebuah kepuasan bathin. Permasalahan hidup adalah suatu keniscayaan. Bukan untuk di takuti, bukan untuk di kejar dan mengejar permasalahan. Tetapi untuk di hadapi. Sehingga kelak menjadi insan yang mendapat tempat yang tertinggi'Maqoomam mahmuuda'.
Kang Karta meninggal dunia karena terjatuh dari pohon kelapa. Dengan posisi kepalanya dibawah. Menyerupai orang yang sedang bersujud. Tinggallah Mbok Nah sendiri di dalam mengasuh anak-anaknya. Tak kurang, Mbok Nah di dalam mencurahkan kasih sayangnya, kepada tiga orang putrinya. Akan tetapi setelah dewasa, satu-persatu tiga putrinya pergi meninggalkannya entah kemana. Mengikuti keinginan hati nurani masing-masing. Hanya Dewi Juariyah, putri bungsunya yang diketahui keberadaanya.
Sebelum pergi dari rumah, Juariyah diketahui berpacaran dengan Arman, yang tidak lain adalah tetangga Kampung. Tetapi setelah diketahui, selama ini ternyata Juariyah ikut buleknya, Saroh, adik kandung mbok Nah yang rumahnya hanya beberapa jengkal dari rumah Arman. Akhirnya Mbok Nah melakukan berbagai upaya agar Juariyah mau pulang kembali ke rumah. Karena hanya Juariyah satu-satunya anak yang diketahui keberadaannya.Tapi Juariyah bersikeras ingin tetap tinggal di rumah Bulek Saroh. Dengan kesadarannya sendiri, akhirnya Juariyah kembali pulang. Berkumpul bersama Mbok Nah. Hanya berselang dua minggu kemudian, Mbok Nah menikahkan putrinya, Dewi Juariyah dengan Arman. Seperti biasa, di awal-awal pernikahan mereka berdua terlihat harmonis. Setiap hari wajah-wajah mereka berdua di penuhi senyuman yang terus tersungging. Kerjaannya dari hari kehari hanya bercinta dan bercinta. Tetapi persoalannya apakah hidup ini terisi hanya untuk bercinta? Tidak usah memikirkan urusan perut?. Belum genap satu bulan, mulai terlihat diantara keduanya, ketidak harmonisan. Arman yang selama ini di anggap sebagai lelaki sejati. Ternyata seperti anak kecil yang tidak tahu tanggung jawab sebagai seorang suami. Tidak becus mencari nafkah buat istri. Ia masih tetap menyandang status sebagai lelaki pengangguran. Kerjanya hanya nongkrong di pinggir jalan, tidur, lalu dengan santainya meminta jatah uang kepada Mertua untuk membeli rokok atau ngopi di warung. Seperti orang yang tidak punya muka. Hampir setiap hari menantu yang rambutnya berjambul seperti burung kutilang itu meminta jatah uang. Pengangguran, sebuah perwujudan dari mental pengecut itu telah mengakar dalam jiwa Arman sedari kecil. Namun karena di tutupi dengan beribu kebohongan yang muluk-muluk sehingga juariyah pun hanyut dan terjatuh dalam buaian gombalnya. Tetapi Juariyah agaknya kurang jeli dan tidak memahami betul, watak dan kepribadiannya. Dari awal sebenarnya Mbok Nah dan juga Bulek Saroh yang mempunyai kebiasaan mengorek telinga itu, sama sekali tidak menyetujui anaknya berpacaran dengan Arman. Tetapi mereka berdua lebih banyak diam karena itu memang telah menjadi pilihan Juariyah. Arman, seorang lelaki yang dilihat dari phisiknya saja sudah kelihatan badung. Lelaki mandul yang tidak menghasilkan apa-apa. Perokok berat, doyan judi dan paling menyukai hal-hal yang berbau tongkrongan. Dari cara bicaranya seperti orang yang tak pernah dididik ilmu agama. Mukanya seperti terasa pahit apabila berlama-lama di pandang. Kuku-kukunya hitam seperti tak pernah di cuci, dan rambutnya memang sengaja di buat kumal, sebagian meruncing ke atas seperti burung kutilang. Keseluruhan penampilannya selalu necis, agak norak dan terlihat gagah, tapi sayangnya lelaki pengangguran itu tidak lebih dari perumpamaan seekor ayam, bahkan lebih mulya dari ayam. Diberi makan setiap hari namun tak bisa menghasilkan apa-apa. Seekor ayam apabila dipelihara dengan serius bisa di jual dan mendatangkan keuntungan. Lalu apa yang bisa diandalkan dari seorang Arman? Tetapi entah kenapa Juariyah bisa mencintai dan tergila-gila padanya.
Bosan harus hidup bersama suami pengangguran, terpikir di benak Juariyah, ingin pergi jauh untuk mengasingkan diri. Pergi dari bayang-bayang suaminya, Kang Arman. Hingga akhirnya Juariyah memilih ingin bekerja sebagai TKI.
Mulanya Juariyah ingin bekerja sebagai TKI secepatnya. Namun Mbok Nah melarangnya. Kecuali apabila sudah memberikannya seorang cucu. Juariyah pun menyanggupinya. Juariyah ngotot pengen jadi TKI, lantaran ingin mengubah nasib. Suaminya kang Arman yang pengangguran, belum bisa mencerna arti dari sebuah tanggung jawab. Seorang lelaki dengan kebiasaannya nongkrong dipinggir jalan dengan dua bola matanya yang memerah apabila melihat uang, mata duitan. Sungguh tidak bisa di andalkan. Juariyah menyebut suaminya dengan sebutan lelaki tempe busuk, lanangan asu buntung. Walau demikian, Ia akan tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya demi Mbok Nah, Ibu yang selama ini telah membesarkannya. Meski harus makan hati dan terus-terusan menelan pil pahit kehidupan. Dengan di warnai pertengkaran, cumbu rayu, nafsu dan amarah. Bercampur cinta dan ketulusan. Juariyah pun hamil.
Usai melahirkan, selang kurang lebih delapan bulan kemudian. Juariyah diijinkan Mbok Nah untuk mengadu nasib menjadi TKI. Akhirnya Juariyah pergi meninggalkan tanah kelahirannya, diiringi tangis dari Mbok Nah. Juariyah pergi hanya membawa bekal uang puluhan ribu. Selebihnya dengan modal nekat. Dari pihak penyalur menjanjikan akan menggratiskan seluruh biaya keberangkatannya. Dengan sistem potong gaji. Tanpa pikir panjang Juariyah menyetujuinya.
Setelah kepergian Juariyah, Mbok Nah mensiasati tangisan Qohar kecil. Dengan merelakan puting susunya yang telah keriput di makan usia, untuk di jadikan pengganti ASI. Walau pada hakikatnya sudah tidak bisa keluar air susu setetespun. Tetapi agaknya telah membuat Qohar terhibur. Setiap hari Qohar kecil di beri asupan air tajin sebagai pengganti susu.
Dan kini cucu satu-satunya yang senantiasa di cintainya, Hilang entah kemana. Ia telah mencoba bertanya kepada para tetangga, tetapi hasilnya nihil. Para tetangga tidak mengetahui keberadaan Qohar. Jalinan silaturrakhim yang terus terjaga dengan para tetangganya membuat banyak para tetangga yang bersimpati. Para tetangga datang silih berganti hingga sore menjelang, lalu kemudian satu persatu pamit pulang. Sekedar menghibur kegalauan hatinya.
Di saat-saat suasana kembali lengang, pikirannya menjadi buyar, linglung, dan lesu. Beraneka macam makanan dan buah-buahan di meja pemberian tetangga, sama sekali tak di sentuhnya.
Mbok Nah semakin takut ketika terdengar suara orang yang sedang mencuci piring. Dalam keputus asa'an berselimut gundah. Ia masih saja berharap. Dan tetap meyakini bahwa Qohar pasti kembali ke pangkuannya. Rasa khawatir itu tetap bergelayut, dalam pikirannya. Semangat hidupnya dari yang semula menggebu-gebu, kini semakin meredup. Tak ada lagi gairah hidup. Sekujur tubuhnya terasa berat seperti orang yang baru kerja seharian. Tubuhnya yang renta semakin lemas tak berdaya. Mbok Nah yang sekuat baja itupun akhirnya pasrah kepada yang Kuasa. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju dapur hendak mengambil air wudlu, melaksanakan shalat ashar. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat Qohar tengah menenteng sepiring nasi. Di ruang dapur yang bersebelahan dengan sumur.
"Qohar !.kamu masih ingat rumah?" Ujar Mbok Nah tak habis pikir."Ingat makan lagi..!" .
"Saya lapar Maknyak.? Sergahnya. Mengalihkan pembicaraan.
"Kalau lapar ya makan jangan keluyuran. Kamu tau!.Tadi kamu ku cari sampe buyeng?."
"Saya nggak tahu". Katanya polos."Ooiya maknyak!.Aku ingat. Tadi siang Aku ngumpet di bawah kolong tempat tidur. Sampai ketiduran." Ujarnya berselidik, mencoba mengingat kejadian barusan.
"Jadi kamu sengaja ngumpet?." Tanyanya dengan geram.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Dassar gemblung!."
Kali ini Mbok Nah benar-benar lega. Tanpa di komando akhirnya Qohar kembali juga pulang ke rumah.
"Ooiya di lemari tadi ada berkat dari Mbok Tamah. Coba kamu makan dari pada basi nantinya."
"Kayaknya sudah di makan kucing Maknyak!." kilahnya.
"Apa?sudah di makan kucing!. Wong di lemari kok di makan kucing, kucing berkepala hitam ?." Kata Mbok Nah berseloroh.
"Iya maknyak." Jawab Qohar cengengesan dan tersenyum geli, pipinya yang dekil itu semakin terlihat cekung menyerupai donald bebek.
"Kamu tadi sudah sholat?." Tanya Mbok Nah mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah maknyak."
"Sudah kemarin siang? sekarang sudah Ashar. Sekarang kamu mandi sana! Terus sholat. Selama kamu masih doyan nasi kamu harus sholat. Biar selalu bersih dan terjaga kesehatannya."
Malam itu, selepas sholat isya' terbersit keinginan di benaknya untuk membeli gulai. Mbok Nah melepas lelah dengan berbaring di kursi panjang, kedua kakinya berselonjor, tangan kanannya mulai menyisir helai demi helai rambut peraknya. Di suruhnya Qohar, membeli gulai Kambing di warung gulai Mbok pairah.
Tanpa banyak cingcong Qohar menyanggupinya. Tanpa perasaan terbebani. Sebenarnya Ia takut karena jaraknya yang lumayan jauh, di kesunyian malam.Tetapi di hadapan neneknya Ia selalu memperlihatkan rasa keberanian dan percaya diri. Di luar rumah banyak anak-anak yang tengah bermain singkongan1. Rudi salah satunya. Diapun mengajak Rudi. Usianya dua tahun lebih tua darinya. Namun dalam hal sifat dan sikapnya. Sangat manja dan kekanak-kanakan. Sewaktu kecil Ia pernah mengejar anak ayam sampai terjatuh dan menyisakan belang di keningnya. Hingga kini sebagian teman-temannya memanggil Rudi dengan sapaan si Belang. Tak seperti Qohar yang penuh percaya diri, kedewasaan akal dan pikirannya mampu menyeimbangkan perkataan dengan siapapun. Rudi sangat pemalu dan penakut. Mereka berdua pergi ke warung sate dan gulai yang tersohor sekampung. Warung gulai dan sate kambing Mbok Pairah. Sesampainya di warung. Qohar dan Rudi di sambut kecut oleh Mbok Pairah.
"Kamu cucunya Ginah too.?" Tanya Mbok Pairah mengernyitkan dahi, dengan kedua alisnya yang seperti menyatu dan bertemu.
"Ya mbah." Qohar mengangguk.
"Mau beli apa ?." Tanyanya seperti mau menantang.
"Beli gulai dua bungkus."
"Di beri uang berapa kamu?."
"Banyak!."
"Berapa?coba saya lihat!." Desak Mbok Pairah penasaran. Qohar menunjukkan uang lima puluh ribuan beberapa lembar. Dari dalam dompet.
Mbok Nah sengaja menyuruh Qohar membawa dompetnya. Karena bukan hanya sekali dua kali Mbok Nah di lecehkan dan di anggap rendah oleh Mbok Pairah, tetapi semenjak Mbok Nah ia diperistri oleh kang Karta, mantan suaminya Mbok Pairah, sampai setelah meninggalnya kang Karta. Di setiap kesempatan. Setiap keduanya bertemu selalu tak pernah akur. Menjadi musuh bebuyutan sepanjang hidup. Di sawah, di jalan, atau dimana keduanya bertemu. Selalu memperlihatkan permusuhan. Tak peduli di lihat banyak orang sekalipun. Kedengkian Mbok Pairah pada Mbok Nah seperti api yang semakin bertambah menyala-nyala, terus membesar dan tak pernah surut. Tetapi Mbok Nah masih tetap menghormatinya melalui gulai yang di beli darinya. Pada hal telah puluhan tahun pula Mbok Pairah mendapatkan pengganti kang Karta. Semenjak ia berpisah dengan Kang Karta, lalu Tak lama kemudian Ia di persunting oleh Pak Jayadi, Seorang juragan pedati. Pemilik peternakan sapi tradisional. Meski sudah tua, mbok Pairah selalu berpenampilan menor. Setiap kali dandan hendak pergi kondangan atau keperluan lain bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam. Perempuan dengan wataknya yang kaku dan kasar, sifat dan sikapnya tidak mudah untuk di takhlukkan. Dalam hal ini Kang Kartapun menyatakan mundur secara teratur, dari pada hidup dengan makan hati. Permusuhan antara Mbok Nah dan Mbok Pairah telah terhitung puluhan tahun. Semenjak Mbok Nah masih muda. Di mulai pada saat kang Karta mendekati dirinya. karena jenuh dengan sikap dan watak istrinya. Mbok Pairah, yang selalu menuntut lebih.
Mbok Pairah menuduh Mbok Nah sebagi perusak rumah tangga orang. Sedangkan Kang Karta kepada Mbok Nah bertutur. Jika kehidupan rumah tangganya dengan Mbok Pairah selalu di rundung masalah dan tak pernah akur. Setiap kang Karta pulang dari kerja. Mbok Pairah selalu meminta macam-macam. Setiap permintaannya tak dituruti. Mbok Pairah selalu marah-marah. Pada hal waktu itu untuk makan sehari-hari saja tak mesti tercukupi. Harus ngutang kanan kiri karena sulitnya mencari sesuap nasi waktu itu. Hidup di zaman serba susah memang terasa sangat menyiksa. Sedangkan kang Karta tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa pasrah dengan takdir dari Tuhan yang telah diberikan padanya.
Tak kuat setiap hari harus di hina dan dilecehkan. Karena tak bisa memenuhi keinginan Mbok Pairah. Kang karta akhirnya menceraikan Mbok Pairah. Dan tak lama, Seminggu kemudian kang Karta menikahi Mbok Nah. Yang waktu itu Mbok Nah telah berusia tiga puluh satu tahun. Pada masa itu, umur kepala tiga ke atas. Lazimnya idiom di masyarakat menyebutnya sebagai perawan tua.
Atas pertanyaan konyol itu, dihati kecil Qohar, sebenarnya terasa sakit. Karena bagaimanapun Qohar kecil juga punya harga diri, punya hati sanubari dan perasaan. Qohar tak bisa berbuat banyak. Sambil menunggu pesanan gulai bersama Rudi. Pikirannya terus berlari-lari dan berputar-putar. Di depan mata, seekor cicak melintas tepat di bawah kakinya. Buru-buru kepalanya di injak hingga mati. Setelah itu Qohar memesan lagi dua porsi gulai Kambing untuk di makan ditempat, bersama Rudi. Sambil menunggu pesanan, Qohar sengaja memperlambat makannya. Selesai makan, setelah tinggal kuahnya, kontan saja Qohar memperlihatkan cicak di mangkoknya. kepada Mbok Pairah .
"Perutku terasa mual, piyee iki?" Ujarnya pura-pura mengeluh. lalu setengah berselidik. Sambil tangan kirinya memegangi cicak dan memperlihatkan pada Mbok Pairah. Cicak itu di ambilnya dari mangkuk yang hanya tinggal kuahnya saja.
"Jadi, yang saya makan itu gulai cicak? pantas saja perutku langsung mual." katanya seolah Ia menyalahkan dan tahu persis apa penyebabnya.
Melihat semua itu, Mbok Pairah panik dan geram bercampur malu menjadi satu .di suruhnya Qohar agar diam dan di beri uang beberapa lembar. Di hati Qohar tersimpan kegembiraan yang tak terukur. Tapi kegembiraan itu Ia expresikan dengan guratan wajah yang pilu bercampur sedih. Tanpa banyak kata Qohar segera cabut tanpa membayar sepeserpun. sedangkan Mbok Pairah hanya bisa diam. karena menahan malu. dengan guratan mukanya yang merah padam. Di sepanjang jalan, Rudi memuji-muji kecerdikan Qohar dan meminta sambil merengek agar Ia di ajarinya.
Dirumah, Mbok Nah sudah tertidur. Di atas kursi panjang yang terbuat dari bambu.
"Maknyak. Bangun Maknyak!ini gulainya. Nanti keburu adem."
"Taruh saja di lemari, nanti bisa di hangatkan lagi. Aku ngantuk, jangan lupa pintunya di tutup" Perintah Mbok Nah. Lalu pergi ke tempat tidur untuk merebahkan jasadnya.
Di tengah malam Mbok Nah terbangun, lalu melaksanakan shalat tahajjud. Di akhiri baca'an Do'a Abu Nawas.
Ilaahi Lastulil Firdausi Ahlaa
Walaa Aqwaa A'lannaril Jakhiimi
Fahablii Taubatan waghfir Dlunuubi
Fainnaka Ghaafiruddzanbil Adliimi.
Dzunubi mitslu a'daadir- rimali,
Fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa umri naaqishun fi kulli yaaumi,
Wa dzanbi zaaidun kaifahtimaali
Ilaahi abdukal 'aashi ataaka,
Muqirran bi dzunubi
Wa qad di'aaka
Fain taghfir fa anta lidzaka ahlun,
Wain tadrud faman narju siwaaka1
Selesai berdo'a Kemudian makan malam dengan lauk gulai Kambing. Tak lupa didalam hatinya mengucap syukur atas rizki dan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Seolah kenikmatan dunia berada dalam genggamannya. Mengingat bagaimana di zaman dahulu harus hidup diantara dentuman bom maupun peluru. Jiwa tergoncang, di hantui rasa takut dan penuh ancaman. Makan sehari sekali dengan perut keroncongan di saban harinya. Hidup di zaman penjajahan. Selesai menyantap makan malam dengan lauk gulai Kambing. Ia lalu menghampiri Qohar yang tengah terlelap. Diusapnya keningnya berulang-ulang lalu diciumi keningnya. Sebuah ungkapan rasa cinta yang tulus dari seorang nenek kepada cucu satu-satunya. Seperti dalam sebuah Syair.
Tahukah kamu ku ciumimu di saat kamu terlelap.
Tahukah kamu ku dekap kamu di saat kamu termimpi.
Tahukah kamu nggak cuma kamu pemilik hatiku.
Tahukah kamu hatiku ini adalah hatimu.
Tahukah kamu di setiap hidupku ku kagumi wajahmu.
Nanti kau kan tahu
Nanti kau kan dengar bahwa aku begitu.
Kamu-kamu adalah surga yang ada.
Dalam hidupku dalam kenyataanku.
Kamu aku adalah penghuni surga.
Tahukah kamu di saat kamu menangis adalah air mataku yang jatuh berlinang.
Tahukah kamu di saat kamu tersakiti adalah aku yang pertama terluka.
Tahukah kamu yang cuma Aku yang punya cinta untukmu
Tahukah kamu yang cuma Aku yang rela mati untukmu.1
Dikeheningan malam, Mbok Nah mencoba merenungi kembali jalan hidupnya. Matanya menerawang kosong. Lalu basah, sembab. Sesekali tersenyum dalam kesendirian. Dengan baluran air mata. Tertawa lirih lalu kemudian menangis. Matanya yang cekung. Basah oleh air mata. Mbok Nah teringat semasa kecil dulu. di usia belia dengan penuh kesadaran. Ia turut serta menyelamatkan nyawa Ayahnya secara tidak langsung. Waktu itu ayahnya, Ki Rasup mendapatkan tugas dari letnan Banun. Menyelamatkan belasan pucuk senjata yang hendak di rampas tentara kolonial Belanda. Ia diberi tugas memindahkan beberapa pucuk senjata dan puluhan selongsong peluru itu. Senjata dan puluhan selongsor peluru itu disimpan dalam gulungan rumput. Ia bersama Ki Rasup, ayahnya. Melewati tebing yang curam dan terjal. Tanpa disadari sebelumnya tiga orang tentara kolonial Belanda menghadang perjalanan. Sontak Ki Rasup seolah-olah kedua lututnya patah. Sekujur tubuhnya gemetar, keluar keringat dingin. Mendadak kedua tangannya juga menjadi dingin seperti mayat.
Mbok Nah yang masih polos Waktu itu mencoba untuk memanfaatkan kepolosannya. Meski jiwanya seperti di kejar sekawanan serigala, tanah tempat berpijak serasa bergoyang, matanya nanar tertuju pada wajah beringas tiga orang tentara Belanda. Sambil menangis, merengek. Ia minta tolong kepada salah seorang tentara Belanda. Ia menunjukkkan luka-luka di jemari kakinya yang terus berdarah, sebuah kebetulan. Padahal semasa itu penyakit gudik maupun nanah, sudah biasa menjangkiti sebagian besar orang-orang Desa. Terutama anak-anak kecil. Penyakit nanah maupun gudik apabila semakin digaruk, akan semakin terlihat mengelupas kulitnya. Dan mengeluarkan darah yang terus mengalir beberapa saat. Kepada salah seorang tentara Belanda Ia meminta obat luka yang diderita Ayahnya juga dirinya. Tak dinyana setelah seorang Tentara serdadu Belanda melihat tetesan darah. Hatinya terenyuh. Seorang tentara yang juga tercipta dari segumpal tanah, dilengkapi akal pikiran dan hati nurani, sanggup mendobrak tembok keegoisan. sebagai satu manusia untuk saling menolong. Sama punya rasa dan karsa sebagai ummat manusia. Seorang tentara itu memberikan syalnya yang putih bersih untuk membersihkan lukanya. Tak Cuma itu saja, Ia juga diberi beberapa potong roti. Di hari itu Ia merasa menjadi orang yang paling beruntung didunia. Apabila peristiwa itu bersandar dalam lamunannya, hatinya selalu menyeruak rasa bangga, teriring rasa syukur hingga berurai air mata kebahagiaan. Satu ma'unah dari Tuhan.
Selingkuh
Seluas
Sedalam
Setinggi apa?
Dosa-dosa menggunung bertumpuk
Kekhilafan berjibun
Akan memutih lalu bening
Ketika menyeruak
Satu untuk selamanya
Sebuah penyesalan
Sekilas kering kerontang gurun pasir padang sahara
Tersapu hujan semalam.
Usai melaksanakan shalat shubuh, Mbok Nah segera beranjak ke dapur menanak nasi lalu mengambil air dari sumur di belakang rumah. Sambil menunggu nasi matang, Mbok Nah membersihkan kamar tidur. Setelah sebelumnya meracik bumbu-bumbu masakan. Setelah semua selesai, Mbok Nah kaget melihat senapan angin tergeletak di pinggiran bale-bale bilik, disamping Qohar. Rupanya, tanpa sepengetahuan Mbok Nah, Qohar mengambil senapan angin dari balik lemari Mbok Nah.
Teringat di benak Mbok Nah kejadian puluhan tahun silam. Meski semuanya telah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi di usianya yang menginjak kepala tujuh masih teringat segar kenangan pahit masa-masa itu. Sewaktu dirinya masih hidup dalam keprihatinan. Disaat- saat bangsa Indonesia masih terjajah oleh bangsa Jepang waktu itu.
Waktu itu pada tahun 1942. Mbok Nah dan suaminya mengarungi hidup dengan beragam kegetiran. Bahkan saking sulitnya hidup di masa itu, umbi-umbian pun menjadi sesuatu hal yang biasa di makan sehari-hari. Tak tanggung-tanggung umbi-umbian yang di makan adalah umbi-umbian mentah. Untuk mendapatkan umbi-umbian tersebut. Diperlukan gemerincing ringgit, sen atau harus di tukar dengan perasan keringat. Singkong rebus semasa itu sangatlah istimewa, tak banyak dari warga kampung yang mengkonsumsinya. Terbatas di sebagian kalangan. Jika ingin makan singkong rebus, tak cukup hanya dengan uang maupun tenaga, tapi harus melewati serangkaian jalanan yang berliku menuju lereng-lereng gunung. Jauhnya bisa mencapai tujuh sampai sepuluh kilo meter.
Disaat serba sulit itulah Mbok Nah menemukan Oshi koizumi, seorang Serdadu Jepang yang selalu tersenyum tanpa harus diminta. Senyumnya yang khas itu selalu tersungging apabila bertemu dengan Mbok Nah. Semenjak pertolongan pertama dari Mbok Nah. dan yang lebih unik dari serdadu Jepang itu adalah kebiasaannya yang selalu salah tingkah. Oshi waktu itu terjebak di atas ranjau jebakan yang sedianya untuk menjebak babi-babi hutan yang merusak tanaman. Semasa itu pendudukan Jepang di awal-awal kedatangannya ke Indonesia tak menunjukkan ciri-ciri akan menjajah. Kedatangannya kali pertama menunjukkan misi persaudaraan. Baru setahun belakangan, kerakusan dan keserakahannya semakin nyata terlihat ke permukaan.
Dengan sigap dan tanpa memperdulikan siapa, dan asal usulnya. Mbok Nah datang sebagai malaikat penyelamat. Di dalam sebuah gua yang tak begitu dalam, seorang yang di ketahui sebagai tentara jepang itupun di rawat Mbok Nah dengan ala kadarnya. Untuk menyembuhkan luka-luka yang menghiasi dadanya oleh tusukan-tusukan kawat, di perlukan waktu sampai berbulan-bulan. Hingga luka-lukanya di nyatakan benar-benar sembuh. Dengan di tandai luka-luka yang mulai mengering.
Atas jasa- jasa Mbok Nah Oshi selalu menyempatkan untuk menemui Mbok Nah di rerimbunan perkebunan kopi, tak jauh dari perkampungan. Dengan sesekali membawa oleh-oleh makanan yang lezat pada Mbok Nah, dan itu di lakukannya hampir di setiap pertemuan. Oleh-oleh itu bukan hanya berupa makanan bahkan Oshi sebelum pulang kenegaranya sempat memberi kenang- kenangan helm, senapan angin, dan celana kolor. Lambat laun Mbok Nah seolah seperti semacam wanita simpanan seorang tentara Jepang. Karena pertemuan yang intens sehingga mampu menumbuhkan nafsu-nafsu yang kian merapat dan bersandar. Melihat kenyataan pahit tersebut kang karta suaminya, begitu Mbok Nah biasa memanggilnya, menyadari kekurangannya dan merekapun agaknya telah saling memahami keadaan.
Kang Karta dan Mbok Nah meyadari betul betapa susahnya untuk bertahan hidup di masa itu. Menanam singkong, baru berumur sebulan sudah di rusak babi-babi hutan. Predator utama semasa itu bukan hanya binatang tapi juga sesama Manusia. Padi belum menguning sempurna, telah di sikat habis. Dibabat orang-orang yang serakah. Pada waktu itu orang-orang yang menanam padi harus rela tinggal di gubuk-gubuk persawahan. Menunggui padi siang malam, bahkan kalau perlu nyawa sebagai taruhannya. Kalaupun padi itu berhasil dipanen, bukan berarti nasib mujur berpihak padanya. Separuh dari hasil panen padi harus disetorkan kepada Pemerintah Boneka, kaki tangan para Penjajah. Di masa itu sawah dan lahan tak terhitung luasnya, yang sengaja tak tergarap sama sekali. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih memilih membiarkan sawah dan ladangnya menganggur daripada harus menanaminya, lalu hasilnya diserahkan kepada para Penjajah.
Setiap kali serdadu Jepang itu datang memberi makanan. Mbok Nah selalu tidak langsung memakannya. Sebagai sebuah bentuk penghormatan pada suaminya. Sering kali Mbok Nah beralasan sudah kenyang lalu kemudian di bawanya pulang makanan itu. Begitu seterusnya. Persisnya peristiwa itu berjalan sampai dua tahun. Tepatnya setelah pecah perang dunia ke dua berakhir dan jepang mengalami kekalahan telak. Dengan di hancur luluhkannya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika.1 Sebelumnya tentara Jepang membombardir Pearl Harbour. Sebuah pelabuhan militer Angkatan Laut. Di kepulauan Hawaii Amerika Serikat.2
Mulanya Setiap Mbok Nah pulang membawa makanan. Kang Karta selalu menanyakan dari mana makanan itu di dapat. Namun Mbok Nah selalu merahasiakannya. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu. Kang Karta mengetahui dari mana makanan itu berasal. Kang Karta berusaha memahami keadaan dan berusaha mengikhlaskannya. Tak kuasa terus-terusan harus bergelut dengan kehidupannya yang serba kekurangan.
Waktu itu Mbok Nah telah memiliki tiga orang anak yang masih balita. Di sinyalir kehamilan yang terakhir adalah dari hubungan gelap dengan tentara serdadu Jepang.
Melihat tingkah laku, gelagat dan keseharian Qohar yang unik, terkesan pandai dan cerdik seperti kebanyakan orang Jepang. Mbok Nah paling hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.
"Mungkinkah ini sebuah karma??..."
Apabila mengingat masa lalunya. Mbok Nah begitu bangga. Seperti tak terbersit sedikitpun rasa bersalah pada diri perempuan tua itu, apalagi menyesali perbuatanya. Karena ia yakin semua ini adalah sandiwara. Ada dalang di balik semua ini. Baginya, tak ada yang perlu disesali sepanjang tidak melanggar aturan dan merugikan orang lain. Meski perbuatannya dia sadari telah menyimpang dari koridor Agama. Tapi demi kelangsungan hidup suatu laranganpun bisa saja dilanggar dan itu adalah suatu prinsip hidupnya. Prinsip-prinsip hidup yang ganjil itu adalah bagian dari wejangan suaminya, yang senantiasa berusaha memastikan secara pelan dan pasti. Mampu merubah kepribadian Mbok Nah yang semula penakut dan pemalu, sedikit banyak telah berubah menjadi perempuan yang pemberani, rela mengorbankan nyawa. Demi keberlangsungan hidup Ummat Manusia.
Saat melihat celana dan helm di lemari pemberian dari Oshi tentara Jepang itu. Terkadang Mbok Nah tertawa- tawa sendiri seraya meneskan air mata. Bila teringat masa lalunya. Masa lalu yang getir, indah, dan mengharukan, campur aduk menjadi satu layaknya rujak pecel. Karena seringkali melihat, menghayati dan terbiasa dengan perilaku keseharian Mbok Nah. Qohar. Secara tidak langsung tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang humoris dan cerdik.
Seingat Mbok Nah, tak pernah sekalipun Ia memberitahukan perihal keberadaan senapan angin di balik lemarinya. Muncul beribu tanda tanya di benaknya, namun urung Ia tanyakan pada cucunya. Menunggu suasana yang pas untuk menginterogasi. Usai menanak nasi dan mencuci piring kotor di dapur, Mbok Nah segera membangunkan Qohar, Mbok Nah membangunkan sambil mengelitiki kaki kirinya, seperti yang dilakukan sehari- harinya. Dengan cekatan Qohar pergi ke padasan1 dan cuci muka lalu kembali ke kamar tidur kemudian mengambil senapan angin yang telah menjadi mainan baru baginya.
" Kok tidak shalat? "
" Kan sudah kesiangan mak!" Timpalnya beralasan.
"Ya sudah. Sana sarapan!"
" Lauknya apa? "
"Pecel terong sama tempe."
"Kok tiap hari makan terong terus Mak!"
"Maunya sama ayam ?"
"Iya." Qohar mengangguk senang.
"Ya sudah. Makan sana sama ayam di kebun!."
"Sudah berapa kali maknyak bilang, kita harus hidup sederhana bahkan kalau perlu jangan sekali-kali makan lauk daging ayam, kambing, dan binatang darat lainnya. Terkecuali ikan hasil tangkapan dari laut. Kita sebagai Manusia harus ada bedanya dengan binatang agar menjadi mahluk yang dicintai Allah." Begitu pesan Mbok Nah pada Qohar berkali- kali.
Sebuah prinsip' Tidak makan daging daratan'. Di pegang teguh oleh Mbok Nah atas nasehat kyai Idris. Seorang kyai kampung di Desa tetangga. Kiai yang berkepribadian teguh dan bersahaja itu sangat menjunjung tinggi nama besarnya. Tempat Mbok Nah selama ini didalam berkeluh kesah tentang liku-liku dan permasalahan hidupnya.
Seperti biasanya, Qohar melahap sepiring nasi beserta pecel terong dan tempe goreng hingga tiada tersisa.Takut di marahi Mbok Nah apabila tak di habiskan. Selesai makan Mbok Nah lalu menanyainya.
"Qohar!. Sejak kapan kamu bermain-main senapan di kamar?" Tanya Mbok Nah sambil menahan senyum "Tau dari mana senapan itu ku simpan ?."
"Maknyak sudah pikun?."
"Pikun bagaimana? Lha wong di tanya kok malah nanya!."
"Tuh kan ? Maknyak pikun lagi."
"Dassar cucu ndableg1."
"Maknyak sudah lupa? Maknyak kan sering cerita, kalau Maknyak itu pejuang. Pembela Tanah Air. Mencarikan makan umbi-umbian untuk para tentara, naik turun gunung mencari singkong dan jadi kurir senjata. Bukan begitu Maknyak? ceritanya?."
"Lalu apa hubungannya ?"
"Tidak ada sih!. Tapi saya kan penasaran Maknyak? masa setiap hari, hanya di suguhi cerita, tanpa ada bukti. Apa saya salah Maknyak ?."
"Siapa yang menyalahkan? Tapi lain kali tanya dulu sama Maknyak biar nanti Maknyak ajarin."
"Bener Maknyak ?."
"Apa untungnya Maknyak bohong sama kamu."
Demikianlah setiap kali Mbok Nah mengakhiri sebuah nasehat apabila orang yang di nasehatinya mulai memperlihatkan tanda ketidakpercayaan.
Masalah
Di akhir nanti akan tampak sekumpulan Insan
Tersiksa diantara hidup dan mati
Tak kuasa mencari pintu surga
Meski disepanjang hayatnya bersujud beribu tahun
Mereka adalah mereka
Dengan segala waktu
Menghujam di dada
Beribu dengki
Tak henti memperpanjang suatu urusan
Tiada pula lekang darinya
Kesengajaan menggantung dan menelikung
Ketidak berdayaan.
Seperti biasanya, usai sarapan pagi Mbok Nah pergi ke ladang. Tapi tidak di pagi itu. Kepalanya merasakan pusing dan agak pening. Dengan bergelayut rasa bimbang ia langkahkan kakinya menuju kebun pisang, tak jauh dari rumahnya dengan membawa parang dan cangkul. ia berfikir, dengan pergi ke kebun rasa nyeri yang di deritanya berangsur-angsur sembuh. Karena tempatnya teduh dan tidak terlalu panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya.
Di kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya, hari itu shobari tak bertegur sapa dengan Mbok Nah. Dari raut muka dan sorot matanya, terlihat seperti ada sesuatu yang ingin di utarakannya. Namun Ia hanya nggerundel2 seperti orang yang sedang menahan amarah. Sebagai Orang tua, Mbok Nah berusaha mengalah dengan mengawali sebuah pembicaraan.
"Pisangnya sudah tua Shob?." Tanya Mbok Nah serius tanpa basa-basi.
"Mau tua mau muda bukan urusanmu Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang." Jawabnya seperti sengatan kalajengking. Dengan air muka memerah seperti hendak mengajak perang. Lelaki kurapan yang berjerawat hampir di seluruh badannya itu agaknya ingin menguasai tanah yang belum selesai di bukukan itu, karena kelakuan para birokrat pemerintahan Desa yang terkesan berbelit-belit dan masih melancarkan falsafah kuno "geneho ora di angelaken lamun biso di gawe angel".
"Aku tidak melarang, kalau perlu ambil semua pisang yang ada!." Ucapnya dengan hati dongkol. Hatinya serasa teriris. Setelah mendengar perkataan Shobari yang lancip seperti pedang, menghujam tepat di jantung hati perempuan tua itu. Seketika hatinya berdarah, tak mudah untuk membalutnya, apalagi menyembuhkannya. Hingga mampu membuat hatinya terluka oleh ucapannya. Sambil menahan kepedihan hati, Mbok Nah pergi meninggalkan kebunnya begitu saja yang masih sah sebagai miliknya.
Seumur hidup Mbok Nah dalam kamus hidupnya, pantang menyerah, mengalah dan menangis. Di hadapan siapapun. Tak terkecuali pada preman kampung sekalipun. Tapi hari itu tidak. Mbok Nah yang setegar karang, seganas lautan, akhirnya hanya bisa menjerit sakit di dalam batin. Lalu kemudian ditumpahkan di dalam rumah. Menangis tersedu hingga beberapa waktu lamanya. Qohar yang tak tau duduk perkaranyapun hanya ikut-ikutan menangis hingga menitikkan air matanya.
Sejatinya Mbok Nah adalah perempuan biasa yang lembut, penuh kasih sayang dan gemar bersilaturrahim. Namun bukan berarti Mbok Nah hidup tanpa musuh. Yang seringkali menyakitkan hati Mbok Nah adalah timbulnya rasa dengki dari sebagian tetangga, sahabat maupun saudaranya sendiri. Tanpa di ketahui sebabnya. Tetapi kepada semua itu Mbok Nah selalu mengalah, dan memposisikan dirinya sebagai orang tua yang lemah dan lebih banyak mengalah. Ia merasa sebagai perempuan biasa kebanyakan. Lebih banyak menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut apabila sedang terjadi kisruh dengan tetangga, Ia lebih banyak meratap, menangis dan menafakuri. Tetapi tidak demikian apabila menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu di kenalnya. Bahkan dengan perangkat desa sekalipun.
Pernah suatu ketika, Mbok Nah berhadapan dan perang mulut dengan pak Taufik, seorang Ladu. Akar masalahnya waktu itu, jatah pengairan untuk Mbok Nah belum selesai, tinggal kurang lebih hanya seperempatnya. Namun Pak Taufik mengklaim telah selesai dan memutus mata rantai aliran air tersebut. Kontan Mbok Nah tak terima, di acung-acungkannya parang dan sebatang patahan pohon singkong. Dengan bersuara lantang. Meminta jatah airnya dikembalikan. Namun Pak Taufik tetap bergeming. Tak mempedulikan kemarahan Mbok Nah. Bahkan pak Taufik malah berbalik mengancam akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.
Segagah apapun Mbok Nah dia adalah seorang perempuan biasa yang masih punya hati sanubari, Ia tak mungkin berbuat senekat itu. Dan pak Taufikpun tahu betul, siapa itu Mbok Nah, watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Taufik tak takut sama sekali dengan bentuk perlawanan dari Mbok Nah. Lelaki yang selalu berpenampilan necis, berkalung dan perutnya membuncit itu telah terbiasa menghadapi orang-orang yang dianggapnya membandel macam mbok Nah.
Mengetahui gertak sambalnya tak di gubris, Mbok Nah tak habis akal. Di lucutinya pakaian yang menempel di badannya satu persatu. Hingga terlihat bertelanjang dada, tak sehelai benangpun yang menempel di tubuh Mbok Nah. Tanpa banyak kata Pak Taufik pun segera pergi meninggalkan Mbok Nah. Aksi gilanya itu sempat membuat pasang-pasang mata Ibu-ibu buruh tandur disawah tetangga terbelalak dengan mulut menganga, tetapi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan semua itu.
Masya Allah......
Peristiwa itu menjadi headline berita para ibu-ibu, terutama para biang gosip seperti Bu Lela hingga beberapa minggu lamanya.
Setelah suasana kembali tenang dan aman. Di pakainya kembali pakaianya. Tak peduli para tetangga sawah melihatnya dan mau bilang apa. Kemudian dengan cekatan Mbok Nah berlalu pergi menuju sawah pak Taufik, dengan tujuan menutupi aliran air, serta membedahnya untuk dialirkan ke sawahnya. Yang masih belum terairi dengan rata.
Awal mulanya, kebun yang sekarang di garap Shobari itu, puluhan tahun yang lalu adalah milik Mbok Nah, waktu itu Mbok Nah punya lahan yang lumayan luas di berbagai tempat, praktis tak semua pekarangan terawat baik. Bahkan di beberapa tempat menjadi bero1 karena lahannya tak di olah. Salah satunya adalah lahan yang sekarang telah menjadi kebun yang rimbun. Di penuhi pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. Zaman dahulu tanah itu di berikan pada Mbok Rini dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis. Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya, mengingat waktu itu tak semua orang bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.
Mbok Rini, Ibu Shobari keadaannya memprihatinkan kala itu. Di sa'at-sa'at Bangsa masih terjajah. Ia bersama Suami dan anak-anaknya hidup dengan serba kekurangan. Harus memutar otak agar dapurnya tetap bisa mengepul. Hingga di kemudian hari kehidupan Mbok Rini yang memprihatinkan kala itu, mengundang rasa simpati dari Mbok Nah. Sebagai mahluk sosial, Mbok Nah tidak tega melihat kenyataan pahit di depan mata. Lalu di suruhlah Mbok Rini dan suaminya agar mau mengurus dan menggarap lahan tersebut Seumur hidup. Dengan syarat. Apabila Allah lebih dulu mengambil nyawa Mbok Nah. Maka tanah itu otomatis menjadi milik Mbok Rini. Dan sebaliknya, apabila Mbok Rini diambil nyawanya oleh Allah terlebih dahulu, maka tanah itu kembali menjadi milik Mbok Nah yang sah. Namun akhirnya takdir menunjukkan jika Mbok Nah adalah pemilik tanah yang sah karena beberapa bulan yang lalu Mbok Rini telah lebih dulu di panggil ke haribaan Ilahi. Dengan otomatis tanah itu jatuh ke tangan Mbok Nah dengan sendirinya. Mbok Rini lebih dulu meninggal dunia untuk selama-lamanya. Atas kebijaksanaan Mbok Nah, maka hasil kebun boleh di ambil anak-anak Mbok Rini. Selama masih mau merawat dan memelihara lahan pekarangan tersebut. Dengan cara di bagi sepertiga. Awalnya Mbok Nah memberi pilihan satu per dua namun dari pihak anak-anak Mbok Rini tak menyetujui, dan mengajukan usul agar di bagi satu pertiga. Dua bagian untuk anak-anak Mbok Rini dan satu bagian untuk Mbok Nah. Atas usulannya itu, Mbok Nah pun menyetujuinya, tanpa satu persyaratanpun. Tapi agaknya sifat serakah yang pada dasarnya telah tertanam dalam setiap diri manusia menyeruak ke permukaan. Bermetamorfosa menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas. Shobari, seorang lelaki yang memiliki banyak tahi lalat itu seolah ingin merebut kebun begitu saja dari tangan Mbok Nah.
Terkadang Mbok Nah sebagai perempuan biasa menafakuri jalan hidupnya. yang harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu dan nenek buat Qohar, cucu semata wayangnya. Harus menghadapi berbagai macam perso'alan yang membelitnya. datang silih berganti, lenyap permasalahan lama muncul permasalahan baru, begitu seterusnya. Ada semacam kegalauan dan rasa khawatir dalam dirinya. Keraguan kadang datang menyergap. Di dalam hatinya bertanya-tanya.
Apakah selama ini apa yang di lakukannya bisa mendapatkan keridzaannya? Ridla dari Allah untuk bersanding di sisinya?
Apakah bisa mendapatkan pahala yang setimpal dengan kaum laki-laki yang lebih banyak mendapatkan keutamaan melebihi perempuan?.
Rasa takut bercampur bimbang bergelayut. Untuk mendapatkan kemantapan hati dan ketenangan, Mbok Nah pernah mencoba menanyakan permasalahan itu kepada Kyai Idris sehabis pengajian selesai. Tentang permasalahan hidup, yang masih mengganjal di hatinya. Walau secara lahiriyah tak terlihat sama sekali, jika Ia menyimpan rasa gundah. Akan tetapi hati tidak bisa dibohongi, meski kontras dengan dhahirnya.
Ketika ditanyakan kepada kiai Idris. Perihal prinsip hidupnya yang liar, keras dan bebas. Yang dinilai aneh oleh sebagian tetangga. Juga penuturannya sebagai seorang nenek yang harus merangkap sebagai orang tua bagi cucunya. Kiai Idris hanya tersenyum dan tidak memberikan saran apapun kepada Mbok Nah.
Kiai Idris hanya bercerita pada masa zaman Rasulullah tentang seorang muslimah yang tidak malu bertanya dan kritis terhadap permasalahan perempuan dan juga tentang persoalan Agama.Yang belum dipahaminya. Ia mewakili kaum muslimah dalam bertanya langsung kepada Rasulullah. Dia adalah Asma binti yazid bin sakan. Asma binti Yazid adalah seorang ahli pidato yang ulung. Wanita pemberani yang halus perasaannya dan budi bahasanya. Asma binti Yazid datang kepada Rasulullah Saw berkena'an dengan tawanan wanita.
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh muslimah di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang Aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengutus engkau bagi seluruh kaum pria dan wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai'atmu. Namun kami sebagai kaum wanita terkurung dan terbatas langkah kami, tinggal di rumah, kamilah yang mengandung dan melahirkan anak-anak mereka, kami menjadi penyangga rumah tangga kaum pria dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka. Akan tetapi kaum pria diberi kelebihan dan mendapat keutamaan melebihi kami dengan sholat jum'at, mengantar jenazah dan berjihad. Manakala mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka, maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dari amalan mereka?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah Saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda kepada para sahabatnya, " Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama, yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?" Para sahabat menjawab. " Benar. Kami belum pernah mendengarnya ya rosululloh!" Kemudian Rosululloh bersabda : Kembalilah Wahai Asma, dan beritahukanlah kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang dari mereka kepada suaminya dan meminta keridhaan suaminya, itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan. Pahalanya sebanding dengan pahala yang didapat kaum pria yang engkau sebutkan itu."
Beliau adalah seorang ahli hadits yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan, dien1 yang bagus dan ahli argumen, sehingga beliau dijuluki sebagai 'juru bicara wanita'. Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain, yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan. Begitulah penuturan KH Idris yang mengalir begitu saja seperti aliran sungai.
Penuturan KH Idris itu semakin memantapkan prinsip hidupnya. Mampu mengobati kegundahan yang selama ini menghantuinya. Selama apa yang dilakukannya mendatangkan manfaat baginya dan tidak mendatangkan madhorot bagi orang lain. Di usia senja Ia tak kehilangan semangat, tapi justru Ia malah seperti menemukan kehidupan yang baru. Yang penuh tantangan dan mesti di hadapinya.
Rasa syukur yang agung kepada tuhan mampu mengalahkan ego yang seringkali menguasai manusia. Melunakkan sifat syirik, dengki, hasud dan kawanannya. Entah telah berapa kali Mbok Nah menjadi tempat pergunjingan para tetangga dan masyarakat mengenai ulahnya yang di nilai melanggar kaidah hukum agama oleh ibu-ibu pengajian. Seringkali pula selentingan itu terdengar langsung di telinga Mbok Nah, yang lebih menyakitkan terkadang rasa benci dari sebagian tetangga sengaja di hembuskan ke telinga Qohar. Cucu semata wayangnya. Yang paling sering di hembuskan adalah Mbok Nah semakin tua semakin nyleneh menjadi gila harta, tak kenal waktu di dalam bekerja dan lain sebagainya. Tapi atas semua itu Mbok Nah malah bersyukur karena masih ada manusia yang mau mengorbankan waktunya guna menegurnya secara tidak langsung. Dalam kegalauan berselimut sepi, Mbok Nah teringat suatu ketika, di tengah malam Ia bermimpi bertemu dengan kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat yang sebelumnya Mbok Nah pernah mendatangi makamnya di mantingan Jepara dengan tujuan berziarah dalam sebuah mimpi itu Mbok Nah di perintah Nyai Kanjeng Ratu Kalinyamat agar mau di jadikan Abdi dalem sebagai tukang pijit Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat lalu Mbok Nah menyatakan kesediaannya untuk dijadikan abdi dalem.kemudian Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat memberikan sebuah keris.namun Mbok Nah dengan halus menolak pemberian Keris dari Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat.Karena takut tidak bisa menjaganya, lalu kemudian Kanjeng Ratu Kalinyamat memberikan hadiah sekarung benih padi. Anehnya dalam mimpi itu Mbok Nah menerima begitu saja sekarung benih padi dari Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat tanpa ada perasaan terbebani sedikitpun. Benih padi sekarung itupun di bawa pulang dengan tanpa membawa selendang. Tak ada rasa berat, lelah ataupun letih. Justru sebaliknya, benih padi sekarung itupun terasa ringan untuk di bawa pulang. Entah apa arti sebuah mimpi yang datang kepada Mbok Nah terasa sulit untuk menafsirkannya. Mimpi-mimpi itu tak bisa terlepas dari keseharian Mbok Nah yang selalu menghabiskan waktunya di sawah dan kecintaannya pada tanaman.
Tak ingin di rundung duka yang berkesudahan, setelah sebelumnya di sapa Shobari dengan kata-kata yang tidak sepantasnya. Mbok Nah tak habis harapan untuk melanjutkan hidup. Dengan sisa serpihan asa yang ada Mbok Nah segera pergi ke kebun, menuju dua buah pohon lima abad, pohon sawo. Di lihatinya dengan seksama satu persatu, penuh dengan buah. Sebagian telah terlihat tua dan sebagian lagi masih terlihat muda. Mbok Nah lalu memanggil qohar dengan suara datar. menyuruh untuk diambilkan horok.
"Haar ...Qohar!"
"Ada apa Mak?."
"Maknyak ambilkan horok.di samping rumah!."
"Ya maknyak. Tunggu sebentar!!."
Setelah sawo terkumpul, yang sebelumnya telah di sortir terlebih dahulu. lalu dicuci bersih kemudian dijemur.
Besok hari senin legi. Mbok Nah hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari itu di bacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek. Dengan menyuguhkan bubur merah putih untuk di bacakan do'a-do'a lalu kemudian bubur merah putih itu di bagi-bagikan ke tetangga sekitar. Dengan harapan orang yang telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Allah yang Kuasa. Mbok Nah segera menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kulit kepala. Hingga seperti menemukan sesuatu. Persediaan bumbu-bumbu dapur sepertinya telah menipis, hanya tinggal beberapa cabe, bawang putih, dan kelapa. Mbok Nah hendak ke sawah mengambil daun pisang, kunyit dan sayur-sayuran. Sebelum berangkat di lihatnya Qohar tengah bermain senapan angin.di dalam kamar.
"Maknyak mau kesawah dulu. Jaga rumah ya?" Ujar Mbok Nah sambil menyibak tirai pintu kamarnya.
"Aku ikut Mak!." sahut Qohar manja.
"Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!." Kata Mbok Nah berpesan.
Segera di simpannya Senapan angin itu, lalu berlari mengejar Mbok Nah yang lebih dulu meninggalkannya. Hanya dalam hitungan menit, merekapun sampai di jalan raya. kemudian berhenti sejenak, menunggu jalannya mobil tronton. lalu menyeberanginya. Kali ini Mbok Nah tidak langsung menuju ke sawah. Di langkahkan kakinya menuju sebuah pohon asem jawa yang buahnya lebat. Tepat di tepi jalan. Di bawah pohon asem Mbok Nah mengais sisa-sisa asem tua yang berjatuhan. Dahannya yang rimbun dan bercabang-cabang memudahkan Qohar untuk segera memanjat pohon tersebut.
Dipetiknya beberapa dompolan buah asem yang tengah masak, pikir Qohar dengan mengambil langsung di dahan dan ranting, neneknya tidak perlu susah-susah untuk memulung yang tercecer di bawah pohon. Tanpa di duga sebelumnya sedompol buah asem yang tengah masak itu jatuh mengenai kepala Mbok Nah. Tetapi tidak menimbulkan rasa sakit.
"Aduh!! " Ujar Mbok Nah spontan setelah buah asem jatuh mengenai kepalanya.
" Tidak apa-apa kan mak?"
" Iya, tidak apa-apa."
Pohon asem meski tinggi dan besar, tetapi buahnya hanya seukuran jari, apabila telah masak dan mulai berjatuhan, meski menghujani kepala beribu kali tidak akan menimbulkan rasa sakit ataupun luka yang serius. Tetapi seandainya pohon asem itu berbuah sebesar buah semangka atau mungkin sebesar labu, pasti orang yang tertimpa akan pingsan dibuatnya atau bahkan mungkin bisa mati berdiri karenanya. Tetapi kebanyakan pohon yang besar dan tinggi buahnya tidak sebesar buah semangka. Itu adalah satu bukti keadilan Tuhan yang hanya di mengerti dan di pahami oleh orang-orang yang berfikir.
Tanpa di sadarinya Mobil merah silver, di parkir tak jauh dari pohon asem. Sebelumnya tak terdengar suara bising sama sekali. Tak seberapa lama kemudian keluar dua orang laki-laki muda dari dalam mobil. Salah satunya berkulit putih, matanya sipit dan berkacamata hitam. Dan seorang lagi berperawakan sedang seperti orang jawa pada umumnya. Mereka lalu menghampiri Mbok Nah yang tengah mengumpulkan buah Asem. Dengan agak terbata-bata berbahasa jawa, salah seorang dari mereka menanyakan kepada Mbok Nah perihal tanah kosong di sepanjang jalan. Sebelumnya dua orang itu telah memperkenalkan diri. Seorang yang bermata sipit, Pak Yusuf chen lau, seorang wakil manajer direktur sebuah perusahaan minyak goreng dan juga pengelola perkebunan kelapa sawit. Dan seorang lagi Pak amin ong gwe seorang Betawi berdarah jawa sunda, menjabat Consultant dan merangkap sebagai wartawan lepas sebuah harian Ibu Kota..
Tanpa pikir panjang Mbok Nah menunjukkan dua tempat di tepi Jalan Raya. Yang rencananya dua tempat tersebut akan segera di jual oleh pemiliknya. Di satu tempat milik Bu Marni, tetangga jauh mbok Nah. Seorang perempuan paruh baya yang lebih mementingkan gengsi dari pada fungsi serta menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai seorang keturunan priyayi, trah darah biru. Kabarnya perempuan paruh baya itu ingin menjual tanah kapling warisan ayahandanya untuk membiayai perjalanan Haji tahun depan. Di tempat yang kedua tanah kapling milik pak Sarwo yang rencananya akan hijrah ke Lampung membuka usaha di sana .
Tanah-tanah itu berada di jalur lintas Provinsi. Sangat strategis untuk pengembangan usaha. Dengan hasil alamnya yang masih melimpah. Di tambah lagi ketersediaan bahan baku dari para petani, langsung dari lokasi. Dengan variasi harga yang sangat murah. Sayangnya oleh orang-orang kampung, tanah-tanah itu tidak dikelola dengan baik, bahkan tidak jarang di beberapa tempat di biarkan mangkrak tidak tergarap sama sekali. Sengaja di biarkan bero oleh pemiliknya. Sedangkan pemiliknya kebanyakan menjadi kaum urban di perkotaan. Menjadi buruh kaum kapitalis.
Hari telah sore, mentari di ufuk barat telah memberi pertanda sebuah sinyal akan segera membenamkan diri. Mbok Nah hanya menyarankan agar pertemuannya di sambung di lain waktu. Menemui di rumahnya. Merekapun mohon diri pada Mbok Nah lalu beranjak pergi, kemudian memberikan sebuah amplop berisi uang kepada Mbok Nah. Sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih. Dengan terburu-buru Mbok Nah dan Qohar bergegas melanjutkan perjalanan menuju sawah. Mengambil daun pisang, memanen cabe, kunyit dan sayur-sayuran.
Hari telah petang. Langit dibagian barat telah terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan tergesa-gesa membenamkan diri. Langit segera memancarkan auranya. Bintang-bintang bermunculan di ikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa. Mbok Nah bersama Qohar sampai di rumah di waktu magrib. Mbok Nah teringat dua hari yang lalu Mbok Sarmah mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah berusia seumuran Qohar yang menderita sakit cikungunya akut. Kabarnya masih tergolek lemas di rumahnya hingga berbulan-bulan. Tanpa di ketahui pasti apa penyebabnya. Tetangga kampung sebelah.
Selesai shalat Isya? Mbok Nah langsung ke rumah Mbok Sarmah dan mengajaknya menjenguk Bambang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?"
"Ya. Jadi Mbok." Jawab Mbok Sarmah sambil ngeloyor ke dalam kamar. " Aku salin pakaian dulu."
Mereka lalu berangkat bersama dengan membawa barang bawaan ala kadarnya. Mbok nah sendiri membawa setandan pisang dan sekilo gula merah.Tanpa ingin di ketahui Mbok Sarmah, Mbok Nah membawa dua kancing emas. Di selipkan di dalam selendang. Sebelumnya Ia telah mendengar kabar dari Mbok Sarmah perihal kondisi Bambang yang tak kunjung sembuh hingga berbulan-bulan dan keadaannya masih tetap memprihatinkan. Tak ingin ketinggalan. Qohar segera membuntutinya. Setelah sebelumnya mengunci rumahnya rapat-rapat.
Sesampainya di rumah Shohibul Musibah. Mbok Nah tak sampai hati melihatnya. Dengan segala upaya Ia dan Mbok Sarmah berusaha membesarkan hati dan berusaha menghibur shohibul musibah1. Sementara Qohar berdiam diri di teras rumah. Menunggu neneknya dan Mbok Sarmah pulang. Miris menggambarkan cobaan yang di timpakan kepada Bambang.
Di usianya yang ke tujuh. Berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak berusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat, Kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas, akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak. Dengan balutan kulit yang amat tipis. Seperti setebal kain. Hanya sedikit daging tipis yang menghiasi tubuhnya. Selebihnya seperti tengkorak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk. Membiru dan bernanah. Bambang, demikian orang-orang memanggil bocah malang itu. Terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit di sekujur badannya yang ingin di pijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering. Tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin di katakannya. Namun tak bisa berkata. Semenjak seminggu yang lalu mendadak Ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan bahasa isyarat, paling jauh hanya bisa dengan menggeleng-gelengkan kepala. Di rumahnya yang hanya beratapkan ilalang. Hanya ada Bambang dan kakak perempuannya Handayani. Yang setia menungguinya. Ayah Ibunya telah lama pergi meninggalkannya. Pergi mengadu nasib di Ibu Kota.
Ikhtiar berobat bukannya tidak pernah di lakukannya. Tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan. Sampai harta benda, sawah dan kebun ludes untuk membiayai pengobatan Bambang. Tak ada lagi barang yang berharga satupun di rumahnya, yang hanya beratapkan daun ilalang kering. Satu-satunya modal yang masih tersisa hanyalah tenaga. Tenaga dari Ani, kakak perempuan satu-satunya. Seorang perempuan belia yang masih ringkih untuk ukuran pekerja pada umumnya. Dengan memeras tenaganya, untuk kemudian di tukar dengan bulir-bulir beras dan bumbu-bumbu dapur. Selama ini Ani yang pontang-panting memeras keringat, agar asap dapurnya senantiasa tetap mengepul. Hakikatnya Ani berjuang hidup demi sebuah tantangan. Untuk menjadi Insan yang terbaik di mata Tuhan. Kedua orang tuanya merantau ke kota setelah tergiur iming-iming pak Kumolo, tetangga sebelah. Menyaksikan kenyataan pahit, Mbok Nah hanya bisa menjerit sakit dalam bathin. Seakan-akan protes kepada Tuhan. Kenapa semua ini harus di timpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan?. Mungkin saja orang-orang yang berkalang duka dan penderitaan itu akan menemukan kebahagiaannya di akhirat kelak. Bersanding dengan Rabnya menjadi manusia pilihan, atau bahkan mungkin menjadi kekasihnya.
Di tengah malam, mereka bertiga kemudian pamit pulang. Tak lupa Mbok Nah menyelipkan dua kancing emasnya di sela-sela tandan pisangnya sebelum pamit pulang. Dengan membawa sejuta hikmah, teriring rasa syukur yang Agung kepada Tuhan. Atas karunia yang telah di berikan selama ini. Berupa kesehatan jasmani maupun rohani.
Pagi-pagi sekali Mbok Nah telah selesai menanak bubur merah putih. Untuk memperingati hari kematian kang karta. Sedangkan Qohar mempersiapkan daun pisang untuk bahan bungkusan bubur merah putih. Tak lupa jajanan tradisional ikut di sertakan dalam bungkusan daun pisang. Selesai mempersiapkan semuanya, Qohar segera pergi menyambangi rumah teman-temannya, para tetangga sebelah, kemudian acarapun dimulai. Acaranya di Imami oleh mbok Nah sendiri. Di awali dengan bacaan Basmalah, Hamdalah lalu Istighfar kemudian Tahlil dan diakhiri doa.
Acara prosesi peringatan kematian kang karta yang digelar sederhana itu telah selesai. Bubur merah putih itupun di bagikan, dengan disertai oleh-oleh berupa jajanan tradisional, pisang, pepaya dan jeruk sebagai buah tangan. Mbok Nah kembali mengisi rutinitasnya, pergi kesawah bersama Qohar dengan membawa pupuk kompos setengah karung.
Sesampai dijalan raya, perjalanan terhenti. Disepanjang pinggiran jalan raya, anak-anak muda Desa berkerumun menyaksikan arak-arakan rombongan Presiden yang tengah melintas entah kemana. Suara klakson mobil mulai bersaut-sautan. Persis suara ambulans. Di tambah suara sirine meraung-raung memekakkkan telinga karena saking asingnya. Iring-iringan mobil pengawal Presiden melaju dengan kecepatan tinggi. Sebuah perkampungan yang mulanya sunyi, senyap. Mendadak penuh dengan gegap gempita euphoria kehidupan. Sekumpulan kambing dan kerbau berlarian, seperti ada rasa kaget yang tiba-tiba mendera. Tanpa diduga sebelumnya, banyak binatang ternak berhamburan kejalan Raya. Ternak-ternak itu yang biasa diikat disepanjang pinggiran jalan Raya tiba-tiba lepas karena saking takutnya dengan keadaan yang drastis. Orang-orang kampung hanya bisa menyaksikan dengan pasang-pasang mata yang penuh kedongkolan disepanjang pinggiran jalan Raya yang menjadi tempat penggembalaan ternak-ternak na'as itu. Akhir dari semua itu adalah, banyaknya binatang ternak yang luka-luka dan hilang karena lari sekencang-kencangnya tak tentu arah. Adapula yang mati tertabrak mobil pengawal Presiden. Ternak yang mati itu diketahui milik pak Suro, seekor kerbau, Marno dua ekor kambing, dan Khoir satu ekor kambing.
Dari pihak pengawal kepresidenan, tak ada yang mau bertanggung jawab. Hanya satu pengawal yang terlihat berhenti, lalu mengulurkan segepok uang. Itupun karena aksi nekat pak Suro yang menghadang ditengah jalan, pak Suro yang berbadan tinggi dan berkulit hitam legam itu menuntut pertanggung jawaban pihak pengawal kepresidenan. Segepok uang itu di taksir hanya bisa menebus seekor kerbau. Setelah salah satu pihak pengawal mengulurkan uang pada pak Suro. Mobil rombongan pengawal Presiden yang terakhir itupun lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Seakan tak ada rasa bersalah dan merasa sebagai pahlawan yang kesiangan. Tak ada rasa peduli dengan nasib dan ganti rugi kematian ternak-ternak yang lain.
Peristiwa itu meninggalkan luka bathin yang mendalam bagi khoir, Ia biasa di panggil si punjul, karena jari jemari di kakinya semuanya berjumlah dua belas, enam buah jari di kaki kanan dan kirinya. seorang anak yatim piatu yang setiap hari bekerja menggembalakan kambing sejak masih usia belia. Ia menggembalakan kambing milik pak Haji Malik dengan upah sepantasnya. Dari upah yang tak seberapa itu Ia kumpulkan Rupiah demi Rupiah. Setelah terkumpul, uang itupun ditasyarufkan untuk membeli seekor kambing betina ukuran sedang. Baru digembalakan beberapa hari, akhirnya mati karena ditabrak oleh mobil-mobil keparat itu. Menyaksikan sandiwara nyata di depan mata, hanya menyisakan trenyuh di dada. Mbok Nah dan Qohar lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju sawah untuk memupuk tanaman-tanamannya dengan pupuk kandang setengah karung itu..
Happy birtday
Mengapa penyesalan harus berlabuh
Di ujung senja
Di sudut-sudut sandiwara
Di akhir cerita
Kini umurku berkurang setiap waktu
Tanpa kusadari
Sebuah kenyataan menghadang
Menerjang
Tak jua ku pahami
Dimana dan kemana ku harus melangkah
Diantara serpihan-serpihan umur ku yang tersisa
Akan kurangkai mozaik keindahan
Mengiring perjalananku
Hari-hari berlalu, Burung-Burung Kuntul menjelang musim hujan biasanya akan di sertai musim kawin. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan bunga-bunganya. Luasan tanaman Padi membentang sejauh mata memandang. Mulai menguning. Rumput-Rumput keringpun mulai bersemi.
Menyambut datangnya musim hujan kali ini. Sekumpulan Katak di segenap penjuru merayakan hari kemenangannya. Hujan kali pertama. Dengan mengeluarkan suaranya yang khas. Seperti alunan melodi. Silih berganti menghiasi persawahan. Belalang-Belalang kecilpun ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari, melupakan musuh-musuh yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. Di saat -saat seperti itulah ,suatu kesempatan bagi sekumpulan Kadal. Untuk segera memangsanya. Tanpa harus bersiap-siap siaga, tiba-tiba Belalang seakan seperti menawarkan diri. Untuk di jadikan mangsa oleh Kadal. Tanpa di sadari sebelumnya, belalang-Belalang kecil itu beterbangan persis di depan para pemangsa, Kadal. Di hari itu, Burung-Burung, Jangkrik, Siput, sekumpulan Ikan dan Binatang lainnya, tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim hujan tahun ini. Pucuk-pucuk dahan dan ranting pepohonan mulai memperlihatkan kesegarannya.
Pagi itu masih terlihat gelap, suara kokok ayam sudah mulai terdengar seakan-akan menyuruh si empunya untuk segera membukakan pintu dapur, tempat di mana kandang ayam berada. Usai sholat shubuh Mbok Nah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Untuk memperingati hari lahirnya Qohar, lalu diambilnya beberapa bekas keringat di leher Qohar, yang masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahir Qohar. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai sebuah bentuk penyadaran, Jika sesuap nasi itu harus di dapat melalui jerih payah, memeras keringat dan banting tulang. Untuk kesejahteraan hidup.
Sejumput daki Qohar di taburkannya ke dalam tungku. Bakal tempat pembuatan bubur. Tak terasa dari kedua bola matanya yang cekung, merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama anak-anaknya, bercengkrama, bersendau gurau, dan tertawa lepas. Dengan sepenuh hati, merawat, membesarkan dan menyayangi tanpa ada batasnya, namun kini tidak di ketahui secara pasti di mana keberadaannya. Walau mereka hakikatnya tidak ada. Namun bagi Mbok Nah mereka ada untuk selama-lamanya. Kedua bola matanya yang telah mengeriput seiring berkurangnya usia, tidak menyurutkan bulir-bulir air matanya yang terus menetes perlahan.
Di dapur, persediaan kayu telah menipis, hanya tinggal beberapa ranting. Di ambilnya kayu dari belakang rumah. Yang yanya tinggal beberapa lapis. Di ambilnya semua kayu yang ada, hingga tinggal serpihan kayu-kayu kecil. Tanpa di sengaja Ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu. membentuk formasi sarang. Tanpa pikir panjang, Ia mengambil ranting kayu kecil, lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat ada sesuatu di depan mata. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar. Guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya.
Teringat waktu itu, dua bulan yang lalu. Cucunya kehilangan kura-kura kesayangannya. Tak pelak dua hari dua malam Qohar tidak mau makan. Telah berbagai cara Mbok Nah lakukan. Namun Qohar masih saja ngotot dengan pendiriannya. Tidak mau makan selagi kura-kuranya belum juga di temukan. Hanya air minum yang sesekali diteguknya. Tanpa sepengetahuan Mbok Nah. Hingga suatu ketika dihari ketiga, sewaktu Qohar terlihat lelah sehabis bermain. Mbok Nah melihat Qohar sedang melahap sepiring nasi tanpa sepengetahuannya. Dan betapa senangnya Mbok Nah waktu itu. Tapi didepan Mbok Nah, Qohar masih menunjukkkan dirinya mogok makan. Dengan tenang, Mbok Nah mencarikan jalan keluarnya sembari memberi syarat. Qohar Akan dibelikannya Marmut jikalau mau disuapinya. Dengan malu-malu Qohar menyanggupi persyaratan itu.. Akhirnya Qoharpun mau makan kembali dan mengakhiri aksi mogok makannya.
Sampai di kemudian hari Qohar merelakan marmutnya disembelih Mbok Nah untuk ritual penyembuhan Mansyur, keponakan Mbok Nah yang telah satu minggu menderita penyakit kuning.
Kini adalah dua bulan yang lalu. Kura-kura mungil berekor pendek itu tetap saja seperti sedia kala, ukuran dan bentuknya. Tak banyak terjadi perubahan pada fisiknya.
Seikat serpihan Kayu ditaruh didapur. Lalu Mbok Nah beranjak pergi ketempat tidur Qohar. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang kecil. Agar tak lagi hilang, sekaligus membuat kejutan pada cucunya. Benang yang terlihat tipis itupun di ikatkan pada kain sprai persis di dekat Qohar. Kemudian kura-kuranya di taruh di depan Qohar yang masih tidur.
Menyadari ada sesuatu benda aneh, yang bergerak-gerak di jari jemari Qohar. Di kegelapan fajar yang belum sepenuhnya terang. Ditambah lagi jendela-jendelanya yang masih tertutup rapat. Qohar terperanjat, merasa takut dan gemetar. Ia segera lari kedapur. Namun tak didapati seseorang yang selama ini menjadi tempat bertumpu, dan bermanja-manja ria. Ia segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk santai di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.
Aku pancen wong seng tuno aksoro.
Ora biso nulis ora biso moco.
Nanging ati iki iseh nduwe roso.
Roso tresno koyo tumrape manungso.
Aku pancen wong cilik ra koyo rojo.
Iso mangan wae aku uwes trimo.
Nanging ati iki isih nduwe roso.
Jero ning bhatin sak tenane pingin kondo.
Pupus godhong gedang.
Ajang pincuk saiki wus ra kelingan.
Aku memang orang yang buta aksara.
Tidak bisa menulis tidak bisa membaca.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Rasa cinta seperti manusia kebanyakan.
Aku memang orang kecil bukan orang kaya.
Bisa makan saja aku terima'bersyukur'.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Dari hati yang dalam ingin berkata.
Pupus'kuncup' daun pisang.
Piring dedaunan sekarang mulai terlupakan.?1
Kura-kura, binatang Reptil yang pertumbuhannya lambat itu usianya bisa mencapai puluhan tahun, bahkan mungkin bisa mencapai ratusan tahun apabila terawat dengan baik. Konon kura-kura itu adalah kura-kura milik Dewi Juariyah, Emak Qohar sendiri. Selepas Juariyah pergi menjadi TKI, kura-kura itu diberikannya pada Mbok Nah agar kelak kura-kura itu bisa di jadikan sebagai teman bermain Qohar. Kura-kura itu di pelihara Mbok Nah cukup lama sebagai teman bermain Qohar dan akhirnya, lama-lama kura-kura itupun menjadi akrab dengan keseharian Qohar. Hingga akhirnya, kura-kura itu hilang entah ke mana.
Waktu itu Qohar tengah asyik bermain dengan kura-kuranya diteras rumah. Tanpa disadarinya Ia lupa mengandangkannya. Dengan terburu-buru Ia pergi begitu saja. Menyusul Mbok Nah pergi kesawah. Setelah mengetahui teman selama bertahun-tahun hilang begitu saja, tanpa di ketahui rimbanya. Qohar tak bisa menyimpan kesedihannya. Seakan seperti di rundung duka yang perih. Hilang semangat dan gairah hidupnya dan sempat linglung, tidak mau makan hingga berhari-hari. Tidak tega membayangkan kura-kuranya terlantar, Ia pun tak sampai hati bisa menelan nasi. Meski Mbok Nah telah membujuknya berulang kali agar mau makan.
"Maknyak! Kok malah nembang!." Teriak Qohar dengan nada marah.
"Ada apa lee? Kamu mencariku?" Mbok Nah pura-pura bertanya.
"Udah tau nanya. Apa maknyak nggak dengar saya panggil-panggil?!!."
"Apa yang terjadi Cucuku??." Selidiknya berbasa-basi.
"Tidak usah tanya, ayo kita kekamar." Ajak Qohar dengan terburu-buru.
"Ada apa? Mau tidur lagi?. Aku mau ke sawah." Bantah Mbok Nah.
"Jangan begitu mak."
"Ada apa dulu?." Tanya Mbok Nah pura-pura penasaran.
"Ada setan mak!." ucapnya serius.
"Ooo ..kamu setannya?."
"Serius maknyak!"
"Ya sudah nanti kalau ketemu. Biar ku makan. Kalau tidak ketemu. Kamu yang ku makan."
"Ah .. maknyak. Jangan bercanda terus!."
"Maknyak serius Haaar..."
"Ya sudah, ayo kita lihat.!." Rengek Qohar dengan penuh penasaran dan di hantui rasa takut.
Mereka berduapun menuju ke kamar. Lalu dibukanya dua jendela satu-persatu. Kura-kuranya pun terlihat jelas. Namun Qohar tak mengetahui jika kura-kura itu ternyata diberi ikatan benang oleh Mbok Nah. Agar tidak memungkinkan untuk pergi dari tempat tidur.
"Itu apa Qohar??." Tanya Mbok Nah sembari menunjuk ke arah kura-kura.
"Itu kan Kura-kura mak!." Selorohnya dengan raut muka berbinar-binar.
"Siapa yang bilang kalau itu setan. Sudah ayo kita tangkap! Dipanggang, terus di kecapi. Biar maknyak yang makan!." Perintah Mbok Nah sembari menakut-nakuti Qohar.
"Maknyak gemblung! Maknyak kan tahu sendiri kalau Aku suka bermain dengan kura-kura." Dengan wajah menggerutu Qohar mengexpresikan kekecewaannya.
"Peduli amat yang penting maknyak lapar."Jawabnya seolah tak ada rasa peduli.
"Ahh..Maknyak! pokoknya jangan!. Nanti Qohar tidak mau makan sampai lama seperti dulu. Maknyak Ingat kan ?" Tanyanya seraya meyakinkan.
"Maknyak sudah lupa!." jawabnya enteng.
"Coba di ingat-ingat mak?."
"Yo wis. Kalau begitu kamu yang ku makan!." Sahut Mbok Nah menakut-nakuti.
"Maknyak memang gemblung!."
Karena saling ngotot di antara keduanya. Akhirnya Qohar hanya bisa merengek dan menangis. Dengan berurai air mata didekatinya kura-kura mungil itu. Lalu di ambil dengan sentuhan penuh kasih sayang. Mbok Nah pun pergi berlalu begitu saja meninggalkan Qohar. Setelah di perhatikan dengan seksama. Qohar terperangah, kaget bercampur heran bukan kepalang. Ternyata salah satu kaki kura-kuranya telah terikat benang. Terpikir di benak Qohar. Pasti ada dalang di balik semua ini. Teringat pesan Mbok Nah padanya dalam suatu kesempatan. Tak ada sesuatu tanpa ada sebab. Terciptanya tulisan pasti ada yang menulis. Begitupula dirinya dan alam seisinya pasti ada yang menciptakan. Siapa yang menyebabkan kura-kuranya terikat?. Terbersit di pikirannya, sebuah kepastian siapa pelaku di balik semua ini kalau bukan neneknya sendiri. Ia pun langsung menemui neneknya dengan penuh dongkol. Menuduhnya tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Maknyak sengaja menakut-nakuti Qohar! Qohar sama sekali tidak takut!."
"Kok tahu?." Tanya Mbok Nah tanpa basa-basi sambil tertawa sumringah.
"Yaa iya to." Jawabnya penuh bangga.
"Lalu kenapa kamu gatal minta tolong?."
"Itu kan saya hanya pura-pura maknyak!." Kilahnya.
"Apa??!!.Maknyak nggak denger!."
"Maklum, kan Maknyak sudah tua. Tapi aku juga punya kejutan Mak!. Tunggu saja nanti seperti apa kejutanku." Kilahnya lagi dengan muka serius seperti mengancam.
"Tantanganmu selalu ku tunggu cucuku. Maknyak nggak takut! Sekarang kamu makan dulu buburnya. Nanti keburu adem. Jangan lupa memberi makan kura-kuranya." Ucapnya datar sembari mengingatkan.
"Maknyak buat bubur?"
"Iya. Nyelametin hari lahirmu. Biar panjang umur dan sehat selalu."
Jawab Mbok Nah dengan bijak."Buburnya nanti di habisin yaa?."
"Beres maknyak." Katanya sambil tersenyum "Sudah di do'ain?"
"Sudah!" jawabnya singkat.
Mulai saat itu Qohar dengan setia merawat dan membawa kura-kuranya kemanapun dia pergi. Dengan hadirnya kura-kura di tengah-tengah keluarga. Qohar seperti menemukan kembali kehidupannya yang baru.
Siang itu Mbok Nah pulang dari pematang seperti biasanya, dari kejauhan, Mbok Nah melihat mobil merah silver di bawah pohon sawo di sebuah kebun miliknya. Mobil itu persis dengan warna mobil yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu. Pada saat mengais buah asem bersama Qohar. Tanpa pikir panjang Mbok Nah mencoba menemui si empunya namun tak di dapati seorangpun. Di longoknya seisi ruangan di dalam mobil, dari balik kaca hitam. Tak ada seorangpun yang berada di dalam. Karena merasa benar dan mobil itu terparkir di area kebunnya. Mbok Nah tidak takut menungguinya. Sambil duduk di cangkruk tak jauh dari pohon sawo.
Dari rumah terlihat Qohar berlari tergopoh-gopoh, seperti ada sesuatu yang ingin di utarakannya.
"Maknyak ?!" Panggil Qohar dengan keras.
"Ada apa cucuku?."
"Maknyak di cari orang kemarin sore."
"Kemarin sore kapan?."
"Itu lho Mak. Sewaktu memulung buah asem."
"Ooh, iya Aku ingat." Kata Mbok Nah mengangguk-angguk.
"Dimana orangnya?."
"Orangnya sudah menunggu dirumah!.Ayo Maknyak cepat!." Ajak Qohar terburu-buru.
Di teras telah ada Bu Lela, tetangga sebelah. Menemani tamu mengobrol. Mereka datang hanya berdua. Pak Amin ong gwie yang seorang Wartawan dan seorang lagi pak Puji, sopir pribadinya.
"Ee Bu Lela. Silahkan masuk." Sapa Mbok Nah pada Bu Lela. Lalu kemudian menyapa pak Amin dan pak Puji. "Silahkan masuk pak!. Pak Yusufnya tidak ikut pak?" Tanya Mbok Nah pada pak Amin.
"Kebetulan pak Yusuf hari ini sedang ada meeting di kantor. Jadi saya yang di tunjuk mewakilinya. " Kata pak Amin. Lalu mereka duduk lesehan bersama di ruang depan.
"Sampeyan kenal neng ndi? Kok di lura-luru." Canda Mbok Nah pada Bu Lela. Seorang janda beranak tiga. Dengan bahasa jawa halus agar tak di ketahui oleh para tamu.
"Tidak salah Mbok? Mereka itu cari Simbok. Tanya kesana ke mari. Akhirnya ya tak bawa ke sini. Wong yang namanya Mbok Nah hanya kamu di kampung ini."
"Lho adikmu namanya bukan Ginah?." Seloroh Mbok Nah.
"Kuwi Tinah bukan Ginah!." Timpal Bu Lela.
"Oo bunder!. Kamu kok dungaren belum ke sawah?" Tanya Mbok Nah setengah nerocos.
"Aku habis nyuci pakaian setumpuk, capek. Ke sawah ba'da dzohor wae." Kata Bu Lela sambil tangan kanannya memegangi pinggangnya.
"Yo wis nanti bareng yoo?."
"Yoo..."
Lalu Mbok Nah kembali menyapa dua orang tamunya.
"Jangan sungkan-sungkan pak. Memang beginilah keada'ane wong ndeso."
"Lela!. Tolong jagongi riyen tak buat minum dulu saja'e kok kering!." Pinta Mbok Nah pada Bu Lela.
"Ya Mbok!." Jawab Bu Lela singkat. Lalu dengan agak sungkan Mbok Lela, seorang janda yang paling hobi ngegosip itu mencoba memberanikan diri untuk menanyai perihal pembelian tanah kapling.
" Ma'af nggeh Pak? Kalau boleh tahu nanti rencananya lahan kaplingnya untuk membangun apa?" tanya Bu Lela sungkan.
" Untuk membangun pabrik kopra, di sini kan belum ada. Apalagi dari sumber yang dapat di percaya, bahan baku kelapa di sini sangat murah. dan banyak pemuda kampung yang masih menganggur. Berangkat dari dua faktor tersebut kami dari pihak perusahaan melihat prospek ke depannya sangat cerah. Dari itu kami berniat membangun pabrik kopra di kampung ini. Setelah sebelumnya dikaji terlebih dahulu dampak Amdalnya." Urainya Menjelaskan tujuan pembelian tanah kapling.
"Oh begitu." Kata Bu Lela menganggau-angguk.
"Apakah di Kampung ini sering ada kejahatan Bu?" Kata pak Amin dengan merendahkan suaranya.
"Tidak ada pak! Kampung ini Alhamdulillah selalu aman." Kata Bu Lela meyakinkan. "Memangnya kenapa pak" Tanyanya kemudian.
"Begini Bu. Sepanjang perjalanan kami merintis usaha, kami lebih mengutamakan disamping dua faktor penting yaitu sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Sehingga ke depannya kami bisa lebih fokus dalam pengembangan usaha tanpa banyak hambatan. Intinya dengan iklim usaha yang kondusif, kami optimis kemajuan perusahaan akan terkatrol dan bahkan mungkin bisa berkembang dengan pesat."
"jadi nomor satu itu keamanan ya pak?" Ujar Bu Lela berkesimpulan.
"Iya, keamanan menjadi syarat yang mutlak."
Bu Lela mendengarkan penjelasan Pak Amin dengan sungguh-sungguh seperti seorang anak TK yang khidmat mendengarkan dongeng dari seorang guru.
"Qohar!." Panggil Mbok Nah dengan suara datar.
"Ada apa Maknyak?."
"Gula putihnya habis. Sana belikan!.Ini uangnya!."
Setelah memerintah Qohar, Mbok Nah lalu kembali ke ruang tamu. Kemudian mulai membuka topik pembicaraan.
"Bagaimana? Bapak jadi beli tanah yang di seberang jalan itu?."
"Masalah itu jangan di tanya, yang penting bagaimana dengan pihak penjual. Apa sudah di beri tahu?."
"Sudah Pak. Kebetulan Lela ini, saudaranya yang punya tanah." Ujarnya sambil ibu jari menunjuk lurus ke arah Bu Lela.
"Lela!. Tolong kang Sarwo suruh ke sini mumpung ada Rojo Koyo1 dari kota!." Pintanya kepada Bu Lela.
"Kang Sarwo sudah ke sawah. Kemarin Aku di beritahu, katanya sih terserah. Bagi siapa saja yang bisa menjualkan tanahnya akan di beri komisi sepuluh persen. Kang Sarwo sudah keburu akan pergi bulan depan ke Lampung pengen buka usaha di sana." Jawabnya panjang lebar.
"Yo wis. kalau begitu tinggal Bu Marni. Pak." Kata Mbok Nah sambil menahan nafas. Kemarin Saya dari rumah Bu Marni. Katanya, kebunnya di jual dengan harga biasanya. Tapi dengan syarat, beberapa pohon kelapa dan durian yang berada tepat di seberang jalan tidak ikut di jual. Jadi Bu Marni boleh kapan saja memanennya." Sahut Mbok Nah, menjelaskan dengan detail.
"Gampang!. Semuanya bisa di atur asal jangan ada sengketa di kemudian hari." Ujar pak Amin lugas.
Dengan terburu Mbok Nah mohon ijin ke dapur mengambil minuman dan suguhan berupa pisang dan bubur merah putih. yang kebetulan hari itu sedang merayakan hari ulang tahun Qohar. Lalu kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk mencicipinya.
Setelah semuanya jelas. Pak Amin memberikan uang muka kepada Mbok Nah agar akadnya menjadi lebih jelas. Di saksikan Bu Lela dan pak Puji. Lalu kedua orang tamu itupun segera pamit dengan memberikan dua buah amlop lagi kepada Mbok Nah dan Bu Lela. Sebelumnya, Mbok Nah terlebih dahulu membawakan oleh-oleh berupa kacang kering dan ubi jalar setengah karung. Dalam pertemuan itu di anggapnya sebagai pertemuan awal. Rencananya tiga sampai empat hari lagi pak Amin akan segera melunasi, sekalian mengurusi surat-surat tanah. Dalam pertemuan itu pula di jelaskan latar belakang, serta maksud dan tujuan pembelian tanah kapling. Dan telah tercapainya kesepakatan diantara ketiga belah pihak. Dengan akad Muwakkalah1
Zaman Belanda
Sejarah
Kepadanya
ku berguru
Ku mengetuk pintu
Tempatku mengadu
Tempatku berpijak
Sejarah
Kepadanya ku berpegang
Berjalan
Beroleh petunjuk
Kutafakuri
Aku kalah tanpa sejarah
Tanpa sejarah ku menyerah
Ku resah tanpa sejarah
Tanpa sejarah Aku pasrah.
Terhitung telah dua hari Mbok Nah tidak ke sawah. Pagi ini atau lusa harus ke sawah, karena di khawatirkan rumput liar semakin bertambah, padi tak terairi dan mengering. Sayuran-sayuran apabila tidak di pangkas akan menjalar ke mana-mana Dicarinya parang kemudian diasah untuk keperluan penyiangan rumput nantinya. Namun tak juga di dapatinya .
“Qohar ! dimana kau simpan parangnya?.”
“Kayaknya masih di teras." Jawab Qohar, matanya menerawang "Saya lupa naruhnya. Mau ke sawah Maknyak?”
“Ya. kamu dirumah apa ikut?”
“Aku ikut. Bawa nasi apa tidak Mak?”
“Terserah kamu. Hari ini Maknyak lagi puasa. Ini hari kamis.”
“Bungkusin ya Mak?”
“Ya. Pakai sambal tidak?.”
“Tidak usah!.” Ucapnya sambil geleng-geleng kepala.
Setelah semuanya beres Mbok Nah dan Qohar berangkat ke sawah. Berjalan kaki setapak demi setapak dengan di selingi sendau gurau di sepanjang perjalanan. Tanpa terasa mereka sampai di sawah.
“Alhamdulillah sudah pada menghijau.” Gumamnya dalam hati.
“Kita mulai dari sini saja." Ajak Mbok Nah pada Qohar, memulai pekerjaan menyiangi rumputan liar. "Bismillahirrahmanirrakhim, nyambut gawe1.”
Sambil mencabuti rumput mereka berdua berbincang-bincang ringan. Tentang bagaimana susahnya hidup di zaman penjajahan. Hingga bermuara pada sejarah hidup Mbok Nah semasa mudanya.
Waktu itu tahun Empat puluhan negeri ini masih di jajah oleh Belanda, di pagi buta Mbok Nah kedatangan seorang tamu dua orang serdadu Belanda. Waktu itu Mbok Nah masih muda. Berumur antara empat belas sampai lima belas tahun. Sedangkan adik Mbok Nah, Sukarti masih berumur sembilan tahun. Di pagi buta itu kedua orang tua telah lebih dulu pergi ke lereng-lereng gunung mencari umbi-umbian berupa talas, kerot, ganyong dan sejenisnya. Untuk makanan pokok sehari-hari. Bersama kang Imran kakak Mbok Nah satu-satunya.
Biasanya sebelum orang tua pergi, kami sering di wanti-wanti agar jangan takut di dalam menghadapi siapapun. Termasuk terhadap para serdadu belanda. Bahkan kalau perlu perdayai para serdadu belanda agar mau memberikan bahan makanan. Karena waktu itu mencari makan susahnya naudzubillah. Pepatah waktu itu mengatakan mencari makan tak segampang mencari ikan.
Awalnya kedatangan dua orang tentara Belanda membuat bulu kuduk Mbok Nah dan Sukarti merinding.
Namun Mbok Nah berusaha menenangkan Sukarti yang terlihat ketakutan. Setelah di ketahui perihal maksud dan tujuannya, suasananya pun menjadi cair. Sukarti tak terlihat ketakutan lagi. Rupanya maksud dan tujuan mereka datang hanya untuk mencari Kang Umar, seorang gerilyawan, yang selama ini menjadi pahlawan di kampung ini. Terkenal sakti, tubuhnya tak mampu di tembus ratusan peluru. Jawara kampung, andalan orang-orang pribumi. Ketika di tanyakan mengenai keberadaannya. Aku dan Sukarti menjawab tidak tahu menahu. Namun karena di desak terus menerus. Kamipun mau dengan syarat di beri imbalan. Karena mereka tidak membawa apa-apa. kamipun di beri beberapa lembar mata uang Belanda.
Dengan semburat kesedihan. Mbok Nah memberitahukan keberadaan Kang Umar. Sebelum memberitahukan keberadaan kang umar terlebih dahulu. Mbok Nah menyuruh Sukarti agar ke dapur. Mbok Nah hendak merencanakan sesuatu. Ia suruh Sukarti mengambil getah air tuba di belakang rumah. Setelah di dapat lalu supaya di sajikan bersama teh manis.
Setelah instruksi di jalankan. Mbok Nah kembali menemui dua serdadu belanda itu lalu memberitahukan keberadaan kang Umar, yaitu di gua Ngerong. Jaraknya lumayan jauh dari kampung Bendo, sekitar tujuh kilo meter. Sebelum memberi tahu tempat persembunyian kang Umar. Mbok Nah sempat merayu kedua serdadu Belanda itu. Hingga mereka betah berlama-lama di rumah Mbok Nah. Dengan serius Mbok Nah memberitahu arah jalan untuk menuju gua Ngerong yang terkenal medannya sangat sulit itu. Tempat persembunyian itu telah bertahun-tahun menjadi markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri, guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar.
Sebelum Mbok Nah menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah di campur dengan air tuba. Mbok Nah terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit di bagian pinggulnya untuk mengalihkan sebuah perhatian. Tak lama setelah meminum teh manis buatan Sukarti dua orang serdadu itupun pergi, lalu Mbok Nah dengan cekatan membagi tugas kepada Sukarti. Agar memberitahukan pada pak Abdullah. Tetua kampung, perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah di ketahui tentara Belanda. Sementara Mbok Nah mengawasi dari jauh arah dan langkah kedua serdadu itu. Tak lama, hanya berselang beberapa menit kemudian, Mbok Nah dengan mata kepala sendiri menyaksikan dua orang itu ngajal, menggelonjot hampir bersamaan.Tepat diatas lahan perkebunan kopi yang tidak jauh dari perkampungan. Setelah keduanya di pastikan meninggal. Mbok Nah mendekati mayat-mayatnya. Dari kedua mulutnya keluar busa yang tidak berukuran. Lalu satu persatu dari pakaian mayat-mayat itu di geledah. Mbok Nah mendapati dua pistol laras panjang, dua puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar uang gulden mata uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu di serahkan kepada pak Abdullah ketua RT setempat. Untuk keperluan para pejuang kemerdekaan.
Sukarti kini mungkin sudah hidup enak di negara para penjajah, Jepang. Setelah pendudukan Belanda berakhir. Negeri ini berganti di jajah orang-orang Jepang. Hingga suatu ketika Mbok Nah memergoki Sukarti yang tengah berduaan bersama serdadu Jepang, di bawah sebuah pohon Duku, dan sejak itu Sukarti mulai keranjingan, bawaannya ingin selalu pergi dari rumah untuk sekedar menemui seorang tentara Jepang itu. Tentara Jepang itu diketahui bernama meiji Shiojiro. Pada tahun empat puluh lima Sukarti di boyong ke negeri sakura, Jepang. Waktu itu Mbok Nah hanya bisa menangis karena harus merelakan Sukarti, adik perempuan Mbok Nah satu-satunya. Sukarti punya dua mata tapi tak bisa melihat. Matanya di butakan oleh rasa cintanya pada sang penjajah. Sampai Sukarti rela di bawa kemanapun oleh orang Jepang. Di bawa jauh ke negaranya ke negeri antah berantah. Karena itu sudah menjadi keputusan Sukarti. Mbok Nah tak bisa berbuat apa-apa. Sampai kini Mbok Nah masih meyakini jika Sukarti masih hidup.
Usai bercerita sebagian perjalanan hidupnya semasa dulu. Mbok Nah tak mampu membendung kegundahan hati dan linangan air mata. Walaupun kedua bola matanya telah keriput di makan usia tetapi masih mampu meneteskan air mata. walau hanya bulir-bulir tipis.
Qohar berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.
“Jadi Maknyak dulu jadi seorang pembunuh para penjajah? Aku jadi takut kalau melihat Maknyak..” Canda Qohar.
“Badanku malah jadi menggigil gemetaran karena melihatmu.” Balasnya dengan mimik serius.
“Kenapa Maknyak?”
“Lha wong kamu kayak tuyul, nggak mau pake baju.” Timpal Mbok Nah.
“Segera pakai bajumu, matahari sudah terasa semakin menyengat.” Sambungnya.
“Ya Maknyak. Tapi?”
“Apa ?”
“Maknyak kok tidak dapat gelar atau pensiunan dari pemerintah seperti Eyang Bambang ?”tanyanya setengah penasaran.
“Itu memang sudah menjadi nasibnya wong cilik. Kalau berhasil mengusir penjajah orang-orang atas yang dapat gelar. Tapi kalau gagal ujung-ujungnya orang-orang bawahan, orang kecil yang di salahkan. Buktinya sampai sekarang juga seperti itu. Untungnya Kang Karta, simbah kakungmu mendapatkan beberapa petak sawah dari pemerintah.”
“Maknyak berani bicara dengan Tentara Belanda?”
”Bukan hanya berani bicara tapi juga berteman??”
”Kok bisaMaknyak?”
“Ya bisa too.”
“Ceritanya?”
Mbok Nah bertutur.
Pada zaman Belanda dulu sangat gencar dengan program pembangunan irigasi. Pembangunan waduk, dam, les, dan lain sebagainya. Itu semua di lakukan karena penjajah Belanda menduduki Indonesia hingga berabad-abad. Mencapai ratusan tahun. Penjajahan Belanda tidak selamanya menyengsarakan rakyat. Tetapi justru mereka itu juga turut ikut membangun peradaban Bumi Nusantara. Situs dan jejak-jejaknya masih bisa di saksikan hingga kini. Jejak-jejaknya bertebaran di seluruh Nusantara.
Kebetulan waktu itu pemerintah kolonial belanda membangun less di kali kedungombo. Persisnya less itu di bangun di Jatisari, tidak jauh dari tempat kelahiran R.A Kartini di Mayong. Hanya berjarak kurang dari satu kilo meter. Sekarang secara administratif Less itu kini berada di kawasan Nalumsari, yang sebelumnya Less itu ikut dalam kawasan Mayong. Pembangunannya waktu itu memakan waktu hingga bertahun-tahun. Namun hasilnya sampai kini masih bisa di rasakan untuk pengairan sawah,hingga mencapai luasan ribuan hektar. Model pembangunannya tidak seperti zaman sekarang yang notabene mudah roboh. Karena waktu yang di perlukan untuk pembangunan less. Hingga bertahun tahun. Mbok Nah sering bolak-balik melihat proses pengerjaannya. Sambil mengais sisa-sisa makanan. Pada waktu itulah Mbok Nah terbiasa ngobrol dengan Jendral Houdmann salah satu pimpinan proyek pembangunan less. Terkadang jenderal Houdmann memberi permen davos atau bila mau mengusung batu-batu, bisa mendapatkan upah makan setengah piring nasi jagung. Dan semua itu pada zamannya sudah lebih dari cukup.
Surprise
Malam ini Kutemukan sebuah kado
Ku dapati sandiwara kecil menghiasi bumi
Kusaksikan air laut bergulung setinggi pohon-pohon
Lalu menyapu daratan
Gunung-gunung beterbangan seperti kapas
Lautan manusia mengambang diliputi ketakutan
Dan Aku menganga
Nanar berselimut kalut
Aku berlari
Berlindung
ku sebut Asmanya dalam sebuah mimpi.
Tanpa terasa matahari telah merangkak naik hingga sepenggalah ketinggiannya. Biasanya di waktu seperti itu, Qohar sudah meminta diri untuk pulang Terlebih dahulu. Tapi tidak, dipagi itu. Saat itu dari kejahuan terlihat Doni dan Amar digubuk sawah tetangga. Mereka melambaikan tangan, mengajak Qohar untuk bergabung. Qohar pun meminta diri untuk istirahat digubuk tentangga. Dari kejauhan Qohar memohon diri untuk ikut teman-teman kehutan Jati milik Pak Haji Badawi.
“Maknyak. Qohar ke hutan Jati sama teman-teman!” Ujar Qohar berpamit untuk berpetualang ke hutan jati.
“Ya hati-hati.” Ucap Mbok Nah berpesan.
Di dalamnya banyak sekali pepohonan. Tak hanya terbatas pada hutan Jati. Di tengah-tengah hutan Jati banyak di tanami pohon mangga, jengkol, dan jambu Monyet. Sayangnya Hutan itu telah lama terlantar ditinggal pergi pemiliknya ke Kota. Hanya sekali dua kali dalam setahun dikunjunginya. Sama sekali Tidak terawat dan terabaikan. Tak sedikit dari orang-orang kampung yang sengaja ke hutan tersebut untuk sekedar mencari kayu maupun sengaja mencari buah Jambu dan Jengkol.
Didalam hutan, Qohar dan teman-teman berlari-larian, bermain petak umpet dan bersenandung Ria.
Gundul-gundul pacul-cul gembelengan.
Nyunggi1-nyunggi wakul2-kul gelelengan.
Wakul ngglempang3 segane dadi sak ratan.
Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.
Seorang anak berkepala pelontos berjalan dengan sempoyongan.
Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.
Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.4
Kesan teduh, angker, dan sejenisnya tak terbayang sama sekali. Pada hal didalam hutan jati, berjajar pohon-pohon besar lainnya. Semisal mahoni, kapuk randu, beringin dan pohon salam. Dedaunan kering menumpuk sedemikian tebal seperti kasur. Dan seiring bergulirnya waktu. Mungkin dedaunan kering itu akan terus bertambah. Sampai tiba masanya hujan datang. Lalu lambat laun menjadi humus dan membaur kedalam tanah. Meski panas terik matahari begitu panas. Tak seberkas sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Didalam hutan tak ubahnya seperti halnya didalam gedung ber Ac, bahkan lebih. Dengan hembusan angin yang sepoi-sepoi menjadikannya betah berlama-lama bermain didalamnya.
Lambat laun rasa bosan kian merasuk diantara teman-teman Qohar apalagi Amar, yang gendut dan mempunyai kebiasaan ngorok semenjak kecil itu sudah mengajukan beberapa point. Pada point-point tertentu yang diajukan, Dia bahkan akan memboikot permaninan petak umpet. Apabila batas waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi. Ada yang unik dari obesitas yang mendera Amar yang sewaktu masih kecil sangat kurus itu. Suatu hari Amar yang kurus kering itu pulang dari mengaji karena di dera rasa haus, dengan serampangan ia lalu meminum sebungkus cairan berwarna kuning di atas meja yang di sangkanya teh manis. Ibunya biasanya memang mendapatkan bungkusan teh manis dalam plastik sehabis dari pengajian. Entah itu pengajian senenan, selasanan, maupun rebonan. Dan ternyata cairan kuning di dalam plastik itu adalah minyak goreng seperempat liter yang diminumnya sekaligus. Aneh memang, tetapi atas karunia Tuhan, pelan-pelan Amar yang kurus kering itu bobotnya bertambah dari hari ke hari.
Selesai bermain petak umpet di dalam hutan, mereka bertigapun akhirnya pulang. Dalam perjalanan pulangnya, hampir saja Doni yang sebelah matanya berwarna putih dan tidak bisa melihat itu menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam hutan yang melintas didepan Doni tapi urung ditangkap karena anak-anak ayam hutan tersebut lari kedalam semak-semak berduri. Anehnya anak-anak ayam itu melintas dijalur setapak yang di laluinya tanpa diketahui dua orang rekannya, hanya Doni saja yang tahu. Sesuatu hal yang ganjil. Tiba-tiba menyeruak sesuatu yang berbau aura mistis. Namun Doni sengaja merahasiakannya karena ketakutan. Ia bermaksud menceritakan kejadian aneh setelah sampai di rumah. Melewati perkebunan singkong yang lumayan luas. Qohar memotong jalan mengambil jalan pintas menuju kampung. Kali ini Qohar sengaja pulang tanpa mampir ke sawah terlebih dahulu untuk menemui neneknya, memohon diri pamit pulang.
Lama tidak ada kembali, Neneknya mulai waswas. Pikiranya mulai dihinggapi perasaan khawatir. Ia menduga mungkin telah terjadi apa-apa pada cucunya. Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya, Kang Aryo tetangganya, hilang dihutan tersebut sewaktu mencari kayu di area hutan jati itu, tanpa diketahui rimbanya hinga kini. Hanya sepikul kayu waktu itu yang didapatinya. Baru beberapa hari kemudian di temukan jasadnya tanpa kepala. Jasad kang Aryo yang tanpa kepala itu ditemukan tepat di atas tumpukan ranting-ranting kayu jati yang mirip sebuah sarang burung raksasa. Maka tak heran meskipun tak ada yang menakut-nakuti. Rasa khawatir dan takut kehilangan cucu semata wayangnya terus bergelayut dan terus menerus membayanginya.
“Rasanya aku belum siap melepas cucu kesayanganku. Aku harus tahu keadaan sebelum semuanya telah menjadi bubur.” Pikir Mbok Nah dalam hati.
Di jalaninya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa. Sesampainya di hutan, kekhawatiran Mbok Nah semakin bertambah. Di hutan itu tak di jumpai sama sekali seorangpun. Meski telah mengitari berulang kali. tak satupun jalan setapak yang luput dari penelusuran Mbok Nah. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya terus menetes berjatuhan ,sambil dari kedua bibirnya yang telah mengerut tidak henti-hentinya mengadu dan mengucap asma Allah.
Yaa Allah Gusti..Dimana engkau sembunyikan cucuku Ya..Rabb. Astaghfirullaahal adziim. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini.
Di hari itu kegalauan hati dan kesedihan Mbok Nah di tumpahkan. Ia berjanji untuk selalu ta’at dan senantiasa menjauhi larangan-larangannya.
Ya Allah Yaa Rabbi. Jika engkau kembalikan cucuku akan ku tambah ketaatanku padamu Ya Allah. Saya berjanji akan mendidik cucuku agar senantisa taat dan cinta kepadamu. Menaati perintahmu dan menjauhi laranganmu, mencintai rasul-rasulmu. Ya Allah. Bukakanlah pintu maaf bagi hambamu yang durhaka ini Yaa Allah.
Usai mengadu kepada Allah Mbok Nah seperti mendapat ketenangan. Dalam hatinya meyakini jika Qohar mungkin telah pulang terlebih dahulu bersama teman-temannya. Dengan berat hati Ia langkahkan kakinya pulang kembali menuju sawah. Tempatnya menyiangi rumput. Siapa tahu Qohar mencarinya. Begitu pikirnya dalam hati. Dengan berat hati Ia langkahkan kakinya, menuju ke sawah. Baru melangkahkan kaki beberapa langkah Mbok Nah melihat seorang kakek berjubah putih. Tak jauh dari tempatnya berdiri. Awalnya bulu kuduk Mbok ginah merinding melihat seorang berjubah putih tanpa memperlihatkan muka dan hanya terlihat jubah dan punggungnya. Namun setelah terlihat menoleh dan menyiratkan senyum. Rasa takut itu mencair menjadi suasana yang penuh kehangatan. Tanpa sepatah kata terlebih dahulu. Kakek berjubah putih itupun lalu memberi petuah
“pulanglah!”.
Dalam hati Mbok Nah ingin mengutarakan sesuatu hal, namun mulutnya seolah terkunci rapat-rapat. Akhirnya Mbok Nah pulang dengan memendam beribu tanda tanya. Bila mengingat kejadian yang baru saja dialaminya. Seakan Ia tidak percaya. Seperti berada dalam kisaran dunia mimpi. Padahal logikanya Dia tidak perlu takut meski hanya menanyakan sesuatu.
Sampai dirumah Mbok ginah mendapati Qohar telah menenteng sepiring nasi lengkap dengan lauk dan lalapan. Di dalam kamarnya.Dengan nada menggerutu Mbok Nah ngomel dari kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar melepas panas dan gerah.
Mbok Nah mendapati Qohar telah menenteng sepiring nasi lengkap dengan lauk dan lalapan. Di dalam kamarnya.Dengan nada menggerutu Mbok Nah ngomel dari kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar melepas panas dan gerah.
“Masih ingat nasi Haar!”
“Tidak! saya ingat piring.”
“Kenapa tidak sekalian kamu makan saja piringnya biar kenyang.” Timpal Mbok Nah seperti menantang Qohar sambil menahan senyum.
“Iya. Nanti.” Ucapnya enteng sambil cengar-cengir.
“Awas kalau tidak dihabiskan!” Ancam Mbok Nah sambil mengambil ember sekalian hendak mencuci pakaian.
Sehabis mandi dan mencuci pakaian, Mbok Nah memanggil Qohar dengan nada tinggi.
“Qohar! sini kamu!”
Diambilnya sapu lalu dipukulkan ke tubuh Qohar dengan keras. Sebagai sebuah bentuk hukuman demi sebuah kedisiplinan dan kemandirian. Karena sehabis makan Qohar tidak mencuci piringnya.
“Kenapa piringnya tidak kamu cuci?”
“Lupa Mak!.”
“Apa? Ucapkan sekali lagi!” Hardik Mbok Nah setengah emosi. “Kalau kamu sudah bosan sama nenek. Cari saja nenek lain selain Aku, atau pergi saja dari rumah kalau sudah tidak bisa di atur. Maknyak sudah tidak gelo1 lagi kehilangan kamu. Maknyak juga sudah bosan memberimu makan.”
Mbok Nah kali ini lebih tegas dengan setengah emosi demi kedisiplinan dan kemandirian Qohar sendiri.
Tak seperti biasanya setelah pukulan ranting kayu didaratkan padanya. Tak terucap sepatah katapun dari mulut Qohar lalu ia hanya bilang beberapa patah kata.
“Maknyak! Qohar pergi.” Ucapnya datar.
“Kemana?”
“Main.. “
“Ingat! kalau main jangan nakal, jangan suka ngerjain teman dan jangan lupa ingat waktu.” Begitulah pesan itu sering terucap dari bibir perempuan tua berambut perak itu, setiap kali Qohar akan main ke rumah teman, atau disaat-saat akan pergi tanpa dampingan darinya. Tanpa sepengetahuan Mbok Nah. Qohar main ke rumah Toni yang kebetulan Ayah dan Ibunya serta adiknya pergi kondangan, ke rumah teman sejawat di luar desa. Menghadiri acara perkawinan kang Badrun yang terbilang masih kerabat dekatnya. Sedangkan Toni tidak di ajak serta agar jaga rumah. Jarak rumah Toni dengan rumah Qohar tidaklah jauh hanya di batasi tiga bangunan rumah dan beberapa petak kebun pekarangan. Kepada Toni Qohar menuturkan jika dirinya telah mendapat ijin dari Mbok Nah, dengan tujuan supaya di ijinkan untuk tinggal dan menginap semalam. Bak di sodori uang, Toni tak bisa menolak karena dirinyapun memang kesepian dan kebetulan tanpa di komando teman itu hadir dengan sendirinya dengan menawarkan diri.
Sore itu Qohar melakukan aksi nekat, ia tak memberitahukan perihal keberadaannya. Ia pikir Mbok Nah sudah tidak lagi mencarinya. Karena baru saja di marahi. Sebenarnya di dalam hati Qohar berkecamuk antara bilang mengenai keberadaannya atau tidak sama sekali. Sulit untuk membohongi diri sendiri, hatinya terus bergejolak. Mendesak agar berterus terang dan jujur perihal di mana keberadaannya sekarang. Agar tak membuat neneknya gusar dan gundah di liputi tanda tanya. Tapi benih-benih nafsu agaknya terus membiak, menyatu mengalahkan, menguasai akal dan hati nuraninya. Rasa khawatir lambat laun kian tergerus dengan sendirinya, terobati dengan kehangatan bercengkrama, guyonan diantara keduanya.
Kekhawatiran rupanya tak hanya berpihak pada Qohar semata. Melainkan pula pada diri Mbok Nah. Tak biasanya di waktu menjelang maghrib Qohar masih di luar rumah. Biasanya di waktu-waktu seperti itu Qohar sudah mandi dan terlihat rapi. Menunggu saat-saat adzan maghrib. Menjalankan sholat lalu pergi mengaji ke Surau. Tapi sore itu tidak. Setiap kali selesai waktu isya’ sejauh apapun dan di waktu kapanpun Mbok Nah selalu dengan setia dan sabar menunggui, menjemput, lalu menggendong dan membawanya pulang.
Walaupun Mbok Nah telah lanjut usia. Tapi tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap setia menjemput Qohar dari acara mengaji Alqur'an. Karena hanya Qohar satu-satunya pengganti suami dan anak-anaknya untuk tempat berbagi.
Menjelang petang Mbok Nah duduk di teras depan dengan tatapan mata kosong. Dalam hatinya terus bergejolak, bertanya-tanya. Lalu kembali mencoba mengingat perkataannya tempo hari. Mungkinkah perkataannya sanggup membuat hati Qohar yang masih bening sebening embun di pagi hari itu terluka?
Kembali Mbok Nah merenungi nasib dan perjalanan hidup cucu satu-satunya itu. Sejak kecil Qohar tumbuh dan berkembang tanpa dampingan Ayah dan Ibunya, hanya dirinya satu-satunya orang yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Dengan berbagai keluh kesah yang ada. Walau bagaimanapun belaian kasih sayang darinya akan tetap di harapkan. Terlebih selama bertahun-tahun Qohar seperti sebatang kaktus, sendiri di tengah-tengah gurun pasir. Mbok Nah yang seorang diri tak seutuhnya mampu mengobati kegersangan seorang Qohar. Cucu satu-satunya. Namun ia akan tetap berusaha mencurahkan segenap kasih sayangnya ⌐ Adzan maghrib telah berkumandang, kekhawatiran Mbok Nah mengenai keberadaan Qohar semakin menjadi-jadi. Perasaan takut mulai menghinggapi pikiran Mbok Nah, gerah karena terlalu lama menanti. Mbok Nah dengan cekatan mulai menanyai para tetangga satu persatu. Perihal Qohar yang belum juga pulang. Namun tidak juga ia dapati jawaban pasti mengenai keberadaan dan keadaan Qohar..
“Nyari siapa Mbok ?” Tanya kartinah, tetangga sebelah yang hendak pergi ke Surau menunaikan Ibadah sholat maghrib.
“Nyari cucuku. Gini hari kok belum juga pulang. Apa Mbok Karti tau di mana cucuku?.”
“Aku tidak tahu Mbok. Aku baru saja pulang dari rumah mertua.” Jawab Mbok Karti.
“Kalau lihat Qohar tolong suruh pulang ya Karti?” Pinta Mbok Nah memelas.
“Ya Mbok!.”
“Kok maghrib-maghrib baru nyari Mbok? Nggak tadi sore.” Sergah Mbok Mini seakan menyalahkan Mbok Nah. Yang juga hendak ke Surau bersama Kartinah.
Saya kira ya akan pulang dengan sendirinya, seperti biasanya. Setelah tak tunggu sampai lingsir wengi1 masih juga tidak ada pulang. Bikin pegal hatiku saja.”
Dengan tergopoh-gopoh Mbok Nah pergi ke rumah pak RT. Meminta pertolongan perihal cucunya yang masih belum juga pulang. Belum sampai ke rumah pak RT, hujan sudah mulai turun, setelah sebelumnya langit mendung memayungi seluruh perkampungan. Pencarianpun urung di lanjutkan. Mbok Nah malam itu mengakhiri pencarian. karena sepertinya hujan akan turun lebat dengan ditandai datangnya angin kencang, dan suara gemuruh gledek di sertai petir yang terus menyambar.
Dengan wajah lesu, Mbok Nah pulang, diliputi kekecewaan. Rasa dongkol, khawatir, cemas bercampur menjadi satu seperti bubur ayam. Malam itu Mbok Nah mengambil air wudlu lalu melaksanakan sholat-sholat sunnah. Duduk bersimpuh mohon ampun kepada Allah. Selesai mengadu kepada Allah. Terpikir olehnya jujugan saudaranya satu persatu. Ipar, sepupu, sampai kemenakan. Rencananya nanti pagi sekalian silaturrakhim ia akan mendatangi satu-persatu sanak saudaranya. Mencari tahu di mana keberadaan Qohar. Siapa tahu jika Qohar menginap di rumah salah satu saudara terdekatnya. Sehabis mengadu pada Rabbnya. Mbok Nah pergi ke dapur untuk makan malam. Namun malam itu sesuap nasipun tak bisa tertelan. Pikirannya terus teringat cucu satu-satunya.Tak ada nafsu makan, tak ada gairah hidup, tak ada keceriaan dan tak ada cerita-ceritaan di malam itu.
Di tengah malam kedua orang tua Toni pulang dari kondangan. Tiga kali mengucap salam Toni baru terbangun. Karena tertidur pulas sehabis guyonan semalaman dengan Qohar. Sebenarnya Qohar sewaktu ayahnya toni mengucapkan salam yang pertama, telah terdengar di telinga Qohar. Karena terkadang di tengah malam Ia di bangunkan neneknya untuk sekedar di ajak sholat tahajjud. Namun malam itu Qohar tak berani membuka pintu. Menunggu sambil mencubiti kaki Toni agar secepatnya terbangun. Toni lalu terbangun dan membukakan pintu. “Kok lama sekali?” Tanya ayahnya pada Toni.
“Cari gemboknya dulu pak.” Jawabnya beralasan.
“Lho Qohar kok di sini. Apa nggak di cari Mbok Nah, nantinya?” Tanya ibunya pada Qohar. “Nggak kok budhe.” Jawab Qohar membela diri.
“Yo wis. Ini berkatnya di makan!. Temanmu di beri. Di dalam ada bolunya sama pisang.¥ perintahnya pada Toni.
Selesai makan Qohar memohon diri.
“Saya pulang dulu ya Pakdhe?¥ Pintanya dengan polos.
“Jangan! sudah tengah malam. Tidur di sini saja sama Toni. Nanti pagi saja pulangnya. Di luar masih gerimis.” Ayah Toni melarangnya pulang. Rencana pulang pun urung di lakukannya. Malam itu Qohar tidur di rumah Toni.
Shubuh menjelang terdengar kokok ayam bersaut-sautan dari rumah ke rumah lalu terdengar irama yang indah. Menjadi suatu pertanda akan datangnya fajar. Mengulang siklus. Matahari kembali mempercikkan sinar merahnya di ufuk timur. Awan Menumpuk membentuk sebuah formasi, memperlihatkan keindahannya. Memamerkan sayap-sayap keagungan Tuhan. Lalu menjelma menjadi awan putih dan terciptalah pagi. Usai bangun tidur Qohar segera pamit pulang. Tanpa mencuci muka terlebih dahulu meski waktu itu masih terasa terlalu pagi.
Di rumah, Mbok Nah sendirian menata buah pisang. Rencananya akan di bawa sebagai buah tangan untuk saudaranya, kang Imran. Sambil sekalian di mintai tolong agar di caritahukan keberadaan Qohar, cucu satu-satunya. Belum kelar menata pisang. Terdengar suara ketukan pintu. Lalu tak lama kemudian di iringi salam.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum salam..”
Di bukanya pintu dengan perlahan dan Ketika pintu telah terbuka, perasaan Mbok Nah sulit untuk di gambarkan, campur aduk menjadi satu. kaget, Senang, marah ,geram, sebel, menjadi satu.
Kamu too..! tak kira siapa. Dari mana saja kamu? Masih ingat rumah segala! Di cari orang tua sampe bludreg1 kok nggak mikir. Kamu kira maknyak nggak nyari kamu. Jangan ulangi lagi yaa?” Kata Mbok Nah nerocos.
Tanpa sepatah kata Qohar berjalan pelan menuju kamarnya. Memperhatikan kura-kuranya yang terlihat lesu. Seakan-akan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sambil terus mengomeli Qohar, Mbok Nah mengikutinya dari belakang. Seraya memerintah Qohar seolah-olah sebagai sebuah ganjaran baginya.
“Dari tadi sore Maknyak nggak ngeliwet2. Gara-gara memikirkan kamu. Sekarang kamu kupas rebungnya. Juga sekalian kangkungnya di potong-potong!. Maknyak mau belanja dulu ke warung. Membeli keperluan dapur dulu.”
Sambil berbelanja ia mampir kerumah tetangga. Satu persatu di hampirinya. Sekedar memberitahukan perihal Qohar yang baru saja pulang. Pagi itu hatinya lega, karena orang yang telah di carinya telah kembali. Namun di depan Qohar, kegembiraan itu senantiasa di rahasiakan. Demi menjaga gengsi pada Qohar yang telah membuatnya gerah.
Beberapa hari kemudian Pak Amin bersama A kwan Asisten pribadi Pak Yusuf Chen Lau serta Supardi seorang sopir datang memenuhi janjinya, menyambangi rumah Mbok Nah untuk melunasi pembayaran tanah kavling dan mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat perijinan lainnya ke Kelurahan.
Pagi itu di rumah Mbok Nah telah berkumpul dua orang, Bu Marni dan Ambar putri sulung pak sarwo. Pak sarwo berhalangan hadir karena pergi mengantar bu Sarwo ke puskesmas. Kebetulan pagi itu Bu Lela sedang main di rumah Mbok Nah sehingga menambah kehangatan suasana. Seperti biasa, apabila si biang gosip itu sedang tidak ada kerjaan. Kerapkali yang dilakukan adalah pergi kerumah tetangga lalu membicarakan keborokan orang yang sedang menjadi buah bibir. Mengurai benang kusut mulai dari A sampai Z. Biasanya si biang gosip itu kalau sudah keenakan ngerumpi bisa sampai berjam-jam. Itulah kebiasaan orang kampung, yang konon baru bisa di sebut sebagai orang kampung tulen apabila bisa ngerumpi hingga berjam-jam. Orang kampung dengan kesehariannya yang lebih banyak di habiskan untuk bersantai. Wajar, mengingat orang-orang kampung pada umumnya hanya mengenal dua musim, musim tanam dan musim panen, di perlukan waktu beberapa bulan untuk mengulang siklus musiman itu. Pak Amin dan A Kwan pagi itu datang dengan mengendarai mobil mercy. Pak Amin yang berperawakan sedang, rambutnya lurus, membawa beberapa berkas. Gerak-geriknya mantap, serupa dengan model papan atas sekalipun. Disampingnya A Kwan yang tambun, berkepala botak dan berkaca mata hitam, menenteng sebuah laptop, wajahnya menyiratkan keseriusan tingkat tinggi. Mungkin karena saking seriusnya yang totally itu, Ia seperti kehabisan otak untuk berfikir, sehingga menjadi botak. Dua orang itu masuk ke rumah Mbok Nah. Merekapun berembug.
Keuangan Yang Maha Kuasa
Cari-cari uang
Pikir-pikir uang
Sana-sini uang
Ini jaman uang
Selalu menjadi rebutan
Selalu menjadi pikiran
Tapi jangan karena uang
Menghalalkan segala cara
Walau zaman sekarang semuanya uang
Jatuh cinta bisa karena uang
Yang pendek tampak jangkung
Yang pesek jadi mancung
Itu semua karena uang
Jangan heran kalau ada pasangan
Yang satu dua lima
Satunya lima dua
Bisa jadi karena uang
Mina jadi mince
Yanto jadi yanti
Juga karena uang..
Kesepakatan hitam di atas putih diantara ketiga belah pihak telah di buat. Semua berkas surat-surat penting dan kartu pajak telah terkumpul. Semua telah clear. Tinggal mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat perijinan lainnya ke kelurahan.
"Bagaimana proses selanjutnya?. Apa sudah bisa di bukukan?" Tanya Pak Amin sambil tangan kanannya menyingkap lengan baju, lalu memelototi jam tangan di pergelangan tangan kirinya, sembari mengerutkan dahi, seperti para pebisnis lainnnya, yang sangat menghormati arti sebuah waktu.
"Biasanya kalau berkas-berkas sudah lengkap lalu dilakukan serah terima dahulu di kelurahan atau dirumah Pak Lurah, baru kemudian di bukukan. Atau bisa juga di rumah Pak Carik" kata Bu Marni menjelaskan.
"Sutiyem kemarin sore ngomong, katanya sekarang ada peraturan baru. Serah terima harus di rumah Pak Carik sekaligus langsung bisa di bukukan. Sekalian bawa saksi-saksi" Sahut Ambar, seorang ibu muda beranak satu, anak sulung pak sarwo, tak mau kalah.
"Berapa kira-kira saksi yang di perlukan?" Tanya Pak Amin.
"Tidak banyak Pak, biasanya ya dari pihak pembeli dua orang, dan pihak penjual juga dua orang, itu saja sudah cukup." Sahut Bu Lela
"Ya sudah! kalau begitu, kita bisa ke rumah Pak Carik sekarang?" Pungkas pak Amin
"Ya Pak. Biar semua cepat kelar". Ucap Bu Marni sambil mengangguk setuju.
“Aku ikut apa tidak?" Tanya Mbok Nah sembari membawa beberapa tandan pisang rebus dari dapur, lalu menyuguhkannya di atas meja.
"Yo ikut too. Nanti jadi saksinya sama saya" Gerutu Bu lela.
“Lha Cucuku bagaimana?. Ujar Mbok Nah, seakan ingin mengikut sertakan cucunya dalam rombongn itu.
"Lha wong biasane yo ditinggal ke pematang kok". Sahut Bu Lela cepat dan keras.
"Ikut juga tak apa, tak ada yang ngelarang kok!" Ujar Ambar cuek.
Merekapun berangkat menuju kerumah Pak Carik dengan mengendarai mobil mercy yang di kemudikan Pak Amin. Di dalam mobil meski jalanan terjal dan berliku mereka tak bisa menyembunyikan kegembiraannya, karena seumur-umur mereka belum pernah menaiki mobil semewah itu. Toh, kalaupun pernah, sepuluh tahun sekali belum tentu kenangan manis itu terulang. Sehingga wajar bila Mbok Nah tak tega melihat Qohar sendirian di rumah, sementara dirinya pergi menikmati ladzatnya dunia dengan menaiki mobil mercy.
"Kalo kayak gini setiap hari yo enak to?" Ucap Bu Lela memecah keheningan.
“Ikut Pak Amin saja, biar nanti bisa naik mobil setiap hari" Ujar Ambar.
"Trus mangan opo kalo ndak kerjo, mosok ngintil wae?" Potong Mbok Nah. Sementara pak Amin, pak A kwan dan pak Supardi hanya bisa cengar-cengir menyaksikan ulah dan celoteh para ibu-ibu itu meski tak memahami betul bahasa dan maksudnya.
"Yo mangan kacane tah mangan joke wae" Ucap Bu Marni yang sejak tadi cuek saja.
"Ngawur!" Timpal Bu Lela.
"Walah sampeyan iku lho, kelihatan ndeso" Ejek Ambar pada Bu Lela.
"Pancen aku wong ndeso, Apa kamu kelihatan orang kota?" Jawab Bu Lela membela diri sembari berseloroh.
"Aku sih bukan orang kota. Tapi walaupun bukan orang kota, tapi aku kan kotangan" Ambar membela diri.
"kotangan kok di bilangin ke orang-orang. Dassar ndesoooo." Ejek Bu Lela pada Ambar, tidak mau kalah.
"Lha kamu malah katro, pake sendal kok kebalik.” Kata Ambar berkelit.
"Yo wis ben." Balasnya cuek.
"Pancen nyaman yo naik mobil alus, adem lagi". kata Mbok Nah kepada Bu Lela, memecah kebekuan.
"Memang nyaman." Sahut Bu Lela.
"Bukan nyaman, tapi nyuaman!" Ujar Ambar dengan mantap.
Tanpa terasa Mbok Nah dan rombongan sampai di rumah Pak Carik. Mobil mercy itu hanya boleh diparkir di pintu gerbang. Oleh tukang kebun, tak di ijinkan mobil masuk ke dalam. Karena masih dalam tahap pembangunan. Di dalam gerbang ada empat orang pekerja yang tengah mengerjakan pemasangan paving. Halaman rumahnya yang begitu luas, dipenuhi dengan kandang dan kerangkeng berjeruji besi, berisi burung-burung langka dan binatang-binatang aneh. Sekawanan kera yang menghuni kerangkeng besi tampak kepanasan. Burung-burung dan hewan langka lainnya terlihat mondar-mandir seperti tengah kelaparan. Sekumpulan tupai bersama kancil dijadikan satu kandang berukuran dua kali dua meter, tampak sayu berkerumun di bawah tumpukan rumput kering dan kulit pisang. Seperti tidak ada rasa peduli lagi, jika keduanya itu dari spesies yang berbeda. sandiwara nyata tersebut menyiratkan sebuah gambaran, di hari akhir nanti. Diantara manusia satu sama lain tak lagi mengenal. Tinggallah satu misi yang paling utama. Menyelamatkan diri sendiri dari adzab dan siksa yang pedih namun semuanya telah menjadi bubur, tak ada yang bisa di perbuat selain sebuah penyesalan yang abadi. Beberapa ekor penyu spesies langka dan biawak, tampak bolak-balik nyemplung ke dasar air yang dangkal. Tak ada langit-langit sejengkalpun yang menaunginya. Di halaman yang sangat luas untuk ukuran taman pada umumnya itu, hanya di isi dua buah pohon cemara berukuran sedang. Dua tanaman itupun seperti meranggas karena kekurangan nutrisi atau mungkin unsur haranya telah berkurang. Miris menyaksikan mahluk-mahluk Tuhan yang tidak berakal itu dalam mengisi kehidupannya. Merana diantara nafsu keserakahan dan kepongahan manusia. Kondisi yang sangat memprihatinkan, serta jauh dari kesan teduh dan nyaman.
"Silahkan masuk!". Sapa seorang wanita tua yang juga hendak masuk kerumah, sambil menenteng sekeranjang barang belanja.
Begitu memasuki rumah pak Carik mereka tertahan di teras depan. Menunggu tuan rumah mempersilahkan masuk terlebih dahulu. Cukup lama berdiri, kemudian muncul dari balik pintu, seorang perempuan muda yang tengah mengandung. Seperti yang di ketahui, dari kabar yang beredar selama ini di masyarakat. Pak Carik telah menghamili seorang janda muda beranak satu. Sedang Pak Carik sendiri telah berkeluarga dan telah dikaruniai tiga orang anak, ketiganya telah beranjak dewasa. Perempuan yang tengah mengandung itu menjadi misteri dengan statusnya yang masih belum jelas. Menambah pekerjaan orang-orang kampung untuk terus bergunjing serta menempatkan objeknya sebagai artis ndeso.
"Eeee ada tamu. Monggo silahkan duduk." Ucap perempuan muda yang tengah hamil itu berbasa-basi.
"Ada perlu sama Pak Carik?".
"Ya neng". Jawab Bu Lela.
" Bapak masih di kebun, tadi pagi bawa bibit mahoni dari kelurahan kemarin. Sayang kalau nggak di tanam. Mungkin Bapak sebentar lagi datang. Saya istri barunya tidak tau apa-apa, hanya disuruh jaga rumah". Akunya. Sebuah pengakuan yang mampu sejukkan keadaan. Mengunci rapat-rapat sebuah tanda tanya, yang terkadang mengusik sebuah ketenangan. Menyapih akan fitnah dan memutus tali prasangka.
Hanya beberapa menit kemudian keluar hidangan. Senampan teh hangat dan beberapa cemilan dalam toples. Pak Carik belum juga datang, Ada lagi seorang tamu, perempuan tengah baya, tukang jahit pesanan. Menenteng dua buah pakaian. Mencari Bu Carik.
"Bu Cariknya ada? " Tanyanya pada perempuan yang tengah hamil itu.
"Lagi pergi ke rumah saudara perempuannya. Katanya lagi ada acara mitoni.”ujarnya menjelaskan.
"Ya sudah. Ini tolong nanti berikan sama Bu Carik, terus bilang. Uangnya sudah pas, Itu saja. Aku pamit dulu!"..
"Ya, terimakasih!."
"sama-sama."
Tak seberapa lama Pak Carik pulang dengan mengendarai colt bersama seorang anak laki-laki.
"Walah ada tamu rupanya. Tunggu sebentar ya?." Pintanya sambil bersalaman.
" Aku tak salin dulu habis nganter bibit mahoni, masih belepotan. Silahkan di minum dulu tehnya." Pak carik masuk ke dalam rumah lalu kemudian keluar menemui para tamu.
Belum sempat Mbok Nah mengutarakan maksud kedatangan rombongannya. Datang lagi dua orang, sepasang suami istri. Tanpa basa-basi. Mereka mempertanyakan kejelasan status tanah mereka yang baru di belinya setahun yang lalu. Hingga kini belum juga di bukukan. Sementara kartu pajaknya masih mengatasnamakan pihak penjual. Dengan santainya Pak Carik mampu meredam keadaan. Di suruhnya tamu itu menunggu proses dua bulan lagi. karena dua bulan lagi akan ada pengukuran massal dan pembukuan tanah. Pak Carik lalu menawarkan dua pilihan. Pertama menunggu dua bulan dengan biaya standar atau dalam minggu ini. Tetapi dengan biaya yang lumayan tinggi karena diluar ketentuan, dengan alasan uang tambahan itu untuk biaya warawiri ke kecamatan lalu ke kabupaten.
Karena tak ingin terlalu lama menunggu tanpa suatu kepastian. Sepasang suami istri itu memilih pilihan yang kedua. Memang, sepertinya tak ada manusia di dunia ini yang menginginkan suatu urusan atau permasalahan yang tak berujung, kecuali manusia yang bodoh. Permasalahan berlarut-larut dalam dimensi waktu yang tak berkesudahan.
Dari pada harus menanti sesuatu yang tidak pasti dan tak ingin menunggu proses terlalu lama seperti yang sudah-sudah. Kepada Mbok Nah, Bu Marni, dan Ambar Pak Amin mengutarakan keinginannya, mengurus kepemilikan tanah dengan cara yang secepatnya. Seperti halnya dua orang itu meski dengan cara mengeluarkan biaya yang berlipat. Mulanya Bu Marni menentang dan tidak menyetujui tatacara yang di tempuh pak Amin tetapi setelah di jelaskan ihwal keseluruhan pembiayaan di luar perhitungan semula akan di tanggung pihak pembeli bukan dari kedua belah pihak, maka kemudian Bu Marni pun menyetujuinya. Sementara Mbok Nah sebagai orang tua yang kurang tau duduk perkaranya hanya bisa mengiyakan. Meski hatinya nggerundel, batinnya berkecamuk. Ingin rasanya protes, mempertanyakan tata cara yang terkesan di persulit, tetapi apa boleh buat. Orang kecil macam Mbok Nah tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hal ini pak Amin bahkan berani membayar lebih, jikalau memang prosesnya bisa di percepat dan urusanpun cepat kelar.
Setelah urusan pak Carik dengan suami istri itu selesai pak Amin kemudian langsung menemui pak Carik di ruang tengah, entah apa yang di bicarakan. Kedua orang itu hanya berbicara empat mata dan langsung di capai sebuah kesepakatan. Keduanya lalu keluar ke ruang tamu dan menandatangani sebuah kwitansi lengkap dengan sebuah materai. yang terakhir, pak Amin menandatangani akad jual beli bersama Bu Marni dan Ambar disaksikan kedua belah pihak. lalu pak carik meminta kerelaan saksi kedua belah pihak untuk memberikan tanda tangan atau cap jempol. Dari pihak penjual ada Bu Lela dan Mbok Nah yang bertindak sebagai saksi, sedangkan dari pihak pembeli pak A kwan dan pak Supardi. Di luar perjanjian tanpa sepengetahuan pihak penjual, pak Carik meminta uang tambahan kepada pak Amin tanpa rasa canggung. Dengan enteng pak Amin menambahkan lagi segepok uang dan hasilnya di capai sebuah kesepakatan yang fantastis. Apabila orang-orang biasa menunggu proses hingga dua tahun, bahkan lebih. Pak Amin di janjikan hanya butuh waktu selama dua minggu.
Selama berabad-abad bangsa Indonesia pernah di jajah. Dan kini telah merdeka, walau hanya formalitas belaka. Kemerdekaan itu bagi orang-orang pinggiran, kaum marjinal masih sebatas hanya dalam kisaran dunia mimpi. Bangsa ini tak akan lekang oleh penjajahan, penjajahan oleh sebangsanya sendiri. Para penjajah merancang undang-undang yang sekiranya bisa di langgarnya. Satu bentuk penjajahan yang mengusik ketenangan Mbok Nah adalah adanya peraturan yang di kotak-kotakkan, Sengaja dibuat rumit oleh pihak pemerintah Desa, mengurus suatu permasalahan bisa dengan jalur cepat bagi orang-orang berduit dan jalur lambat bagi orang-orang yang tidak mampu. Serta proseduralnya yang di persulit. Semua itu bisa di permudah. Tapi entah kenapa semua urusan yang bernilai sepele itu di buat sulit dan sengaja menyulapnya menjadi mesin rupiah. Meski telah renta di makan usia, Mbok Nah tak habis semangat juangnya untuk terus mengkritisi, meski hanya di dalam bathin. Muncul benih-benih perjuangan untuk menguak ketidak adilan. Ghirah itu semakin berkobar di dadanya, ia tak tau harus bagaimana, tetapi ia tak habis akal, Ia akan terus berusaha mencari jalan keluar meski itu jalan konyol sekalipun. Di benaknya bergelayut pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin bertambah heran, mengapa orang-orang yang mengaku mendedikasikan dirinya sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat Desa, justru bermain topeng dan mempermainkan jati dirinya?. Untuk apa semua itu?. Tak bisakah mereka hargai jasa orang-orang terdahulu di dalam merebut kemerdekaan. Mereka relakan jasadnya menjadi korban keganasan perang. Harus membayar dengan bentangan jutaan mayat, merelakan ceceran darah di sepanjang jalan sebagai tumbal kemerdekaan. Dalam kemelut galau di hatinya, Mbok Nah pergi ke rumah Mbok Karmini, adik dari suaminya, kang karta. Ia mencari keponakannya, Mansur. Setahun lalu Mansur telah merampungkan studynya. Anak bungsu dari Mbok Karmini itu kini melanjutkan sekolahnya di TBS Klarongan dengan beasiswa penuh dari pemerintah.
"Mini....?" Panggilnya dengan suara keibuan.
"Ya Mbakyu. Ada apa?" Tanya Mbok karmini sambil membawa pakaian satu ember penuh ke sungai untuk keperluan mencuci pakaian.
"Nyari Mansur" Jawab Mbok Nah. "Dimana dia sekarang?" Sambungnya
"Lagi ngirim Pakne ke sawah."
"Nanti suruh ke rumahku ya?" pesannya
"Ada apa?" Tanya Mbok Karmini setengah penasaran.
"Ada kejutan dan makan enak." Ujarnya sambil guyon.
"Tenane? yo wis nanti tak suruh ke rumahmu." Timpal Mbok Karmini dengan gurauan.
Tak lama kemudian, Mansur datang menyambangi rumah Mbok Nah. Di teras hanya ada Qohar yang tengah asyik bermain dengan kura-kuranya di sebuah balok kayu.
"Qohar! simbahmu di mana?."
"Di dapur lagi masak." Tanpa di perintah, kemudian Qohar segera berlari menuju dapur.
"Mak! ada paklek Mansur!."
"Ya. Suruh masuk. Aku tak cuci tangan dulu."
"Di kesempatan yang sempit, di saat Qohar pergi ke dapur. Mansur dengan cekatan mengerjainya. Di ambilnya kura-kura dan memasukkannya ke dalam kantong celananya.
"Silahkan masuk paklek!" Lalu Qohar kembali ke teras. Kaget. Kura-kuranya tak ada di dalam ember. Di longoknya setiap sudut kayu bakar di samping rumah, di bawah kursi. Tak juga di dapatinya. Wajah Qohar terlihat semakin memerah, dan tak dapat di sembunyikan lagi. Ia bingung harus mencari kemana.Segala arah dan tempat telah di perhatikan dengan seksama. Namun tak juga di temukan kura-kura kesayangannya. Kura-kuraku kemana?. pikirnya dalam hati. Lalu menanyakan pada pakleknya.
"Paklek tau, dimana kura-kuraku ?." Tanyanya berselidik.
"Kau tanya Aku. Aku tanya siapa?" Timpal Mansur balik bertanya.
"Maknyak. Kura-kuraku hilang, Tolong carikan maknyak." Teriaknya dengan suara parau, lalu ke dapur menyimpan balok kayu.
Mbok Nah lalu keluar rumah. Tanpa sepengetahuan Qohar, Mansur memperlihatkan kura-kura dan memberikannya pada Mbok Nah. Kemudian dengan santainya Mbok Nah menyuruh Qohar mengambilkan sesuatu.
"Paklek ambilkan pisang dulu di dapur, sama kolak nangkanya. Biar kura-kuranya Maknyak yang cari." Hiburnya dengan santai.
Dengan cekatan Qohar mengambilkan suguhan buat Paklek Mansur. Lalu segera menghampiri Mbok Nah yang telah terlebih dulu bermain dengan kura-kuranya. di atas dipan di teras depan.
"Lho kok bisa ketemu Mak?" Tanyanya dengan nada heran.
"Masa nggak bisa!" Ujarnya.
"Masa bisa ketemu, wong tadinya tak cari-cari tak ada." Kilahnya.
"Lha wong kenyataannya bisa!. Di bilangin kok ngeyel. Sudah! sana main lagi. Aku tak sinau sama Mansur. Jangan ganggu Maknyak!" Suruhnya dengan nada gurauan.
Mbok Nah ke ruang tamu menemui keponakannya, dan menyodorkan dua lembar kertas dan ballpoint pada Mansur. Ia perintahkan Mansur untuk menulis dan Mbok Nah sendiri yang mendikte.
"Untuk apa Bu Dhe?"
"Di gawe pepeleng!"
"Pepeleng nopo?"
"Poko'e ono gunane."
Jawaban itu seperti mematikan sebuah pertanyaan. dan seakan tak ingin di ketahui perihal maksud dan tujuan Mbok Nah menyuruh menuliskannya, meski itu oleh sekretarisnya sendiri, Mansur. Mansurpun tak lagi melontarkan pertanyaan.
Mbok Nah mulai mendikte. Manungso sing becik iku gampangan lan amrih nggampangake perkoro. Ora seneng gawe mungkar lan olo. Wong sing gawe angele perkoro iku ora bedo karo njajah sedulure dewe. Luwih tega tinimbang perilakune kewan sing buas. Manungso iku kudu ono bedo karo kewan. Opo ora kepikiran? mbiyen tanah iki di jajah pirang-pirang tahun.ngente'ake korban ora itungan. Wong tuo-tuo mbiyen berjuang ngelawan penjajah, kanti tujuan kepingin urip merdeko lan mulyo. Saiki wes merdeko, tapi malah sedulure tego jajah sedulure dewe. Urip koyo ora ono aturan. Tinda'e sewenang-wenang koyo kewan. Ilingo kabeh! kowe poro perangkat deso. Ora nganti sak abad nyawamu kumantil. Kowe kabeh bakal mati. Mbaur karo lemah. Tulisan itu selesai ditulis, dan Mansurpun pulang tanpa di hujam rasa penasaran. Sama sekali Ia tidak memahami maksud dan tujuan Mbok Nah mendiktekan tulisan semacam itu. Siang itu meski terik matahari tepat di atas ubun-ubun. Tak menyurutkan niat Mbok Nah untuk pergi ke kelurahan, Sekedar menempelkan selembar kertas di papan pengumuman Bale Desa. Perjalanan dari rumah ke Bale Desa cukup jauh, berjarak enam kilo meter. Butuh waktu hingga dua jam perjalanan pulang pergi. Qohar siang itu tengah asik bermain dengan kura-kura, tak terlalu merisaukan kepergian neneknya. Qohar mengira neneknya pergi ke sawah seperti biasanya. Sementara di sebuah sudut pintu, seekor laba-laba jantan sedang berkorban nyawa dan jasad, merelakan tubuhnya di jadikan santapan laba-laba betina. Sekujur tubuh laba-laba jantan di penuhi lilitan jaring yang keluar dari air liur laba-laba betina lalu seakan-akan seluruh energi dan asupan gizi yang terdapat pada jasad sang jantan di sedot habis, hukum alam mengajarkan sebuah pengorbanan yang maha agung demi kelestarian jenis. Tak lama setelah itu laba-laba betina akan bunting. Tak jauh dari jaring laba-laba. Di bawah dipan seekor kucing jantan tengah mengawasi gerak-gerik seekor kucing betina yang tengah menggigit seekor anak kucing yang baru saja di lahirkan. Induk kucing itu memindahkan anak-anaknya ke tempat yang lebih aman. Induk kucing menghawatirkan jika sewaktu-waktu tanpa sepengetahuannya kucing jantan akan menerkam anakannya terutama apabila terlahir seekor anak kucing berkelamin jantan. Waktu berlalu terasa seperti kilatan petir. Bumi langit dan seisinya berdzikr kepada sang khalik tanpa jengah sementara manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya. Siang berganti malam dan seterusnya. Hingga sandiwara ini usai. Para penghuni di dalamnya kian terlena, meski bukti kekuasannya kian kentara terasa. Seakan pupus semua tabir yang ada. Tinggallah bukti nyata yang selalu hadir di tengah-tengah kebimbangan. Namun terkadang, itu semua datang tanpa disadari dan di tafakuri. Bukti-bukti yang semakin terlihat jelas itu justru melengahkan manusia dari fungsi utamanya, merefleksikan bentuk terimakasih kepada yang kuasa dengan bersujud barang beberapa menit.
Esok harinya pak RT datang ke rumah menemui Mbok Nah. Ia menyodorkan sepucuk surat berisi pemanggilan dirinya dari kelurahan. Dengan diringi pertanyaan sengit dari Pak RT.
"Mbok! Sampeyan wingi ke kelurahan iku ngopo?kok kabare jare gawe ele'e Deso. Wes tuo mbok yao ngilingi tuane. Di akeh-akehno olehe ngaji. Ora soyo di tambah ngajine, kok malah ele'e seng soyo ndadi.Ngisin-ngisini kampunge dewe." Kata-kata kasar itu mampu memancing kemarahan seorang perempuan berambut perak itu. iapun membalasnya dengan kata-kata sengit pula.
"Opo Aku wingi wudo ning tengah ndalan?, kok ngisin-ngisini!."
"Ambuh pikiren dewe!" Jawab pak RT tak kalah kecut. Mampu menyentakkan dada perempuan tua itu.
"Oooo sontoloyo!" Balasnya dengan kedongkolan. Sementara pak RT diam tidak menanggapi lalu ngeloyor pergi dengan tersenyum sinis meninggalkan perempuan tua itu.
Selama ini perempuan tua itu merasa apa yang telah di lakukannya adalah haq. Sekedar ingin mengingatkan para perangkat Desa. Bahwa kedzaliman sebenarnya tidaklah pantas sebagai pakaian manusia. Tak tau pasti untuk apa dirinya di undang ke Balai Desa, Pak RT hanya menyodorkan sepucuk surat undangan, tanpa memberi tahu lebih jelas, ihwal undangan itu berisi apa. Dari wajahnya hanya terlihat semburat wajah sinis dan kecut. Pak RT hanya berkelakar dan menyuruhnya ke Kelurahan besok pagi. Tak ingin di cap sebagai Warga Negara yang membangkang atau mungkin penghiahat Bangsa. Ia penuhi undangan ke Kelurahan. Tak ada yang di risaukan, tak ada sesuatu hal yang ganjil atau firasat apapun. Tapi pagi itu Qohar seperti tidak merelakan kepergian neneknya ke Kelurahan. Dari kedua bola matanya, menetes perlahan bulir-bulir air mata. Seakan bocah kecil itu tau, apa yang akan terjadi nanti. Seketika itu juga Qohar meratap, menangis meminta agar dirinya di ijinkan ikut ke Kelurahan. Dengan berat hati Neneknya mengijinkan Qohar ikut ke Kelurahan. Di sepanjang jalan Ia ceritakan tentang kepahlawanan seorang wanita, Ratu Kalinyamat. Bagi anak muda, jarak enam kilo meter tidaklah terlalu jauh untuk di tempuh. Tapi bagi seorang nenek renta, yang telah berusia kepala tujuh, jarak enam kilo meter itu terasa berlipat-lipat jauhnya. Apalagi jalanan berliku dan naik turun. Dua kilo meter jalanan telah di tempuh perempuan tua itu sudah mulai letih. Keringat-keringatnya yang seukuran biji jagung mulai menampakkan diri. Separuh baju di punggungnya mulai basah oleh biang keringat. Tapi Qohar masih menikmati perjalanan. Di sa'at rasa letih kian menyerang ada sebuah bangku kayu di pinggir jalan, tempat nongkrong anak-anak muda, kosong tak berpenghuni, Suatu kebetulan. Lumayan, Mbok Nah dan Qohar bisa istirahat sebentar, Duduk selonjor diatas bangku lalu mengeluarkan sebotol minuman dari balik selendangnya.
"Alhamdulillah segar nian." Ucapnya dengan menghela nafas panjang-panjang. "kamu tidak minum?." Tanyanya kemudian.
“nggak Mak!". Jawabnya dengan menggelengkan kepala.
Kembali perjalanan di lanjutkan. Belum sampai setengah perjalanan pikirannya mulai di hantui rasa khawatir. Ia renungkan. Kenapa dirinya di panggil ke kelurahan? mungkinkah perbuatan kemarin itu adalah suatu kesalahan terberat yang di buatnya? sehingga pihak kelurahan mengutus pak RT untuk melayangkan sebuah surat panggilan bagi dirinya?. apa yang akan terjadi nanti?. Akankah orang-orang lingkaran Kelurahan tega menganiaya dan mendzalimi seorang perempuan yang telah renta nan lemah seperti dirinya? Apapun yang akan terjadi perempuan berambut perak itu tak gentar untuk menghadapinya. Sementara sejauh mata memandang, tak jauh dari tempatnya berdiri di ujung pematang tak jauh dari perkebunan tebu, seekor anjing tengah menenteng seekor musang hasil buruannya. Torehan takdir nanti dari yang kuasa tak ada seorangpun yang tahu. Hanya pasrah kepada tuhan yang bisa Ia lakukan.
Yaa Allah ya Tuhanku. Mati hidupku adalah hak Mu. Apa yang akan terjadi nanti semoga Aku bisa terima. Aku pasrah!. Pintanya dalam hati.Tak seperti apa yang ia kirakan. Di depan balai Desa telah berjajar puluhan sepeda motor, sepeda pedal hanya terhitung dengan hitungan jari. Rupanya seluruh ketua RT/RW dan semua perangkat desa juga di undang, mereka telah hadir menunggu kedatangannya. Memasuki halaman Balai Desa, tanpa sepatah katapun basa-basi yang mereka ucapkan. Sekali, sapaan itu terdengar serasa menyayat hati, dan menggores leher.
"Jadi ini rupanya, orang yang telah mempermalukan Desa kita.". ucap pak Carik, nerocos begitu saja.
"Dulu aku di ajari falsafah hidup darinya. Tapi setelah tau sifat aslinya, Aku sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata maupun petuahnya." Celetuk pak Edi, yang tengah menjabat sebagai Modin Desa, tetangga sawah. Emosi perempuan tua itu tertahan Ia terima kesumat-kesumat yang di muntahkan begitu saja. Tak terpancing sama sekali. Tak sepatah kata yang terucap walau hakikatnya hati dan perasaannya seperti tersambar petir. Salah seorang perangkat desa, masih muda dengan gayanya yang di buat-buat. Mempersilahkan duduk terlebih dahulu.
"Monggo Mbah! duduk dulu. Pak Lurah masih melayani banyak orang . Seorang perangkat desa yang masih muda itu mengelu-elukan kesibukan pak lurah, pada hal mbok Nah tau sendiri dan telah menjadi rahasia umum, jika pelayanan di balai desa tak pernah genap setengah hari, karena minimnya orang-orang yang berurusan dengan balai Desa. Mereka enggan mengurus surat-surat ke balai Desa karena urusannya bisa tambah runyam dan terkesan berbelit-belit. Masyarakat lebih memilih jalur instan dari pada harus warawiri ke balai desa dan ke kecamatan, itupun urusannya belum tentu kelar dalam sehari dua hari, tapi bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan. Jarang sekali penduduk desa yang membuat KTP. Dalam sehari pihak Kelurahan melayani puluhan orang itu berarti telah mencapai rekor tersendiri.
"Mbah! perlu saya beri tahu! bahwa setiap ada masalah maupun keperluan warga. Pihak pemerintah Desa selalu mempermudah urusan, bahkan kalau perlu sampai tengah malam sekalipun. 24 jam nonstop melayani dengan sepenuh hati." Ujar seorang perangkat desa berbadan kurus.
"Mbah! kalau nggak setuju dengan program-program Desa. Bilang saja langsung pada pak Carik. Jangan nulis seperti itu, kan malah tambah ruwet urusannya." Seloroh yang lain. Tak ada jawaban dari kedua bibirnya yang kelu seperti kehabisan pasokan darah. Darah yang semula mengalir deras dengan detak jantung yang gelagapan seolah terhenti. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Hati, hanya didalam hatinya Ia berdialog dengan Tuhan, memohon ampun dan pertolongan darinya. hingga beberapa saat lamanya Mbok Nah tetap diam. Dibiarkannya lalat -lalat kecil menghinggapi matanya yang sembab, lalu kembali terbang menghinggapi anggota tubuhnya yang lain yang mulai tercium aroma pengap oleh keringat. Seakan-akan lalat-lalat kecil itu tengah menertawakan nasib yang tengah menimpa perempuan tua itu.Lalat yang tercipta tanpa etika itu tak jemu-jemu mengerubunginya. Binatang yang tidak punya sopan santun dan selalu membawa virus kemanapun dan dimanapun. Hinggap di tempat-tempat kumuh, sampah busuk, dan segala bentuk kotoran bahkan, bangkai menjadi tempat peraduannya yang utama. Satu bentuk takwil dari Tuhan. Perumpamaan orang yang tidak menyandang akhlak sebagai pakaiannya, niscaya seperti seekor lalat. Sementara Qohar, cucunya semakin merapatkan gayutan di ujung selendangnya, wujud dari sebuah kekhawatiran. Seperti dua sisi mata uang, keterikatan batin antara qohar dan neneknya. Melihat neneknya diperlakukan kasar oleh orang-orang yang tak begitu di kenalnya. Tak kuasa ia sembunyikn kepedihan bathin. Ada semacam weruh sedurunge winara. Tau apa yang tersimpan di benak neneknya. Tapi ia hanyalah seorang bocah dengan dunianya yang teduh, jernih tanpa keserakahan nafsu dan amarah. Diam, hanya bisa diam dihantui rasa takut, diliputi tanda tanya besar, atas ucapan dan gelagat kasar sebagian perangkat desa kepada neneknya. Pelan dan pasti di kedua pipinya yang putih bersih basah oleh air mata. Suasana hening diliputi pasang-pasang mata yang kosong terisi nafsu dan keberingasan. Semakin terlihat jelas topeng-topeng diwajah sebagian perangkat desa yang awalnya memandang biasa mendadak terlihat geram, beringas dengan tatapan mata seolah berwarna merah darah. Darah seakan memenuhi bola matanya dan menjelma menjadi iblis. Tiba waktunya perempuan tua itu dipanggil pak lurah. Di sebuah ruangan yang seharusnya untuk dua hingga tiga orang itu di penuhi tujuh orang. Meski hawanya sejuk oleh dua kipas angin, tetapi di dalam ruangan itu menyimpan beribu aura panas di liputi hawa nafsu yang berselubung ke dalam jiwa-jiwa yang kosong. Didalam ruangan itu telah berjajar empat orang, berdiri disamping kanan dan kiri. Sementara di luar ruangan pasang-pasang mata terus mengawasinya, mengintip dari balik jendela. Pintu dan semua jendela di tutup rapat-rapat. Tak menyangka jika akhirnya ia akan di interogasi lima orang penting di kelurahan. Ia baru menyadari jika dirinya ternyata akan disidang karena ulahnya tempo hari.
"Silahkan duduk di tengah Mbah?" Perintah salah seorang perangkat Desa. Dengan diapit empat orang, dua orang di bagian kanan dan dua orang lagi di sebelah kirinya. Perempuan tua itu beradu arah dan berhadapan langsung dengan pak Lurah. Disampingnya, Qohar mendekap erat-erat tubuh neneknya. Sidang belum juga di mulai, suasana hening sejenak. Pasang-pasang mata keempat perangkat disisi kanan dan kirinya terpaku tajam ke arah dua orang yang hakikatnya tidak berdaya dari segi fisik itu. Mereka menyiratkan sebuah rasa sinis berbalut benci, raut mukanya mendadak memerah, menyeruak bintik-bintik benih kedengkian. Semakin terlihat kentara diantara mereka lingkaran nafsu yang merapat. Seolah-olah Mbok Nah adalah objek, orang yang patut disalahkn atau bahkan kalau perlu didzalimi sekalian, mbok Nah mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan, meski batinnya ingin berteriak dan memberontak. Senyum yang dipaksakan itu lalu berhenti pada gerak bibir seperti orang yang hendak menangis.
"Mbah! sampeyan ini sudah tua. Kok malah neko-neko nulis kayak gini." Ujar pak Lurah sambil menyodorkan tulisan tempo hari. "Siapa yang nyuruh?. Akal-akalannya siapa?" Tanyanya kemudian.
"Tidak ada yang nyuruh!. Aku hanya ingin sekedar mengingatkan agar pemerintah Desa Rakusan selalu mempermudah urusan bukan malah mempersulit urusan." Jawabnya dengan tegar dan tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa ia hanya sekedar ingin mengingatkan sebagian para perangkat desa yang entah berapa kali melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang lemah, orang yang buta tentang pemerintahan seperti dirinya.
"Mbah! itu memang sudah aturan dari pemerintah pusat. Memangnya simbah itu siapa kok berani-beraninya protes ke kelurahan. Sampeyan belum tau saya ini siapa?" Sebuah keakuan atau bisa jadi sebuah kepongahan dari seorang Lurah. Wujud nyata suatu pembangkangan yang bermetamorfosa pada keakuan diri yang sejujurnya justru ia sendiri merasa terbebani atas pengakuan itu. Atas keakuan itu pada hakikatnya ia berlindung di dalamnya, berlindung dari kesalahan, berlindung dari kealpaan. Satu bentuk kesengajaan spontan yang di dasari perlindungan diri. Kesadaran diri sebagai pelayan masyarakat yang pantas mendapat protes dan peringatan dari masyarakat tiba-tiba sirna begitu saja, tergantikan sifat lahiriyah manusia yang serakah, pongah manakala kekuasaan berada dalam genggaman. Seringkali kata-kata keakuan itu digunakan orang-orang atasan ataupun para pejabat di berbagai bidang keilmuan dan pekerjaan untuk melindungi kesalahan itu sendiri.
"Mbah! tolong jawab yang jujur! Siapa dalang di balik semua ini?." Tanya pak Lurah dengan mata melotot.
"Di bayar berapa Mbah?." tanya yang lain.
"Semenjak jadi makelar tanah untuk orang china kaan?." Sambung seorang pejabat yang lain, menambahkan.
"Tak ada hubungannya sama sekali. Aku ra kedanan duit." Jawabnya lantang dengan keberanian yang masih tersisa.
"Aku tidak percaya." Timpal pak Lurah sambil geleng-geleng kepala.
Sebagai perempuan renta, walau sekuat apapun ia takkan pernah bisa menandingi kekuatan-kekuatan lawan dengan tenaga yang berlipat-lipat. Secara dzahir ia lemah dan tidak berdaya menghadapi sekumpulan manusia yang ganas seganas harimau, yang sewaktu-waktu tiba-tiba menyerang dan menerkamnya. ia kalah dan mengalah pada kepasrahannya. Tanpa terasa air matanya meleleh setetes demi setetes dari kedua bola matanya yang cekung dan berkerut, mewakili perihnya bathin. Lebih sakit dari pada terputusnya urat-urat syaraf, lebih terluka dari perpisahan ruh dan jasad. Meski raganya seperti masih tersisa serpihan-serpihan kekuatan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan konyol, tak bisa di pungkiri, tak kuasa untuk di sembunyikan lagi, jiwanya melemah seperti musnah daya dan upaya. Ibarat kuli panggul yang tidak kuasa lagi menahan beban di luar kemampuannya. Menanggung beban yang sedemikian berat diperlukan seumpama pancaran sinar kekuatan. Tapi hari itu tak seberkas sinarpun yang datang berpihak padanya. Diatas bangku, kursi panjang yang hanya bisa memuat tiga orang itu, Mbok Nah duduk terdiam dengan kepala menunduk, disampingnya Qohar mulai merasakan getar-getar kekhawatirarn berselimut takut. Wajah culunnya yang putih bersih sejernih embun di pagi hari itu tak henti-hentinya memandangi wajah sendu neneknya. Rautmukanya mulai di hiasi kesedihan, kedua tangannya yang masih remah masih bergelayut di ujung selendang neneknya yang mulai lusuh oleh keringat dengan sesekali memegangi erat-erat kedua tangan neneknya. Seandainya Qohar yang masih kecil itu diberi kekuatan berlebih dari yang kuasa maka ia akan pertaruhkan raganya untuk dijadikan perisai bagi neneknya, tapi ia hanyalah seorang anak kecil yang belum disunat, anak kecil yang belum memasuki masa akil baligh. Seorang anak yang apabila di tendang salah seorang perangkat desa Rakusan, bisa terlempar beberapa meter jauhnya. Hanya bergelayut di ujung selendang neneknya yang bisa ia lakukan. Kedua tangan neneknya mendadak dingin seperti habis pasokan darah untuk mengaliri seluruh ujung jari-jarinya. Dadanya naik turun menahan nafas yang tiba-tiba mendadak terasa berat, di didalam hatinya tiada henti melafadzkan istigfar, memohon ampun kepada Tuhan yang maha pemurah.
"Mbah! memangnya dengan air mata dan tangisan kami bisa kasihan begitu!." Ucap Pak Lurah sambil tersenyum sinis. Begitu mudahnya kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut pak Lurah. Satu bentuk pengakuan yang tiada di sadari telah menguak kebobrokan dirinya sebagai manusia, yang telah hilang dari rasa dan karsa. Satu bentuk metamorfosa tanah dan kelak akan kembali ke tanah, yang lembut, sejuk, dan tawadu'. Tetapi Lurah Desa Rakusan itu telah mengingkari dirinya sendiri, menafikan diri sebagai insan yang sejatinya teduh dan bersahaja. Nafsu amarah telah berselubung dan menelikung dirinya hingga hilang rasa kemanusiaan dari dalam jiwanya.
"Jawab Mbah!." Bentak seorang yang berdiri di samping kanan Pak Lurah sambil menggedor-gedor meja.
"Maknyak!!." Teriak Qohar spontan dengan menangis histeris. Tangis itu membuncah seketika. Satu ungkapan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam atas sikap salah seorang perangkat Desa yang sangat arogan. Tangis itu lalu tertahan pada nafas yang terburai, terputus-putus lalu berhenti. Sebentar saja, takpernah terlalu lama Qohar menangis. Tak ada lagi rasa belas kasihan yang tercecer dari pak Lurah.
Setelah tangis Qohar terhenti, pak Lurah mengambil kertas yang berisi tulisan tempo hari, lalu di kibaskan ke muka Qohar agak keras. Qohar hanya diam, menahan sakit dengan meringis, kedua pipinya basah oleh air mata namun tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang bergetar kelu. Tak puas dengan satu bentuk penghinaan. Pak lurah menambahkan kata-kata sinis, sangat menyakitkan.
“kok malah diam!. Tidak nangis lagi?" Kata-kata itu terasa pahit dan seolah mampu menyulap telinga menjadi merah, penuh oleh darah..
Mbok nah tidak tinggal diam, dengan lantang ia melontarkan pertanyaan yang tidak kalah sengit.
"Cucuku tidak tau apa-apa kenapa kamu pukul?apa kamu yang memberi makan?" Pak Lurah diam tanpa sepatah katapun terucap.
“Anda ini sudah jelas-jelas dinyatakan bersalah Mbah.!" Ucap salah seorang perangkat Desa yang lain. Seperti manusia yang tak pernah khilaf, orang-orang di pemerintahan Desa langsung memvonis tanpa melihat duduk perkaranya secara obyektif terlebih dahulu.
"Kita bawa saja ke pihak yang berwenang." Celetuk perangkat yang lain. Mbok Nah tetap pada pendiriannya meski ia di diteror, tak sepatah katapun kata-katanya yang berubah. Beribu-ribu detik Mbok Nah yang telah renta itu di interogasi, tetapi tidak juga menemukan hasil yang mereka harapkan. Lalu Mbok Nah di suruh keluar dari ruangan.
"Ya sudah! kalau begitu Mbok Nah ikut kami!." Ucap seorang perangkat Desa disamping kirinya lalu dengan diapit dua orang di kanan kirinya Mbok Nah dan Qohar yang masih polos itu dibawa ke dalam sebuah ruangan tertutup. Di dalam kamar yang lebih mirip dengan kandang kambing itu dipenuhi kertas-kertas lusuh, koran bekas dan kursi meja yang rapuh dengan kaki penyangga yang telah ganjil. Tumpukan kursi-kursi yang telah usang itu memenuhi ruangan hingga langit-langit di pojok kamar. Belum sempat bernafas lega di ruangan pengap itu. Mbok Nah kembali di datangi dua orang perangkat yang masih belum puas dengan pertanyaan beberapa menit yang lalu. Dengan mimik serius dua orang perangkat Desa itu menunggui dan menginterogasi kembali dengan beberapa pertanyaan yang dianggap oleh pihak pemerintah Desa belum tuntas. Belum ditemukan adanya kejelasan dan titik terang.
"Mbah! semua ini pasti ada yang mendalangi. Siapa Mbah yang mendalangi?. Simbah tinggal jawab kalau ingin bebas.!" Tawar salah seorang perangkat Desa. Tak tahan lagi menghadapi kedzaliman dan kemunafikan. Mbok Nah mencoba ngawur dengan menjawab sekenanya meski sebenarnya sama sekali tak ada yang mendalangi. Mbok Nah sempat tergagap sebelum terucap sebuah jawaban yang ngawur.
"orang-orang china."
"oh...jadi orang china yang mendalangi. Kenapa Sampeyan mau diperbudak?" Tanya yang lain sambil mengangguk-angguk.
" Karena ketidak adilan" Jawab Mbok Nah sekenanya.
“Ketidak adilan seperti apa?" Timpalnya dengan wajah geram dan matanya melotot.
"Aku tidak tahu."
Lelaki tua yang tinggi seperti tiang listrik itu diam sejenak, lalu bertanya lagi.
"Sampeyan menempelkan tulisan ini kekelurahan sendirian, bukan?" Dahinya berkerut. Sementara Mbok Nah sendiri diam, tak ada jawaban. Nafasnya tiba-tiba serasa sesak. Kedua mulutnya seolah terkunci, sekujur tubuhnya mendadak dingin, kehilangan daya tahan tubuh. Seperi seorang prajurit yang terpojok, dikepung oleh segerombolan musuh-musuhnya. Ia hanyalah seorang perempuan rapuh termakan usia. Ibarat ranting kecil yang kering ditengah-tengah gurun pasir, sekali di terpa angin akan terserak seketika. Hanya seorang perempuan, sebuah maha karya Tuhan, sebentuk estetika, penjelmaan dari iga seorang Adam yang tipis dan bengkok. Sekali di luruskan ia akan patah, rapuh. Ia hanya bisa di luruskan dengan keris, keris estetika, berlandaskan nilai sebuah rasa kemanusiaan. Yaitu pedang perasaan. Meski menghadapi manusia-manusia konyol, Ia sendiri merasa kuat untuk menghadapi sebuah kenyataan. Tapi ia sendiri tak kuasa melawan keadaan dan menghindari satu kenyataan. Bahwa sebenarnya ia juga rapuh. Pertanyaan konyol yang sedikitpun tanpa memakai perasaan itupun seperti tak kuasa untuk menjawabnya.
"Dibayar berapa Sampeyan melakukan semua ini?" Kembali pertanyaan konyol itu terlontar.
"Aku tidak dibayar dan tak ingin di bayar. Uang dan perhiasanku sudah lebih dari cukup untuk membiayaiku seumur hidup!." Jawabnya dengan dongkol.
" Yo wis kalau begitu, Sampeyan disini dulu, menunggu kebijakan dari pak Lurah." Dua orang itupun pergi meninggalkan ruangan, lalu menutup pintu dari luar dan menguncinya rapat-rapat. Tiada kepastian sampai kapan kebijakan itu selesai di buat. Berjam-jam menunggu sebuah jawaban tanpa kepastian. Seperti menantikan sebuah pencarian sebutir garam di tengah-tengah lautan. Menunggu dan menunggu dengan harap-harap cemas, dalam kisaran waktu yang terus berlalu. Dari bibirnya yang kering mengeriput tak henti-hentinya melafadkan kalimah istigfar, satu bentuk perwujudan existensi pengakuan diri, sebagai bagian dari 'mahallul khoto' wannisyan'. Seorang manusia yang takkan kuasa menghindari kesalahan dan kekhilafan..
Jenuh dan bosan berselimut takut membaur menjadi satu. Qohar merengek, meminta agar dirinya segera di pulangkan, kedua matanya berkaca-kaca namun akhirnya ia bisa memahami setelah neneknya memberikan sebuah isyarat. Sesenggukan tangis kecil mengisi kesunyian. Karena terlalu lama menangis, akhirnya terhenti pada satu titik kelemahan. Kekuatan dalam diri seperti menghilang, seiring perlahan terkurasnya airmata. Lambat laun air mata yang membasahi kedua pipinya yang putih bersih mengering. Tanpa disadari, ia lalu tertidur di pelukan neneknya.
"Allahu akbar Allahu akbar...."
Terdengar alunan suara adzan Ashar. Adzan yang senantiasa mengawal perputaran matahari dan rembulan serta jutaan planet-planet diangkasa raya hingga akhir zaman itu menyentakkan bathin Mbok Nah. Waktu shalat dhuhur telah berlalu, berganti waktu ashar. Waktu dimana matahari mulai condong kearah barat. Belum sempat menjalankan shalat dhuhur, kini telah berganti saatnya shalat ashar. Shalat, satu bentuk persembahan baginya, satu bentuk rasa terima kasihnya kepada Al Khalik telah ia abaikan. Ia merasa telah berhutang kepada Tuhan. Karena hingga detik ini, ia masih bisa mengecap kehidupan. Merasakan nikmatnya umur panjang, masih bisa bernafas sepuasnya tanpa harus mengeluarkan gemerincing rupiah. Ia diberinya ujian hidup karena itu adalah satu bukti dari kecintaannya. Tapi semua itu belum bisa ia balas walau hanya berkorban waktu beberapa menit lamanya untuk mendirikan tiang agama berupa shalat. Ia hanya bisa berdzikir, melafadzkan asma-asma nya yang mampu menyejukkan kalbu kala di dera seribu permasalahan. Kepada Tuhan, ia mengadu. Ya Allah. Sekiranya engkau buka mata hati mereka. Engkau lunakkan dan bersihkan hatinya. Niscaya akan kutambah ketaatanku padamu Ya Rabb. Qohar terbangun dari tidurnya, ia kebelet ingin kencing, tanpa pikir panjang Mbok Nah mengambil plastik bekas yang terserak di lantai untuk menampung air seninya. Lalu menaruhnya di dalam laci di sebuah meja yang telah lusuh oleh debu yang menumpuk. Senyumpun mengembang menghiasi wajah dua insan yang terpaut puluhan tahun lamanya itu. Mereka terhibur sejenak oleh ulahnya sendiri. Selang beberapa menit setelah terdengar iqamah shalat ashar di kumandangkan, Mbok Nah dan Qohar di keluarkan dari ruangan pengap yang lebih bersih dan terawat dari kandang sapi itu. Diluar ternyata lengang, berselimut sepi. Tak seperti apa yang terbayang di benaknya. Di luar hanya tinggal beberapa orang yang masih setia menunggui balai Desa. Dengan nada yang terdengar bijak, salah seorang perangkat desa itupun mempersilahkan pulang.
"Mbah !berdasarkan kebijakan dari pak Lurah dan semua perangkat desa. Setelah di musyawarahkan dengan matang-matang, sampean sudah terbukti melakukan banyak kesalahan. Tapi karena adanya kemurahan dari pak Lurah, sampeyan sekarang sudah di perbolehkn pulang, dengan catatan jangan mengumbar permasalahan ini ke masyarakat, apalagi melaporkan peristiwa ini ke kepolisian. Kalau sampai masalah ini di ketahui oleh polisi, maka rumah tanah sampeyan akan habis untuk membiayai masalah ini. Dan perlu sampeyan tahu, kemarin di desa tetangga seorang ibu muda kehilangan rumah, tanah dan tambak ikannya hanya karena untuk membiayai pengadilan."
Di sepanjang perjalanan pulang, tak henti-hentinya terucap rasa syukur ke hadirat Ilahi. Dipeluknya tubuh cucu satu-satunya erat-erat, lalu menciumi wajahnya yang sayu dengan berurai air mata. Ia pulang dengan membawa serpihan semangat dan secercah asa yang tersisa.
" Maknyak kan tidak salah. kenapa orang-orang di balai Desa bilang maknyak itu bersalah?" Tanyanya penuh selidik sambil berjalan.
"Sudah, sudah jangan diingat-ingat!" Larangnya, berusaha untuk melupakan peristiwa barusan.
"Kenapa harus di hukum di kamar, terus di kunci?" Qohar makin bertambah penasaran dan ingin tahu duduk perkaranya.
"Biarlah, Allah nanti yang akan membalas" Jawabnya singkat.
"Maknyak tidak salah kan?" Rasa keingintahuannya seakan tak bisa di bendung lagi.
"Qohar! kamu makan tidak cukup hanya dengan nasi dan sambel, masih perlu lauk yang lain kaan?." Ujarnya bermetafor. Qohar mengangguk sambil tersenyum.
"Kita hidup di dunia jangan hanya memandang salah dan benar, hitam dan putih. Jadilah engkau cucu yang baik, yang bisa kuandalkan kelak. Jangan terbiasa memandang hidup ini antara salah dan benarnya. Apabila kau melihat seseorang yang berbuat kemungkaran dan maksiat, belum tentu orang itu salah atau benar. Kita harus terlebih dahulu memahami latar belakang seseorang melakukan semua itu, dan juga tahu persis apa maksud dan tujuannya. Jangan pernah kamu bertindak gegabah, lantas menghakimi, itu berarti kamu mengabaikan Tuhanmu dengan berbuat sewenang-wenang. Itu sama artinya bertindak sebagai Tuhan dan merebut hak-hak Tuhan. Jadilah engkau manusia sederhana, berada di jalur tengah. Cintai semua orang, semua manusia, semua mahluk Tuhan. Bahkan kalau perlu, cintai orang-orang kafir seperti nabi Muhammad mencintai pamannya Abu thalib. Orang-orang yahudi sekalipun, Meski mereka telah di nash dalam kitab sebagai kaum pemberontak." Kata Mbok Nah menerangkan secara gamblang. Mengutip nasihat dan pesan-pesan dari KH. Idris. Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba ada seseorang yang menghadang dengan mengendarai motor. Lalu Mbok Nah dan Qohar berhenti. Diperhatikannya dengan perasaan cemas seseorang berbadan tambun berambut keriting dengan wajah seperti orang yang ingin mengutarakan sesuatu. Oh, rupanya pak Susilo yang tengah menjabat sebagai kamituo Desa Rakusan.
"Mbah!" Panggilnya dengan sorot matanya membulat.
"Ada apa lagi?"
"Aku mohon maaf mbah? karena tidak bisa membantu apa-apa."
"Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Simbah tidak menaruh dendam padaku, bukan?"
"Untuk apa aku dendam!. Apa untungnya? semuanya sudah diatur sama gusti."
Dari hati yang paling dalam sebenarnya pak Susilo ingin membela Mbok Nah dengan terang-terangan, tetapi ia menghawatirkan kedudukannya sebagai kamituo. Rasa takut menyelubungi jiwanya, khawatir apabila tiba-tiba ia di copot dari jabatannya karena tidak sehaluan dengan pemerintah Desa Rakusan.
Sampai dirumah, Mbok Nah langsung mengambil beras lalu mencucinya. Sore itu ia merebus air lalu menanak nasi kemudian mengambil air wudhu dan mendirikan shalat ashar. Qohar tidak disuruh untuk mendirikan shalat, hanya di suruh belanja keperluan dapur ke rumah Bu Maryam. Selesai shalat ashar Mbok Nah lalu ke dapur menyiapkan lauk pauk untuk makan malam. Ketika hendak mengambil nasi dari periuk tiba-tiba tubuhnya lemas. Ia pun terduduk lunglai di atas kursi kecil di depan tungku. Sekujur tubuhnya menggigil kedinginan meski di dekat tungku perapian yang masih membara. Bara api yang masih membara itu agaknya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang di landa kedinginan, lahir dan bathin. Sementara kepalanya mulai terasa pusing, panas demam, di sertai ngilu di kedua lututnya. Ia menyangka mungkin dirinya hanya masuk angin biasa. Iapun beranjak ke tempat tidur kemudian istirahat. Tetapi suhu di sekujur tubuhnya semakin terasa bertambah panas, kepalanya serasa berat. Ia hanya bisa tergolek lemas di pembaringan.
"Qohar!" Panggil Mbok Nah dengan suara lirih.
"Ya Mak."
"Nasinya kalo sudah matang, pindahkan ke bakul"
".ya!".
Qohar sore itu makan dengan lahapnya, dengan lauk seadanya. Kesederhanan hidup yang ditanamkan Mbok Nah kepadanya, pelan dan pasti telah mengakar pada dirinya. Tidak lupa setelah selesai makan ia suapi neneknya. Namun hanya satu dua suapan yang sanggup memasuki kerongkongannya. Lambungnya terasa perih dan melilit. Selebihnya di geleng-gelengkan kepalanya, sebuah isyarat ketidak sanggupan menelan nasi walaupun hanya sesuap. Mulutnya semakin terasa pahit, makanan yang telah tercecap di lidah serasa seperti racun. Jiwa raganya seperti tidak mampu lagi menyokong kegetiran hidup. Begitu berat permasalahan hidup yang ditanggungnya hingga hilang gairah dan semangat hidupnya. Spirit hidupnya serasa memudar bagai kapas di hempas angin. Ia tak lagi doyan makan nasi meski telah berusaha untuk menelannya. Namun tetap saja serasa mau muntah. Masih teringat segar dalam ingatannya, kiamat kecil di balai desa. Trauma, pikirannya terus di hantui rasa takut, tak lekang dari ingatannya bagaimana dirinya di cerca pertanyaan oleh empat orang yang seolah-olah hendak menerkamnya. Di lecehkan seperti anak kecil, dan di sekap dalam ruangan kosong yang lebih pengap dan kotor dari kandang sapi. Seumur hidup, baru kali ini ia mengalami nasib yang amat perih. Di banding ujian-ujian hidup yang sebelumnya. Kini dirinya seperti mendiami jiwa yang kosong, menyelami ruang hampa dan melangkah tanpa arah. Dunia tak lagi menampakkan warna. Dan hanya satu yang senantiasa merapat di kepalanya. Yaitu rasa takut.. Keimanan di dadanya serasa runtuh, lalu menjauh dari dalam dirinya. Peristiwa di balai desa membuatnya sakit lahir dan bathin. seperti tak mampu lagi menahan beban pikiran yang menderanya.
Malam itu Qohar tidur disampingnya, menemaninya tidur sambil memijiti kaki dan tangannya. Pijatan Qohar yang lembut itu tetap tidak mampu mengobati kegundahan hatinya. Kedua bola matanya yang sayu membiru sulit terpejam, meski telah berusaha ia pejamkan. Ia hanya pura-pura tertidur kala Qohar memijitinya. Sampai akhirnya Qohar tertidur pulas disampingnya. Di tengah malam kedua bola matanya masih liar dan sulit untuk di takhlukkan. Mata sebagai cerminan jiwa, penyibak sebuah rahasia, pembuka tabir yang terangkum dalam kalbu, seakan ikut merasakan beban pikiran yang terlampau jauh bersarang di kepalanya. Semua itu tak mudah untuk di lupakan. Sesakit dan seberat apapun permasalahan hidup yang melilitnya. Seringkali dengan mudahnya terlupakan. Paling jauh permasalahan itu hilang setelah bangun tidur, tapi kali ini tidak, belenggu itu masih terus menghantui pikirannya. Hingga fajar menyingsing Mbok Nah masih belum bisa tidur, dengan nafas tersengal-sengal ia mencoba untuk mengingat kalimah Allah, disebutnya asma-asma Allah.
"Qohar! bangun har!" Mbok Nah membangunkan sambil membelai lembut keningnya. Qohar terbangun dari tidurnya. Di rabanya jari jemari di kedua tangan neneknya, terasa panas.
" Tanganmu terasa panas sekali Mak. Maknyak tidak apa-apa kan?.".
"Aku tidak apa-apa, jangan kau hiraukan. Cepat ambil air wudzu dan laksanakan shalat!."
Selesai sholat tak lupa Qohar memanjatkn doa sebisanya, meminta dan mengharapkan kesembuhan neneknya.
"Qohar! kamu sudah shalat.
"Sudah Mak!.!
"Sekarang buka pintu dan jendela dapur lalu beri makan ayam-ayamnya dan jangan lupa, beri makan kura-kuramu. Setelah itu Maknyak buatkan bubur!. Tanpa menunggu komando susulan, berlandaskan keprihatinan Qohar dengan cekatan membuka pintu dan jendela lalu memberi makan ayam dan kura-kuranya kemudian ia mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat bubur."Maknyak! kelapanya habis."
"Masih satu butir di dalam ember."
Persedian kayu di dapur tinggal sedikit, hanya tersisa beberapa ranting. ia lalu kebelakang rumah mengambil kayu bakar. Di belakang rumah ia tertegun menerawang ke atas pucuk ranting pohon bambu yang menaungi rumahnya, ia mulai khawatir dengan kesehatan neneknya yang tak kunjung sembuh, di tambah lagi keadannya yang sudah tidak sanggup lagi menelan nasi dalam bentuk utuh. Jalan satu-satunya adalah dengan mengolahnya menjadi bubur nasi, sehingga memudahkannya untuk bisa di telan karena bentuknya yang lebih lembut. Setelah orang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang secara tulus pdnya kini keadaannya terpuruk, tak berdaya. ia jadi lebih menyadari, memahami arti hadirnya seorang nenek baginya, yang selalu setia dengan tulus dan penuh kesabaran, merawat, mendidik dan membesarkannya. Seandainya semenjak dilahirkan tak ada orang yang sudi merawatnya. akan menjadi apa dirinya kelak. Atas semua ketulusan yang telah di berikan padanya. ia berjanji kepada diri sendiri akan merawat neneknya dengan segenap tenaga dan kemampuannya.ia ingn membalas ketulusannya yang selama ini di curahkan hanya kepada dirinya. Tak ingn berlarut-larut dalam kesedihan dengan cekatan diambilnya kayu satu persatu.
Bubur nasi aroma santan kelapa yang praktis itupun tersaji di meja makan di samping tempat tidur Neneknya. Dulu jauh sebelum Neneknya jatuh sakit, setiap kali membuat bubur nasi atau masakan lainnya secara tidak langsung, Qohar selalu melibatkan diri. Baik itu membantu mengambil daun pisang, memarut kelapa atau pekerjaan lain.Kali ini Qohar berperan sebagai motivator, menjadi sumber spirit bagi neneknya. Mencoba bermetamorfosa menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir. Bertindak sebagai penyejuk bagi jiwa yang masih di liputi rasa ketakutan. Dengan sabar Ia suapi Neneknya sesuap demi sesuap, dengan memaksa diri Neneknya mencoba menelan suapan darinya meski lidahnya terasa pahit. semua itu di lakukannya, demi sambungan nafasnya yang kian terburai. Semangkuk bubur itupun akhirnya habis di lahapnya, bubur yang rada berasa asin itu telah mampu merangsang kerongkongannya untuk segera di guyur air minum. Dipintanya segelas teh hangat.
Alhamdulillah....
Terbersit rasa syukur di hatinya lalu dari keningnya yang kusut seperti keluar titik-titik embun kecil yang bening dan seperti menjalar di sekujur tubuhnya. Segelas teh hangt itupun seperti bocor melalui celah-celah yang sangat kecil dan samar. Hanya melalui mikroskop ukuran sepuluh kali sepuluh. Celah-celah samar itu bisa terlihat menganga dengan jelas. Perlahan tubuhnya basah oleh keringat.
"Qohar! kakiku masih terasa ngilu. Nanti habis nyuci piring, Maknyak carikan jahe, temulawak sama rumput teki di kebun, terus di rebus seperti yang biasa ku lakukan” Pinta Mbok nah pada qohar.
Di tepi kampung, Qohar di kesendiriannya sedang bersusah payah mencabut sebagian rumpunan temulawak, Temulawak yang tinggi tanamannya bisa mencapai dua meter setengah yang tentunya lebih tinggi dari tubuhnya itu baginya, seperti halnya upaya menahlukkan seekor ayam muda untuk di tangkap. Tidak mudah untuk di cabut apalagi ia sendiri lupa tidak membawa peralatan semacam cangkul atau peralatan lainnya, ia masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar temulawak yang panjang dan terpendam dalam tanah lempung itu. Ia terengah-engah namun batang temulawak itu masih tetap tegak di tempatnya, ia nyaris putus asa seandainya ia tidak menemukan akal yang lebih cemerlang. ia teringat sewaktu neneknya menaruh pisau usang yang sudah tumpul di simpan dibawah gubuk kecil di bawah pohon nangka. Dibawah gubuk itu pula ia menemukan sebatang cungkil. Di galinya tanah lempung yang elastis itu di sekeliling temulawak dengan perlahan, memakai cungkil dan pisau usang yang entah telah berapa minggu tak pernah di asah.Dengan tekad terakhir Ia mencoba mencabut batang temulawak itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung mulai menegang, ditolaknya bumi dengan entakan kaki sekuat mungkin, serabut-serabut akar halus mulai terputus, perlahan tanah merekah. Temulawak yang gagah itupun menyerah di titik nadir. Perakaran panjang yang mengarah ke segala penjuru terputus semua. Ketika temulawak itu berhasil tercabut, ia jatuh terduduk. Tetapi hatinya terbersit kegembiraan yang tak terukur, seperti menemukan satu kemenangan. Satu pekerjaan telah selesai, ia lalu mencari rimpang jahe dan rumput teki. Tak seperti rimpang temulawak yang berbatang tinggi sehingga sulit di cabut. Rimpang jahe dan rumput teki berbatang pendek dan remah, mudah untuk di cabutnya, sehingga tidak menemui kesulitan untuk mendapatkannya. Dengan mudah kedua rimpang itu ia dapatkan. Sesampai di rumah, bahan-bahan untuk ramuan itu di cuci bersih lalu di tumbuk di sebuah lumpang kemudian di rebus dengan air tiga gayung seperti biasanya sewaktu neneknya membuat ramuan. Malam itu kesehatan Mbok Nah berangsur-angsur pulih setelah meminum ramuan buatan Qohar. Kedua bola matanya yang semula sayu membiru pelan-pelan terlihat semakin hitam jernih. Kedua tangan dan kakinya yang semula terasa berat kini telah terasa ringan.
Merasa dirinya sudah agak baikan, di suruhnya Qohar mengambil jarek di teras belakang. Ia lalu beranjak ke sumur mengambil air wudlu. Setelah selesai berwudlu Ia mendapati Qohar tengah gemetar di ujung bale-bale biliknya.
"Kamu kenapa cucuku?" Tanya Mbok Nah penasaran. Tak ada jawaban, Qohar terdiam sekujur tubuhnya gemetar.
"Bocah bagus ada apa? kok seperti di kejar babi." Tanyanya kali kedua.
"Aku baru saja melihat setan Maknyak!."
"Setan-setanan? " Jawab Mbok Nah balik bertanya.
"Bukan, bukan setan-setanan." Kata Qohar sambil geleng-geleng kepala." Yang ini beneran Mak!. Tadi sewaktu mengambil jarek di teras belakang Aku melihat putih-putih seperti melayang di bawah pohon dadap. Aku takut sekali mak!"
"Di kibuli setan kok takut, Itu karena sewaktu kamu mengambil jarek tidak membaca basmalah terlebih dahulu. Ya to?"
"Iya saya lupa, mak." Jawab Qohar tersungging senyum.
" Lupa kok di pelihara. Setiap mengawali segala pekerjaan bacalah Basmalah supaya selamat. Mungkin yang kamu lihat tadi hanyalah plastik putih kecil tertiup angin. Karena kamu tidak membaca basmalah, maka kamu dengan mudahnya di perdaya oleh setan. Putihnya kertas di malam hari di dalam kamarpun akan tampak seperti pocong kalau kamu sendiri lupa membaca basmalah!"
" Mak! kata fariz, sekarang sudah tidak ada setan. Apa itu benar mak?"
"Iya benar, sekarang itu sudah tidak ada setan. Tapi perlu kamu ketahui, bahwa setan di masa sekarang ini sudah menyatu dalam diri manusia, termasuk bisa juga bersemayam di tubuhmu. Lebih tepatnya setan sekarang sudah berubah, bukan tidak ada!. Kalau ada orang yang marah, mengamuk bahkan kesetanan, maka di situlah setan bersemayam. Karena akal, hati dan pikirannya telah di kuasai oleh nafsu dan amarah yang di timbulkan oleh setan. Ketika akal, hati dan fikiran manusia sudah tidak lagi berfungsi karena di kendalikan setan, maka hakikatnya orang yang seperti itu lebih hina dari pada binatang. Dulu kata Mbah Rasup, Buyutmu, sewaktu maknyak masih kecil katanya setan itu bisa kelihatan, terkadang menampakkan diri dalam bentuk manusia, binatang, genderuwo, kuntilanak dan lain sebagainya. Tetapi sekarang apakah kamu pernah lihat setan?"
"Tidak pernah."
"Maknyak sendiri sudah pernah lihat?.
"Pernah."
"Bagaimana Mak, ceritanya?"
Mbok Nah bertutur.
Suatu hari di siang bolong Maknyak pergi menyusul bapak, Ki Rasup ke pematang, jalannya waktu itu melewati tengah kuburan. Biasanya di tengah kuburan itu, sewaktu Maknyak lewat memang tidak ada apa-apa. Tapi hari itu terasa ganjil, Maknyak berpapasan dengan kakek tua berbaju serba putih di tangannya menggelantung seutas kain putih yang telah lusuh. Kakek tua itu melintas persis di depan Maknyak, jalannya tertati-tatih. Sebelumnya, maknyak perhatikan, kakek tua itu datang dari perkampungan, tapi maknyak sendiri merasa tidak pernah melihat dan mengenalinya. Karena saking penasaran, maknyak mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Dari mana Mbah?"
"Dari rumah anakku." Jawabnya dengan suara lirih, agak terbata-bata.
"Rumahnya di mana Mbah?"
"Di kampung seberang."
"Kok membawa kain putih cuma segitu?. Untuk apa?." Tanya Mbok Nah penasaran.
"Untuk keselamatanku. Sudah berbulan-bulan lamanya, setiap sabtu pahing saya mengingatkan anak-anakku. Jika tali pocongku sebenarnya belum di buka, yang telah di buka hanyalah kain di lapis pertama." Jawab Kakek tua itu dengan nafas seperti tersengal-sengal.
"Masya allah!!." Ujar Mbok Nah kaget. Bulu kuduknya berdiri dan seluruh kepalanya tiba-tiba seakan seperti diperban kuat-kuat, di tekan kuat-kuat tanpa terlihat pelakunya.
Seketika itu maknyak menjerit histeris, berteriak sekeras-kerasnya, namun ndilalah kersaning gusti, tak seorangpun yang mendengar teriakanku. Maknyak berteriak sambil berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kakek tua itu. Belum selesai kisah mistis itu di ceritakan. Qohar secepat kilat mendekap ke tubuh neneknya lebih erat.
"Memangnya tali pocong itu harus di buka ya Mak?" Tanya Qohar berselidik.
"Ya iya to!"
"Kok tidak di buka sendiri tali pocongnya?" Rasa keingintahuannya Tiba-tiba membuncah.
"Kamu kira mayat bisa membuka sendiri tali pocongnya?" Seloroh Mbok Nah balik bertanya.
"Mayat itu bangkai manusia, sudah tidak bisa apa-apa lagi, karena ruhnya telah pergi. Ruh itu barang gaib, bisa melihat tetapi tidak bisa meraba. Ada suara tapi tanpa ada rupa seperti kamu!"
"Ah Maknyak menakut-nakuti saja. Oh ya Maknyak! barang gaib itu seperti apa?" Tanya Qohar penasaran
"Ya tidak seperti apa-apa!." Mbok Nah diam sejenak. "Kamu pernah melihat angin?"
"Tidak pernah."
"Ya kira-kira seperti angin itu, bisa di raba dan di rasakan tapi tak bisa di lihat.
"Ohh begitu." Ujarnya mengangguk-angguk puas.
"Yo wis kalau begitu kamu baca basmalah terus berdoa seperti biasanya, terus tidur."
Merasa dirinya sudah sembuh, di pagi buta tanpa sepengetahuan Qohar, Mbok Nah mengambil air wudlu lalu mendirikan sholat, kemudian menuju dapur hendak menanak nasi. Diambilnya air dari sumur untuk mencuci beras lalu memasaknya. Karena airnya di rasa kurang iapun mengambil lagi ke sumur. Setelah air di dapat dan ketika akan di bawa ke dapur ia terpeleset dan jatuh di dekat sumur hingga pingsan, kepalanya terbentur sebuah tiang bambu di samping sumur. Tak ada seorangpun yang mengetahui hal ini, baru beberapa saat kemudian Qohar terbangun dan tidak mendapati neneknya di sampingnya, iapun bergegas mencari neneknya. Begitu di temukan Qohar kaget bukan kepalang..
"Maknyak! bangun maknyak!." Setelah tersadar, Qohar membantu memapahnya ke dalam bilik.
"Maknyak kan belum sembuh benar. Kenapa tidak istirahat saja?" Dari kedua bola matanya seperti meleleh air mata.
"Nasinya kalau sudah matang di buat bubur saja."
"Sudah! masalah itu jangan di pikirkan yang penting maknyak sehat dulu."
Setiap kali mengangkat periuk dari tungku, Qohar seringkali melihat neneknya tanpa melapisi lampi atau tatakan lain di kedua tangannya. Tetapi setelah di coba ternyata tak semudah dengan yang ia kira. Antara berat dengan dimensi panas menyatu. Tak kuasa ia bertahan terlalu lama barang beberapa detik. Ketika periuk belum selesai di pindah, ujung jari di tangan kirinya terkena bara api kecil yang menempel di dinding periuk sehingga melepuh dan meninggalkan bekas luka.
Bubur nasi putih itu telah matang dan kini telah tersaji di meja. Diambilnya semangkuk buat dirinya dan semangkuk lagi buat neneknya. Bekas luka yang masih terlihat melepuh berusaha ia tutup-tutupi. Namun karena suatu ketidak sengajaan, lukanya terbentur mangkuk bubur di sampingnya, meski benturannya tidak terlalu keras tetapi ia telanjur mengaduh pelan secara spontan tanpa sengaja.
"Kenapa dengan tanganmu?"
"Kena percikan api mak!"
"Kenapa tidak hati-hati. Siapa nanti yang merawatku jika kamu juga ikut sakit?" Keluh Mbok Nah menghawatirkan keadaan Qohar.
"Tidak apa-apa mak. Nanti juga sembuh.?”
Di luar sana kabar miring mengenai persekongkolannya dengan orang-orang tiongkok cepat tersebar. Orang-orang kampung yang masih lugu dan masih menganggap tabu kehadiran orang-orang asing itu jelas-jelas dengan mudahnya terpancing hasutan pihak-pihak yang tidak menyetujui penguasaan lahan oleh pihak asing. Satu bentuk kesalah pahaman yang kian mengakar di masyarakat. Bumbu-bumbu dusta pelan dan pasti merasuk ke dalam sendi-sendi percakapan para ibu-ibu. Yang mereka tahu Mbok Nah sekarang menjadi lebih berani kepada pemerintah Desa Rakusan semenjak bertemu dan bersekongkol dengan orang-orang tiongkok.
Belum genap dua hari peristiwa balai Desa itu. Kini beritanya telah tersebar luas hingga kepelosok-pelosok kampung. Gaungnya terdengar dimana-mana. Seperti lautan luas yang kejatuhan rembulan, pelan dan pasti gelombang ombak menjalar menyambangi daratan. Dari mulut ke mulut, kesimpang siuran kabar mengenai Mbok Nah kian meluas, Tersiar kabar Mbok Nah mulai berani melawan pemerintah Desa Rakusan karena ada yang mendalangi. Tersiar kabar pula Mbok Nah membantu pengusaha china di dalam upaya menguras sumberdaya alam yang ada, dengan menguasai tanah ulayat warga kampung setempat. Jika semua itu terjadi, dikhawatirkan akan mengganggu kearifan lokal yang telah lama mengakar dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari warga kampung. Apabila kearifan lokal, sebuah tradisi yang membudaya kian tercerabut dari akarnya, maka bukan tidak mungkin akan hilang mata pencaharian penduduk kampung.
Begitulah satu gambaran kekhawatiran warga kampung yang semakin menjadi-jadi. Semua itu sengaja di hembuskan oleh sebagian orang yang tak menghendaki adanya penguasaan lahan oleh orang asing. Belum lagi kabar-kabar yang melenceng lainnya. Kabar yang berhembus dari mulut ke mulut itu tak lagi utuh. Dari satu orang kepada yang lain selalu di hiasi dengan bumbu penyedap. Atau bahkan tidak jarang dari berita itu sengaja ada yang mengurangi ataupun menambahi isi pokok dari berita itu. Dari mulut kemulut, berita itu menjadi topik yang hangat untuk di perbincangkan oleh ibu-ibu di warung, di kebun dan juga di sawah yang tengah mulai musim tanam. Kabar yang tak jelas juntrungannya itupun sampai ke telinga KH Idris, pemimpin pondok pesantren Attaubah sekaligus pembina dan pengasuh sebuah majlis taklim. Seorang Kiai yang sangat kuat berpegang teguh pada Al qur'an dan Hadits, teguh pendiriannya dan keras penerapan sistem pengajarannya, seorang kiai yang tak pernah meninggalkan jubah itu sangat menjunjung tinggi dalil naqli meski keponakannya sendiri kiai ubaidillah-yang lebih mengutamakan dalil Aqli- seringkali meributkan masalah Muhammad dengan pamannya Abu thalib. Kenapa Muhammad tidak bisa mengislamkan Abu thalib, pamannya sendiri?
Di majlis taklim Attaubah asuhan KH Idris itu, Mbok Nah mengaji dan menuntut ilmu selama ini. Begitu kuat pengaruh KH Idris di masyarakat, peran kiai seolah melebihi peran pemerintah. Setiap kali ada permasalahan yang mencuat. Peran seorang kiai selalu di elu-elukan. KH Idris sebagai seorang ulama' yang selalu menjadi jujugan masyarakat. Bagi KH Idris, Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah suatu keniscayaan. Harga mati yang tidak bisa di tawar-tawar. Setelah mengetahui adanya desas-desus penguasaan lahan oleh orang asing, dari selentingan warga yang tak menghendaki adanya monopoli yang di dasari kesalah pahaman. Tanpa menunggu waktu lama, Kiai Idris mengerahkan sebagian santrinya ke balai Desa Rakusan, menuntut agar lahan yang telah di beli oleh pengusaha china Tiongkok, supaya secepatnya dibatalkan dan segera di blokir. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tak cukup sampai disitu, di waktu yang sama KH Idris mengutus dua orang santrinya menemui Mbok Nah. Dalam pertemuan itu dua orang santri itu menyampaikan pesan dari KH Idris yang berisi himbauan agar Mbok Nah tidak usah lagi hadir mengikuti pengajian majlis taklim yang diasuhnya. Karena telah dianggap mencemarkan nama baik majlis taklim. Majlis taklim yang diasuhnya sebulan sekali itu tidak menerima jama'ah yang mempunyai cacat moral macam Mbok Nah.
Tanah kapling yang telah dibeli beberapa hari yang lalu dengan sah itu di datangi ratusan santri. Mereka membawa batu, kayu, minyak tanah dan peralatan lain untuk memblokir tanah kapling yang dianggapnya terlaknat itu. Dengan di bantu para pemuda kampung setempat, mereka semakin leluasa mengobrak-abrik tanah kapling yang sedianya untuk pembangunan pabrik kopra itu. Gubuk kecil yang menjadi tempat persinggahan barang sebentar oleh pak Yusuf dan Amin juga tidak luput dari amukan para santri dan pemuda-pemuda kampung, gubuk kecil berukuran dua kali dua meter itu ikut di bakar hangus hingga rata dengan tanah. Dengan di bakar semangt jihad, mereka teriakkan yel-yel takbir sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya. Saling menyambung dan mengisi satu sama lain. Kalimah takbir yang suci itu dengan sengaja mereka nodai, permainkan, bahkan di injak-injak kesuciannya. Atas nama Tuhan, mereka memblokade tanah yang bukan haknya. Tanah kapling yang sedianya untuk pembangunan pabrik pengolahan kelapa demi kemajuan bersama itu akhirnya terbengkalai, dan entah sampai kapan. Di sadari atau tidak, mereka telah menjajah saudaranya sendiri, saudara seiman yang sama punya hati sanubari meski tak sama wajah dan haluan. Hanya karena dzahir yang asing itu mereka bertikai. Memamerkan sayap kekuasa'an satu sama lain. Apakah dengan berbuat demikian Tuhan akan bangga?.Atau bahkan menjadi menang mungkin?. Tanpa semua itupun Tuhan telah menang, telah berkuasa, mutlak diatas segala-galanya. Mereka orang-orang yang lugu mungkin kurang memahami, jika Tuhan tidak memerlukan semua itu. Apalagi sedu sedan sang Kiai maupun para santri yang pongah itu untuk memperoleh kehormatan di mata sebangsanya. Tidakkah cukup bagi mereka kenikmatan yang senantiasa tuhan limpahkan?Hingga mereka rela merampas hak orang lain? Jika memang mereka berdalih akan sebuah jihad dan pembelaan Agama. Agama yang manakah yang mereka bela. Dengan samar mereka ingin menuhankan diri dan semua itu adalah bagian dari taktik iblis yang amat sangat halus sehingga tiada lagi terasa, seperti tanpa sekat. Dan ketika semua itu berhasil, maka para iblis dan hulu balangnya akan berpesta pora merayakan kemenangannya. Karena telah mendapatkan umpan yang kelak bisa diandalkan untuk dijadikan kerak di dalam neraka
Belum sepenuhnya sembuh dari sakit, ujian hidup kembali datang bertubi-tubi. Kini seorang Kiai yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah, telah berbalik menyerangnya dari belakang. Ratusan santrinya dikerahkan untuk menolak apa yang telah menjadi angan-angannya selama ini. Dampak dari semua itu, muncul sentimen dan protes keras dari masyarakat. Oleh para tetangga, Mbok Nah di juluki sebagai orang tua berotak udang. Perempuan tua yang sudah tidak waras. Hanya beberapa tetangga yang terhitung jari memberikan dukungan atas jalan hidup yang di tempuhnya. Terasa berat beban pikiran yang di tanggungnya, di wajahnya tersimpan kesedihan yang dalam. Membendung penderitaan, tetapi tidak menampilkan dendam. Walau sakit dihatinya tak serta merta mudah untuk dihapus. Tetapi ia tetap berusaha menghapus memori peristiwa balai Desa yang membuatnya sakit lahir bathin. Sakit hati yang tak akan pernah ada obatnya itu, hanya bisa di obati oleh virus, virus cinta dan tawakkal kepada Ilahi. Rasa sakit yang tak biasa itu, memperlambat proses kesembuhannya. Sakit lahir bathin yang di alaminya itu, membuatnya semakin bertambah gamang tentang kehidupan, tentang waktu yang tersisa untuknya. Bila di ukur dengan usia wafatnya Muhammad. Setidaknya ia telah di beri bonus Al khalik hingga beberapa tahun. Di usianya yang menginjak kepala tujuh, muncul kekhawatiran dalam dirinya, jika kelak suatu saat ia harus berpisah dengan ruhnya. Mencoba untuk merelakan sebuah perpisahan yang abadi. Di dalam bathin ia bertanya-tanya. Mungkinkah diriku memang sudah waktunya? Atau mungkin ini yang disebut penyakit renta? Berapapun waktu yang telah dijatah oleh gusti Allah ia harus bisa menerima apapun itu. Biarpun waktu yang ditorehkan untukku hanya tinggal beberapa hari. Tetapi bukan Aminah namanya jikalau harus berhenti dari ikhtiar, itu sama artinya menyerah sebelum babak pertandingan usai.
"Baskom cuci tangannya mana?" Pintanya sehabis menghabiskan setengah mangkuk bubur.
"Ya Maknyak sebentar!.”
"Kenapa tidak dihabiskan ?" Tanya qohar setelah mengantarkan baskom kecil untuk mencuci tangan.
"Mulutku terasa pahit.” Ujar Mbok Nah mengeluh. ”Kamu sudah makan?” Tanyanya kemudian.
"Belum lapar Mak!” Jawab Qohar Dengan wajah lesu.
"Kalau begitu Maknyak ambilkan uang di lemari, belikan bubur kacang hijau dua bungkus. Sekalian belikan pil reumatik dan flu tulang dua kaplet. Kedua kakiku terasa ngilu.”
"Tadi saya mau mencuci tapi sabun cucinya habis Mak!.”
"Ya sudah! kamu belikan sabun cuci sekalian." Perintahnya kemudian.
Setelah bubur kacang hijau itu didapat, tak lupa Qohar mampir ke rumah Bu Maryam untuk membeli obat dan sabun cuci. Dalam waktu yang bersamaan seorang Ibu muda yang tengah belanja di warung Bu Maryam menanyakan keadaan Mbok Nah kepada Qohar.
"Kata Bu Mirna kemarin nenekmu sakit, Bagaimana keadaannya sekarang? sudah sembuh?".
"Belum."
"Sudah lama sakitnya?.
"Baru dua hari."
Setelah barang yang di pesan Mbok telah di dapatnya, lalu dengan terburu-buru Qohar membayar barang belanjaan, tetapi oleh Bu Maryam sebagian uang dari Qohar sengaja di kembalikannya, itung-itung sebagai amal sirran.
"Kapsulnya tidak usah bayar!."
"Nanti saya di marahi maknyak."
"Sudah tidak apa-apa, Lha wong nenekmu sakit kok masih banyak bertingkah!.
"Terima kasih Budhe."
Malam mulai menampakkan wajahnya, rembulan yang diwaktu siang bersembunyi di balik awan itu kini waktunya menampakkan diri. Sekumpulan kelelawar mulai keluar dari lubang pada ruas-ruas bambu di setiap teras rumah. Sebagai suatu pertanda waktu maghrib telah tiba. Kearifan alam hadirkan pengetahuan yang bermetamorfosa menjadi sebuah tradisi. Anak-anak dengan busananya yang rapi mulai menyandang kitab suci, lalu dengan indahnya anak-anak melafadkan kalam ilahi. Kalimah-kalimah yang selalu selaras dengan berbagai zaman itu, takkan pernah bisa dinodai hingga dunia di gulung. Setiap hari setiap minggu muncul tunas-tunas baru al khamil di seluruh penjuru dunia. Yang senantiasas mengawal dan menjaga kesuciannya. Sementara ayam, kambing, dan ternak-ternak lain telah masuk kandangnya masing-masing. Burung hantu, mahluk Tuhan yang unik, bisa memutar lehernya hingga seratus delapan puluh derajat itu, mulai mengasah ketajaman indera penglihatannya dengan sorot matanya yang kaku seolah tak bisa bergerak. Seandainya seseorang memperhatikan sorot matanya berlama-lama maka akan tersipu malu, ia akan meringis di buatnya, siapapun orangnya. Karena sorot matanya yang tajam itu terus memaku seperti sedang berakting. Tetapi aktingnya keterlaluan, mampu mengalahkan rekor hingga berjam-jam lamanya. Burung itu menanti dan terus menanti datangnya mangsa. Begitu mangsa datang secepat kilat burung itu menyambarnya. Selepas waktu Isya' para tetangga dengan beberapa anaknya datang menjenguk Mbok Nah. Malam itu Qohar sedikit sumringah, para ibu-ibu secara sukarela membagi tugas masing-masing. Ada yang membantu merapikan tempat tidur, melipat baju, memijiti, dan memasak air. Adapula beberapa ibu yang sengaja datang untuk menghibur dengan banyolan-banyolannya yang khas.
"Lho setelah di pijiti kok malah sekujur tubuhnya makin terasa dingin bagaimana ini?. Wah jangan-jangan..." Kata seorang perempuan kepada rekannya.
"Ah kamu menakut-nakuti saja." Sahut yang lain.
"Lha wong tubuhnya makin terlihat segar gitu kok. Ya mbok ya?" Tanya seorang perempuan yang berpakaian abu-abu. Mbok Nah cuek saja sambil menahan senyum. Lalu kemudian senyumnya mengembang.
"Lha mukamu kenapa? kok coreng moreng, habis masak ya?" Tanya yang lain sambil terus memijiti kaki Mbok Nah, mengada-ada.
"Masa iya. Lha wong saya tadi mau kesini ya bedakan dulu." Keluhnya sambil mengelus-elus pipinya. "Yang mana sih?". Tanyanya kemudian. "Itu lhoo itu." Tipu yang lain ikut nimbrung sambil jari telunjuknya mengarah lurus ke arah orang yang tengah menjadi bahan tertawaan.
" Yang mana?" Tanyanya lagi." Ngaco kamu!."
"Lha wong kamu di kibuli kok mau." Ujar yang lain, membuka tabir.
"Sudah tua kok gampang di tipu.Mbok sarmi... Mbok sarmi. "
"Mbok! sampeyan ini sudah tua perbanyak istirahat saja." Nasehat seorang yang memakai pakaian merah marun.
" Wes poko'e tenangkan pikiran, perbanyak dzikir biar cepat sembuh." Ujar yang lain.
"Wes poko'e sing sabar Mbok!"
"Jangan lupa makan makanan yang bergizi."
"Kok makannya cuma bubur. Mbok yao di belikan sate atau ayam goreng gitu lho, uang banyak kok pengiritan." Gerutu yang lain dengan wajah cemberut sambil memberikan bungkusan plastik berwarna merah.
Malam semakin larut, para ibu beserta anaknya satu persatu pamit pulang. Dari para tetangga itu Mbok Nah mendapatkan banyak buah tangan. Diantaranya berupa roti, mie instan, sate ayam, lontong pecel, keripik singkong hingga kacang rebus. Dengan senang hati setelah semuanya telah pulang Qohar membuka dan mencicipi sebagian oleh-oleh dari para tetangga itu tanpa harus menunggu perintah dari Mbok Nah. Melihat aksi dan semangat Qohar cucu satu-satunya di dalam membuka bungkus demi bungkus itu, guratan-guratan kecil di wajahnya mulai bertambah dekil. Menyiratkan kebahagiaan yang tak ternilai.Semakin sumringah setelah melihat Qohar makan roti coklat belepotan. Ingatannya melayang jauh ketika Qohar masih lucu-lucunya, teringat pula tingkah polah Qohar sewaktu gagal menangkap anak ayam, berebut lauk dengan kucing sewaktu ditinggal dirinya mengambil air minum. Sewaktu ingin belajar makan sendiri lalu di tinggalnya dan belum lama di tinggal nasinya tumpah lalu dengan terburu-buru di tutupinya dengan debu, pada hal waktu itu Mbok Nah melihat semuanya dari balik pintu. Teringat pula di saat ia membuatkan titilo jago tilo membuat Qohar gembira bukan main, saking gembiranya kakinya kesandung dan terjatuh lalu menangs. Begitu mudahnya tawa itu menjadi tangis.
"Maknyak kok malah bengong maknyak tidak makan!" Tanya Qohar memecah kebekuan.
"Tidak. Tapi lapar!." Candanya dengan nada serius." Coba kamu lihat yang di plastik merah itu isinya apa.?"
"Maknyak kepengen?. Saya suapin ya Mak?." Tawar Qohar.
"Isinya apa?" Mbok Nah tetap kekeh dan kembali mengulang pertanyaannya.
"Ayam goreng."
"Jangan kau makan!. Buang saja atau berikan pada kucing!" Larang Mbok Nah sambil geleng-geleng kepala.
"Kenapa Mak?"
"Barang itu tadi di berikan dengan setengah hati. Itu artinya pemberiannya tidak ikhlas. Kamu tahu kan maksudnya?"
Qohar terdiam.
"Jika kamu pengen. Nanti kita beli sendiri!." Hibur Mbok Nah kemudian.
Prasangka
Dari prasangka
Penyesalan itu datang
Karena prasangka
kejernihan kalbu menghilang
Oleh prasangka
Beribu dusta terus menghadang
Di dalam sudut-sudut ruang
Di setiap sisi kehidupan
Telah beberapa hari Mbok Nah tidak mengunjungi sawahnya, karena keadaannya belum pulih benar. Sewaktu dirinya masih sehat, setiap hari setiap waktu ia habiskan hari-harinya hanya untuk di sawah. Jarang sekali Mbok Nah menghabiskan waktunya untuk mengobrol hingga berjam-jam seperti kebanyakan orang kampung pada umumnya. Sebelum ia kembali terjun ke sawah ia ingin memastikan jika dirinya sudah benar-benar sembuh. Kedua kakinya masih merasakan ngilu dan pegal-pegal. Pada hal sehari sekali sawahnya harus terairi agar bisa mendapatkan hasil yang di harapkan. Tidak ingin sawahnya telantar dan mengering begitu saja, Mbok Nah menyuruh Qohar agar ke sawah, mengambil jatah pengairan.
"Qohar...kamu ke sawah mengambil jatah pengairan. Nanti kalau ada yang melarang bilang saja sudah berhari-hari belum dapat jatah. Jangan sampai tidak dapat, soalnya mungkin sekarang sawahnya mungkin sudah kekeringan."
Di pematang Qohar bertemu dengan ibu-ibu yang tengah menyiangi rumput di sawah tetangga. Mereka bercuap-cuap ria dan saling mengungguli satu sama lain. Suasana rame mengisi hari-hari di persawahan. Tak jauh dari tempat para ibu-ibu yang bercuap ria itu ada lagi sekumpulan ibu-ibu yang juga tengah mengobrol dengan sesekali di selingi tawa yang secara tidak langsung telah menjadi sumber semangat tersendiri. Tanpa di sadari waktu terus berjalan dan tanpa terasa pekerjaan selesai lalu pulang. Begitulah orang-orang kampung dengan keluguannya mengisi hari-harinya.
Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan jatah pengairan, karena sawah-sawah di sekitarnya telah terairi. Air yang melimpah itu ia arahkan begitu saja kesawahnya.
"Yang mengairi kok kamu? Mbahmu ke mana?"
"Di rumah sedang tidak enak badan."
"Mbahmu katanya sakit ya?" Kebanyakan uang kalii?"Tanya seorang perempuan sambil mencabuti rumput. Sembari bercanda.
"Sakitnya sakit apa." Tanya seorang perempuan yang berselempang selendang.
"Hanya ngilu di kakinya."
"Ooh kena reumatik mungkin." Sahut yang lain.
"Biasanya kalau kebanyakan uang yang sakit itu kepalanya, karena pusing mau di kemanain itu uang, tapi kalau kakinya apa dibuat mikir?" Seloroh perempuan paruh baya yang tengah mengumpulkan rumput hendak di buang.
"Kamu ini ada-ada saja."
Begitulah para ibu-ibu buruh tani berkicau. Dari kewaktu selalu ada saja topik yang di bicarakannya.
Tidak ingin ikut hanyut dalam obrolan ibu-ibu itu. Qohar pergi menjauh memperbaiki dan mengecek saluran air sambil menyiangi rumputan liar di sela-sela tanaman padinya. Biasanya pekerjaan itu dilakukan sambil menunggu ratanya permukaan air. Di sepanjang guludan rumput-rumput liar dan ilalang di bersihkan dengan rapi. Samar-samar tanpa di sengaja, masih terdengar pembicaraan ibu-ibu tadi. Semenjak kedatangannya ke sawah pelan-Pelan mereka menggiring dan mengalihkan topik pembicaraan ke masalah neneknya. Di bawah terik panasnya mentari yang kian menyengat, tak menyurutkan para ibu-ibu itu untuk terus bergosip, bahkan kesannya malah terasa semakin asyik. Ada semacam rasa puas dan bangga menghinggapi hati mereka apabila mengetahui berita itu secara mendetail. Sekaligus sebagai hiburan untuk upaya keluar dari keadaan yang menelikungnya, terkungkung oleh rasa jemu, keram dan pegal-pegal di sekujur badan ketika mulai memasuki waktu dzuhur karena mulai di landa lelah dan capek, sudah waktunya istirahat untuk melepas lelah dan rasa capek. Mereka seperti terhibur dengan cara bergosip ria,dan seolah terobati akan sebuah candu yang telah lama mengakar dan bersarang di kepala para ibu-ibu itu. Sambil menyiangi rumput para ibu-ibu itu tak henti-hentinya ngomongin orang lain. Sementara Qohar semakin asyik pula dengan dunianya sendiri, mengairi sawah sembari menyiangi rumput, lalu sesekali pergi ke sungai dan nyebur dengan gaya sirkusnya.
"Kayaknya memang sudah cukup lama ya Mbok Nah tidak ke sawah." Ujar perempuan yang dari tadi pagi pekerjaannya hanya membuang rumput ke selokan
"Mungkin sakitnya sudah ada seminggu kalau tidak salah semenjak dari balai Desa." ujar yang lain.
"Mbak yu tak bilangin!. Jangan bilang ke orang-orang ya? Kabarnya Mbok Nah itu sudah tidak di perbolehkan ngaji di majlis taklim asuhan pak Yai Idris karena bisa mendatangkan aib bagi Majlis Ta'lim itu sendiri. Kalau Mbok Nah tetep nekat ikut pengajian itu sama artinya dia mencemarkan nama baik pak Yai. Sampai-sampai kata Mbok Karti yang ikut pengajian kemarin, pak Yai berpesan pada seluruh para jamaah, agar supaya berhati-hati di dalam bekerja, bertindak maupun bersikap. Jangan menjadi manusia yang kebablasan. Jangan sampai menjadi Mbok Nah yang kedua kali, yang lurus-lurus saja gitu lho." Bisik Nyai Sarkem kepada katimeh.
"Katanya Mbok Nah cuma jadi makelar tanah?" Timpal Katimeh pelan.
"Makelar sih makelar tapi buktinya kan kayak gitu. Sekongkol dengan orang-orang kafir." Ujar nyai Sarkem yang menyamakan orang-orang asing itu dengan orang kafir.
"Sakitnya mungkin adzab dari gusti Allah." Seorang perempuan yang lain berkesimpulan.
"Adzab kepalamu!. Lha wong Mbok Nah itu katanya bela-belain ke balai Desa demi keadilan kok!." Bela Kasanah, tetangga jauh Mbok Nah yang sejak tadi diam saja. "Dia itu protes dengan aturan yang di buat pak Carik yang katanya berubah-ubah itu!."
"Aku dengar-dengar sih katanya Mbok Nah itu menempelkan kertas, entah isinya apa gitu lho di papan balai desa, sehingga memancing amarah para perangkat Desa."
"Bukan begitu, tapi yang jelas menurutku Mbok Nah itu cuma negur atau sekedar mengingatkan pihak pemerintah Desa. Pihak pemerintah Desa kan juga manusia yang bisa saja salah dan khilaf."
"Siapa lagi yang mau menegur atau mengingatkan pemerintah kalau bukan masyarakatnya seperti kita. Benar apa tidak.?" Kata yang lain kepada rekan-rekannya.
"Aku saja setahun yang lalu waktu membukukan surat tanah yang di belakang rumahku itu baru jadi kemarin, itupun karena sering-sering tak beri uang tambahan biar cepet kelar, sampai habis dua juta lho!."
"Apa semua itu harus dibiarkan terus menerus.?
"Yaah mau bagaimana lagi. Ya dimaklumi saja. Lha wong nyalon kades saja modalnya sudah ratusan juta. Dari mana modal bisa kembali kalau bukan dari masyarakat!." Pungkas kasanah nerocos begitu saja, lalu berlari-lari kecil menuju sungai, hendak ngising.
Beberapa hari ini Mbok Nah menjadi bahan perbincangan, entah itu di rumah, di warung, di sawah, bahkan di majlis ta'lim dan tempat-tempat pengajian para ibu-ibu. Kini Qohar telah terbiasa mendengar neneknya diperbincangkan. Tak ada lagi rasa heran maupun kaget mendengar pembicaraan-pembicaraan konyol tentang neneknya. Selesai mengairi sawah ia langsung pulang dan tidak lupa di setiap jejak langkahnya di sepanjang perjalanan ia sempatkan diri untuk memunguti kayu-kayu kering. Tanpa terasa semakin banyak kayu bakar yang di dapatnya, Dengan tergopoh-gopoh ia membawanya sambil sesekali istirahat di bawah rimbunnya pohon asem. Di waktu yang sama, tak jauh dari tempatnya beristirahat, Terparkir sebuah mobil jazz, salah seorang penumpangnya datang menghampirinya. Sejenak ia teringat beberapa hari yang lalu dengan orang yang akan mendekati dirinya. Ia teringat sewaktu rumah neneknya di datangi dua orang tamu asing yang tidak begitu di kenalnya itu, ia mengenali betul wajah orang yang mulai mendekatinya. Namun ia tak mengetahui siapa nama orang itu.
"Memang itu orang nya." Ujar pak Puji,sopir pribadi pak Amin yang tengah menunggu di pintu mobil setengah berteriak.
"Hai bocah bagus kamu cucunya Mbok Ginah, bukan?" Tanya pak Amin setelah menghampiri Qohar.
"Ya pak. Saya cucunya."
"Di mana dia sekarang?"
"Di rumah, masih sakit, kemarin sewaktu Maknyak pulang dari balai Desa badannya langsung panas demam. Maknyak di hukum di balai desa." Ujarnya polos.
"Oohh...Ya sudah jangan bersedih!" Hiburnya kemudian. "Ayo ikut sekalian. Taruh kayunya di atas bak, kita ke rumahmu!."
Ajak pak Amin dengan mengangguk-angguk.
Di teras rumah Mbok Nah duduk selonjor diatas dipan sambil mengupasi kacang tanah. Sementara Qohar, pak Puji dan pak Amin baru datang beberapa menit kemudian.
Tanpa basa-basi Pak Amin dan pak Puji langsung menanyakan tanah kapling yang telah di blokir itu. Qohar masuk ke rumah hendak makan siang, yang sebelumnya telah dipersiapkan Mbok Nah.
"Nenek masih sehat?"
"Alhamdulillah sehat."
"Nenek sudah tau mengenai tanah kapling yang telah kami beli kemarin sekarang telah di blokir?.Tanya pak Amin sambil duduk di sebelah Mbok Nah.
"Ya tahu. Saya mohon maaf pak. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kata Sarmi kemarin tanah itu sudah di palangi kayu. Saya tidak mengira kalau akhirnya di tutup seperti itu. Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini."
"Oke kalau Nenek tidak mengerti. Tapi setidaknya Nenek tahu jika tanah itu bermasalah kan? Lalu kenapa Nenek tidak berterus terang saja dari awal. Sehingga kami dari pihak perusahaan yang merugi. Anda tidak sekongkol kan, dengan pelaku pemblokiran?." Tanya pak amin dengan sungguh-sungguh. Tetapi tak sepatah katapun yang terlontar dari Mbok Nah.
"Tolong jawab dengan jujur Nek?" Sela pak Puji menambahkan. Mbok Nah masih tertunduk lesu, dari kedua bola matanya meleleh bulir-bulir air mata.
"Aku benar-benar tidak tahu dengan semua ini."
"Saya lebih tidak mengerti, kenapa Nenek bisa di hukum di balai desa?"
"Bagaimana semua itu bisa terjadi?"
" Nenek bisa berbagi kepada kami perihal kejadiannya, sehingga bisa sampai di hukum?"
"Tidak. Saya tidak di hukum, saya hanya ditahan di kurung beberapa jam."
Lalu Mbok Nah bertutur tentang peristiwa itu hingga tuntas. Selesai bertutur tentang pengalaman pahitnya, pak Amin meminta ijin agar Mbok Nah bersama Qohar bersedia di potret.
"Kok di photo segala untuk apa? Wong saya sudah tua gini kok!" Tukas Mbok Nah dengan lugu. .
"Nek! perusahaan kami selain mengelola pabrik kertas dan juga mengelola media cetak harian, dan rencananya tahun depan perusahaan kami akan merambah di bidang pengolahan hasil perkebunan di lima wilayah di Indonesia. Dan jangan salah nek! pak Amin yang memotret ini selain mempunyai pekerjaan sebagai konsultant juga merangkap sebagai seorang wartawan, spesialis ilmu pengetahuan dan informasi." Ujar pak puji menerangkan." Nenek tahu itu?”
"Yaah aku hanya orang kampung."
"Ooh ya nek! kami baru saja meliput sebuah insiden pembunuhan di desa Sekar, tak jauh dari kampung ini. sebelum kami meninjau bakal lokasi proyek yang tengah di blokir itu.Nenek belum tahu kan kabarnya?”
"Aku malah tidak tahu pada hal desa sekar itu tetangga kampung ini.
"Kejadiannya tadi malam Nek! seorang istri di bakar suaminya di belakang rumahnya sendiri. Awalnya warga menyangka pelaku pembakaran sedang membakar sampah, karena di jumpai banyak kertas kardus dan kertas folio di sekitar lokasi pembakaran. Baru kemudian pagi harinya warga kampung di buat geger setelah seorang pemulung menemukan jasad seorang perempuan tanpa busana yang telah gosong di sekujur tubuhnya, kuat dugaan suaminya sedang stress berat karena tidak dilayani istrinya malam itu. Dari saksi mata seorang penjual jamu, sebelumnya pelaku memesan dua butir jamu kuat..
"Masya allah!!. Ujar Mbok Nah takjub sambil mengurutdada.
Hanya berselang dua hari kemudian, kisah pilu Mbok Nah di balai Desa lengkap beserta dua fotonya bersama Qohar terpampang di salah satu harian terbitan Ibu kota. Belum ada satupun warga kampung Bendo dan sebagian besar warga Desa Rakusan yang mengetahui perihal nongolnya Mbok Nah di harian Ibu Kota itu. Tetapi dari pihak balai Desa, hanya berselang satu hari kemudian setelah berita itu diturunkan para perangkat Desa Rakusan baru mengetahuinya. Begitu diketahui berita mengenai penuturan Mbok Nah yang blak-blakan itu di sebuah harian Ibu Kota, pihak pemerintah Desa Rakusan langsung geger di buatnya seperti kebakaran jenggot. Dengan cepatnya bola liar berita itu menggelinding ke segenap sudut-sudut perkampungan. Di warung makan, pos kamling, aula, musholla maupun masjid. Pak Lurah sendiri setelah melihat berita tentang kelakuan buruknya beserta jajarannya di tulis di sebuah media massa terbitan ibukota, darah pak Lurah seakan ikut mendidih. Bagi Pak Lurah, kewibawaannya kali ini benar-benar tercoreng. Di tampar sekeras-kerasnya oleh perempuan Renta yang hakikatnya tidak mempunyai daya dan upaya. Mbok Nah sendiri semenjak berita mengenai profil dirinya diturunkan, ia sama sekali tidak tahu menahu. Tetapi ia harus mengalah kepada nasib. Pihak pemerintah Desa Rakusan menduga semua ini adalah sebuah rekayasa terencana, permainan dari Mbok Nah seorang. Sebuah permainan fatal yang tidak bisa di maafkan. Berita itu dinilainya sudah lebih dari mencemarkan nama baik Desa Rakusan. Atas dugaan pencemaran nama baik itulah Mbok Nah kembali di gelandang ke balai Desa Rakusan.
Belum sepenuhnya pulih dari rasa sakit lahir bathin yang menderanya, Mbok Nah harus menghadapi kembali kenyataan pahit. Berhadapan dengan manusia-manusia yang bertindak dan bersikap seperti anjing-anjing yang kelaparan. Kembali dihujani pertanyaan-pertanyaan konyol yang seharusnya tidak pantas untuk di pertanyakan. Kali kedua Mbok Nah di tahan justru terasa lebih menyakitkan. Tetapi karena kali ini ia lebih siap lahir bathin sehingga tidak terlalu menggoncang jiwanya. Penahanannya di balai Desa kali ini bahkan tanpa ada kepastian kapan akan dibebaskan, karena dari pihak pemerintah Desa Rakusan menyatakan masalah yang kedua kali ini masih dalam tahap pengkajian. Pada hal untuk menunggu masalah di kaji ulang terlebih dahulu, bisa saja dari pihak pemerintah Desa mengulur-ulur waktu sebagai sebuah bentuk pembalasan. Sementara Qohar di usianya yang belum genap sepuluh tahun harus mulai membiasakan diri bolak balik dari rumahnya ke balai Desa Rakusan atau sebaliknya, perjalanan itu di tempuhnya sejauh enam kilo meter. Jarak yang lumayan melelahkan untuk ukuran anak kecil seusia Qohar. Menjenguk neneknya saban pagi dan sore hari, mengantarkan makanan, pakaian dan keperluan lainnya. Tiga hari berlalu, Qohar dengan setia menjenguk neneknya di tahanan gadungan itu. Hingga suatu hari di sore hari, seusai pulang dari balai Desa Rakusan, Qohar kedatangan dua orang tamu yang mengaku sebagai wartawan tempo hari, suatu kebetulan. Mereka terdiri dari pak Amin, dan pak Puji.
"Nenekmu ada di rumah?" Kata pak Puji kepada Qohar.
"Tidak ada. Lagi di balai desa."
"Karena kami terburu-buru, ini ada sedikit uang sebagai ungkapan rasa terima kasih kami karena kemarin nenekmu mau meluangkan waktunya dengan kami, untuk sekedar berbagi cerita dan peristiwa." Kata pak Amin sambil menyodorkan secarik amplop berisi uang.
Oleh Qohar amplop itu diterima dengan wajah memerah, matanya berkaca-kaca, lalu di bukanya dengan seksama. Dan setelah mengetahui isi amplop itu berisi uang, kemudian tanpa pikir panjang uang itupun di buang dan tercecer di tanah.
"Gara-gara uang itu maknyak di hukum lagi.."
"Dasar anak kecil, sombongnya selangit. Apa maksudnya uang itu kamu buang!" Kata pak Amin dengan geram lalu membuang ludah.
"Orang miskin yang tidak tahu diri." Timpal pak Puji menambahkan..
Tak ada kebencian atas hujaman kata-kata kasar yang dilontarkan para tamu itu kepadanya, yang tergurat di wajahnya hanyalah wajah kepolosan seorang anak kecil yang tengah di rundung duka. Air matanyanya terus meleleh meski telah berulang kali ia menyekanya.
"Maafkan saya ya bocah bagus, bukan maksudku untuk menghinamu. Tapi kenapa uang pemberianku harus kau buang ?" Rasa bersalah itu tiba-tiba bergelayut di benak pak Amin setelah melihat beningnya air mata bocah kecil itu yang terus meleleh.
"Karena photo yang beredar di koran itu maknyak kembali di marahi, dan sekarang masih di hukum di balai Desa."
"Ya Tuhan kenapa bisa jadi begini runyam urusannya. Ya sudah kalau begitu, kamu sekarang ku antar ke balai Desa. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk nenekmu. Kita tidak boleh gegabah, hanya pihak yang berwenang yang berhak menyelidiki masalah ini. Jangan khawatir! biar nanti saya hubungi pihak yang berwenang agar segera membebaskannya." Kata pak Amin meyakinkan lalu diambilnya handphone dari dalam kantong celananya dan menelepon pihak Kepolisian.
Hari itu juga Qohar diantar ke balai Desa dan hanya diantar sampai di seberang jalan, tepat didepan balai Desa. Sebelum berpisah pak Amin memberikan sebuah bungkusan berisi biskuit sembari berpesan kepada Qohar agar tidak usah lagi mengkhawatirkan keadaan Neneknya, karena nanti polisi akan datang dan membebaskan neneknya.
"Jangan khawatir!. Nenekmu pasti akan baik-baik saja, polisi nanti akan datang menyelamatkan Nenekmu. Karena hari ini kita ada meeting di kantor. Insya Allah saya akan datang kerumahmu untuk menindak lanjuti masalah ini." Lalu merekapun pergi.
Memasuki balai Desa Rakusan seperti memasuki sarang binatang buas. Kalau bukan karena keterpaksaan, mungkin Qohar tidak akan pernah sudi untuk menyambanginya. Juga karena ketulusan cintalah Qohar memberanikan diri menemui neneknya di balai Desa. Di mata Qohar, para perangkat Desa Rakusan tak ubahnya seperti monster yang menakutkan. Seorang perangkat Desa yang berbadan tambun, besar, tinggi dan berkumis tebal dengan mata melotot terlihat mondar-mandir layaknya setrika, tepat di depan kamar yang di huni neneknya. Sementara di pojok ruangan, empat orang yang masih berbaju dinas tengah bermain kartu. Dengan tegar Qohar memberanikan diri menemui Neneknya, membawakan selembar jarek dan sebungkus nasi serta biskuit pemberian dari pak Amin. Tak sampai satu jam kemudian, apa yang dikatakan pak Amin terbukti. Sejumlah enam orang polisi tiba-tiba mendatangi kantor kepala Desa Rakusan, dua diantaranya memakai baju sipil.
"Selamat siang pak!"
"Ya siang. Ada apa ini?"
"Kami dari kepolisian mendapatkan surat perintah penyelidikan mengenai adanya dugaan penyekapan terhadap seorang Nenek. Ini suratnya!." Belum lagi tuntas surat itu di baca, seorang perangkat Desa berbadan kurus dan berpakaian batik menanyakan perihal siapa yang mengadukan masalah ini ke kepolisian. Di dalam surat itu tanpa dicantumkan nama terang sebagai pihak pelapor. tetapi data-data dan alamat pelapor telah di kantongi di kepolisian. Pelapor mengatas namakan PT Wahana Nusantara.
"Bagaimana bisa masalah ini ditindak lanjuti tanpa adanya pihak pelapor? ini fitnah!siapa yang mencari gara-gara seperti ini?." Ujar seorang perangkat Desa yang hanya mengenakan kaos dalam.
"Yang jelas ada yang melapor pak!. Mustahil kami ditugaskan tanpa adanya perintah."
"Bapak lihat sendiri, disini tidak ada apa-apa seperti yang di tuduhkan pihak pelapor.silahkan di cek kebenarannya kalau tidak percaya!" Ucap perangkat yang lain membela diri.
Seolah para perangkat Desa Rakusan sudah tahu, apa yang seharusnya dikerjakan.Tanpa harus membagi tugas masing-masing, salah seorang petugas memperlakukan Mbok Nah dan Qohar dengan layak atau bahkan mungkin seperti raja di depan para polisi. Dan faktanya para Polisi memang mendapati seorang nenek beserta seorang cucunya di dalam sebuah ruangan, fakta itu tidak berbanding lurus dengan apa yang di tuduhkan pihak pelapor. Dari fakta-fakta yang ada seorang nenek beserta cucunya tengah makan dengan lahapnya di sebuah kamar yang lebih mirip gudang. Tidak ada bukti adanya penyekapan ataupun penganiayaan.
"Nenek itu beserta cucunya kami temukan tengah luntang-lantung di depan balai Desa.Itulah yang membuat kami iba dan kami beri makan seadanya, lagian nenek itu telah berulang kali memalukan pihak balai Desa dengan caranya yang mondar-mandir di depan balai Desa tanpa ada perlunya, pantas saja makannya kami beri tempat di gudang."
Dari tingkah polah dan sikap para perangkat Desa, sejumlah Polisi itupun memahami jika para perangkat Desa Rakusan tengah membela diri terutama cara-cara musangnya itu terbaca dari keterangan yang terakhir. Tercium gelagat aneh nan ganjil yang seharusnya tak di ambangkan ke permukaan.
"Ya sudah kalau begitu sediakan kami makan siang, kalau tak ingin di periksa lebih lanjut." Kata seorang polisi kepada seorang perangkat yang berbadan tinggi dan berkumis.
Tanpa babibu salah seorang perangkat langsung bergegas menuju warung makan yang terletak disamping balai Desa. Selesai di jamu makan siang, salah seorang polisi mengecek kembali keadaan perempuan tua itu beserta cucunya di didalam sebuah ruangan yang lebih mirip gudang itu.
Di ruangan itu Mbok Nah dan Qohar terlihat tengah makan buah jeruk, pemberian dari salah seorang perangkat Desa. Satu upaya pengelabuan untuk bersembunyi dibalik topeng kemunafikan. Dengan nada halus, seorang polisi yang berambut keriting itu lantas menanyainya.
"Nenek kenal dengan PT Wahana Nusantara?"
"Saya tidak kenal, tidak tau apa-apa."
"Punya saudara di PT Wahana Nusantara? "
"Tidak punya."
"Maaf. Seberapa luas sawah dan tanah Nenek?"
"Untuk apa?. Saya hanya punya sawah dan kebun tinggalan."
"Bukan begitu Nek!. Seandainya kalau masalah ini masuk ke ranah hukum dan berlanjut ke pengadilan, maka bukan tidak mungkin sawah dan kebun Nenek akan habis untuk membiayai pengadilan, Seperti yang sudah banyak terjadi."
"Siapa yang sudi membawa masalah ini ke pengadilan? ke kantor polisi saja aku tak pernah!.Aku tidak mau masalah ini menjadi runyam, Aku sudah tua, sudah capek harus berlama-lama terkungkung dengan penderitaan. Di usia tuaku, ingin kuhabiskan waktuku di rumah bersama cucuku. Aku ingin hidup tenang bersama cucuku."
"Ya sudah. Kalau begitu Nenek boleh pulang sekarang."
Tanpa berbelit-belit Mbok Nah dan Qohar di ijinkan pulang. Keesokan harinya Pak Amin datang memenuhi janjinya, pak Amin datang bersama dua orang, seorang berkaos putih berbadan tambun dan seorang lagi berjas rapi dan bertopi untuk sekadar menutupi kepalanya yang pelontos. Mereka datang dengan mengendarai mobil BMW keluaran terbaru. Dari dalam mobil pria tambun itu mengeluarkan beberapa bungkusan plastik warna hitam serta dua kaleng biskuit berukuran sedang. Diteras rumah, Qohar masih asyik menikmati pekerjaaannya, mengupasi pisang yang telah masak untuk bahan dasar pembuatan nogosari. Rencananya nanti malam Mbok Nah akan menggelar syukuran kecil-kecilan. Pagi itu Mbok Nah sudah tidak ada di rumah, ia pergi ke kebun mengambil keperluan dapur dan juga daun pisang.
"Bagaimana kabar nenekmu?. Ada di rumah, bukan?"
"Tidak ada, Nenek sedang ke kebun."
"Bisa kau panggilkan sekarang!"
"Ya pak. Tunggu sebentar " Terlebih dahulu dengan cekatan Qohar membersihkan sisa kulit-kulit pisang yang tercecer untuk dikumpulkan lalu di buang di belakang rumah. Belum sempat di tunaikannya perintah dari pak Amin. Tiba-tiba Mbok Nah sudah kembali pulang dengan membawa bemacam barang bawaan. "Itu Maknyak sudah pulang!." kata Qohar kepada pak Amin sembari menunjuk lurus kearah Mbok Nah.
"Maknyak ada tamu!"
"kenapa tak kau suruh masuk?"
"Saya lupa."
"Masih kecil kok sudah pikun. Ini daun pisangnya jerang di depan tungku lalu jahe sama kunyitnya taruh di ember."
"Silahkan masuk pak? Tadi malam cucuku sudah cerita semuanya. Saya tidak tahu harus ngomong apa. Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan dan tidak lupa saya haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kebaikan dan ketulusan bapak-bapak. Kini Alhamdulillah Saya bisa kembali kerumah, dengan keadaan sehat wal afiat."
"Sudah lupakan saja Nek!. Biarlah itu semua menjadi pelajaran hidup."
"Lalu bagaimana nasib orang balai Desa?apakah mereka di tangkap?"
"Aku tidak tau apa-apa, aku hanya di tanyai seorang polisi seputar harta bendaku sebelum di ijinkan pulang. Sementara para perangkat Desa membiarkanku pulang bersama cucuku begitu saja. Sebelumnya cucuku melihat mereka makan bersama di aula depan dan di waktu yang sama kami juga di beri makan ditambah pemberian sesisir pisang raja dan jeruk beberapa buah. Tapi pak! biarlah masalah ini cukup sampai di sini. Jangan di besar-besarkan apalagi di perkarakan aku khawatir melihat masalah kriwikan menjadi grojogan."
"Saya melihat ini semua penuh dengan persekongkolan dan kesewenang-wenangan dari segelintiran orang yang sengaja menghalang-halangi niat tulus kami. Sehingga lahan bakal proyek yang telah kami beli dengan sah menjadi terbengkalai karena keputusan sepihak, ini sama sekali tidak adil. Apabila masalah ini di lanjutkan apa yang harus di takutkan?. Kita tidak perlu takut, tak ada yang perlu ditakutkan dalam masalah ini, bahkan kepada siapapun juga termasuk para perangkat Desa Rakusan bangsat itu. Kita tidak boleh takut kecuali hanya kepada Allah!."
"Begitu fasih kau melafadzkan kalimah Allah. Bukankah kau dari etnis tiongkok?"
"Bukan. Saya bukan dari etnis tiongkok. Saya keturunan betawi tulen. Hanya saja mungkin sejak kecil, saya di rawat dan dibesarkan oleh orang Tiongkok sehingga saya mirip seperti orang tiongkok dari caranya bersikap maupun bertindak. Kata Ayah angkatku dulu semasa aku terlahir, aku tertahan di rumah sakit. Karena orang tuaku tidak mampu membiayai biaya persalinan dan ditambah lagi ibuku wafat sesaat kemudian setelah melahirkanku, ayahku sendiri seperti tak kuasa menahan beban penderitaan setelah tahu belahan jiwanya sudah tidak lagi bernyawa. Di tambah lagi hutang pembiayaan rumah sakit yang masih terkatung-katung tidak jelas kapan bisa terbayar. Waktu itu ayahku sengaja menahanku di rumah sakit karena tidak mempunyai biaya untuk menebusnya. Kepada setiap orang yang di temui tanpa rasa malu, ayah meminta bantuan biaya tapi hasilnya nihil, tak seorangpun yang mau membantu membiayai biaya persalinan yang lumayan besar waktu itu . Mendengar kabar mengenai ketidak mampuan ayahku di didalam membiayai biaya persalinan, Lie kang tjoan seorang tetangga yang kebetulan dari etnis tiongkok membantu membiayai seluruh biaya persalinan. Sebagai sebuah bentuk penghormatan dan rasa terimakasih, ayahku memberikan hak asuh kepada Lie kang tjoan dan meminta kesediaannya untuk memberikan sebuah nama. Jadilah diriku menjadi Amin ong gwee. Atas pemberian nama yang berbau tiongkok itu aku sangat bersyukur dan sama sekali tidak mempersoalkannya. Tetapi justru saya sangat bangga karena itulah keadilan dari Tuhan. Saya paling paling benci dengan ketidak adilan. Berangkat dari kenyatan pahit itulah saya menjadi begitu mencintai orang-orang tiongkok dalam berbagai hal. Ayahku bertutur. Semenjak ayahku belum terlahir, di kampungku memang sudah bermukim orang-orang tiongkok dari klan Tjoan
"Apakah Nenek tidak melihat jika semua ini penuh dengan ketidak adilan, kemunafikan?. Sebuah bentuk dari kedzaliman!. Nenek tidak usah khawatir, biar nanti saya dan rekan yang akan mengatur semuanya.
Mbok Nah terdiam, seraut wajahnya muram lalu tertunduk lesu. Hatinya seperti tersayat jika teringat kisah pilu bagaimana ia dilahirkan dulu. Ia kembali teringat semasa ia di lahirkan dulu. Ibunya Nyai Rasup sang pejuang tanpa tanda jasa itu pernah bercerita tentang bagaimana Mbok Nah kecil terlahir di tengah-tengah kesusahan. Waktu itu Nyai Rasup tengah mengandung, usia kandungannya mulai menginjak sembilan bulan. Saat itu suasana sedang gawat-gawatnya. Rumah-rumah pemukiman warga pribumi di kepung para penjajah, Pemerintah kolonial Belanda kembali melancarkan serangannya secara besar-besaran. Serangan yang membabi buta itu tidak hanya terfokus dari daratan, melainkan juga dari udara dan laut. Benar-benar keadaan suatu Bangsa sedang genting-gentingnya. Di hari itu para tentara Nasional dan warga sipil banyak yang gugur di medan pertempuran, kalaupun selamat tidak sedikit diantara para pejuang maupun warga sipil yang terperangkap di medan pertempuran. Perkampungan warga di kepung meskipun tempat perkampungan itu terletak di lereng-lereng gunung sekalipun. sebagian Ibu-ibu dan anak-anak yang selamat dan berhasil lolos dari kepungan tentara kolonial Belanda lari tungang langgang ke atas gunung.
Sedangkan Nyai rasup sendiri menyelamatkan diri bersama suaminya Ki Rasup. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa Nyai Rasup dan suaminya lari dengan tertatih-tatih, menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Nyai Rasup yang tengah hamil sembilan bulan, tak menyurutkan langkahnya untuk terus melangkah meniti jalanan berliku. Pada hari itu adalah serangan kali kedua dilancarkan. Kali ini yang menjadi sasaran adalah pemuda-pemuda desa yang masih tersisa yang di perkirakan masih bersembunyi di rumah-rumah warga. Di balik hutan larangan dan di lereng-lereng gunung Muria. Beberapa hari sebelumnya para pemuda-pemudi desa termasuk Ki Rasup suaminya, menyerang sebuah markas milik tentara Belanda yang disinyalir didalamnya tersimpan bahan makanan dan obat-obatan. Di markas tentara kolonial Belanda itu hanya tinggal lima orang tentara Belanda, tiga orang di dalam dan dua orang lagi berjaga-jaga di luar. Bagi para pemuda Desa, itu adalah suatu kesempatan emas untuk segera menyerbu dan menjarah segala yang ada di dalamnya. Dengan segera para pemuda Desa mulai menghimpun kekuatan, seluruh anak muda Desa di kerahkan dan pecahlah pertempuran sengit itu. Dalam hitungan menit lima orang tentara Belanda itu tewas seketika, tertombak oleh tajamnya bambu runcing yang sebelumnya telah di doakan dan di jampi-jampi terlebih dahulu oleh beberapa sesepuh Desa. Tanpa menunggu waktu, puluhan pucuk senjata, bahan makanan dan obat-obatan dijarah seluruhnya. Sehari setelah peristiwa itu. Disaat matahari di ufuk barat belum menenggelamkan diri. Terdengar suara peluru berdesingan. Seluruh perkampungan di obrak-abrik lalu di bakar habis. Rumah-rumah warga banyak yang hancur berkeping-keping, rata dengan tanah. Sebelum nyawa Nyai Rasup ikut hangus terpanggang dalam bara api yang membara itu, Nyai Rasup sudah terlebih dulu menyelamatkan diri bersama Suaminya. Sore itu menjelang maghrib orang tua para ibu dan anak-anak terperangkap. Mereka di arak sedemikian rupa seperti kambing-kambing yang tak berdaya ke distrik militer di dekat rumah letnan Abraham. Seperti biasanya, disana mereka di sekap beberapa hari lalu di paksa membuka rahasia kemudian di bebaskan. Adapula yang di hukum jemur di tengah-tengah lapangan, di jerang di bawah panas terik matahari hingga berhari-hari lamanya. Dengan tertatih-tatih Nyai Rasup dan Suaminya terus menapaki jalanan curam dan terjal, mencari tempat persembunyian. Belum sempat Nyai Rasup bersama suaminya menemukan tempat persembunyian. Tetapi takdir berkata lain, Ki Rasup yang mulanya menyuruh Nyai Rasup agar berjalan di depan dan mendahuluinya itu akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Tepat di belakangnya Ki Rasup yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi dirinya itu, kini telah tertempak peluru panas. Nyai Rasup melihat sendiri bagaimana ki Rasup menggelinjang mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru panas yang tembus di bagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu juga mengucur membasahi kerah baju dan lehernya. Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir dari jasad Ki Rasup. Dilihatinya wajah suaminya itu. Guratan senyum yang merekah menjelang kepergiannya, tak seperti biasanya. Tak banyak kata-kata terakhir yang terucap dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ki Rasup hanya berpesan dengan suara yang mulai terputus-putus.
"Selamatkan anakmu Imran!. Dia ku letakkan di bawah tanah di kamar kita, tepat di bawah tempayan."
Tak lama setelah itu Nyai Rasup menjumpai raga suaminya yang kaku, tak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Dipeluknya bangkai yang tidak bernyawa itu erat-erat. Ki Rasup telah mati. Ya ia telah mati, jasadnya telah berubah menjadi mayat. Orang yang selama ini melindunginya telah terkapar di depan mata. Dari kedua bola matanya tanpa disadari merembes bulir-bulir air mata membasahi wajahnya yang coreng-moreng oleh abu untuk mengelabui musuh itu. Nyai Rasup yang lemah, tidak berdaya tidak kekurangan akal, ia sempat pura-pura pingsan beberapa menit lamanya, tepat di atas mayat Ki Rasup. Air matanya tak henti-hentinya jatuh berderai membasahi mayat suaminya. Semua itu dilakukannya untuk sekedar mengelabui musuh. Lalu demi jabang bayi yang masih di kandung badan selama hampir sembilan bulan itu, perlahan dengan langkah gontai Nyai Rasup meninggalkan jasad suaminya yang telah membujur kaku. Dibiarkan jasad suaminya tergeletak begitu saja tanpa seorangpun yang mengurusnya. Dalam batin Nyai Rasup berjanji kepada diri sendiri. Suatu saat apabila nyawaku masih di kandung badan akan kudatangi, akan aku cari dimana mayat suamiku tergeletak. Akan ku caritahu di mana keberadaannya, walaupun hanya tinggal bangkai. Akan kukemas bangkainya sedemikian rupa, lalu kupersembahkan kepada anak cucuku kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan dan kehidupan adalah pada kematiannya. Kepada anak cucuku kelak akan ku serukan, bahwa semangat hidup takkan pernah mati dan perjuangan tak akan pernah usai.
Di depan mata, Nyai Rasup menyaksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh untuk menjadi korban kerakusan manusia, mereka telah tertulis masanya. Bahwasannya mereka akan tiada di waktu yang akan tertera. Mereka para ibu, orang tua dan anak-anak, lari terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan histeris ke atas gunung berhutan. Sebagian lagi terkena coretan ilahi, mati. Tergeletak berserakan di jalan-jalan tikus di bawah tebing. Nyai Rasup sendiri lari sebisanya ke dalam hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan seakan-akan tepat di atas kepala. Spontan Nyai Rasup tiarap di tanah. Dalam tiarap itu Nyai Rasup seperti setengah sadar. Dalam ketidaksadarannya Nyai Rasup merasa ruh telah meninggalkan jasadnya. Dengan serta merta berusaha di ikhlaskan raganya yang tidak lagi bernyawa itu. Tapi itu semua hanyalah perasaan takutnya yang berlebihan. Tanpa disadari karena terlalu lama tiarap di tanah Nyai Rasup telah mendiami dunia antah berantah, dunia bawah alam sadar, Nyai Rasup ketiduran. Begitu terbangun hari telah tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam. Padang rembulan seperti tepat diatas kepalanya. Ditengah malam itu mulai dirasakan sakit di perutnya, lalu dicarinya tempat yang kering di bawah pepohonan hutan jati diantara rindangnya pohon kemuning. Saat berkontraksi rasa sakit di perut tak henti-hentinya mendera, rasa mulas yang luar biasa sakit tidak seperti biasanya. Sambil menahan rasa sakit dikumpulkannya helai demi helai dedaunan kering, ditata sedemikian rupa untuk sekedar tempat berbaring. Sendirian Nyai Rasup bergulat antara hidup dan mati, berteman pohon-pohon besar yang setia meneduhinya. Hanya sepercik sinar rembulan yang sudi menerobos masuk untuk meneranginya, menemani dalam kesusahan. Di keheningan malam itu suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi mungil. Tangis bahagia menemaninya malam itu. Beralas dedaunan kering dilahirkannya seorang bayi perempuan tanpa sentuhan pertolongan dukun beranak, tepat di tengah malam. Bagaimana pedihnya perjuangan seorang ibu di dalam melahirkan dan bertahan untuk bisa tetap hidup, sungguh tidak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata. Perlu rentang waktu dari mulai mengandung, melahirkan hingga menyusui selama tiga puluh bulan.
Pak Amin masih menunggu jawaban dari Mbok Nah. Lalu kembali bertanya dengan nada agak lebih keras.
"Apakah Nenek sendiri tidak tau jika semua ini adalah bentuk kedzaliman atau bahkan mungkin satu bentuk penjajahan baru?"
Mbok Nah tersentak oleh pertanyaan pak Amin yang kedua. Terputus dari lamunan panjangnya.
"Saya tahu, dari zaman dahulu hingga kini saya sudah terbiasa melihat dan mengalami sendiri, bagaimana susahnya mengurus surat-surat tanah. Dari pihak pemerintah Desa selalu mempersulit, mengulur-ulur waktu hingga bertahun-tahun. Tapi apa yang terjadi setelah Aku mencoba untuk protes, sekedar ingin mengingatkan barang secuil, Anda tau sendiri apa yang ku alami dan ku rasakan kini."
"Mulai sekarang Nenek tidak perlu takut dan tidak perlu khawatir. Biarlah dari pihak kami nanti yang akan mengurus semuanya."
Siang itu seluruh warga Desa Rakusan di buat geger. Kantor kepala Desa di grebek pihak kepolisian. Kepala Desa Rakusan beserta para kroni-kroninya di tangkap dan di tahan. Lagi-lagi masyarakat Desa Rakusan tidak banyak yang tahu persis mengenai akar permasalahan itu. Warga Desa Rakusan hanya bisa menerka-nerka dengan kejadian di hari sebelumnya. Kesimpangsiuran berita penggerebekan itupun tidak dapat di elakkan. Kecurigaan mengarah dan bermuara kepada Mbok Nah yang diketahui sehari sebelumnya di tahan di balai Desa. Tak satupun warga Desa Rakusan yang tahu jika yang memperkarakan masalah itu adalah pak Amin. Dalam sebuah perbincangan di handphone tempo hari pak Amin mengancam pihak kepolisian, ancaman itu tidak main-main apabila permintaan penahanan kepala Desa tidak diindahkan maka pak Amin tidak segan untuk memberitakan ke publik perihal pembiaran dan kongkalikong dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ke berbagai media.
Sejak peristiwa penggerebekan balai Desa Rakusan oleh pihak kepolisian, pelan dan pasti Mbok Nah menjadi terkucil dari pergaulan. ia menjadi sesosok mahluk yang terasing di keramaian. tak ada lagi tegur sapa yang merapat padanya. satu-satunya yang masih tetap bersahabat hanyalah alam. Alam pesawahan diujung pematang.
Nama :Syaiful Hisyam
T T L : Jepara 16 april 1987
Pendidikan Terakhir. Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim Semarang 2009.(tidak tamat)
No Hp : 081225578757
:087733715209
Alamat Email : syaifulhisyam@rocketmail.com
Alamat Blog : http//melanjutkan mimpi.blogspot.com
NB : Novel ini di lengkapi dengan catatan kaki, daftar pustaka dan ucapan terima kasih. Masih dalam tahap editing yang insya’Allah akan selesai dalam minggu ini.
18 desember.10.
Entri Populer
-
Menyingkap tabir PT BEST AGRO INTERNASIONAL, dari budaya kekerasan fisik dan penganiayaan berat hingga pelenyapan nyawa puluhan warga...
-
Prosedural pembuatan sim C di kab. Jepara Disini saya ingin men share pada masyarakat Indonesia umumnya dan wabil khusus masyarakat Jepa...
-
Surga Dunia Usianya mulai senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Kulitnya mulai berkerut di sana sini. Matanya mulai terliha...
-
Ameena Mengejar Keadilan Prakata Pertama-tama, aku sanjungkan segala puji kepada Allah Ta'ala. atas limpahan rahmatnya. ...
-
Jeritan Hati Ameena Sinopsis Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lanjut usia yang masih memegang teguh tra...
-
Mengejar Keadilan Sinopsis Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lan...
-
Di Kalimantan Tengah satu kepala manusia hanya di hargai 150,000 rupiah Manusia adalah makhluk hidup yang tercipta paling sem...
-
Mengejar Keadilan Sinopsis Seorang perempuan desa yang telah lanjut usia,...
-
Lirik Lagu DIDI KEMPOT - AKU DUDU ROJO Lyric aku pancen uwong sing tuno aksoro ora biso nulis ora biso moco nanging ati iki iseh duwe roso r...
-
Ameena Mengejar Keadilan Prakata Pertama-tama, aku sanjungkan segala puji ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun