Entri Populer

Selasa, 18 Januari 2011

Di Kesendirianku Bersama Kakek Asari


Petang ini mentari telah menenggelamkan diri di ujung barat, mungkin ia telah bosan menemaniku dalam kesendirian di tepi pantai. Kurasakan serpihan-serpihan kehampaan mulai mendekatiku. Pelan-pelan keremangan berganti pekatnya malam, sunyi berselimut sepi kian merapat. Tapi malam ini Aku tak lagi merasa sunyi, gelombang-gelombang ombak kecil menyapaku dengan lembut. Aku tak lagi takut meski sendiri di tepi pantai, telah kupasrahkan seluruh jiwa dan ragaku jika memang suatu saat aku harus kembali kepada ilahi, berbaur dengan pekatnya tanah lumpur dan menjadi makanan cacing tanah sebagai sesuatu pengorbanan yang kusebutnya sebagai hukum alam. Terkadang Aku sendiri gamang menatap kehidupan, sepanjang perjalanan hidupku tak lekang di dera pesakitan, sakit yang tidak biasa. Tak akan pernah ada obatnya dan hanya berobat kepada yang membuat penyakit itu Aku bisa sembuh. Sakit yang telah menderaku selama bertahun-tahun adalah sakit hati, sakit bathin karena semenjak kecil hingga kini tak seorangpun yang mau berteman denganku. Hanya beberapa ekor kerang dan ombak yang senantiasa menemaniku. Kata orang-orang dan beberapa tetangga jauhku, Aku terlahir sebagai anak haram. Diriku yang masih mungil di buang oleh seorang pemuda yang tak di ketahui identitasnya, di buang di depan rumah seorang kakek yang setelah Aku besar ku ketahui bernama kakek Asari. Walau sebenarnya kakek Asari hidup dengan bergelut kemiskinan, namun ia mau dan sanggup merawat dan membesarkanku hingga di usiaku yang menginjak enam belas tahun. Pada hakikatnya kakek Asari adalah seorang yang berkecukupan tetapi sama sekali tidak silau oleh harta itu sendiri. Hasil panen padi dan pisang dari sawah dan kebun selalu melimpah. Tak pernah kekurangan suatu apapun. Meski berkecukupan, sepanjang diriku dirawat olehnya tak pernah kujumpai kakek Asari mengonsumsi makanan yang berasal dari daging, meskipun itu daging hasil dari ikan laut. Beruntungnya Aku tak pernah dimarahi kakek meski kedapatan sedang makan cumi-cumi panggang kesukaanku di dalam kamar.
Seingatku sedari Aku masih kecil, hanya dua orang yang pernah berteman denganku, mereka adalah teman memulung kerang dan rumput laut di bibir pantai, itupun tidak berlangsung lama. Entah mengapa lama-lama mereka enggan bertemu denganku dan lambat laun semakin menjauh. Melihat diriku saja seakan-akan seperti seonggok daging busuk, seperti barang najis yang di haramkan dan tidak boleh di sentuh. Pernah suatu hari ada seorang anak kecil mendekatiku dan menanyakan beberapa patah kata padaku. Hanya bertanya barang sebentar dan ketahuan orangtuanya. Lalu tanpa perasaan sedikitpun anak kecil yang belum memasuki masa akil baligh itu di hajar, di pukuli oleh orang tuanya dengan ranting kayu berukuran sedang sambil beribu kali memaki-maki diriku.  Orang-orang dikampungku begitu teguh dengan ajaran Agamanya yang entah itu benar atau tidak masih menjadi misteri.  Mereka berasumsi sesuai ajaran yang telah berlaku turun temurun. Mereka menganggap anak haram sebagai musuh. Dalam pandangan mereka, anak haram tidak akan pernah diterima di dalam surga hingga tujuh turunan. Entah itu surga siapa yang dimaksud masih menjadi teka-teki. Mungkin itulah yang menjadi salah satu penyebab diriku harus di jauhi, di jadikan bahan ejekan dan cemoohan. Bahkan tidak asing lagi jika diriku semenjak kecil menjadi bahan tertawaan. Bagi mereka diriku adalah penghuni neraka dunia yang layak untuk di jadikan pelajaran buat anak cucu mereka.
Kakek Asari sebagai tulang punggung tempatku bersandar sempat dikucilkan oleh warga kampung setelah ketahuan merawat diriku. Semua itu baru kuketahui setelah diriku menginjak remaja. Karena sudah terbiasa dengan penghinaan dan cacimakian itu Aku menjadi terbiasa pula untuk menahan sabar yang entah telah berapa juta kali. Kini dengan mudahnya aku bisa menahan dan meredam emosiku meski dihujani pertanyaan-pertanyaan konyol oleh orang-orang kampung. Di sebuah rumah kecil yang lebih mirip gubuk dan tidak begitu luas, tepat di bawah pohon kemuning dan hanya beberapa meter dari bibir pantai Aku dan kakek Asari tinggal. Setahuku kakek Asari adalah seorang muslim, tetapi tidak pernah kulihat menjalankan shalat. Mungkin  semenjak kakek Asari merawatku. Aku menduga semua itu dilakukannya karena rasa sakitnya yang mendalam lantaran kakek Asari di usir mentah-mentah dari rumahnya sendiri oleh warga kampung. Hingga akhirnya kakek Asari mengungsi dan bertempat tinggal di tengah-tengah persawahan, tepat di bawah pohon kemuning. Kakek Asari menjauh dari kampung. Walaupun setiap hari hanya berteman sepi dan sunyi tetapi hakikatnya diriku tak pernah merasa kesepian, karena kakek Asari tempatku berkeluh kesah selalu mengajarkan diriku agar selalu tersenyum lepas seperti layaknya sedang di timpa kebahagiaan. Kakek Asari sendiri setahuku selalu mengumbar senyum dan tak pernah jemu. Itu sebabnya wajah keriput kakek yang cekung semakin bertambah lebar saja dan terlihat lebih segar dari usianya yang menginjak kepala delapan. Walau sebenarnya gigi-gigi gerahamnya telah tanggal semua.
Konon sebelum kakek Asari mengucilkan diri ia adalah seorang yang taat beribadah. Hari-harinya selalu dihabiskan di dalam masjid hingga membuat beberapa orang tetangganya menjadi sengit. Kakek Asari semasa mudanya jarang sekali melaut mencari ikan atau ke pematang sawah. Sawahnya yang lumayan luas di dekat pantai yang kini dijadikan tempat tinggal, dulunya tidak tergarap dan hanya ditanami singkong dan pohon pisang yang terbatas di sela-sela guludan. Semasa itu hanya sebulan sekali dan tidak tentu kakek Asari mengunjungi sawahnya. Sudah berkali-kali sawah itu di pasrahkan kepada para penggarap agar ditanami apa saja, tetapi tak seorangpun para penggarap yang berminat sama sekali. Para penggarap tidak ada yang bersedia menggarap sawah kakek Asari karena mereka meyakini di sawah kakek Asari terdapat banyak sekali dedemit dan genderuwo, terutama sawah yang berada persis di bawah pohon dadap, pada hal sawah kakek Asari sangatlah subur, cocok di tanami segala macam tanaman.
Karena sawah kakek Asari diyakini sebagai tempat dedemit dan genderuwo oleh kebanyakan warga kampung, sehingga seringkali iblis memanfaatkan kesempatan terbaiknya. Warga kampung seringkali di ganggu olehnya. Tidak jarang warga kampung yang kesambet dan terkadang menjadi stress dan mengigau hingga berhari-hari setelah mengambil sesuatu entah itu berupa kayu, buah maupun apa saja yang berada di sekitar sawah kakek Asari. Hingga kini beberapa pohon yang diyakini sebagai sarang dedemit dan genderuwo itu masih berdiri kokoh , masih setia meneduhi gubuk kakek Asari.Pohon-pohon yang diyakini keangkerannya itu diantaranya pohon asem jawa, pohon kemuning, pohon dadap dan beberapa pohon kelapa yang kini berada di samping rumah kakek Asari..            Sepanjang hidupku belum pernah melihat sekalipun guratan-guratan penyesalan dari wajah kakek asari karena telah merubuhkan tiang-tiang agama. Tetapi walau demikian kakek Asari tetap mengajarkanku bagaimana cara-cara shalat yang baik dan khusyu'.Aku hanya bisa menyangka dan menerka-nerka, mungkin kakek Asari meninggalkan shalat adalah sebuah bentuk protes kepada warga kampung yang dinilainya sangat kaku dan masih terpaku pada suatu ajaran yang mengesampingkan sisi kemanusiaan.Padahal hakikatnya, agama yang dianutnya adalah agama yang Rahmatan Lilalamin.Suatu agama yang bebas dan terikat erat oleh tali ahlakul karimah dan memberikan maqom tertinggi hak-hak asasi manusia.
Pernah suatu ketika di tengah malam, Aku bermimpi melihat kakek Asari berjalan di tengah-tengah gurun pasir yang sangat luas hingga seperti tak berujung. Di tengah-tengah gurun pasir itu Aku melihat kakek Asari di kerubungi banyak orang, entah apa yang di perebutkan Aku tidak tahu dengan pasti. Berkali-kali Aku bermimpi yang aneh-aneh tentang kakek Asari, namun mimpi-mimpi itu sengaja kurahasiakan dari kakek asari, tak pernah sekalipun ku utarakan ihwal mimpi-mimpiku itu. Aku khawatir apabila diriku dibentak untuk yang kedua kalinya. Pernah suatu ketika Aku melontarkan satu pertanyaan kepada kakek Asari, tapi hasilnya bukan jawaban yang Aku dapatkan, melainkan di bentak keras lalu disuruhnya Aku mengaji Alquran hingga tamat. Satu lagi  kejadian yang tak akan pernah kulupa hingga jasad dan ruhku berpisah. Aku pernah terjaga dari tidurku antara sadar dan tidaknya hanya Tuhan yang lebih mengetahuinya. Aku seperti melihat dan menyaksikan tepat di depan mataku, kakek Asari berjalan ketengah laut seperti orang yang sedang berjalan di daratan, lalu menceburkan diri ke tengah-tengah lautan. Hingga kini Aku masih belum tahu apa yang tengah dilakukan kakek Asari di tengah-tengah lautan. Mungkinkah kakek Asari mempunyai kerajaan di tengah-tengah laut?. Lagi-lagi aku merahasiakan kejadian yang ku saksikan itu dari kakek Asari. Yang lebih mengherankan di benakku adalah kurma. Ya. Kurma yang selalu tersedia di kamar kakek Asari. Kurma sebanyak setengah karung itu tidak pernah habis di makan hingga berbulan-bulan. Apabila kurma setengah karung itu mulai habis, lalu tiba-tiba keesokan harinya terisi kembali. Pada hal setahuku kakek Asari belum pernah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, pergi ke pasarpun belum tentu setahun sekali. Terasa janggal memang. Dan itu semua membuatku semakin bertambah penasaran tentang siapa jati diri kakek Asari yang sesungguhnya. Juga semakin bertambah rasa sayang dan banggaku pada kakek Asari. Entah itu kurma dari mana asalnya aku tidak pernah tahu dan tidak ingin tahu. 'Kelak Aku juga akan mengetahuinya' Pikirku dalam hati. "eshman!. Pulang nak. Waktu maghrib akan segera selesai. Syukuri hidupmu dengan  cara mendirikan shalat!" Aku segera beranjak pulang begitu terdengar panggilan dan nasehat dari kakek Asari. Pelan-pelan ombak menjauh dariku. Ia seperti memahami keadaanku. Ku lihat diatas sana pucuk-pucuk daun kelapa seperti terdiam dan tertunduk lesu. Semilirnya angin malam itu mendadak terhenti, dan Aku harus pulang untuk merajut kembali serpihan asa yang telah terserak. Mengadu kepada yang Kuasa dan terus memohon pertolongannya..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun