Entri Populer

Selasa, 02 Maret 2010

kebimbangan

Gamang

Awan berarak di siang hari membentuk pulau-pulau, kemudian bergerombol dan bersatu, teriring panas pengap.Menandakan suatu pertanda, akan datangnya hujan. Namun tidak juga ku dapati rintik-rintik hujan. ketidak pastian akan datangnya hujan mewakili nasibku hari ini.antara ta’zir dan ruhsoh atau hukuman diantara caci makian dan hina’an barangkali.

Dalam detik ini semua santri yang akan di sidang harus sudah berada di ruang pengurus,termasuk diriku, tapi Aku masih saja bergumul di dalam kamar, penyakit kudis yang biasa menjangkiti sebagian santri, menghampiriku lantaran pemakaian system tiga Orang Santri satu ember, hanya untuk sekedar mandi. Pondok pesantren tempatku menuntut ilmu terbilang modern, tetapi manajemen pondoknya sangat amburadul, dari mulai kebersihan, kedisiplinan, hingga keserasian.Hanya manajemen administrasi dan ta’zir yang senantiasa dijalankan. Pondok pesantren dengan jumlah santri yang mencapai ratusan,bahkan mungkin lebih.memang dilengkapi fasilitas penunjang seperti Perpustakaan, Komputer, sarana Olahraga dan juga Mading,tetapi Ibarat hidup tak mau, matipun segan. Hanya bisa berjalan di tempat,tak banyak ide ataupun inovasi yang di munculkan tetapi justru cenderung mengekor dari apa yang telah ada sebelumnya. Karena kuatnya sebuah tradisi dan pengaruhnya seorang kyai.

Tiba sa’atnya giliranku dipanggil untuk menghadap pengurus,rasa takut malu dan sejenisnya campur aduk menjadi satu,deg-degan dan gemetar berselimut gamang mengiringi langkahku menuju ruang pengurus.Teman-temanku sontak mengekspresikan rasa sakit akibat tonjokan, yang mungkin bisa saja di daratkan kemukaku. Dengan wajah sedikit pucat Aku masuk kedalam ruangan Pengurus.Di dalam telah menunggu lima orang Pengurus dengan matanya yang melotot.Aku menunduk sambil berjalan perlahan.

”Duduk di depan” ucap salah seorang Pengurus.dan akupun menuruti perintahnya.

”Kamu tahu kan pondok ini punya peraturan ?”tanya ketua Pengurus.

”Ya kang !” ucapku singkat.

”Lalu kenapa kamu berkali-kali absent saat mengaji ! sudah pinter?”. Aku diam saja tanpa sepatah katapun ku ucapkan.

”Tujuanmu dari rumah itu apa ? pengen jadi Preman ? Mafia ? atau mau jadi Perampok ?” Para Pengurus saling bersahut-sahutan dan saling mengisi,sehingga suasana menjadi riuh dan memanas.Di luar di balik jendela,pasang-pasang mata tak bosan-bosannya menyaksikan persidanganku.

”Kamu tau Orang Tuamu jungkir balik dalam menyekolahkan kamu,bahkan mungkin sampai ngutang kanan kiri ! sedang kamu disini malah leha-leha.Itu berarti kamu tak tau diri !”ketua Pengurus menasehatiku dengan penuh amarah.

Aku tertunduk lesu dengan raut muka memerah, kepalaku pusing, dan panas. Kedua tanganku terasa dingin dan gemetar.

”Hukuman apa yang pantas buatnya ...?”tanya ketua Pengurus kepada yang lain.

”Suruh nguras wc aja mumpung lagi kotor!”celetuk Pengurus yang lain.

”Gimana menurut kalian ?”Ketua pengurus kembali meminta pendapat pengurus yang lainnya.

”Menurutku di hadapkan saja pada Pak Yai. Biar jera !.”jawab pengurus yang lain dengan nada emosi.

”Jangan kang ? saya mohon jangan !”pintaku memelas.

”Lalu apa maumu ? di mandikan dengan air kencing,atau wajahmu dioreng-oreng pakai dandang trus muter-muter di depan kantor?”tanya Ketua Pengurus sembari menakut-nakutiku.

Aku terdiam lesu dan suasanapun lengang di penuhi nafsu yang membuncah.

Setelah suasana menjadi hening salah satu Pengurus mandekatiku seraya berkata dengan bersahaja .

”Sekarang ada kebijakan dari Pengurus.Pilih nyabuti rumput di halaman Kantor sama nguras WC atau menghadap Pak Yai ?”tawarnya..

”Saya pilih nyabuti rumput dan nguras WC kang ?”jawabku penuh harap.

”Ya sudah kamu boleh keluar !”pinta ketua pengurus bernada ringan.

Sebelum keluar saya harus menyalami satu persatu para Pengurus sambil meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi pelanggaran walau sekalipun.

”Jangan ulangi lagi ya ?”perintah salah seorang pengurus.

”Ya kang.?”jawabku mantap.

Walaupun Aku sudah merasa lega namun di hatiku masih mengganjal, menyisakan kekecewa’an yang mendalam.Yang Aku sesalkan,kenapa tak di tanyakan sebab musabab Aku absent dari mengaji,padahal dua kali Aku absent dari mengaji lantaran tak kebagian air untuk wudzu apalagi boro-boro dapat Air untuk mandi.Bahkan karena masalah Air itu aku rela berjalan setengah kilo meter lebih dengan teman se kompleks,Gepeng,Kimpul dan si Dodol..Sungguh menjengkelkan,dan ini sama sekali tidak adil.Paling tidak yang seharusnya di tanyakan adalah,kenapa tidak ikut ngaji ?Bukannya malah memojokkan dan mengintrogasi semaunya.

Tapi walau bagaimanapun Aku tetap bersyukur karena mendapat hukuman yang lebih ringan dari perkiraan semula,dibanding rudi teman sekelasku yang seminggu lalu,mendapati bogem mentah,dijotosi,dan dianiaya. Terakhir, pengurus menyuruh para santri untuk kencing disebuah ember, setelah terkumpul,air kencing itu dijadikan untuk memandikan Rudi, sungguh menjijikkan. Rudi di ketahui telah berulang kali melakukan kesalahan, karena ketika pulang tidak pernah ijin, yang lebih parah lagi adalah Dado, teman sekamarku,Ia dikeluarkan dari Pondok Pesantren karena telah terbukti mencuri Mangga orang Kampung, sehingga ia dianggap telah melecehkan dan mencemarkan Nama Baik Pondok Pesantren, sungguh ironi.

Bukankah Lembaga Pendidikan semacam Pondok Pesantren bertujuan untuk mendidik supaya anak didik tak bermental sebagai pencuri,dan itu adalah suatu tantangan bagi Mudarris?Ataukah cari ilmu itu diartikan hanya sekedar Audisi atau Seleksi? Kalau begitu caranya, berarti tempat yang selama ini Ku tempati adalah Ajang Audisi,bukan untuk belajar, pikirku. Dipandang dari segi Sufistik itu sangat bertentangan.Apa arti Nama Baik jikalau hanya kuantitas.Itu sama artinya Buah busuk yang di kemas sedemikian rupa. Munafiq! Lebih baik Hina dan Nestapa di mata Masyarakat tetapi Mulia disisi Tuhan.

Kalau sudah demikian tujuannya,mengedepankan nama baik,apa arti semua ini ?Dimanakah letak pondasi keikhlasan.?

Apakah ini disebut Tuhan sebagai tujuan, kalau begini caranya lambat laun Islam akan cepat rapuh oleh Islam itu sendiri.. Karena meremehkan nilai Lillahi Ta’ala dan menganggap nama baik di atas segala-galanya.

Akupun teringat pesan-pesan Kakekku semasa masih hidup, Kyai Karim Amral Ma’ruf yang biasa orang-orang kampung menyebutnya Kyai Masjid karena saban harinya tak pernah jauh-jauh dari Masjid bahkan kebiasaan mengaji sehari-harinya pun selalu di habiskan di dalam Masjid apalagi semenjak kepergian Istrinya Eyang Fatimah ke alam baka.Sayangnya hingga kini tak ada satupun dari enam orang anaknya termasuk Ibuku yang melanjutkan perjuangan Almarhum, menggantikan posisinya sebagai Imam Sholat Maktubah maupun memimpin pengajian mingguan dan bulanan.Dari enam orang anaknya, empat diantaranya menjadi dokter dan telah membuka praktek di beberapa rumah sakit ternama.

Diantara pesan-pesannya yang masih ku ingat adalah,jangan sampai lupa menegakkan tiang-tiang agama berupa sholat, guna merapatkan sendi-sendi Islam.Dan perlu di ketahui bahwa kerusakan terbesar Ummat Islam adalah dari dalam diri, yakni oleh ulahnya sendiri.

Aku mencoba menerawang keatas, melihat awan menyembul yang membentuk sebuah formasi, sebuah isyarat bagi diriku bahwa aku harus keluar dari keterkungkungan dunia pesantren, bermetamorfosis menjadi anak yang sebebas-bebasnya.tapi aku telah kadung berjanji kepada Ibuku untuk menyelesaikan sekolahku di Pondok Pesantren agar kelak menjadi seorang Kyai seperti yang di idam-idamkan Ibuku selama ini.

Dalam benakku bertanya-tanya kenapa aku harus di tempatkan di Pondok Pesantren yang pengap, keras dan tak tau aturan, parahnya lagi ajaran Islam yang begitu suci,dengan sengaja di nodainya sendiri.Melalui cara-cara yang tidak etis. Bagiku dunia pesantren sebagian besar, terlebih di Pedesaan, terkesan Anti Pemerintah.Sebuah pengejawantahan dari keta’atan kepada Ulil ’Amri atau yang biasa di sebut sebagai Pemerintah. Betapa tidak? Pendidikan Sejarah Perjuangan Para Pahlawan di dalam mempertahankan keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia,sama sekali tidak di ajarkan.Juga upacara Bendera Merah Putih sebagai sebuah bentuk rasa cinta akan Tanah Air seperti halnya yang di serukan dalam Agama, malah di haramkan. Pesantren macam apa ini? Inikah yang di sebut Pesantren?.

Tempat yang biasa di sebut penjara suci ini benar-benar membuatku menderita.Setiap kali aku melihat kekerasan di depan mata,Setiap kali pula menumbuhkan kebencianku pada Dunia Pesantren.Berkali-kali Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.Haruskah kesalahan di balas dengan kesalahan? Sudah tertutupkah pintu maaf bagi orang-orang yang bersalah? Ataukah hati mereka yang telah menjadi batu.

Sekeras-kerasnya batu, logikanya seiring dengan berjalannya waktu bisa lapuk oleh panas dan hujan. Sekuat-kuatnya besi dan tembaga, akhirnya bisa meleleh juga.Tapi, kelenturan hati,kecil kemungkinan untuk bisa diharapkan. Karakteristik dari pada hati, keras tidak keras lembut tidak lembut.Sulit ditebak. Tapi, efeknya sangat menyakitkan apabila tertusuk duri-duri ucapan Laknatullah, semacam Hina’an, Cacian, dan Makian. Bagiku suara hati adalah suara penuh misteri, bahkan terkadang hati kudapati mati tak bersanubari, tapi tak selamanya hati itu mati.Kudapati pula kadangkala hati bermetamorfosa menjadi Kupu-Kupu dan Sutra.

Bagiku ini tidak lebih,dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. yang seminggu lalu di gembar-gemborkan di berbagai Media.Sebagai bagian dari tempat untuk Ajang perploncoan dan kekerasan.Karena sudah ketiga kalinya menimbulkan korban dalam sebulan terakhir.

Dari hati yang paling dalam,Aku ingin segera keluar dari keterkungkungan dan bayang-bayang hitam yang senantiasa menghantuiku.Tapi itu hanya hasrat yang terasa sulit tersalurkan karena Aku menganggap diriku hanyalah Seekor Burung yang tak bersayap.

Di dunia ini tak ada Manusia yang tercipta untuk bersalah, kalau bukan Malaikat.Aku sendiri benar-benar gamang dalam meniti kehidupan,ingin rasanya ku tenggelam kedasar lautan.Tapi partikel-partikel asa kian menyatu mengaburkan keinginanku untuk tenggelam mengistirahatkan nafas-nafas kehidupan.

Semenjak dulu Aku memang tidak setuju dengan keinginan Ibuku yang menginginkan agar Aku kelak menjadi Seorang Kyai Ternama.Makanya Aku di tempatkan di Pondok Pesantren dengan harapan kelak menjadi seorang Kyai Ternama,namun Aku melaksanakannya dengan setengah hati.Dan ini mungkin adalah buah simalakama dari apa yang selama ini Aku tanamkan dalam diri.

Ruhsoh :keringanan

Ta’zir :hukuman bagi yang melanggar

Ulil amri :pemerintah

Mudarris: pamong didik atau yang biasa di sebut Guru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun