Selama berabad-abad Bangsa ini pernah di jajah, dan kini telah merdeka, walau hanya formalitas belaka. Kemerdekaan itu itu bagi orang-orang pinggiran, kaum marjinal. Masih sebatas hanya dalam dunia mimpi.Bangsa ini tak akan lekang oleh penjajahan penjajahan oleh sebangsanya sendiri. Para penjajah merancang undang-undang yang sekiranya bisa di langgarnya. Diantara bentuk penjajahan yang mengusik ketenangn Mbok Nah adalah adanya peraturan yang di kotak-kotakkan, Sengaja dibuat rumit oleh pihak pemerintah Desa, mengurus suatu permasalahan bisa dengan jalur cepat bagi orang-orang berduit dan jalur lambat bagi orang-orang yang tidak mampu. Serta proseduralnya yang di persulit.Secara logika semua itu bisa di permudah. Tapi entah kenapa semua urusan yang bernilai sepele itu bisa di persulit dan sengaja menyulapnya menjadi mesin rupiah.. Meski telah renta di makan usia, Mbok Nah tak habis semangat juangnya. Muncul benih-benih perjuangan untuk menguak ketidak adilan, lambat laun ke inginan itu semakin berkobar di dadanya.Tak tau harus bagaimana. Hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Mengapa orang-orang yang mengaku mendedikasikan dirinya sebagai pelayan, pelindung dan pengayom. Justru bermain topeng, dan mempermainkan jati dirinya. Untuk apa semua itu?. Tak bisakah mereka hargai orang-orang terdahulu di dalam merebut kemerdekaan. Mereka relakan jasadnya menjadi korban keganasan perang. Harus membayar dengan bentangan jutaan mayat, harus merelakan ceceran darah di sepanjang jalan sebagai tumball kemerdekaan.Dalam kemelut galau di hatinya Mbok Nah pergi ke rumah Mbok Karmini, adik dari suaminya, kang karta.mencari keponakannya, Mansur. Setahun lalu Mansur telah merampungkan studynya. Anak bungsu dari Mbok Karmini itu kini melanjutkan sekolahnya di TBS Kudus dengan beasiswa penuh dari pemerintah."mini....?""Ya Mbakyu ada apa?""Nyari Mansur, dimana dia sekarang?""Lagi ngirim Pakne ke sawah.""Nanti suruh ke rumahku ya?""Ada apa?""Ada kejutan dan makan enak.""Tenane? yo wis nanti tak suruh ke rumahmu."Tak lama kemudian, mansur datang menyambangi rumah Mbok Nah. Di teras hanya ada Qohar yang tengah asyik bermain dengan kura-kuranya."Qohar simbahmu di mana?.""Di dapur lagi masak." Tanpa di perintah, kemudian Qohar segera berlari menuju dapur."Maknyak ada paklek mansur." "Ya. Suruh masuk. Aku tak cuci tangan dulu." Di kesempatan yang sempit, di saat Qohar pergi ke dapur. Mansur dengan cekatan mengerjainya. Di ambilnya kura-kura dan memasukkannya ke dalam kantong celananya."Silahkan masuk paklek?"Lalu Qohar kembali ke teras. Kaget. Kura-kuranya tak ada di dalam ember. Di longoknya setiap sudut kayu bakar di samping rumah, di bawah kursi. Tak juga di dapatinya. Wajah Qohar terlihat semakin memerah, tak dapat di sembunyikan lagi Ia bingung harus mencari kemana.Segala arah dan tempat telah di perhatikan dengan seksama. Namun tak juga di temukan kura-kura kesayangannya."Kura-kuraku kemana?". pikirnya dalam hati. Lalu menanyakannya pada pakleknya. "Paklek tau, dimana kura-kuraku ?.""Kau tanya Aku. Aku tanya siapa?"timpal Mansur balik bertanya."Maknyak. Kura-kuraku hilang, Tolong carikan maknyak." teriaknya dengan suara parau.Lalu Mbok Nah keluar rumah. Tanpa sepengetahuan Qohar, Mansur memperlihatkan kura-kura dan memberikannya pada Mbok Nah. Kemudian dengan santainya Mbok Nah menyuruh Qohar mengambilkan sesuatu. "Paklek ambilkan pisang dulu di dapur, sama kolak nangkanya. Biar kura-kuranya Maknyak yang cari."Dengan cekatan Qohar mengambilkan suguhan buat Mansur. Lalu segera menghampiri Mbok yang telah terlebih dulu bermain dengan kura-kuranya. di atas dipan di teras depan."Lho kok bisa ketemu Maknyak?""Masa nggak bisa!""Masa bisa ketemu, wong tadinya tak cari-cari tak ada.""Lha wong kenyataannya bisa kok. Sudah sana main lagi. Aku tak sinau sama Mansur. Jangan ganggu Maknyak!"Mbok Nah ke ruang tamu menemui keponakannya, dan menyodorkan dua lembar kertas dan ballpoint pada Mansur. Ia perintahkan Mansur untuk menulis dan Mbok Nah sendiri yang mendikte."Untuk apa Bu Dhe?""Di gawe pepeleng!""Pepeleng nopo?""Poko'e ono gunane."Mbok Nah mulai mendikte.Manungso sing becik iku gampangan lan amrih nggampangake perkoro. Ora seneng gawe mungkar lan olo. Wong sing gawe angele perkoro iku ora bedo karo njajah sedulure dewe. Luwih tega tinimbang perilakune kewan sing buas. Manungso iku kudu ono bedo karo kewan. Opo ora kepikiran? mbiyen tanah iki di jajah pirang-pirang tahun.ngente'ake korban ora itungan. Wong tuo-tuo mbiyen berjuang ngelawan penjajah, kanti tujuan kepingin urip merdeko lan mulyo. Saiki wes merdeko, tapi malah sedulure tego jajah sedulure dewe. Urip koyo ora ono aturan. Tinda'e sewenang-wenang koyo kewan. Ilingo kabeh! kowe poro perangkat deso. Ora nganti sak abad nyawamu kumantil. Kowe kabeh bakal mati. Mbaur karo lemah.tulisan itu selesai ditulis, dan mansurpun pulang. Siang itu meski terik matahari tepat di atas ubun-ubun. Tak menyurutkan niat Mbok Nah untuk pergi ke kelurahan, Sekedar menempelkan selembar kertas di papan pengumuman Bale Desa. Perjalanan dari rumah ke Bale Desa cukup jauh, jaraknya enam kilo meter. Butuh waktu hingga dua jam perjalanan, pulang pergi. Qohar siang itu tengah asik bermain dengan kura-kura tak terlalu merisaukan kepergian neneknya. Qohar mengira neneknya pergi ke sawah seperti biasanya. Waktu berlalu terasa seperti kilatan petir. Terasa cepat, dunia berdzikr kepada sang khalik. Siang berganti malam dan seterusnya. Hingga sandiwara ini usai. Para penghuni di dalamnya kian terlena, meski bukti kekuasannya kian kentara terasa. Seakan pupus semua tabir yang ada. Tinggallah bukti nyata yang selalu hadir di tengah-tengah kebimbangan. Namun terkadang, itu semua datang tanpa disadari dan di tafakuri. Esok harinya pak RT datang ke rumah menemui Mbok Nah. Ia menyodorkan sepucuk surat berisi pemanggilan dirinya dari kelurahan. Dengan diringi pertanyaan sengit dari Pak RT."Mbok! Sampeyan wingi ke kelurahan iku ngopo?kok kabare jare gawe ele'e Deso. Wes tuo mbok yao ngilingi tuane. Di akeh-akehno olehe ngaji. Ora soyo di tambah ngajine, kok malah ele'e seng soyo ndadi.Ngisin-ngisini kampunge dewe." "Opo Aku wingi wudo ning tengah ndalan, kok ngisin-ngisini.""Ambuh pikiren dewe!""Oooo sontoloyo!" Selama ini Ia merasa apa yang telah di lakukannya adalah haq. Sekedar ingin mengingatkan para perangkat Desa. Bahwa kedzaliman sebenarnya tidaklah pantas sebagai pakaian manusia. tak tau pasti untuk apa dirinya di undang ke bale desa pak rt hanya menyodorkan sep surat undangan tanpa memberi tahu lebih jelas ihwal und itu berisi apa dari wajah nya hanya terlihat semburat wajah sinis dan kecut utk di rasakannya. pak rt hanya berkelakar dan menyuruhnya ke kelurahan besok pagi..
Entri Populer
-
Menyingkap tabir PT BEST AGRO INTERNASIONAL, dari budaya kekerasan fisik dan penganiayaan berat hingga pelenyapan nyawa puluhan warga...
-
Prosedural pembuatan sim C di kab. Jepara Disini saya ingin men share pada masyarakat Indonesia umumnya dan wabil khusus masyarakat Jepa...
-
Surga Dunia Usianya mulai senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Kulitnya mulai berkerut di sana sini. Matanya mulai terliha...
-
Ameena Mengejar Keadilan Prakata Pertama-tama, aku sanjungkan segala puji kepada Allah Ta'ala. atas limpahan rahmatnya. ...
-
Jeritan Hati Ameena Sinopsis Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lanjut usia yang masih memegang teguh tra...
-
Mengejar Keadilan Sinopsis Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lan...
-
Di Kalimantan Tengah satu kepala manusia hanya di hargai 150,000 rupiah Manusia adalah makhluk hidup yang tercipta paling sem...
-
Mengejar Keadilan Sinopsis Seorang perempuan desa yang telah lanjut usia,...
-
Lirik Lagu DIDI KEMPOT - AKU DUDU ROJO Lyric aku pancen uwong sing tuno aksoro ora biso nulis ora biso moco nanging ati iki iseh duwe roso r...
-
Ameena Mengejar Keadilan Prakata Pertama-tama, aku sanjungkan segala puji ...
Selasa, 28 September 2010
bb
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun