Ucapan terima kasih
Bismillaahirrohmaanirrakhiim.
Alhamdulillaahirobbil Aalamiin.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan karunianya yang senantiasa di curahkan kepada para hambanya. Lewat karunianya pula tulisan ini bisa rampung dengan sendirinya. Tanpa banyak menemukan hambatan. Karena memang buku ini sangatlah sederhana dan apa adanya. Juga penuh dengan kedla’ifan. Karena penulis juga bagian dari Mahallul Khoto’wannisyan.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Simbahku, kedua Orang tuaku, Keponakanku dan Teman-temanku di Pondok Idjo Wahid Hasyim semuanya. Kang Junaidi A.m, Kang Syamsu, Mas Muhsy Jauhari Malhotra selaku pembimbing. Sahabat- sahabatku. Arief, Candra, Agus, Didik, Heli, Willy, Tanti, Erick, Maemunah, Ria, Mas’udi, Eka, Ahmadi, Kaswadi, Hanief, Hasan, Iswoyo, Khaerul Anam, Arief Maghfurin. dan semua teman-teman yang tak bisa di sebutkan satu persatu.
Dan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya untuk terwujudnya novel kecil ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberkati usaha baik kita semua.
Amiin.
Ku persembahkan Novel ini untuk kedua Orang Tuaku yang senantiasa dengan penuh kesabaran. Merawat, Membesarkan dan mendidikku tanpa kenal lelah. Layaknya Mentari yang tak akan pernah lelah untuk terus menyinari dunia. Tanpa berharap suatu imbalan,terus memberikan sumbangsih demi kebahagia’an yang baka. Mbah Suntari, Oase tempatku berpijak. Mbah Asiyah, Sumber Inspirasiku. Keponakanku Yuztami’ Latief, Sang Penghibur di kala duka melanda, Pengobat keluh kesah yang terkadang mendera. Kedua adikku. Noor Akheeda dan Siti Afrokhatul Milhana Sari. Dan kakak-kakakku yang tercinta.
Sebuah perjalanan Hidup[1]
Surga Dunia
Usianya mulai senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Kulitnya mulai berkerut di sana sini. Matanya mulai terlihat cekung. Tapi giginya masih terlihat utuh. Hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal. Semangat juangnya untuk menjalani hidup,tak pernah kendur dan pantang menyerah. Tak ingin menggantungkan hidup pada orang lain. Pada hal kalau mau,sebenarnya Ia bisa hidup enak tanpa harus bersusah payah bekerja. Sepeninggal suaminya,kang Karta Ia di tinggali sawah, kebun dan rumah tanah. Semasa itu, suaminya mendapatkan beberapa hektar tanah dari pemerintah karena jasanya ikut berjuang melawan penjajahan. Belum lagi pemberian sawah beberapa petak dari pemerintah kolonial Belanda semasa itu. Karena di tinggal pemiliknya, pulang ke negara asalnya, Belanda
Sawah tanahnya yang sedemikian luas, bisa saja Ia serahkan kepada para penggarap. Dan Ia bisa hidup enak,bersahaja dan istirahat di rumah. Tanpa harus bersusah payah memeras keringat. Tapi hidup yang serba instan tidak berlaku baginya. Ia tak mau menyerah dan tidak pula mengeluh. Ia tetap bersikukuh ingin menggarap sendiri sawah dan kebunnya. Ia tak ingin menjadi parasit,menyusahkan orang lain. Selama raganya masih mampu untuk bekerja,Ia akan tetap terus memeras keringat,banting tulang. Dengan begitu Ia bisa dapatkan kesehatan jasmani dan rohani . Semua itu tak bisa di beli dengan Rupiah. Ada suatu kepuasan dalam dirinya, bila Ia makan dan minum dari hasil keringatnya sendiri. Ia percaya bahwa hidup harus selalu di syukuri dengan tetap bekerja sekuat yang Ia mampu.
Sepeninggal suaminya, tanah dan kebunnya justru,satu persatu Ia jual atau di berikan begitu saja kepada orang-orang yang tidak mampu. Sejatinya kalau hanya untuk biaya menunaikan Ibadah Haji Ia sudah mampu,bahkan untuk memberangkatkan dua sampai tiga orang sekaligus. Tapi entah kenapa Ia tak ada niat untuk menunaikan Ibadah Haji.
Hal itu di lakukannya karena Ia mempunyai kepekaan sosial yang sangat tinggi. Tak etis apabila Ia menunaikan Ibadah haji sementara tetangganya ada yang hidup dengan serba kekurangan.
Seringkali Ia mendengar kabar ada seorang yang rela jual tanah demi hanya untuk. Biaya menunaikan Ibadah Haji. Namun Ia justru mengharamkannya. Ia menyebut orang-orang yang berangkat Haji dengan menjual sawah dan tanah dengan sebutan Haji Bangkrut.
Harta bendanya sering di sedekahkan untuk janda-janda tua. Di desa tetangga. Janda-janda tua itu lazimnya beranak lebih dari dua. Jalan hidupnya lebih mirip dengan perjalanan hidupnya,menjadi korban kekerasan sexual kaum penjajah. Bedanya,perbuatan menyimpang yang di lakoninya akhirnya mendapat restu dari Suaminya. Semasa itu tak terhitung banyaknya perawan-perawan desa yang di gauli begitu saja oleh para penjajah. Pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang. Dirinya lebih beruntung karena mendapat imbalan makanan untuk anak-anaknya dan keluarganya.
Siang itu di atas jerami kering di antara bebatuan,duduk bersila seorang Perempuan Tua. Di pinggir sungai yang mengalir jernih. Di bawah pohon nangka yang adem,sejuk dan teduh. Dengan di temani semilirnya angin sepoi-sepoi,membuatnya betah berlama-lama untuk sekedar duduk bersila,sembari membuang lelah,capek setelah seharian bekerja.
Tepat diatas sungai,terbentang sawah beberapa petak miliknya. peninggalan dari suaminya. Waktu dzohor telah berlalu beberapa jam yang lalu. Panasnya terik matahari agaknya telah mulai berkurang. Tapi perempuan Tua itu masih belum juga beranjak dari Musholla1. Yang di desain dari jerami kering itu. Ia masih duduk bersimpuh,melawan kantuk. Dari kedua bibirnya yang keriput. Tak henti-hentinya melafadzkan Asma-Asma Allah. Memanjatkan rasa syukur,teriring dzikir lalu dikhiri doa sapu jagat seperti biasanya.Setiap hendak pergi kesawah perempuan tua itu selalu menyempatkan diri membawa perbekalan makanan, secukupnya. Dua lapis jarek2 untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih.
Apabila Ia lupa membawa barang bawaan. Sebisa mungkin Ia sempatkan untuk pulang,sebelum tiba saatnya waktu dzohor. Waktu baginya adalah segalanya. Sebisa mungkin Ia gunakan waktu sebaik-baiknya. Apabila suatu ketika Ia lalai,lalu tertidur Ia selalu menyesali,seolah-olah Ia kehilangan seorang anak. Begitu berartinya waktu hingga di malam-malam mustajab Ia tafakuri. Berapa waktu yang terbuang begitu saja, berapa sisa umurnya yang masih di kandung badan. Dan untuk apa dirinya tercipta. Karena sejatinya usia yang di kandungnya terus berkurang. Lalu suatu sa'at panggilan Ilahi pasti akan datang padanya.
Usai melawan kantuk dengan berdzikir. Diambilnya selembar daun pisang langsung dari pohonnya. tak jauh dari tempatnya duduk bersimpuh. Selembar daun pisang dijadikannya sebagai alas makan nasi,pengganti piring. Lalu di ambilnya nasi putih bersih beserta urap sambal daun singkong,oseng-oseng kangkung,ditemani lalapan kacang panjang mentah,daun kemangi,dan dua buah mentimun sedang. Kenikmatan dunia seakan tak terbayar,meski di barter dengan kenikmatan di Surga sekalipun. Maka wajar jika di dalam pikirannya, tak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga di akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah melebihi dari cukup. Tak ada yang lain. Cukup satu kata yang mengiringi langkah hidupnya yaitu syukur. Ungkapan dari sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah. Begitu pula pada cabe dan terong. Mengingat bagaimana zaman dahulu harus mati-matian berjuang untuk bertahan hidup. Kelak yang Ia harapkan setelah dirinya di panggil yang Maha Kuasa adalah keridzaannya.
Setelah selesai makan di teguknya air kendi. Ces!! dingin dan bening. Peluh-peluh keringat dari kening,leher mulai keluar,mengalir membasahi bajunya. Lalu kemudian angin yang sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya di dapat di persawahan. Diantara rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang hanya bisa di rasakan bagi orang-orang yang bersyukur. Tak terbayar,dan tak bisa di bayar dengan Rupiah.
Desa adalah Surga bagi orang-orang yang menyintainya dengan meluangkan waktunya untuk menggarap dan memeliharanya. Tak begitu jauh dengan pepatah Arab yang mengatakan “man jadda wa jada”. Siapa yang mau bersungguh-sungguh pasti akan menemukan hasil dari apa yang telah di tanamnya.
Sawahnya yang tepat diatas bibir sungai banyak di tanami sayur-sayuran yang beragam. Tak tanggung- tanggung. Sayuran yang ditanaminya pada umumnya, mampu bertahan hingga setengah tahun bahkan lebih. Tak banyak jenis sayuran yang di tanaminya. Setiap jenis sayur- sayuran hanya satu sampai lima tanaman di setiap guludannya.
Terbatas hanya disela sela guludan tanaman padi. Namun untuk memanen satu jenis tanaman sayuran yang hanya beberapa pohon,bisa mencapai tujuh bulan. Bahkan bisa mencapai satu tahun. Seperti lembayung. Tanaman kacang- kacangan yang biasa menjalar kemana-mana. Tanaman sayur sebangsa kacang-kacangan. Meski hanya beberapa tanaman, tapi bisa menghasilkan puluhan ikat. Kangkung yang di tanam di beberapa guludan, bisa di panen dua hari sekali. Itupun bisa menghasilkan dalam jumlah yang sama seperti halnya Lembayung. Belum lagi daun singkong, koro dan kecipir yang masa panennya bisa bertahan hingga umur dua tahun.
Walau demikian,hasil sayuran yang melimpah tersebut tak pernah di jual ke pasar. Kerapkali sayuran-sayuran itu yang biasa di ikatnya besar-besar, di bagi-bagikan kepada para tetangga dengan cuma-cuma. Ia hanya mengambil secukupnya untuk di olah hari ini dan esok hari. Hanya hasil buah-buahan semacam nangka,mangga dan jengkol yang terkadang di bawa sebagai barang bawaan ke pasar. Itupun terbatas pada saat-saat datang musim buah. Tetapi ada saja musim yang menyertainya. Jika di bulan ini musim nangka,bulan kemarin musim rambutan,lalu di bulan depan musim durian,begitu seterusnya. Itulah harmoni Alam Semesta yang senantiasa menghadirkan keseimbangan untuk memenuhi hajat hidup para penghuninya. Selama Alam itu di jaga, di pelihara dan dirawat dengan setulus hati.
Setiap kali melihat tanaman-tanamannya yang terus menghijau,tak jemu-jemu untuk terus di kunjunginya setiap hari. Tiada hari tanpa aktifitas. Setiap hari, ada saja pekerjaan yang menantinya, menyiangi rerumputan, mengairi sawah, memanen sayuran, mengambil rebung,mencari ikan ,memancing belut,dan masih banyak lagi pekerjaan lain yang setia menantinya. Seakan pekerjaan di sawah itu tidak ada habisnya. Apalagi bila musim buah telah tiba seperti nangka,mangga,pete,dan jengkol. Praktis keseharian hidup orang-orang Desa hanya di habiskan untuk ke sawah.
Tepat di atas pinggiran sungai banyak di tanami pohon-pohon keras. Semacam pohon bambu,kapuk randu,sengon dan lainnya. Di samping bertujuan untuk diambil manfaatnya,pohon-pohon tersebut berguna untuk mencegah dan mengurangi erosi. Selama pohon-pohon keras itu masih hidup maka selama itu pula ekosistem sungai dan sawah akan tetap terus terjaga. Kenyataannya tanaman-tanaman keras itu memang mampu menyeimbangkan tanah, sehingga tidak mudah longsor.
Tak jauh dari tempat perempuan tua itu duduk bersila,ikan-ikan bader dan udang berkejaran, lalu menggerombol menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa makanan yang biasanya sengaja di sisakan untuknya. Biasanya sisa-sisa nasi putihnya di tumpahkan begitu saja. Ke arah aliran sungai. Ikan-ikan dan udangpun terkesiap sambil berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau perempuan tua itu bisa saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu, yang jinak-jinak merpati. Untuk lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan,sifat kanibalisme tergeser menjadi nomor yang kesekian.
Menyaksikan sebuah sandiwara makhluk-makhluk lain semacam ikan di depan mata. Adalah suatu keistimewaan tersendiri baginya. Perempuan Tua itu merasa telah menyatu dengan alam. Demikian pula dengan burung-burung belibis. Berkeliaran bebas,berkejar-kejaran di satu tempat ke tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya di siang hari. Di saat suara-suara riuh mulai lenyap,sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Di saat orang-orang mulai kembali pulang,melepas lelah dan letih. Setelah seharian memeras keringat. Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas suasana benar-benar sepi. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Burung-burung itu tampak anggun dan elegan dengan kombinasi warna hitam,hijau perak di leher dan kepala serta bintik-bintik kuning hitam di bagian ekornya. Sesekali terlihat menyelam, menghilang kedasar sungai, mencari mangsa dengan lincahnya. Bulunya yang anti air lebih mirip dengan angsa berukuran lebih kecil sepuluh kali-lipat. Berenang-berenang berlalu lalang, berkejar-kejaran. Sayangnya kemunculannya,disaat-saat sepi setelah keadaannya terasa aman,barulah burung-burung itu keluar dari semak-semak. Ada pula yg bermalas-malasan, bertengger di dahan dan ranting-ranting pepohonan bambu.Telornya yang lebih mirip seukuran telur ayam sering di buru pemuda-pemuda kampung untuk mayoran1.
Setelah burung-burung belibis berlalu pergi. Datang sekawanan burung bubut yg mencari katak, cacing dan ikan-ikan kecil sisa garapan burung belibis. Mereka tak pernah hadir bersamaan. Diantara burung-burung itu menyadari kekalahan dan kelemahannya. Rela menunggu, lalu silih berganti sampai menjelang sore.
Dengan dihiasi birunya langit dan mentari yang terkadang mengintip dari balik awan,yang bergerombol. Di dalam sunyi di siang hari burung-burung kutilang,burung betet bersaut-sautan. Saling unjuk gigi dan kebolehan. Memamerkan suaranya masing-masing. Suaranya melengking-lengking seolah-olah tak mau kalah dengan lengkingan suara penyanyi populer Melly goeslaw sekalipun.
Di bibir-bibir sungai biawak tampak hilir mudik menanti giliran. Mencari bangkai-bangkai ikan,katak dan sejenisnya. Dengan sesekali menjulurkan lidah panjangnya. Menelisik aroma bangkai di setiap sudut-sudut sungai.
Walau hanya sekedar melintas. Sekawanan ikan, burung-burung dan binatang lainnya tidak takut ataupun gentar menampakkan diri didepan perempuan tua itu. Seakan perempuan tua itu telah menyatu dan berjanji untuk tidak saling mengganggu, menyakiti dan menguasai. Hanya orang-orang yang berhati sebersih embun pagi yang senantiasa disambut kehadirannya.
Akhir-akhir ini mulai muncul kekhawatiran dalam benak perempuan Tua itu. Apabila menyaksikan ulah para pemuda desa yang mencari sarang burung dengan membabi buta. Seharusnya yang boleh diambil adalah telurnya saja, yang besarnya hampir menyerupai telur ayam. Tapi sering kali anakannya ikut serta diambilnya. Sehingga akhirnya berujung pada kematian. Juga perlakuan beberapa pemburu liar yg menembaki apa saja yg melintas didepannya. Tanpa mempertimbangkan keseimbangan Alam. Belum lagi cara-cara mengambil ikan yang serampangan. Dengan menaruh tuba2 di beberapa tempat. Sehingga pelan dan pasti telah merusak ekosistem sungai.
Terakhir kali rombongan Kepala Desa beserta jajarannya. Beramai-ramai mencari ikan dengan puluhan gelondong apotas1 dan insektisida2. Racun-racun itu di tebar di sepanjang aliran sungai. Beberapa botol kaleng insektisida bekas diantaranya masih tercecer di pinggir-pinggir sungai.
Sepulangnya dari sawah perempuan Tua itu menyempatkan waktunya,untuk memulung kacang tanah yang telah usai di panen. Pemilik lahan yang di tanami kacang tanah itu adalah pak Edi seorang lelaki tambun dan pendek. Yang kini tengah menjabat sebagai Modin Desa. Pak Edi dua hari yang lalu baru saja menyerahkan kacangnya seluas satu hektar untuk di tebas oleh pak Tomo. Seorang bakul kacang senior. Pak Tomo telah menekuni usaha sebagai bakul kacang selama puluhan tahun lamanya. Pak tomo merintis usahanya sejak masih nol. Bersama pak Parjo yang terlebih dahulu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Sejak dua tahun yang lalu. Bagi orang Desa,memulung kacang tanah adalah suatu kenikmatan tersendiri yang tiada tara. Dalam beberapa jam bisa mendapatkan satu ember ukuran sedang. Cukup kalau hanya untuk camilan beberapa hari. Apabila di keringkan bisa bertahan hingga tujuh bulan lamanya. Biasanya apabila memulung hingga tengah hari bisa terkumpul tiga ember ukuran sedang atau satu ember besar. Lebih dari cukup untuk sekedar sebagai camilan selama satu minggu. Bila tersisa akan dikeringkan untuk camilan di musim penghujan. Telah menjadi suatu kebiasaan bila datang musim hujan bawaannya selalu ingin ngemil. Tak seperti di musim kemarau.
Setiap perempuan Tua itu pulang dari sawah ada saja setiap harinya barang-barang bawaan semisal kayu,sayuran dan buah-buahan. Bakul yang biasanya untuk membawa bekal makan siang di jadikannya wadah untuk menampungnya. Kendati tidak membawa bakul Ia punya banyak cadangan untuk persiapan mana kala di butuhkan. Memulung kacang tanah,mengambil umbi-umbian ataupun barang-barang yang tak terduga sebelumnya.
Pulang dengan tangan hampa baginya adalah sesuatu hal yang tabu. Tiada hari tanpa barang-barang bawaan. Sementara bahan-bahan dan kebutuhan dapur memang senantiasa di perlukan. Plastik-plastik lusuh yang di dapat dari sepanjang aliran sungai sengaja Ia simpan. Di selipkan diantara bebatuan di bawah pohon nangka.
Begitu tiba di perkampungan. Seorang perempuan setengah baya menghampirinya, lalu menanyakan perihal barang bawaannya. Perempuan setengah baya itu biasa di panggil dengan panggilan Rukini,seorang Ibu muda,mempunyai seorang anak balita. Kini Ibu muda itu tengah mengandung kembali dari buah pertarungan dahsyat dengan suaminya.
“Bawa sayuran lembayung Mbok3? minta ya Mbok?” Pintanya dengan penuh keakraban.
“Bawa tapi sedikit. Ini aku bawa daun singkong banyak kalau mau ?”
“Daun singkong juga tak apa,kebetulan udah lama nggak mecel daun singkong” Tak ada rasa malu ataupun canggung pada diri Rukini, karena memang telah menjadi suatu kebiasaan dan lambat laun menjadi suatu keakraban.
Apabila ada pesanan sayuran dalam jumlah yang lumayan banyak. Biasanya orang-orang yang memesan akan mengganti ongkos, ongkos ala kadarnya.
Perempuan Tua itupun mengeluarkan daun singkong dari balik selendangnya. Lalu memberikan seikat daun singkong yang lumayan besar,untuk ukuran seikat daun singkong pada umumya.
Perempuan Tua itu yang kesehariannya hidup bersahaja. Biasa di panggil dengan panggilan Mbok Ginah. Ada pula yang menyebutnya dengan sebutan Mbok Nah. Sesuai nama yang sebenarnya, Tri Aminah. Di namakan demikian karena dirinya terlahir sebagai anak ketiga. Tri yang berarti tiga berasal dari bahasa Sansekerta. Yang waktu itu sangat masyhur dikalangan orang-orang Jawa kuno ratusan tahun silam. Nama Tri adalah suatu kebanggaan. Sebuah nama titisan turun temurun dari ajaran Agama nenek moyangnya. Hingga kini perempuan tua itu masih mengagumi ajaran-ajaran Agama nenek moyangnya. Sebuah ajaran yang jejak-jejaknya masih bisa di lihat dan di saksikan hingga kini diseluruh seantero Nusantara. Kekaguman pada Agama nenek moyangnya,bukan tidak lepas dari buyut dan kakeknya. Buyutnya dulu adalah seorang Resi dan konon,kakek perempuan Tua itu berwasiat kepada Ayahnya Ki Rasup. Agar kelak bila di karuniai anak perempuan yang ketiga supaya di berinya nama Tri pada anak ketiganya.
Kendati Ia masih belum bisa melupakan, ajaran-ajaran luhur Agama terdahulu. Serta sangat mengaguminya. Diakui atau tidak. Ajaran-ajaran orang-orang terdahulu adalah peletak dasar kebudayaan Jawa yang santun, ramah dan bersahaja. Ia tidak akan membuang dan melupakan begitu saja ajaran-ajaran yang telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan semenjak ratusan tahun yang lalu.
Setibanya di rumah. Mbok Nah langsung mengakrabi sayurannya. Dicuci bersih lalu di simpan diatas genuk yang berisi air. Agar tetap terjaga kesegaranya. Lalu membasuh kedua kaki dan tangannya, hendak tidur siang. Sebelum merebahkan badannya.Dilihatinya satu persatu kamar di rumahnya. Tak ada orang sama sekali. Qohar, cucu satu-satunya tak ada di kamarnya. Pada hal biasanya tidur lelap,di kamarnya. Hanya di waktu malam, terkadang Qohar tidur bersamanya. Itupun lebih karena ketertarikannya pada dongeng-dongeng dan cerita semata.
“Kemanaa cucuku. Pintu terbuka, ayam di biarkan masuk. kemanaaa ini orangnya!.” gumamnya dalam hati.
“Maknyak§ !.” Panggil Qohar dengan suara sendu. Ia lalu menoleh ke asal suara. Cucunya berlari ke arahnya sambil menangis. Ia mengernyitkan dahi.
“Ada apaaa?.” Tanyanya dengan penuh penasaran.
“Gemakku hilang !.” Jawabnya dengan muka muram, dari kedua bola matanya terlihat basah oleh air mata.
“Hilang yo wis!. Jangan di tangisi. Mbok ya coba kamu pikir. Apa kamu ndak kasihan. Bayangkan kalau kamu tak kurung di dalam kamar sampai seharian. Bahkan berbulan-bulan. Apa kamu mau?” Hibur Mbok Nah sambil menasehati.
“Burung itu juga mahluknya Gusti Allah.Biarkan saja burung itu terbang bebas. Bila terus-terusan kamu kurung, kamu kekang. Nanti kamu akan di bales di Akhirat, di hukum, di kurung juga. Seperti apa yang telah kamu perbuat terhadap burung itu” Urainya panjang lebar.
Pada mulanya panggilan Maknyak dari Qohar kepada neneknya. Hanyalah gurauan semata. Karena waktu itu Qohar baru saja main kerumah Fariz, temannya. Anak Pak Karim yang kebetulan baru beberapa minggu di belikan televisi. Di rumah Fariz Ia menonton televisi serial drama Betawi Si Doel Anak Sekolahan. Di situ si Doel dan Mandra sang pemeran utama memanggil Ibunya dengan sebutan Maknyak. Qohar yang masih polos itupun ikut-ikutan memanggil neneknya dengan sebutan Maknyak. Kini panggilan Maknyak menjadi suatu kebiasa’an yang mengakar dan berangsur menjadi sebuah kebanggaan sekaligus hiburan baginya.
Tak terbersit rasa risih sama sekali ataupun rasa malu pada diri Mbok Nah, atas panggilan itu. Dengan legawa Ia terima segala bentuk panggilan. Meskipun berbau penghinaan sekalipun dan juga dari siapapun. Karena Ia menganggap nama hanyalah nama, tidak terlalu penting untuk di bahas. Apa arti sebuah nama apabila hati dan jiwanya kotor penuh dengan kerakusan.
Di panggilnya Maknyak dari seorang cucu. Tak ada rasa canggung sama sekali. Walau sebenarnya Ia hanyalah seorang nenek bagi Qohar. Cucu satu-satunya. justru Mbok Nah merasa sebagai Ibu dari Qohar. Senang dan ada semacam ketenangan di dalam hatinya. Karena Qohar sedari kecil,semenjak usia satu tahun dirinya yang menggantikan ibunya. Mengasuh dan menyusui dengan sepenuh hati. Meski hanya susu bohong-bohongan. Untuk mengelabui Qohar di waktu rewel semasa kecilnya..
”Di genuk1 ada beberapa ikat daun singkong. Ambil seikat saja. Lalu berikan sama Mbok Rondo!. Nanti terus pulang. Jangan keluyuran.” Perintah Mbok Nah sembari menasehati.
”Kemarin sore kan sudah di beri maknyak?” Sergahnya.
”Kamu kemarin sore kan juga sudah makan!.” Timpal Mbok Nah, tidak mau kalah.
”Aku nggak makan.tapiii..sarapan.” kilahnya.
”Sarapan kok sore-sore. Sudah!.sana buruan, besok tak carikan Burung Gemak lagi.” Perintahnya sambil menghibur. Untuk mengobati kegalauan Qohar.
”Saya mau kencing dulu maknyak!.” Tunda Qohar sembari beralasan.
”Pinterrr!! yo wis kencing dulu sana!.” Ujarnya memberinya ruang untuk beralasan.
Janda Perawan
Mbok Rondo yang yang berarti Ibu janda itu,telah lanjut usia. Walau sebenarnya usianya jauh lebih muda dari Mbok Nah. Tapi Mbok Rondo terlihat lebih tua dan di tambah lagi sudah sering sakit-sakitan. Ibarat pohon beringin yang rimbun dengan berhias dedaunan yang sangat lebat,akan tetapi cepat meranggas. Daunnya dengan mudah berguguran lalu mengering, laksana menghadapi musim kemarau selama bertahun-tahun. Hidupnya sebatang kara, tak ada teman bercengkerama dan tak ada yang bisa dibanggakan. Hanya sesekali, terkadang tetangganya datang bertamu untuk sekedar menjenguk dan menghiburnya dengan membawa sedikit oleh-oleh. Keadaannya, sangat kontras dengan apa yang di alami semasa mudanya. Konon dulu, semasa mudanya Mbok Rondo bekerja di Kota sebagai pembantu selama bertahun-tahun. Bekerja pada orang-orang Arab keturunan, di Semarang. Jauh sebelum zaman pendudukan Jepang. Semasa bumi Nusantara masih di bawah penjajahan Belanda. Atas kendali Ratu Yuliana. Sampai setelah Indonesia merdeka. Kendati semasa mudanya dihabiskan di Kota. Tak pernah bergelut dengan pekatnya Lumpur hitam atau panas teriknya matahari, di tengah-tengah sawah. Namun cara hidupnya tak beda jauh dengan cara hidup perempuan Desa. Yang kuper seperti perempuan pingitan. Tak ada yang tahu arah hidupnya yang terkadang ingin selalu tampil beda. Dianggap dan dirasa aneh oleh sebagian warga kampung. Semisal kebiasaannya semasa muda yang selalu memakai gelang kaki yang lumayan besar. Kontras dengan kebiasaan warga kampung pada umumnya.
Tubuhnya yang tinggi semampai, kulitnya putih dengan alis mata yang beriringan seperti semut yang sedang beriringan, serta bulu matanya yang lentik. Kakinya yang mulus, putih. Tak ada bandingannya, dengan perempuan-perempuan desa pada umumnya. Tubuhnya yang sintal itu, selalu di rawat, putih bersih, wangi dan selalu mengenakan jilbab. Itu adalah sebagian dari gambaran hidup semasa mudanya.
Sepulangnya ke kampung halaman, banyak pria kampung yang tergila-gila padanya. Pancaran rona wajahnya, mampu meredupkan perangai para preman yang keras dan bajingan tengik sekalipun. Hingga bertekuk lutut dihadapannya. Kecantikannya mengalahkan perempuan-perempuan Desa. Dalam waktu singkat, dengan mudahnya Mbok Rondo bertengger sebagai Primadona Desa. Lamaran demi lamaran berdatangan dari para lelaki yang terhormat. Yang hampir kesemuanya berdarah biru. Datang silih berganti. Namun seringkali di tolaknya dengan cara baik-baik. Hingga pada suatu saat,pilihan jatuh kepada kang Amran. Anak Tumenggung Sastro Djoyodiningrat. Yang waktu itu menjabat sebagai Wedana. Setingkat camat dimasa kini. Kang Amran yang berwatak keras, sangar, kaku dan di takuti banyak kalangan. Akhirnya tahluk di pelukan Mbok Rondo. Tapi sayangnya Kang Amran sama sekali tidak mengenal seni bercinta. Perangainya yang keras, dan kaku. Menjadi batu sandungan buatnya. Kang Amran gagal mencumbui dan merayunya. Setelah Mbok Rondo resmi dinikahi Kang Amran. Ia masih tetap saja menjunjung tinggi kesuciannya.Tak ingin ternoda sama sekali. Dari cerita yang beredar di masyarakat,Mbok Rondo waktu itu dengan tegas menolak di setubuhi. Entah kenapa semua itu bisa terjadi. Dan apa maunya masih menjadi teka-teki.
Mbok Rondo yang bernama asli Maryamah. Adalah perempuan yang aneh, sekaligus nyeleneh. Mau dinikahi, tetapi sama sekali tidak mau digauli. Ia tidak ingin menjadi perempuan yang ternoda oleh suaminya sendiri. Sekalipun Kang Amran telah menjadi suaminya yang sah. Tepatnya dua hari setelah Akad nikah. Mbok Rondo di ceraikan oleh Kang Amran. Dengan alasan yang tidak logis. Mbok Rondo tidak mau disentuh.
Hingga detik ini tak terpikir sama sekali dalam benak Mbok Rondo.Untuk menikah lagi. Jadilah Mbok Rondo menjadi janda tua yang masih terjaga kesuciannya. Di usia tuanya, Ia tinggal sendiri di sebuah gubuk berukuran dua kali empat meter. Sedikit lebih luas jika di bandingkan dengan ukuran kandang kambing pada umumnya. Sawah, hasil jerih payahnya selama puluhan tahun bekerja di kota, kini tak berbekas lagi. Karena tipu daya orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sepenuhnya Ia tertipu dengan sadarnya. Sawah satu-satunya dijualnya dengan harga semurah-murahnya. Ia kira nilai nominal uang sekarang, tak ada bedanya dengan uang di zaman dahulu. Harga tanah yang di sangkanya naik tipis. Justru pelan dan pasti, telah mencekiknya secara perlahan.
Tak kurang dari satu tahun, uang hasil penjualan sawah akhirnya ludes. Untuk biaya makan sehari-hari. Walau nasi telah menjadi bubur. Allah yang kuasa masih tetap mencurahkan Rahmatnya bagi seluruh Alam. Setiap mahluk yang tercipta telah mendapat cadangan rizki masing-masing. Terkadang sekali dua kali Mbok rondo mendapatkan bantuan dari para tetangganya, Serta saudara-saudara jauhnya. Yang masih menaruh simpati kepadanya. Walau nominalnya tidaklah seberapa, namun cukup membantu untuk mengurangi beban pikiran demi untuk kelangsungan hidup sehari-hari. Setiap hari, setiap minggu ada saja rizki yang dicurahkan Allah lewat hamba-hambanya.
Sekarang agaknya nasib baik, telah merapat padanya. Gubuknya yang rata dengan tanah telah berdiri kembali seminggu yang lalu. Para tetangga gotong royong memperbaiki dan membangunya kembali. Sebelumnya Ia menumpang makan dan tidur di rumah Kartini, tetangganya. Karena rumahnya yang lebih mirip gubuk. Terbuat dari ruas- ruas bambu dan anyamannya. Tiba- tiba ambruk, rata dengan tanah oleh ulah kambing- kambing biadab.
Kambing- kambing biadab itu milik Haji Malik. Tiga kambingnya terlepas dari kandangnya. Dua ekor kambing jantannya snewen ingin kawin. Lalu mengejar seekor kambing betina. Ketiganya berkejar-kejaran dan berlari-lari bebas mengelilingi kampung. Tanpa diduga sebelumnya Salah satu satu kambing jantannya, tali tambangnya tersangkut di salah satu tiang rumah Mbok Rondo. Hanya kurang dari hitungan menit. Rumahnya ambruk dan berantakan. Untungya Mbok Rondo waktu itu tengah pergi ke Sungai untuk keperluan buang hajat. Sehingga selamat dari musibah.
Tak ada yang di salahkan maupun menyalahkan dan memang tak perlu ada yang di salahkan. Barangkali itu memang telah menjadi suratan baginya. Mbok Rondo tidak marah, tidak pula menuntut. Tak ada guratan kesedihan sama sekali di wajah Mbok Rondo. Tapi rasa kehilangan pastinya menghinggapi pikirannya. Dirinya sudah terbiasa mengakrabi hidup dengan bergelut penderitaan. Terbiasa menjadi bahan cercaan. Semenjak sawahnya di jual murah-murahan untuk biaya hidup sehari-hari. Dirinya tau diri, dan menganggapnya tidak layak untuk meminta-minta apalagi menuntut.
Dalam musibah itu tak ada yang mau bertanggung jawab. Pak Haji Malik pemilik kambing-kambing biadab itu hanya menyumbang beberapa potong bambu dan beberapa ikat daun ilalang kering, untuk keperluan atapnya. Masih sangat jauh dari mencukupi. Selebihnya, Pak Haji Malik justru menyalahkan keadaan dan menganggapnya bukan suatu musibah.
”Wong rumahnya memang sudah tua kok! sudah waktunya ambruk!.” Begitulah kata-kata Pak Haji Malik terlontar begitu saja tanpa berfikir terlebih dahulu. Sehingga terkesan menganggap enteng suatu masalah.
Di mata Mbok Rondo kata-kata Pak Haji Malik adalah sebuah petuah. Tak banyak yang harus di perbuat. Padahal semestinya Ia punya hak untuk meminta lebih.
Mendapatkan bantuan dari Pak Haji Malik yang tak seberapa nilainya. Bagi Mbok Rondo sudah lebih dari cukup. Tetapi para tetangga dan saudara-saudara jauhnya,justru muak. Tidak terima dengan kenyataan yang ada. Tapi tak bisa berbuat banyak karena Mbok Rondo sendiri tak ingin masalahnya menjadi semakin runyam. Merekapun hanya bisa mengumpat dalam hati. Mereka hanya bisa menilai. Jika titel Haji yang telah di sandangnya sama sekali tak ada gunanya.
“Haji gombal.!!.” Demikian para tetangga berujar dalam hati.
Surprise
Pagi-pagi benar Mbok Nah telah lebih dulu pergi ke sawah. Di rumah hanya tinggal Qohar seorang, yang masih tidur. Telah menjadi suatu kebiasaan. Apabila Qohar bangun tidur, lalu tanpa di dapatinya Mbok Nah di sampingnya. Ia lalu cuci muka,kemudian melaksanakan sholat shubuh, berdzikir beberapa saat, dan di akhiri do'a sapu jagat yang senantiasa diajarkan Mbok Nah di dalam sehari-harinya. Ia lalu minum air putih dua gelas. Di usianya yang ke tujuh tahun Qohar terbiasa pergi menyusul ke sawah atau kebun Mbok Nah, yang lumayan jauh. Untuk sekedar membantu Mbok Nah. Paling banyak,Qohar membantu dengan cara menghibur neneknya yang biasa di panggilnya Maknyak.
Dengan berpakaian ala kadarnya. Qohar menyusul Mbok Nah, tanpa sarapan terlebih dahulu. Cukup hanya minum dua gelas air putih. Ia mengira nantinya akan pulang pagi-pagi seperti kemarin. Letak sawahnya yang jauh dari perkampungan, tak mematahkan semangatnya untuk tetap menyusul neneknya. Waktu demi waktupun terus berjalan. Di tengah perjalanan. Ia merasakan capek. Biasanya, apabila dirinya merasa pegal di kakinya. Ada yang mau menggendongnya. Tapi kali ini tak ada yang di mintai untuk mengeluh. Ia pun istirahat sejenak di bawah pohon asem di tepi jalan. Dari kejauhan Ia melihat segerombolan perangkat Desa sedang mengukur sawah. Biasanya orang-orang penting macam perangkat Desa yang biasanya ogah di sebut sebagai pelayan masyarakat. Membawa serta makanan yang lezat-lezat. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika makanan yang di bawa biasanya ada lauk opor ayam, dan gulai kambing.
Dilihatnya para perangkat Desa sedang menikmati hidangan. Tak sampai satu jam. Merekapun kembali ke sawah. Mengukur Sawah. Karena persawahannya begitu luas di hiasi rimbunnya pohon tebu. Sehingga apabila sisa-sisa makanan dimakan. Tak akan ada yang tahu kecuali Allah. Qohar dengan sigap merayap menuju letak makanan dan buah-buahan itu berada. Makanan-makanan itu sengaja ditinggal, lalu mereka kembali membagi tugas mengukur persawahan.
Qohar makan dengan santai tanpa takut ada yang melihatnya. Karena tak satupun petugas yang terlihat. Setelah kenyang, tak lupa Ia ambil serantang nasi beserta ayam goreng, gulai kambing, dan buah-buahan. Sebagai oleh-oleh kepada neneknya terkasih.
Sesampainya di dekat persawahan, Ia melihat neneknya tengah membungkuk menyiangi rumput sambil sesekali berdiri. Sembari menghilangkan rasa pegal-pegal. Sawah Mbok Nah yang hanya tinggal beberapa petak, sengaja di tanami berbagai macam tanaman. Qohar sendiri seringkali di ingatkan Mbok Nah, agar selalu merawat dan memelihara tanaman. Syukur-syukur mau menanam apa saja yang bisa mendatangkan manfaat, seperti kacang panjang, kangkung, dan lembayung secara intens dan bergiliran. Bila sudah tidak produktif segera di ganti, begitu seterusnya. Mbok Nah dalam mensiasati jalan hidupnya.
Dengan mengendap-endap di bawah pohon ketela Qohar mencoba untuk mengelabuhi Mbok Nah dan membuatnya kaget. Tetapi, hari itu agaknya nasib baik tidak memihak kepada Qohar. Sebelum rencana miringnya terlaksana, Mbok Nah terlebih dahulu tahu rencana cucu kesangannya ini. Karena hampir tiap hari Ia di buatnya kaget
Sambil membungkuk menyiangi rumput. Mbok Nah melirik cucu kesayangannya. Qohar menghelai nafas panjang-panjang hingga kemudian memuntahkan suara sekeras-kerasnya
”Darrr !!!.”
Seketika itu juga Mbok Nah terjatuh pingsan. Kali ini Mbok Nah mencoba membalas kenakalan Qohar. Dengan berpura-pura pingsan di depan Qohar.
”Maknyak !! Maknyak kenapa ? bangun Maknyak.” Qohar mulai menangis tersedu-sedu.
Sambil menangis sesenggukan Ia berujar seraya berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatan konyolnya itu, hingga membuatnya jatuh pingsan. Qohar yang masih polos itupun, tak tau harus bagaimana. Sedangkan Mbok Nah masih melanjutkan aktingnya. Tanpa mempedulikan tangisan Qohar yang terus memelas.
”Maknyak! bangun maknyak!!. Jangan mati maknyak! Saya nanti hidup dengan siapa?.” Keluhnnya. Tanpa terasa pipinya basah oleh air mata.
”Maknyak!. Qohar bawa makanan dan buah-buahan. Jangan mati maknyak!!.” ucap Qohar sambil menyodorkan bungkusan nasi bersama lauknya dan buah-buahan.
Seketika itu juga Mbok Nah langsung terbangun dan berkata.
”Maknyak lapar cucuku?.” keluh Mbok Nah sambil tangan kirinya membelai perutnya.
”Lapar segala kayak manusia.” celetuknya sambil menangis, dan menitikkan bulir-bulir air mata. Lalu kemudian senyumnya mengembang menghiasi wajah culunnya.
Kali ini Qohar tak ingin kehilangan Mbok Nah kesayangannya, hingga kedua kalinya. Iapun menyuapi Mbok Nah dengan setulus hatibsampai kenyang. Setelah kenyang Mbok Nah baru teringat, jika dirinya tadi pagi tidak merasa membuat masakan ayam goreng maupun gulai kambing.
”Lhoo kamu tadi pagi aku buatkan terong goreng sama pecelan oyong..kok bisa jadi ayam??.” Selidiknya dengan penuh penasaran.
”Kamu mulai belajar mencuri??.”
”Nggak maknyak ! Itu tadi saya menemukannya di jalanan. Mungkin itu buangan dari orang kaya yang melintas.”
Alasan tersebut agak logis, karena memang di kampungnya terdapat jalan raya lintas Provinsi yang membelah perkampungan.
Merekapun pulang. Sampai dirumah, Mbok Nah langsung menanak nasi. Diluar Qohar sedang asyik bermain Egrang. Mainan kuno yang cukup menantang, sanggup memacu adrenalin lebih kencang. Qohar dalam bermain egrang bisa betah berlama-lama. Sesuai karakternya yang sangat menyukai tantangan. Setelah bosan bermain egrang. Qohar mencoba tantangan baru. Ia ingin neneknya bingung dan panik dibuatnya. Ia segera pergi ke kamar dan mengendap-endap masuk ke kolong tempat tidurnya. Cukup lama ia sembunyi, hingga akhirnya Qohar tertidur di bawah kolong tempat tidur.
Usai memasak, neneknya mencari cucu kesayangannya. Seluruh isi rumah telah di periksa, namun belum juga ditemukan. Neneknya mengira, Qohar pergi kesungai seperti biasanya,untuk mandi. Bersama teman-teman sebayanya. Setelah di cari di Sungai ternyata juga tidak di ketemukan. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya terus menetes dari kelopak matanya yang cekung dan keriput. Selama ini kedua bola matanya jarang basah oleh airmata. Matanya yang terlihat kering keriput hanya bisa meneteskan air mata dikala berdo’a di tengah malam.Selebihnya jarang sekali menangis. Di bulan-bulan tertentu Mbok Nah memang menangis. Tetapi itu terjadi lantaran teringat saat-saat melahirkan sang buah hati. Merawat,dan membesarkan anak,tapi setelah dewasa tak ada juntrungannya. dimana tempat tinggalnya.
Hidupnya yang begitu tegar, setegar batu karang. Tak terlepas dari peran suaminya, Kang Karta. Ilmu siasat yang diwariskan kang Karta, Suaminya. Membuatnya tak pernah kekurangan di dalam hidupnya, meskipun harus membiayai kebutuhan hidup seorang diri. Pesan-pesan kang Karta itu masih teringat di benak Mbok Nah.
Sebuah bentuk rasa cinta dan kasih sayang dari Tuhan kepada para hambanya. Pada hakikatnya setiap Manusia selalu identik dengan pemberian ujian. Setiap manusia terlahir diatas Bumi. Sebagai konsekuensinya harus bisa dan berani menahlukkan akan sebuah tantangan. Dari sang Khalik. Namun bukan termasuk manusia pilihan apabila harus menyerah begitu saja. Apalagi penyerahan dan kepasrahannya sebelum babak pertandingan usai. Begitu kompleksnya suatu permasalahan hidup. Sehingga perlu ditanamkan dalam diri Manusia sifat ulet dan pantang menyerah untuk menghadapi hidup. Satu persatu permasalahan itu harus di selesaikan hingga mencapai titik klimaks sebuah kepuasan bathin. Permasalahan hidup adalah suatu keniscayaan. Bukan untuk di takuti, bukan untuk di kejar dan mengejar permasalahan. Tetapi untuk di hadapi.
Kang Karta meninggal dunia karena terjatuh dari pohon kelapa. Dengan posisi kepalanya dibawah. Menyerupai orang yang sedang bersujud. Tinggallah Mbok Nah sendiri di dalam mengasuh anak-anaknya. Tak kurang, Mbok Nah di dalam mencurahkan kasih sayangnya, kepada tiga orang putrinya. Akan tetapi setelah dewasa, satu-persatu tiga putrinya pergi meninggalkannya. Entah kemana. Mengikuti keinginan hati nurani masing-masing. Hanya Dewi Juariyah, putri bungsunya yang diketahui keberadaanya.
Sebelum pergi dari rumah, Juariyah diketahui berpacaran dengan Arman, yang tidak lain adalah tetangga Desa. Akhirnya Mbok Nah melakukan berbagai upaya agar Juariyah mau pulang kembali ke rumah. Karena hanya Juariyah satu-satunya anak yang diketahui keberadaannya.Tapi Juariyah bersikeras ingin tetap tinggal di rumah Saroh, Budhenya. Saudara kandung Mbok Nah.
Dengan kesadarannya sendiri, akhirnya Juariyah kembali pulang. Berkumpul bersama Mbok Nah. Hanya berselang dua minggu kemudian, Mbok Nah menikahkan putrinya, Dewi Juariyah dengan Arman subagio. Belum genap satu bulan, mulai terlihat diantara keduanya, ketidakharmonisan. Arman yang selama ini di anggap sebagai lelaki sejati. Ternyata seperti anak kecil yang tidak tau tanggung jawab sebagai seorang suami. Mencari nafkah buat istri dan keluarganya. Ia masih tetap menyandang status sebagai lelaki pengangguran. Kerjanya hanya nongkrong di pinggir jalan, tidur, lalu dengan santainya meminta jatah uang kepada Mertua untuk membeli rokok atau ngopi di warung. Seperti orang yang tidak punya muka. Hampir setiap hari menantu brengsek itu meminta jatah uang.
Bosan harus hidup bersama suami pengangguran, Juariyah ingin pergi jauh untuk mengasingkan diri. Pergi dari bayang-bayang suaminya, Kang Arman. Hingga akhirnya Juariyah memilih ingin bekerja sebagai TKI.
Mulanya Juariyah ingin bekerja sebagai TKI secepatnya. Namun Mbok Nah melarangnya. Kecuali apabila sudah memberikannya seorang cucu. Juariyah pun menyanggupinya. Juariyah ngotot pengen jadi TKI, lantaran ingin mengubah nasib. Suaminya kang Arman yang pengangguran. Tak bertanggung jawab sama sekali dan sudah tidak bisa di andalkan. Juariyah menyebut suaminya dengan sebutan lelaki tempe busuk. Walau demikian, Ia akan tetap berusaha mempertahankan rumah tangganya demi Mbok Nah, Ibu yang selama ini telah membesarkannya. Meski harus makan hati dan terus-terusan menelan pil pahit kehidupan. Dengan di warnai pertengkaran, cumbu rayu, nafsu dan amarah. Bercampur cinta dan ketulusan. Juariyah pun hamil.
Usai melahirkan, selang kurang lebih delapan bulan kemudian. Juariyah diijinkan Mbok Nah untuk mengadu nasib menjadi TKI. Akhirnya Juariyah pergi meninggalkan tanah kelahirannya, diiringi tangis dari Mbok Nah. Juariyah pergi hanya membawa bekal uang puluhan ribu. Selebihnya dengan modal nekat. Dari pihak penyalur menjanjikan akan menggratiskan biaya transportasi. Dengan sistem potong gaji. Tanpa pikir panjang Juariyah menyetujuinya.
Setelah kepergian Juariyah, Mbok Nah mensiasati tangisan Qohar kecil. Dengan merelakan puting susunya yang telah keriput di makan usia. Untuk di jadikan pengganti ASI. Walau pada hakikatnya sudah tidak bisa keluar air susu setetespun. Tetapi agaknya telah membuat Qohar terhibur
Dan kini cucu satu-satunya yang sanantiasa di cintainya, Hilang entah kemana. Ia telah mencoba bertanya kepada para tetangga, tetapi hasilnya nihil. Para tetangga tidak mengetahui keberadaan Qohar. Jalinan silaturrakhim yang terus terjaga dengan para tetangganya membuat banyak para tetangga yang bersimpati. Para tetangga datang silih berganti hingga sore menjelang, lalu kemudian satu persatu pamit pulang.
Di saat-saat suasana kembali lengang, pikirannya menjadi buyar, linglung, dan lesu. Beraneka makanan dan buah-buahan di meja pemberian tetangga, sama sekali tak di sentuhnya.
Ia semakin takut ketika terdengar suara orang yang sedang mencuci piring. Dalam keputus asa’an berselimut gundah. Ia masih saja berharap. Dan tetap meyakini bahwa Qohar pasti kembali ke pangkuannya. Rasa khawatir itu tetap bergelayut, dalam pikirannya. Semangat hidupnya dari yang semula menggebu-gebu, kini semakin meredup. Tak ada lagi gairah hidup. Sekujur tubuhnya terasa berat seperti orang yang baru kerja seharian. Tubuhnya yang renta semakin lemas tak berdaya. Mbok Nah yang sekuat baja itupun akhirnya pasrah kepada yang Kuasa. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju dapur hendak mengambil air wudlu. Hendak melaksanakan shalat ashar. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat Qohar tengah menenteng sepiring nasi. Di ruang dapur yang bersebelahan dengan sumur.
“Qohar !.kamu masih ingat rumah?.ingat makan lagi..” Tanya Mbok Nah setengah marah.
“Saya lapar Maknyak.” Sergahnya. Mengalihkan pembicaraan.
“Kalau lapar ya makan jangan keluyuran. Kamu tau!.Tadi kamu ku cari sampe buyeng.”
“Saya nggak tahu..Ooiya maknyak!.Aku ingat. Tadi siang Aku ngumpet di bawah kolong tempat tidur. Sampai ketiduran.”ujarnya polos.
“Jadi kamu sengaja ngumpet?.” Tanyanya dengan geram.
“Iya.” Jawabnya singkat.
“Dassar gemblung!.”
Kali ini Mbok Nah benar-benar lega. Tanpa di komando akhirnya Qohar kembali juga, pulang ke rumah.
“Ooiya di lemari tadi ada berkat dari Mbok Tamah. Coba kamu makan dari pada basi nantinya.”
“Kayaknya sudah di makan kucing Maknyak.” kilahnya.
“Apa?sudah di makan kucing!. Wong di lemari kok di makan kucing. Kucing berkepala hitam ?.” Mbok Nah balik bertanya.
“Iya maknyak.” Jawab Qohar cengengesan dan tersenyum geli..
“Kamu tadi sudah sholat?.” Tanya Mbok Nah mengalihkan topik pembicaraan.
“Sudah maknyak.”
“Sudah kemarin siang? sekarang sudah Ashar. Sekarang kamu mandi sana! Terus sholat. Selama kamu masih doyan nasi kamu harus sholat. Biar selalu bersih dan terjaga kesehatannya.”
Sebulan dua bulan sekali. Terkadang Mbok Nah makan enak, mengolah gulai Kambing untuk di bagikan kepada para tetangga. Atau apabila sedang sibuk. Cukup membeli di warung sate dan gulai Mbok Pairah. Kini terhitung tiga bulan lebih. Seingat Mbok Nah.belum pernah beli gulai. Malam itu Mbok Nah melepas lelah dengan berbaring di kursi panjang. Di suruhnya Qohar,membeli gulai Kambing..
Tanpa banyak cingcong Qohar menyanggupinya. Tanpa perasaan terbebani. Sebenarnya Ia takut karena jaraknya yang lumayan jauh, di kesunyian malam.Tetapi di hadapan neneknya Ia selalu memperlihatkan rasa keberanian dan percaya diri. Di luar rumah ada banyak anak-anak yang tengah bermain singkongan1. Rudi salah satunya. Diapun mengajak Rudi. Usianya dua tahun lebih tua darinya. Namun dalam hal sifat dan sikapnya. Sangat manja dan kekanak-kanakan. Tak seperti Qohar yang penuh percaya diri, kedewasaan pikirannya mampu menyeimbangkan perkataan dengan siapapun. Mereka berdua pergi ke warung sate dan gulai yang tersohor sekampung. Warung gulai dan sate kambing Mbok Pairah. Sesampainya di warung. Qohar dan Rudi di sambut kecut oleh Mbok Pairah.
“Kamu cucunya ginah too.?”
“Ya mbah.”
“Mau beli apa kamu.”
“Beli gulai dua bungkus.”
“Di beri uang berapa kamu?”
“Banyak!.”
“Berapa?coba saya lihat!.” Qohar menunjukkan uang lima puluh ribuan beberapa lembar. Dari dalam dompetnya Mbok Nah. Mbok Nah sengaja menyuruh Qohar membawa dompetnya. Karena bukan hanya sekali dua kali Mbok Nah di lecehkan dan di anggap rendah oleh Mbok Pairah. Tapi semenjak Ia di peristri oleh kang Karta. Sampai meninggalnya kang Karta. Di setiap kesempatan. Setiap keduanya bertemu selalu tak pernah akur. Menjadi musuh bebuyutan sepanjang hidup. Di sawah, di jalan, atau dimana keduanya bertemu. Selalu memperlihatkan permusuhan tak peduli di lihat banyak orang sekalipun. Kedengkian Mbok Pairah pada Mbok Nah seperti api yang semakin bertambah menyala-nyala, terus membesar dan tak pernah surut. Tapi Mbok Nah masih tetap menghormatinya melalui gulai yang di beli darinya. Permusuhan antara Mbok Nah dan Mbok Pairah telah terhitung puluhan tahun. Semenjak Mbok Nah masih muda. Di mulai pada saat kang Karta mendekati dirinya. karena jenuh dengan sikap dan watak istrinya. Mbok Pairah, yang selalu menuntut lebih.
Mbok Pairah menuduh Mbok Nah sebagi perusak rumah tangga orang. Sedangkan Kang Karta kepada Mbok Nah bertutur. Jika kehidupan rumah tangganya dengan Mbok Pairah selalu di rundung masalah dan tak pernah akur. Setiap kang Karta pulang dari kerja. Mbok Pairah selalu meminta macam-macam. Setiap permintaannya tak dituruti. Mbok Pairah selalu marah-marah. Pada hal waktu itu. Untuk makan sehari-hari saja tak mesti tercukupi. Harus ngutang kanan kiri. Karena sulitnya mencari sesuap nasi waktu itu. Hidup dizaman serba susah memang terasa sangat menyiksa. Sedangkan kang Karta tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa pasrah dengan takdir dari tuhan yang telah diberikan padanya.
Tak kuat setiap hari harus di hina dan dilecehkan. Karena tak bisa memenuhi keinginan Mbok Pairah. Kang karta akhirnya menceraikan Mbok Pairah. Dan tak lama, Seminggu kemudian kang Karta menikahi Mbok Nah. Yang waktu itu Mbok Nah telah berusia tiga puluh lima tahun. Pada masa itu, umur kepala tiga ke atas. Lazimnya idiom di masyarakat menyebutnya sebagai perawan tua.
Dihati kecil Qohar, sebenarnya terasa sakit. Karena bagaimanapun Qohar kecil juga punya harga diri. Punya hati sanubari dan perasaan. Qohar tak bisa berbuat banyak. Sambil menunggu pesanan gulai bersama Rudi. Pikirannya terus berlari-lari dan berputar-putar. Di depan mata, seekor cicak melintas tepat di bawah kakinya. Buru-buru kepalanya di injak hingga mati. Setelah itu Qohar memesan lagi dua porsi gulai Kambing untuk di makan ditempat, bersama Rudi. Sambil menunggu pesanan, Qohar sengaja memperlambat makannya. Selesai makan, setelah tinggal kuahnya, kontan saja Qohar memperlihatkan cicak di mangkoknya. kepada Mbok Pairah .
“Perutku terasa mual, piyee iki?” Ujarnya pura-pura mengeluh. lalu setengah berselidik. Sambil tangan kirinya memegangi cicak dan memperlihatkan pada Mbok Pairah. Cicak itu di ambilnya dari mangkuk yang hanya tinggal kuahnya saja.
“Jadi yang saya makan itu gulai cicak? pantas saja perutku langsung mual.” katanya seolah Ia menyalahkan dan tahu persis apa penyebabnya.
Melihat semua itu, Mbok Pairah panik dan geram bercampur malu menjadi satu .di suruhnya Qohar agar diam dan di beri uang beberapa lembar. Di hati Qohar tersimpan kegembiraan yang tak terukur. Tapi kegembiraan itu Ia expresikan dengan guratan wajah yang pilu bercampur sedih. Tanpa banyak kata Qohar segera cabut tanpa membayar sepeserpun. sedangkan Mbok Pairah hanya bisa diam. karena menahan malu. dengan guratan mukanya yang merah padam. Di sepanjang jalan, Rudi memuji-muji kecerdikan Qohar dan meminta sambil merengek agar Ia di ajarinya.
Dirumah, Mbok Nah sudah tertidur. Di atas kursi panjang yang terbuat dari bambu.
“Maknyak. Bangun Maknyak!ini gulainya. Nanti keburu adem.”
“Taruh saja di lemari, nanti bisa di hangatkan lagi. Aku ngantuk. Jangan lupa pintunya di tutup” Perintah Mbok Nah. Lalu pergi ke tempat tidur untuk merebahkan jasadnya.
Di tengah malam Mbok Nah terbangun, lalu melaksanakan shalat tahajjud. Di akhiri baca’an Do’a Abu Nawas.
Ilaahi Lastulil Firdausi Ahlaa
Walaa Aqwaa A’lannaril Jakhiimi
Fahablii Taubatan waghfir Dlunuubi
Fainnaka Ghaafiruddzanbil Adliimi.
Dzunubi mitslu a’daadir- rimali,
Fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa ‘umri naqishu fi kulli yaumi,
Wa dzanbi zaaidun kaifa –htimali
Ilahi ‘abdukal ‘aashi ataak,
Muqirran bi dzunubi
Wa qad di’aaka
Fain taghfir fa anta lidzaka ahlun,
Wain tadrud faman narju siwaaka1
Selesai berdo’a Kemudian makan malam dengan lauk gulai Kambing. Tak lupa didalam hatinya mengucap syukur atas rizki dan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Seolah kenikmatan dunia berada dalam genggamannya. Mengingat bagaimana di zaman dahulu harus hidup diantara dentuman bom maupun peluru. Jiwa tergoncang, di hantui rasa takut dan penuh ancaman. Makan sehari sekali dengan perut keroncongan di saban harinya. Hidup di zaman penjajahan. Selesai menyantap makan malam dengan lauk gulai Kambing. Ia lalu menghampiri Qohar yang tengah terlelap. Diusapnya keningnya berulang-ulang lalu diciumi keningnya. Sebuah ungkapan rasa cinta yang tulus dari seorang nenek kepada cucu satu-satunya. Seperti dalam sebuah Syair.
Tahukah kamu ku dekap kamu di saat kamu termimpi.
Tahukah kamu nggak cuma kamu pemilik hatiku.
Tahukah kamu ku ciumimu di saat kamu terlelap.
Tahukah kamu hatiku ini adalah hatimu.
Tahukah kamu di setiap hidupku ku kagumi wajahmu.
Nanti kau kan tahu,Nanti kau kan dengar bahwa aku begitu.
Kamu-kamu adalah surga yang ada.
Dalam hidupku dalam kenyataanku.
Kamu aku adalah penghuni surga.
Tahukah kamu di saat kamu menangis adalah air mataku yg jatuh berlinang.
Tahukah kamu di saat kamu tersakiti adalah aku yang pertama terluka.
Tahukah kamu yg cuma aku yang punya cinta untukmu yang rela mati untukmu.1
?
Dikeheningan malam. Ia mencoba merenungi kembali jalan hidupnya. Matanya menerawang kosong. Lalu basah, sembab. Sesekali tersenyum dalam kesendirian. Dengan baluran air mata. Tertawa lirih lalu kemudian menangis. Matanya yang cekung. Basah oleh air mata. Mbok Nah teringat semasa kecil dulu. di usia belia dengan penuh kesadaran. Ia turut serta menyelamatkan nyawa ayahnya secara tidak langsung. Waktu itu ayahnya, ki Rasup mendapatkan tugas dari letnan Banun. Menyelamatkan belasan pucuk senjata yang hendak di rampas tentara kolonial Belanda. Ia diberi tugas memindahkan beberapa pucuk senjata dan puluhan selongsong peluru itu. Senjata dan puluhan selongsor peluru itu disimpan dalam gulungan rumput Ia bersama Ki Rasup,ayahnya. Melewati tebing yang curam dan terjal. Tanpa disadari sebelumnya tiga orang tentara kolonial Belanda menghadang perjalanan. Sontak Ki Rasup seolah-olah kedua lututnya patah. Sekujur tubuhnya gemetar, keluar keringat dingin. Mendadak kedua tangannya juga menajadi dingin seperti mayat.
Mbok Nah yang masih polos Waktu itu mencoba untuk memanfaatkan kepolosannya. Meski jiwanya seperti di kejar sekawanan serigala, tanah tempat berpijak serasa bergoyang, matanya nanar tertuju pada wajah beringas tiga orang tentara Belanda. Sambil menangis, merengek Ia minta tolong kepada salah seorang tentara Belanda. Ia menunjukkkan luka-luka di jemari kakinya yang terus berdarah, sebuah kebetulan. Padahal semasa itu penyakit gudik maupun nanah, sudah biasa menjangkiti sebagian besar orang-orang Desa. Terutama anak-anak kecil. Penyakit nanah maupun gudik apabila semakin digaruk, akan semakin terlihat mengelupas kulitnya. Dan mengeluarkan darah yang terus mengalir beberapa saat. Kepada salah seorang tentara Belanda Ia meminta obat luka yang diderita Ayahnya juga dirinya. Tak dinyana setelah seorang Tentara serdadu Belanda melihat tetesan darah. Hatinya terenyuh. Seorang tentara itu memberikan syalnya yang putih bersih untuk membersihkan lukanya. Tak Cuma itu saja, Ia juga diberi beberapa potong roti. Di hari itu ia merasa menjadi orang yang paling beruntung didunia. Teriring rasa syukur hingga berurai air mata kebahagiaan.
selingkuh
Usai melaksanakan shalat subuh, Mbok Nah segera beranjak ke dapur, mengambil air dari sumur di belakang rumah. Sambil menunggu nasi matang, Mbok Nah membersihkan kamar tidur. Setelah sebelumnya meracik bumbu-bumbu masakan. Setelah semua selesai, Mbok Nah kaget melihat senapan angin tergeletak di pembaringan, disamping Qohar. Rupanya, tanpa sepengetahuan Mbok Nah, Qohar mengambil senapan angin dari balik lemari Mbok Nah.
Teringat di benak Mbok Nah kejadian puluhan tahun silam. Meski semuanya telah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi di usianya yang menginjak kepala tujuh masih teringat segar kenangan pahit masa-masa itu. Sewaktu dirinya masih hidup dalam keprihatinan. Disaat- saat bangsa Indonesia masih terjajah oleh bangsa Jepang waktu itu.
Tepatnya pada tahun 1942. Mbok Nah dan suaminya mengarungi hidup dengan beragam kegetiran. Bahkan saking sulitnya hidup di masa itu, umbi-umbian pun menjadi sesuatu hal yang biasa di makan sehari-hari. Tak tanggung-tanggung umbi-umbian yang di makan adalah umbi-umbian mentah. Untuk mendapatkan umbi-umbian tersebut. Diperlukan gemerincing ringgit,sen atau harus di tukar dengan perasan keringat. Singkong rebus semasa itu sangatlah istimewa, tak banyak dari warga kampung yang mengkonsumsinya. Terbatas di sebagian kalangan. Jika ingin makan singkong rebus, tak cukup hanya dengan uang maupun tenaga, tapi harus melewati serangkaian jalanan yang berliku menuju lereng-lereng gunung. Jauhnya bisa mencapai tujuh sampai sepuluh kilo meter.
Disaat serba sulit itulah Mbok Nah menemukan Oshi koizumi, Oshi terjebak di atas ranjau jebakan yang sedianya untuk menjebak babi-babi hutan yang merusak tanaman. Semasa itu pendudukan Jepang di awal-awal kedatangannya ke Indonesia tak menunjukkan ciri-ciri akan menjajah. Kedatangannya kali pertama menunjukkan misi persaudaraan. Baru setahun belakangan, kerakusan dan keserakahannya semakin nyata terlihat ke permukaan.
Dengan sigap dan tanpa memperdulikan siapa,dan asal usulnya. Mbok Nah datang sebagai malaikat penyelamat. Di dalam sebuah gua yang tak begitu dalam,seoarang yang di ketahui sebagai tentara jepang itupun di rawat Mbok Nah dengan ala kadarnya. Untuk menyembuhkan luka-luka yang menghiasi dadanya oleh tusukan-tusukan kawat. Di perlukan waktu sampai berbulan-bulan.Hingga luka-lukanya di nyatakan benar-benar sembuh. Dengan di tandai luka-luka yang mulai mengering.
Atas jasa- jasa Mbok Nah Oshi selalu menyempatkan untuk menemui Mbok Nah di rerimbunan perkebunan kopi, tak jauh dari perkampungan. Dengan sesekali membawa oleh-oleh makanan yang lezat pada Mbok Nah hampir di setiap pertemuan. Oleh-oleh itu bukan hanya berupa makanan bahkan Oshi sebelum pulang kenegaranya sempat memberi kenang- kenangan helm, senapan angin,dan celana kolor. Lambat laun Mbok Nah seolah seperti semacam wanita simpanan seorang tentara Jepang. Karena pertemuan yang intens sehingga mampu menumbuhkan nafsu-nafsu yang kian merapat dan bersandar. Melihat kenyataan pahit tersebut kang karta suaminya, begitu Mbok Nah biasa memanggilnya, menyadari kekurangannya dan merekapun agaknya telah saling memahami keadaan.
Kang Karta dan Mbok Nah meyadari betul betapa susahnya untuk bertahan hidup di masa itu. Menanam singkong, baru umur sebulan sudah di rusak babi-babi hutan. Predator utama semasa itu bukan hanya Binatang tapi juga sesama Manusia. Padi belum menguning sempurna, telah di sikat habis. Dibabat orang-orang yang serakah. Pada waktu itu orang-orang yang menanam padi harus rela tinggal di gubuk-gubuk persawahan. Menunggui padi siang malam, bahkan kalau perlu nyawa sebagai taruhannya. Kalaupun padi itu berhasil dipanen, bukan berarti nasib mujur berpihak padanya. Separuh dari hasil panen padi harus disetorkan kepada Pemerintah Boneka, kaki tangan para Penjajah. Di masa itu sawah dan lahan tak terhitung luasnya, yang sengaja tak tergarap sama sekali. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih memilih membiarkan sawah dan ladangnya menganggur daripada harus menanaminya, lalu hasilnya diserahkan kepada para Penjajah.
Setiap kali serdadu Jepang itu datang memberi makanan. Mbok Nah selalu tidak langsung memakannya. Sebagai sebuah bentuk penghormatan pada suaminya. Sering kali Mbok Nah beralasan sudah kenyang lalu kemudian di bawanya pulang makanan itu. Begitu seterusnya. Persisnya peristiwa itu berjalan sampai dua tahun. Tepatnya setelah pecah perang dunia ke dua berakhir dan jepang mengalami kekalahan telak. Dengan di hancur luluhkannya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika.1 Sebelumnya tentara Jepang membombardir Pearl Harbour. Sebuah pelabuhan militer Angkatan Laut. Di kepulauan Hawaii Amerika Serikat.2
Mulanya Setiap Mbok Nah pulang membawa makanan. Kang Karta selalu menanyakan dari mana makanan itu di dapat. Namun Mbok Nah selalu merahasiakannya. Hingga akhirnya seiring berjalannya waktu. Kang Karta mengetahui dari mana makanan itu berasal. Kang Karta berusaha memahami keadaan dan berusaha mengikhlaskannya. Tak kuasa terus-terusan harus bergelut dengan kehidupannya yang serba kekurangan.
Waktu itu Mbok Nah telah memiliki tiga orang anak yang masih balita. Di sinyalir kehamilan yang terakhir adalah dari hubungan gelap dengan tentara serdadu Jepang.
Melihat tingkah laku, gelagat dan keseharian Qohar yang unik,terkesan pandai dan cerdik. Mbok Nah paling hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.
”Mungkinkah ini sebuah karma??...”
Apabila mengingat masa lalunya. Mbok Nah begitu bangga. Tak terbersit sedikitpun rasa bersalah apalagi menyesali perbuatanya. Karena Mbok Nah yakin semua ini adalah sandiwara. Ada dalang di balik semua ini. Baginya, tak ada yang perlu disesali sepanjang tidak melanggar aturan dan merugikan orang lain. Meski perbuatannya dia sadari telah menyimpang dari koridor Agama. Tapi demi kelangsungan hidup suatu laranganpun bisa saja dilanggar dan itu adalah suatu prinsip hidupnya. Prinsip-prinsip hidup yang ganjil itu adalah bagian dari wejangan suaminya,yang senantiasa berusaha memastikan secara pelan dan pasti. Mampu merubah kepribadian Mbok Nah yang semula penakut dan pemalu, sedikit banyak telah berubah menjadi perempuan yang pemberani, rela mengorbankan nyawa. Demi keberlangsungan hidup Ummat Manusia.
Saat melihat celana dan helm di lemari pemberian dari Oshi,seorang tentara jepang. Terkadang Mbok Nah tertawa- tawa sendiri seraya meneskan air mata. Bila teringat masa lalunya. Karena seringkali melihat,menghayati dan terbiasa dengan perilaku keseharian Mbok Nah. Qohar, cucunya.Secara tidak langsung tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang humoris dan cerdik.
Seingat Mbok Nah tak pernah sekalipun Ia memberitahukan perihal keberadaan senapan angin di balik lemarinya. Muncul beribu tanda tanya di benaknya, namun urung Ia tanyakan pada cucunya. Menunggu suasana yang pas untuk menanyainya. Usai menanak nasi dan mencuci piring kotor di dapur, Mbok Nah segera membangunkan Qohar, Mbok Nah membangunkan sambil mengelitiki kaki kirinya, seperti yang dilakukan sehari- harinya. Dengan cekatan Qohar pergi ke padasan1 dan cuci muka lalu kembali ke kamar tidur kemudian mengambil senapan angin yang telah menjadi mainan baru baginya.
“ Kok nggak shalat? ”
“ Kan udah kesiangan maknyak!” Timpalnya beralasan.
“Ya sudah. Sana sarapan!”
“ Lauknya apa? ”
“Pecel terong ama tempe.”
“Kok tiap hari makan terong terus Maknyak?”
“Maunya sama ayam ?”
“Ya iyalah Nyak. sekali- kali”
“Ya sudah. Makan sana sama ayam di kebun!.”.
“Sudah berapa kali maknyak bilang, kita harus hidup sederhana bahkan kalau perlu jangan sekali-kali makan lauk daging ayam, kambing, dan binatang darat lainnya. Terkecuali ikan hasil tangkapan dari laut. Kita sebagai Manusia harus ada bedanya dengan binatang agar menjadi mahluk yang dicintai Allah “. Begitu pesan Mbok Nah pada Qohar berkali- kali.
Sebuah prinsip”tidak makan daging daratan”. Di pegang teguh oleh Mbok Nah atas nasehat kyai Idris. Seorang kyai kampung di Desa tetangga. Tempat Mbok Nah selama ini didalam berkeluh kesah tentang liku-liku dan permasalahan hidupnya.
Seperti biasanya, Qohar melahap sepiring nasi beserta pecel terong dan tempe goreng hingga tiada tersisa.Takut di marahi Mbok Nah apabila tak di habiskan. Selesai makan Mbok Nah lalu menanyainya.
“Qohar? sejak kapan kau bermain-main senapan di kamar! Tau dari mana senapan itu ku simpan ?.”
“Maknyak sudah pikun?.”
“Pikun bagaimana? Lha wong di tanya kok malah nanya!.”
“Tuh kan ? nenek pikun lagi.”
“Dassar cucu ndableg1.”
“Maknyak sudah lupa? Maknyak kan sering cerita, kalau Maknyak itu pejuang. Pembela Tanah Air. Mencarikan makan umbi-umbian untuk para tentara, naik turun gunung mencari singkong dan jadi kurir senjata. Bukan begitu Maknyak? ceritanya?.”
“Lalu apa hubungannya ?”
“Nggak ada sih!. tapi saya kan penasaran Maknyak? masa setiap hari, hanya di suguhi cerita. Apa saya salah Maknyak ?.”
“Siapa yang menyalahkan? Tapi lain kali tanya dulu sama Maknyak biar nanti Maknyak ajarin.”
“Bener Maknyak ?.”
“Apa untungnya Maknyak bohong sama kamu.”
masalah
Seperti biasanya, usai sarapan pagi Mbok Nah pergi ke ladang. Tapi tidak di pagi itu. Kepalanya merasakan pusing dan agak pening. Dengan bergelayut rasa bimbang Ia langkahkan kakinya menuju kebun pisang, yang tak jauh dari rumahnya. Dengan membawa parang dan cangkul. Ia berfikir, dengan pergi ke kebun rasa nyeri yang di deritanya berangsur-angsur sembuh. Karena tempatnya teduh dan tidak terlalu panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga sepenggalah ketinggiannya.
Di kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya, hari itu shobari tak bertegur sapa dengan Mbok Nah. Dari raut mukanya, terlihat ada sesuatu yang ingin di utarakannya. Namun Ia hanya nggerundel2 seperti orang yang sedang menahan amarah. Sebagai Orang tua, Mbok Nah berusaha mengalah dengan mengawali sebuah pembicaraan.
“Pisangnya sudah tua Shob?.”
“Mau tua mau muda bukan urusanmu Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang.”
“Aku tidak melarang, kalau perlu ambil semua pisang yang ada!.” Hatinya serasa teriris. Setelah mendengar perkataan Shobari yang lancip seperti pedang. Hingga mampu membuat hatinya terluka oleh ucapannya. Sambil menahan kepedihan hati, Mbok Nah pergi meninggalkan kebunnya begitu saja yang masih sah sebagai miliknya.
Seumur hidup Mbok Nah dalam kamus hidupnya, pantang menyerah, mengalah dan menangis. Di hadapan siapapun. Tak terkecuali pada preman kampung sekalipun. Tapi hari itu tidak. Mbok Nah yang setegar karang, seganas lautan, akhirnya hanya bisa menjerit sakit di dalam batin. Lalu kemudian ditumpahkan di dalam rumah. Menangis tersedu hingga beberapa waktu lamanya. Qohar yang tak tau duduk perkaranyapun hanya ikut-ikutan menangis hingga menitikkan air matanya.
Sejatinya Mbok Nah adalah perempuan biasa yang lembut, penuh kasih sayang dan gemar bersilaturrahim. Namun bukan berarti Mbok Nah hidup tanpa musuh. Yang seringkali menyakitkan hati Mbok Nah adalah timbulnya rasa dengki dari para tetangga, sahabat maupun saudaranya sendiri. Tetapi kepada semua itu Mbok Nah selalu mengalah, dan memposisikan dirinya sebagai orang tua yang lemah dan lebih banyak mengalah. Ia merasa sebagai perempuan yang bodoh di kampungnya. Lebih banyak menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut. Apabila sedang terjadi kisruh dengan tetangga. Ia lebih banyak meratap, menangis dan menafakuri. Tetapi tidak demikian apabila menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu di kenalnya. Bahkan dengan perangkat desa sekalipun.
Pernah suatu ketika, Mbok Nah berhadapan dan perang mulut dengan pak Joyo, Carik Desa. Akar masalahnya waktu itu, jatah pengairan untuk Mbok Nah belum selesai, tinggal kurang lebih hanya seperempatnya. Namun Pak Joyo mengklaim telah selesai dan memutus mata rantai aliran air tersebut. Kontan Mbok Nah tak terima, di acung-acungkannya parang dan sebatang patahan pohon singkong. Dengan bersuara lantang. Meminta jatah airnya dikembali. Namun Pak Joyo tetap bergeming. Tak memperdulikan kemarahan Mbok Nah. Bahkan,pak Joyo malah berbalik mengancam akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.
Segagah apapun Mbok Nah dia adalah seorang perempuan biasa yang masih punya hati sanubari, Ia tak mungkin berbuat senekat itu. Dan pak Joyopun tahu betul, siapa itu Mbok Nah, watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Joyo tak takut sama sekali dengan bentuk perlawanan dari Mbok Nah.
Mengetahui gertak sambalnya tak di gubris, Mbok Nah tak habis akal. Di lucutinya pakaian yang menempel di badannya satu persatu. Hingga terlihat bertelanjang dada, tak sehelai benangpun yang menempel di tubuh Mbok Nah. Tanpa banyak kata Pak Joyo pun segera pergi meninggalkan Mbok Nah.
Setelah suasana kembali tenang dan aman. Di pakainya kembali pakaianya. Tak peduli para tetangga sawah melihatnya dan mau bilang apa. Kemudian dengan cekatan Mbok Nah berlalu pergi menuju sawah pak Joyo, dengan tujuan menutupi aliran air, serta membedahnya untuk dialirkan ke sawahnya. Yang masih belum terairi dengan rata.
Awal mulanya, puluhan tahun yang lalu tanah pekarangan itu adalah milik Mbok Nah, waktu itu Mbok Nah punya lahan yang lumayan luas di berbagai tempat, praktis tak semua pekarangan terawat baik. Bahkan di beberapa tempat menjadi bero1 karena lahannya tak di olah. Salah satunya adalah lahan yang sekarang telah menjadi kebun yang rimbun. Di penuhi pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. Zaman dahulu tanah itu di berikan pada Mbok Rini dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis. Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya, mengingat waktu itu tak semua orang bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.
Mbok Rini, Ibu Shobari keadaannya memprihatinkan kala itu. Di sa’at-sa’at Bangsa masih terjajah. Ia bersama Suami dan anak-anaknya hidup dengan serba kekurangan. Harus memutar otak agar dapurnya tetap bisa mengepul. Hingga di kemudian hari kehidupan Mbok Rini yang memprihatinkan itu, mengundang rasa simpati dari Mbok Nah. Sebagai mahluk sosial Mbok Nah tidak tega melihat kenyataan pahit di depan mata. Lalu di suruhlah Mbok Rini dan suaminya agar mau mengurus dan menggarap lahan tersebut Seumur hidup. Dengan syarat. Apabila Allah lebih dulu mengambil nyawa Mbok Nah. Maka tanah itu otomatis menjadi milik Mbok Rini. Dan sebaliknya, apabila Mbok Rini diambil nyawanya oleh Allah terlebih dahulu, maka tanah itu kembali menjadi milik Mbok Nah yang sah. Namun akhirnya takdir menunjukkan jika Mbok Nah adalah pemilik tanah yang sah karena beberapa bulan yang lalu Mbok Rini telah lebih dulu di panggil ke haribaan Ilahi. Dengan otomatis tanah itu jatuh ke tangan Mbok Nah dengan sendirinya. Mbok Rini lebih dulu meninggal dunia untuk selama-lamanya. Atas kebijaksanaan Mbok Nah, maka hasil kebun boleh di ambil anak-anak Mbok Rini. Selama masih mau merawat dan memelihara lahan pekarangan tersebut. Dengan cara di bagi sepertiga. Awalnya Mbok Nah memberi pilihan satu per dua namun dari pihak anak-anak Mbok Rini tak menyetujui, dan mengajukan usul agar di bagi satu pertiga. Dua bagian untuk anak-anak Mbok Rini dan satu bagian untuk Mbok Nah. Atas usulannya itu, Mbok Nah pun menyetujuinya, tanpa satu persyaratanpun. Tapi agaknya sifat serakah yang pada dasarnya telah tertanam dalam setiap diri manusia menyeruak ke permukaan. Bermetamorfosa menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas.
Terkadang Mbok Nah sebagai perempuan biasa, menafakuri jalan hidupnya. Ia harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu dan nenek buat Qohar, cucu semata wayangnya. Ada semacam kegalauan dan rasa khawatir dalam dirinya. Keraguan kadang datang menyergap. Di dalam hatinya bertanya-tanya.
“Apakah selama ini apa yang di lakukannya bisa mendapatkan keridzaannya? Ridla dari Allah untuk bersanding di sisinya”
“Apakah bisa mendapatkan pahala yang setimpal dengan kaum laki-laki yang lebih banyak mendapatkan keutamaan melebihi perempuan?.”
Rasa takut bercampur bimbang terkadang bergelayut. Untuk mendapatkan kemantapan hati dan ketenangan, Mbok Nah mencoba berkonsultasi pada Kyai Idris sehabis pengajian selesai. Tentang permasalahan hidup, yang masih mengganjal di hatinya. Walau secara lahiriyah tak terlihat sama sekali, jika Ia menyimpan rasa gundah. Akan tetapi hati tidak bisa dibohongi, meski kontras dengan dhahirnya.
Ketika ditanyakan kepada kiai Idris. Perihal prinsip hidupnya yang liar, keras dan bebas. Yang dinilai aneh oleh sebagian tetangga. Juga penuturannya sebagai seorang nenek yang harus merangkap sebagai orang tua bagi cucunya. Kiai Idris hanya tersenyum dan tidak memberikan saran apapun kepada Mbok Nah.
Kiai Idris hanya bercerita pada masa zaman Rasulullah tentang seorang muslimah yang tidak malu bertanya dan kritis terhadap permasalahan perempuan dan juga tentang persoalan Agama.Yang belum dipahamainya. Ia mewakili kaum muslimah dalam bertanya langsung kepada Rasulullah. Dia adalah Asma binti yazid bin sakan.Asma binti Yazid adalah seorang ahli pidato yang ulung.Wanita pemberani yang halus perasaannya dan budi bahasanya. Asma binti Yazid datang kepada Rasulullah Saw berkena’an dengan tawanan wanita.
”Wahai Rasulullah, seorang utusan datang setelah aku dari kalangan kaum wanita beriman yang semuanya berkata sesuai perkataanku dan mereka sependapat denganku, bahwa Allah Ta’ala telah mengutus engkau untuk kaum pria dan wanita, lalu kami beriman dan mengikuti agama engkau. Namun kami sebagai kaum wanita terbatas langkahnya, tinggal di rumah, mengurus suami dan melahirkan anak-anak mereka, sementara kaum pria diberi kelebihan dengan berkumpul, menghadiri jenazah dan berjihad. Manakala mereka keluar untuk jihad, kami pelihara harta mereka, kami didik anak-anaknya, kami juga ingin mendapat pahala seperti yang mereka dapatkan itu.”
Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya, ”Sudikah kalian mendengar ucapan wanita yang menyampaikan pertanyaan paling baik tentang agamanya selain dari dia?”Para sahabat menjawab, ”Ya, kami mendengarnya wahai Rasulullah!”Maka Rasulullah Saw menanggapi ucapan Asma sebagai berikut, ”Wahai Asma, pergilah dan sampaikanlah kepada teman dan saudara-saudaramu dari kalangan wanita bahwa berbakti kepada suami dan berusaha meraih ridhanya serta mematuhinya, pahalanya sebanding dengan pahala yang didapat kaum pria yang engkau sebutkan itu.” (HR. Hakim).
Beliau adalah seorang ahli hadits yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki kecerdasan, dien1 yang bagus dan ahli argumen, sehingga beliau dijuluki sebagai“juru bicara wanita”. Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dari madrasah nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang menjadi contoh yang baik dalam banyak medan peperangan.
Penuturan kyai Idris semakin memantapkan prinsip hidupnya. Selama apa yang dilakukannya mendatangkan manfaat baginya dan tidak mendapatkan madhorot bagi orang lain. Di usia senja Ia tak kehilangan semangat, Ia malah seperti menemukan kehidupan yang baru. Yang penuh tantangan dan mesti di hadapinya.
Sepulangnya dari sowan kyai Idris. Qohar dan Mbok Nah melewati jalan setapak. Jalanan berlumpur dan menyeberangi sungai. Walau di usianya yang kian renta Mbok Nah tak memperlihatkan rasa capek dan lelah di depan Qohar. Dengan setia Mbok Nah menuntun Qohar sewaktu melewati jalanan yang rumit dan terjal. Secara kebetulan ketika melewati persawahan bero yang hanya di tumbuhi rumput-rumput liar. Qohar melihat sekelabat buku kecil dan tebal. Terselip diantara rumputan perdu tanpa diketahui Mbok Nah.
“Maknyak tunggu dulu!.” Pintanya sambil menghentikan langkah.
“Ada apa ?.” Tanya Mbok Nah penasaran.
“Aku mendapatkan buku!.”
“Neng ndi2?”
“Kaee?3” jawab Qohar sambil jari telunjuknya mengarah ke arah rumputan perdu. Diantara semak-semak.
Diambilnya buku itu dengan guratan wajah yang sumringah. Mbok Nah menimpalinya dengan senyumannya yang khas. Buku kecil yang lumayan tebal itu bertuliskan huruf Arab Jawa atau yang biasa di sebut Arab Pegon4. Sayangnya Mbok Nah tak bisa membacanya demikian juga Qohar yang masih terbata di dalam membaca tulisan arab. Namun terbantu urutan gambar yang runut mengenai perjuangan Joko Tingkir di dalam menghadapi puluhan buaya sungai.
Sampai dirumah, mereka lalu makan bersama kemudian istirahat. rasa syukur yang agung kepada tuhan mampu mengalahkan ego yang seringkali menguasai manusia . Entah telah berapa kali Mbok Nah menjadi tempat pergunjingan para tetangga dan masyarakat. Seringkali pula selentingan itu terdengar langsung di telinga Mbok Nah yang lebih menyakitkan terkadang rasa benci dari sebagian tetangga sengaja di hembuskan ke telinga Qohar. Cucu semata wayangnya. Yang paling sering di hembuskan adalah Mbok Nah semakin tua semakin menjadi gila harta. Tak kenal waktu di dalam bekerja. Tapi Ia malah bersyukur karena masih ada manusia yang mau mengorbankan waktunya guna menegurnya secara tidak langsung.
Mendengar semua itu terkadang, Mbok Nah merasakan bosan dan jengah yang luar biasa Namun seiring berjalannya waktu. Semua itu kian terlupa.Tergantikan senyum dan guyonan dari Qohar cucu satu-satunya.
Besok hari senin legi Mbok Nah hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari itu di bacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek. Dengan menyuguhkan bubur merah putih di bacakan Do’a-do’a lalu di bagi-bagikan ke tetangga sekitar. Dengan harapan orang yang telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Allah yang Kuasa. Mbok Nah segera menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. Sesekali tangan kirinya menggaruk-garuk kulit kepala. Hingga seperti menemukan sesuatu. Persediaan bumbu-bumbu dapur sepertinya telah menipis, hanya tinggal beberapa cabe, bawang putih, dan kelapa. Mbok Nah hendak ke sawah mengambil daun pisang, kunyit dan sayur-sayuran. Sebelum berangkat di lihatnya Qohar tengah bermain senapan angin.di dalam kamar.
“Maknyak mau kesawah dulu. Jaga rumah ya?”
“Aku ikut Maknyak!.”
“Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!”.
Segera di simpannya Senapan angin itu, lalu berlari mengejar Mbok Nah yang lebih dulu meninggalkannya. Hanya dalam hitungan menit, merekapun sampai di jalan raya. kemudian berhenti sejenak, menunggu jalannya mobil tronton. lalu menyeberanginya. Kali ini Mbok Nah tidak langsung menuju ke sawah. Di langkahkan kakinya menuju sebuah pohon asem jawa yang buahnya lebat. Tepat di tepi jalan. Di bawah pohon asem Mbok Nah mengais sisa-sisa asem tua yang berjatuhan. Dahannya yang rimbun dan bercabang-cabang memudahkan Qohar untuk segera menaiki pohon tersebut.
Tanpa di sadarinya Mobil merah silver, di parkir tak jauh dari pohon asem. Sebelumnya tak terdengar suara bising sama sekali. Tak seberapa lama keluar dua orang laki-laki muda berperawakan tinggi dan besar. kulitnya putih, matanya sipit dan berkacamata hitam. Mereka lalu menghampiri Mbok Nah yang tengah mengumpulkan buah Asem. Dua orang asing itu memperkenalkan diri sebagai investor dari Kota. Yang ingin mendirikan pabrik Kopra tak jauh dari perkampungan. Mereka terdiri dari Pak Yusuf subrata Seorang wakil Direktur Manajer sebuah perusahaan Penerbitan sekaligus pengusaha Minyak kelapa sawit. Dan seorang lagi Pak Amin Ghozali seorang Wartawan yang merangkap sebagai Konsultan. Dengan agak terbata-bata berbahasa jawa, salah seorang dari mereka menanyakan kepada Mbok Nah perihal tanah kosong di sepanjang jalan. Tanpa pikir panjang Mbok Nah menunjukkan dua tempat di tepi Jalan Raya. Yang rencananya dua tempat tersebut akan segera di jual oleh pemiliknya. Di satu tempat milik Bu Marni, yang kabarnya ingin menjual tanah kaplingnya untuk membiayai perjalanan Haji tahun depan. Di tempat yang kedua tanah kapling milik pak Sarwo yang rencananya akan hijrah ke Lampung membuka usaha di sana.
Tanah-tanah itu berada di jalur lintas Provinsi. Sangat strategis untuk pengembangan usaha. Dengan hasil alamnya yang masih melimpah. Di tambah lagi ketersediaan bahan baku dari pertanian. Dengan variasi harga yang sangat murah. Sayangnya tanah-tanah itu di biarkan mangkrak. Tidak tergarap sepenuhnya. Sengaja di biarkan bero oleh pemiliknya.
Hari telah sore mentari di ufuk barat telah memberi pertanda sebuah sinyal akan segera membenamkan diri. Mbok Nah hanya menyarankan agar pertemuannya di sambung di lain waktu. Menemui di rumahnya. Merekapun mohon diri pada Mbok Nah lalu beranjak pergi, kemudian memberikan sebuah amplop berisi uang kepada Mbok Nah. Sebagai sebuah bentuk rasa terima kasih. Dengan terburu-buru Mbok Nah dan Qohar bergegas melanjutkan perjalanan menuju sawah. Mengambil daun pisang, memanen cabe, kunyit dan sayur-sayuran.
Hari telah petang. Langit dibagian barat terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan tergesa-gesa membenamkan diri. Langit segera memancarkan auranya. Bintang-bintang bermunculan di ikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa. Mbok Nah bersama Qohar sampai di rumah, di waktu magrib. Mbok Nah teringat dua hari yang lalu Mbok Lela mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah berusia seumuran Qohar yang menderita sakit cikungunya akut. Kabarnya masih tergolek lemas di rumahnya hingga berbulan-bulan. Tanpa di ketahui pasti apa penyebabnya. Tetangga kampung sebelah.
Selesai shalat Isya’ Mbok Nah langsung ke rumah Mbok Lela dan mengajaknya menjenguk Bambang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
“Bagaimana? jadi menjenguk Bambang?”
“Yaa. “
Mereka berangkat bersama dengan membawa barang bawaan ala kadarnya. Mbok nah sendiri membawa setandan pisang dan sekili gula merah.Tanpa ingin di ketahui Mbok Lela, Mbok Nah membawa dua kancing emas. Di selipkan di dalam selendang. Sebelumnya Ia telah mendengar kabar dari Mbok Lela perihal kondisi Bambang yang tak kunjung sembuh dan keadaannya masih tetap memprihatinkan. Tak ingin ketinggalan. Qohar segera membuntutinya. Setelah sebelumnya mengunci rumahnya rapat-rapat.
Sesampainya di rumah tujuan. Mbok Nah tak sampai hati melihatnya. Dengan segala upaya Ia dan Mbok Lela berusaha membesarkan hati shohibul musibah1. Sementara Qohar berdiam diri di teras rumah. Menuggu neneknya dan Mbok Lela pulang. Miris menggambarkan cobaan yang di timpakan kepada Bambang.
Di usianya yang ke tujuh. Berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak berusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat, Kedua bola matanya cekung dengan keningnya yang semakin kentara jelas, akan guratan-guratan daging tipis yang membalut tempurung kepalanya. Kaki dan tangannya terlihat seperti kerangka yang bergerak-gerak. Dengan balutan kulit yang amat tipis. Seperti setebal kain. Hanya sedikit daging tipis yang menghiasi tubuhnya. Selebihnya seperti tengkorak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya terus membusuk. Membiru dan bernanah. Bambang, demikian orang-orang memanggil bocah malang itu. Terus-terusan menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal merasakan sakit di sekujur badannya yang ingin di pijat atau di obati. Dari kedua bibirnya yang terlihat kering. Tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada sesuatu yang ingin di katakannya. Namun tak bisa berkata. Semenjak seminggu yang lalu mendadak Ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan bahasa isyarat. Dan paling jauh hanya bisa dengan menggeleng-gelengkan kepala. Di rumahnya yang hanya beratapkan ilalang. Hanya ada Bambang dan kakak perempuannya Handayani. Yang setia menungguinya. Ayah Ibunya telah lama pergi meniggalkannya. Pergi mencari sesuap nasi di perkotaan.
Ikhtiar berobat bukannya tidak pernah di lakukan. Tapi sudah menjadi suatu kebutuhan. Sampai harta benda, sawah dan kebun ludes untuk membiayai pengobatan Bambang. Tak ada lagi barang yang berharga satupun di rumahnya, yang hanya beratapkan daun ilalang kering. Satu-satunya modal yang masih tersisa hanyalah tenaga. Tenaga dari Ani, kakak perempuan satu-satunya. Seorang perempuan belia yang masih ringkih untuk ukuran pekerja pada umumnya. Dengan memeras tenaganya, untuk kemudian di tukar dengan bulir-bulir beras dan bumbu-bumbu dapur. Selama ini Ani yang pontang-panting memeras keringat, agar asap dapurnya senantiasa tetap mengepul. Berjuang hidup demi sebuah tantangan. Untuk menjadi Insan yang terbaik di mata Tuhan. Menyaksikan kenyataan pahit, Mbok Nah hanya bisa menjerit sakit dalam bathin. Seakan-akan protes kepada Tuhan .Kenapa semua ini harus di timpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan?.
Di tengah malam mereka bertiga kemudian pamit pulang. Tak lupa Mbok Nah menyelipkan dua kancing emasnya di sela-sela tandan pisangnya Sebelum pamit pulang. Dengan membawa sejuta hikmah.Teriring rasa syukur yang Agung kepada Tuhan. Atas karunia yang telah di berikan selama ini. Berupa kesehatan jasmani maupun rohani.
Happy birtday
Hari-hari berlalu, Burung-Burung Kuntul menjelang musim hujan akan di sertai musim kawin. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan bunga-bunganya. Luasan tanaman Padi membentang sejauh mata memandang. Mulai menguning. Rumput-Rumput keringpun mulai bersemi.
Menyambut datangnya musim hujan kali ini. Sekumpulan Katak di segenap penjuru merayakan hari kemenangannya. Hujan kali pertama. Dengan mengeluarkan suaranya yang khas. Seperti alunan melodi. Silih berganti menghiasi persawahan. Belalang-Belalang kecilpun ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari ,melupakan musuh-musuh yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. Di saat -saat seperti itulah ,suatu kesempatan bagi sekumpulan Kadal. Untuk segera memangsanya. Tanpa harus bersiap-siap siaga Tiba-tiba Belalang seakan seperti menawarkan diri. Untuk di jadikan mangsa oleh Kadal. Tanpa di sadari sebelumnya. Belalang-Belalang kecil itu beterbangan persis di depan para pemangsa, Kadal. Di hari itu, Burung-Burung, Jangkrik, Siput, sekumpulan Ikan dan Binatang lainnya, tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim hujan tahun ini.
Pagi itu masih terlihat gelap, suara kokok ayam sudah tidak lagi terdengar. Usai sholat shubuh Mbok Nah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Untuk memperingati hari lahirnya Qohar, lalu diambilnya beberapa bekas keringat di leher Qohar, yang masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati hari lahir Qohar. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai sebuah bentuk penyadaran, Jika sesuap nasi itu harus di dapat melalui jerih payah, memeras keringat dan banting tulang. Untuk kesejahteraan hidup.
Sejumput daki Qohar di taburkannya ke dalam tungku. Bakal tempat pembuatan bubur. Mbok Nah membuat bubur sambil menitikkan bulir-bulir air mata. Mengenang saat-saat indah bersama anak-anaknya, bercengkrama, bersendau gurau, dan tertawa lepas. Di cintai sepenuh hati, di rawat dan di besarkan. Namun kini tak di ketahui secara pasti di mana keberadaannya.Walau mereka hakikatnya tidak ada. Namun bagi Mbok Nah mereka ada untuk selama-lamanya. Kedua bola matanya yang telah mengeriput seiring berkurangnya usia, tidak menyurutkan bulir-bulir air matanya yang terus menetes perlahan.
Di dapur, persediaan kayu telah menipis, hanya tinggal beberapa ranting. Di ambilnya kayu dari belakang rumah. Yang yanya tinggal beberapa lapis. Di ambilnya semua kayu yang ada, hingga tinggal serpihan kayu-kayu kecil. Tanpa di sengaja Ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan kayu. membentuk formasi sarang. Tanpa pikir panjang, Ia mengambil ranting lalu mencoba membalikkan benda asing tersebut. Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat apa yang sesuatu di depan mata. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan. Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar. Guratan-guratan senyum menghiasi wajahnya yang sudah mengeriput.
Teringat waktu itu, dua tahun yang lalu. Cucunya kehilangan kura-kura kesayangannya. Tak pelak dua hari dua malam Qohar tidak mau makan. Telah berbagai cara Mbok Nah lakukan. Namun Qohar masih saja ngotot dengan pendiriannya. Tidak mau makan selagi kura-kuranya belum juga di temukan. Hanya air minum yang sesekali diteguknya. Tanpa sepengetahuan Mbok nah. Hingga suatu ketika dihari ketiga, sewaktu Qohar terlihat lelah sehabis bermain. Mbok Nah melihat Qohar sedang melahap sepiring nasi. Dan betapa senangnya Mbok Nah waktu itu. Tapi didepan Mbok Nah, Qohar masih menunjukkkan dirinya mogok makan. Dengan tenang, Mbok Nah mencarikan jalan keluarnya sembari memberi syarat. Qohar Akan dibelikannya Marmut dengan syarat jika mau disuapi neneknya. Dengan malu-malu Qohar menyanggupi persyaratan itu. Sampai di kemudian hari Qohar merelakan marmutnya disembelih Mbok Nah untuk ritual penyembuhan Mansyur, keponakan Mbok Nah yang telah lama menderita penyakit kuning.
Kini adalah dua tahun yang lalu. Kura-kura mungil berekor pendek itu tetap saja seperti sedia kala, ukuran dan bentuknya. Tak banyak terjadi perubahan pada fisiknya.
Seikat serpihan Kayu ditaruh didapur. Lalu Mbok Nah beranjak pergi ketempat tidur Qohar. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang kecil. Agar tak lagi hilang, sekaligus membuat kejutan pada cucunya. Benang yang terlihat tipis itupun di ikatkan pada kain sprai persis di dekat Qohar. Kemudian kura-kuranya di taruh di depan Qohar yang masih tidur.
Menyadari ada sesuatu benda aneh, yang bergerak-gerak di jari jemari Qohar. Di kegelapan pagi yang belum sepenuhnya terang. Ditambah lagi jendela-jendelanya yang masih tertutup rapat. Qohar terperanjat, merasa takut dan gemetar. Ia segera lari kedapur. Namun tak didapati seseorang yang selama ini menjadi tempat bertumpu, dan bermanja-manja ria. Ia segera keluar dan mendapati neneknya sedang duduk santai di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan tembang campursari.
Aku pancen wong seng tuno aksoro.
Ora biso nulis ora biso moco.
Nanging ati iki iseh nduwe roso.
Roso tresno koyo tumrape manungso.
Aku pancen wong cilik ra koyo rojo.
Iso mangan wae aku uwes trimo.
Nanging ati iki isih nduwe roso.
Jero ning bhatin sak tenane pingin kondo.
Pupus godhong gedang.
Ajang pincuk saiki wus ra kelingan.
“Aku memang orang yang buta aksara.
Tidak bisa menulis tidak bisa membaca.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Rasa cinta seperti manusia kebanyakan.
Aku memang orang kecil bukan orang kaya.
Bisa makan saja aku terima’bersyukur’.
Tapi hati ini masih punya rasa.
Dari hati yang dalam ingin berkata.
Pupus’kuncup’ daun pisang.
Piring dedaunan sekarang mulai terlupakan.”1
Kura-kura termasuk binatang yang pertumbuhannya lambat. Konon kura-kura itu adalah kura-kura milik Dewi Juariyah, Ibunda Qohar. Selepas Juariyah pergi menjadi TKI, kura-kura itu diberikannya pada Mbok Nah agar kelak kura-kura itu bisa di jadikan sebagai teman bermain Qohar. Kura-kura itu di pelihara Mbok Nah cukup lama, dan akhirnya, lama-lama kura-kura itupun menjadi akrab dengan keseharian Qohar. Hingga akhirnya, kura-kura itu hilang entah ke mana.
Waktu itu Qohar tengah asyik bermain dengan kura-kuranya diteras rumah. Tanpa disadarinya Ia lupa mengandangkannya. Dengan terburu-buru Ia pergi begitu saja. Menyusul Mbok Nah pergi kesawah. Setelah mengetahui teman selama bertahun-tahun hilang begitu saja, tanpa di ketahui rimbanya. Qohar tak bisa menyimpan kesedihan. Seakan seperti di rundung duka yang perih. Hilang semangat dan gairah hidupnya. Qohar sempat linglung dan tak mau makan hingga berhari-hari. Tak tega membayangkan kura-kuranya terlantar, Ia pun tak sampai hati, bisa menelan nasi. Meski Mbok Nah telah membujuknya berulang kali agar mau makan. Tepatnya kura-kura itu hilang dua tahun yang lalu.
“Maknyak! Kok malah nembang.” Teriak Qohar dengan nada marah.
“Ada apa?Kamu mencariku?” Mbok Nah pura-pura bertanya.
“Udah tau nanya !apa maknyak nggak dengar saya panggil-panggil?.”
“Apa yang terjadi Cucuku??.” Selidiknya berbasa-basi.
“Gak usah tanya, ayo kita kekamar.” Ajak Qohar dengan terburu-buru.
“Ada apa? Mau tidur lagi?.ogah. Aku mau ke sawah.” bantah Mbok Nah.
“Jangan gitu maknyak.”
“Ada apa dulu?.” Tanya Mbok Nah semakin penasaran.
“Ada setan maknyak!.” ucapnya serius.
“Ooo ..kamu setannya?.”
“Serius maknyak??…”
“Ya sudah nanti kalau ketemu. Biar Aku makan. Kalau nggak. Kamu yang ku makan.”
“Ah .. maknyak. Jangan bercanda terus deeh.??.”
“Maknyak serius Haaar!.”
“Ya sudah, ayo kita lihat.!.” Rengek Qohar dengan penuh penasaran.
Mereka berduapun menuju ke kamar. Lalu dibukanya dua jendela satu-persatu. Kura-kuranya pun terlihat jelas. Namun Qohar tak mengetahui jika kura-kura itu ternyata diberi ikatan benang oleh Mbok Nah. Agar tidak memungkinkan untuk pergi dari tempat tidur.
“Itu apa Qohar??. Tanya Mbok Nah sembari menunjuk ke arah kura-kura.
“Itu kan Kura-kura maknyak?.” Selorohnya dengan raut muka berbinar-binar.
“Siapa yang bilang kalau itu setan. Sudah ayo kita tangkap! Dipanggang, terus di kecapi. Biar maknyak yang makan.” Perintah Mbok Nah sembari menakut-nakuti Qohar.
“Maknyak sudah gila ya? Maknyak kan tau sendiri kalau Aku paling suka dengan kura-kura.” Dengan wajah menggerutu Qohar mengexpresikan kekecewaannya.
“Peduli amat. yang penting kan,maknyak lapar.”Jawabnya seolah tak ada rasa peduli.
“Ahh..Maknyak! pokoknya jangan!. Nanti Qohar bisa mati. Bisa nggak doyan makan sampai lama kayak dulu. Ingat kan maknyak?” Tanyanya seraya meyakinkan.
“Maknyak sudah lupa!.”
“Eling-eling1 maknyak?.”
“Yo wis kalau begitu kamu yang ku makan!.” Sahut Mbok Nah menakut-nakuti.
“Maknyak memang gemblung!.”2
Karena saling ngotot, di antara keduanya. Akhirnya Qohar hanya bisa merengek dan menangis. Dengan berurai air mata didekatinya kura-kura mungil itu. Lalu di ambil dengan sentuhan penuh kasih sayang. Mbok Nah pun pergi berlalu, begitu saja meninggalkan Qohar. Setelah di perhatikan dengan seksama. Qohar terperangah, kaget bercampur heran bukan kepalang. Ternyata salah satu kaki kura-kuranya telah terikat benang. Terpikir di benak Qohar. Pasti ada dalang di balik semua ini. Teringat pesan Mbok Nah padanya dalam suatu kesempatan. Tak ada sesuatu tanpa ada sebab. Terciptanya tulisan pasti ada yang menulis. Begitupun dirinya dan alam seisinya pasti ada yang menciptakan. Siapa yang menyebabkan kura-kuranya terikat. Siapa pula pelaku di balik semua ini. Kalau bukan neneknya sendiri. Ia pun langsung menemui neneknya dengan penuh dongkol. Menuduhnya tanpa basa-basi terlebih dahulu. .
“Maknyak sengaja menakut-nakuti Qohar! Qohar sama sekali tidak takut!.”
“Kok tahu?.” Tanya Mbok Nah tanpa basa-basi sambil tertawa sumringah.
“Yaa iya to.” Jawabnya penuh bangga.
“Lalu kenapa kamu gatal minta tolong?.”
“Itu kan saya hanya pura-pura maknyak.” kilahnya.
“Apa??.Maknyak nggak denger!.”
“Maklum, kan sudah tua. Tapi aku juga punya kejutan. Maknyak.Tunggu saja tanggal mainnya!.” kilahnya lagi dengan muka serius seperti mengancam.
“Tantanganmu selalu ku tunggu cucuku. Maknyak nggak takut! Sekarang kamu makan dulu buburnya. Nanti keburu adem. Jangan lupa memberi makan kura-kuranya.” Ucapnya datar sembari mengingatkan.
“Maknyak buat bubur?”
“Iya.Nyelametin hari lahirmu.Biar panjang umur dan sehat selalu.”
"buburnya nanti di habisin yaa?.”
“Beres maknyak.”
“Sudah di do’ain ?”
‘Sudah!” jawabnya singkat.
Mulai saat itu Qohar dengan setia merawat dan membawa kemanapun dia pergi. Dengan hadirnya kura-kura di tengah-tengah keluarga. Qohar seperti menemukan kembali kehidupannya yang baru.
Pabrik Kopra
Dari kejauhan Mbok Nah melihat mobil merah silver di bawah pohon sawo. Persis dengan warna mobil yang ditemuinya kemarin sore. Pada saat mengais buah asem bersama Qohar. Tanpa pikir panjang Mbok Nah mencoba menemui si empunya namun tak di dapati seorangpun. Di longoknya seisi ruangan di dalam mobil, dari balik kaca hitam. Tak ada seorangpun yang berada di dalam. Karena merasa benar dan mobil itu terparkir di area kebunnya. Mbok Nah tidak takut menungguinya. Sambil duduk di cangkruk tak jauh dari pohon sawo.
Dari rumah terlihat Qohar berlari tergopoh-gopoh, seperti ada sesuatu yang ingin di utarakannya.
“Maknyak ? ”
“Ada apa cucuku?.”
“Maknyak di cari orang kemarin sore?.”
“Kemarin sore yang mana?.”
“Itu lho yang bawa mobil merah.”
“Ooh mobil itu kan?.”
“Iya betul itu mobilnya.”
“Ayo Maknyak cepat!.”
Di teras telah ada Mbok Lela, tetangga sebelah. Menemani tamu mengobrol. Mereka datang hanya berdua. Pak Amin Ghozali yang seorang Wartawan dan seorang lagi pak Puji sopir pribadinya.
“Ee Mbok Lela. Monggo mlebet1.” Sapa Mbok Nah pada Mbok Lela. Lalu kemudian menyapa pak Amin dan pak Puji.
“Monggo Pak mlebet? Pak Yusufnya ndak ikut pak?” Tanya Mbok Nah pada pak Amin.
“Kebetulan pak Yusuf hari ini sedang ada meeting di kantor. Jadi saya yang di tunjuk mewakilinya. ”
“Sampeyan kenal neng ndi? Kok di lura-luru.2” Canda Mbok Nah pada Mbok Lela. Seorang janda beranak tiga. Dengan bahasa jawa halus agar tak di ketahui oleh para tamu.
“Nggak salah Mbok? Mereka itu cari Simbok. Tanya kesana ke mari. Akhirnya ya tak bawa ke sini. Wong yang namanya Mbok Nah hanya kamu di kampung ini.”
“Lho adikmu namanya bukan Ginah?.” seloroh Mbok Nah.
“Kuwi Tinah bukan Ginah!.” timpal Mbok Lela.
“Oo bunder!.Kamu kok dungaren belum ke sawah?” tanya Mbok Nah setengah nerocos.
“Aku habis nyuci pakaian setumpuk,capek.ke sawah ba’da dzohor wae.”
“Yo wis nanti bareng yoo?.”
“Yoo.!!.
Lalu Mbok Nah kembali menyapa dua orang tamunya.
“Jangan sungkan-sungkan pak memang beginilah keada’ane wong ndeso.”
“Mbok! tolong jagongi riyen tak buat minum dulu saja’e kok kering!.”
‘Ya Mbok!.” Jawab Mbok Lela singkat. Lalu dengan agak sungkan Mbok Lela mencoba memberanikan diri untuk menanyai tujuannya membeli tanah kapling.
“Ma’af nggeh Pak? Kalau boleh tahu nanti rencananya lahan kaplingnya untuk membangun apa?” tanya Mbok Lela sungkan.
“Untuk membangun pabrik kopra, di sini kan belum ada. Apalagi dari sumber yang dapat di percaya, bahan baku kelapa di sini sangat murah. dan banyak pemuda kampung yang masih menganggur. Berangkat dari dua faktor tersebut kami dari pihak perusahaan melihat prospek ke depannya sangat cerah dari itu kami berniat membangun pabrik kopra di kampung ini. Setelah sebelumnya dikaji terlebih dahulu dampak Amdalnya.” Urainya Menjelaskan tujuan pembelian tanah kapling.
“Qohar!.” panggil Mbok Nah dengan suara datar.
“Ada apa Maknyak?.”
“Gula putihnya habis. Sana belikan!.Ini uangnya!.”
Setelah memerintah Qohar, Mbok Nah lalu kembali ke ruang tamu. Kemudian mulai membuka topik pembicaraan.
“Bagaimana? Bapak jadi beli tanah yang di seberang jalan?.”
“Masalah itu jangan di tanya yang penting bagaimana dengan pihak penjual. Apa sudah di beri tahu?.”
“Sudah Pak. Kebetulan Mbok Lela ini, saudaranya yang punya tanah.”
“Mbok tolong kang Sarwo suruh ke sini mumpung ada Rojo Koyo1 dari kota!.”
“Kang Sarwo sudah ke sawah. Kemarin Aku di beritahu, katanya sih terserah. Bagi siapa saja yang bisa ngejualin ntu tanah akan di beri komisi sepuluh persen. Kang Sarwo sudah keburu akan pergi minggu depan ke Lampung pengen buka usaha di sana.”
“Yo wis. kalau begitu tinggal Bu Marni. Kemarin Saya dari rumah Bu Marni. Katanya kebunnya di jual dengan harga biasanya. Tapi dengan syarat, beberapa pohon kelapa dan durian yang berada tepat di seberang jalan tidak ikut di jual. Jadi Bu Marni boleh kapan saja memanennya.”
“Gampang!. Semuanya bisa di atur asal jangan ada sengketa di kemudian hari.”
Dengan terburu Mbok Nah mohon ijin ke dapur mengambil minuman dan suguhan berupa pisang dan bubur merah putih. yang kebetulan hari itu sedang merayakan hari ulang tahun Qohar. Lalu kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk mencicipinya.
Setelah semuanya jelas. Pak Amin memberikan uang muka kepada Mbok Nah agar akadnya menjadi lebih jelas. Di saksikan Mbok Lela dan pak Puji. Lalu kedua orang tamu itupun segera pamit dengan memberikan dua buah amlop lagi kepada Mbok Nah dan Mbok Lela. Sebelumnya. Mbok Nah terlebih dahulu membawakan oleh-oleh berupa kacang kering dan ubi jalar setengah karung. Dalam pertemuan itu di anggap sebagai pertemuan awal. Rencananya tiga sampai empat hari lagi pak Amin akan segera melunasi, sekalian mengurusi surat-surat tanah.
Zaman Belanda
Terhitung telah dua hari Mbok Nah tidak ke sawah. Pagi ini atau lusa harus ke sawah, karena di khawatirkan rumput liar semakin bertambah, padi tak terairi dan mengering. Dicarinya parang kemudian diasah untuk keperluan penyiangan rumput nantinya. Namun tak juga di dapatinya .
“Qohar dimana kau simpan parangnya?.”
“Kayaknya masih di teras , Saya lupa naruhnya.”
“Mau ke sawah Maknyak?”
“Ya. kamu dirumah apa ikut?”
“Aku ikut? Bawa nasi apa nggak Maknyak?”
“Terserah kamu. Hari ini Maknyak lagi puasa. Ini hari kamis Qohar.”
“Bungkusin ya Maknyak?”
“Ya. Pakai sambal nggak?.”
“Nggak usah.” Ucapnya sambil geleng-geleng kepala.
Setelah semuanya beres merekapun berangkat ke sawah. Berjalan kaki setapak demi setapak dengan di selingi sendau gurau di sepanjang perjalanan. Tanpa terasa mereka sampai di sawah.
“Alhamdulillah sudah pada menghijau.Tapi rumputnya juga soyo ndadi.”
“Kita mulai dari sini saja. Bismillahirrahmanirrakhim, nyambut gawe1.” Sambil mencabuti rumput mereka berdua berbincang-bincang ringan. Tentang bagaimana susahnya hidup di zaman penjajahan. Hingga bermuara pada sejarah hidup Mbok Nah semasa mudanya.
Waktu itu tahun Empat puluhan negeri ini masih di jajah oleh Belanda, di pagi buta Mbok Nah kedatangan seorang tamu serdadu belanda dua orang tentara, waktu itu Mbok Nah masih muda. Berumur antara empat belas sampai lima belas tahunan. Sedangkan adik Mbok Nah, Sukarti masih berumur tujuh tahunan. Di pagi buta itu kedua orang tua telah lebih dulu pergi ke lereng-lereng gunung mencari umbi-umbian berupa talas, kerot, ganyong dan sejenisnya. Untuk makanan pokok sehari-hari. Bersama kang Imran kakak Mbok Nah satu-satunya.
Sebelum orang tua pergi kami sudah sering di wanti-wanti agar jangan takut di dalam menghadapi siapapun. Termasuk terhadap para serdadu belanda. Bahkan kalau perlu perdayai para serdadu belanda agar mau memberikan bahan makanan.karena waktu itu mencari makan,susahnya minta ampun.Pepatah waktu itu mengatakan mencari makan tak segampang mencari ikan.
Awalnya kedatangan dua orang tentara Belanda membuat bulu kuduk merinding.
Namun Mbok Nah berusaha menenangkan Sukarti yang terlihat ketakutan. Setelah di tanyakan perihal maksud dan tujuannya, suasananya pun menjadi cair. Sukarti tak terlihat ketakutan lagi. Rupanya maksud dan tujuan mereka datang hanya untuk mencari Kang Umar, seorang gerilyawan, yang selama ini menjadi pahlawan di kampung ini. Terkenal sakti, tubuhnya tak mampu di tembus ratusan peluru. Jawara kampung, andalan orang-orang pribumi. Ketika di tanyakan mengenai keberadaannya. Aku dan Sukarti menjawab tidak tahu menahu. Namun karena di desak terus menerus. Kamipun mau dengan syarat di beri imbalan. Karena mereka tidak membawa apa-apa. kamipun di beri beberapa lembar mata uang Belanda.
Dengan semburat kesedihan. Mbok Nah memberitahukan keberadaan Kang Umar. Sebelum memberitahukan keberadaan kang umar terlebih dahulu Mbok Nah menyuruh sukarti agar ke dapur aku hendak merencanakan sesuatu. Ku suruh sukarti mengambil getah air tuba di belakang rumah. Setelah di dapat lalu supaya di sajikan bersama teh manis.
Setelah instruksi di jalankan.Mbok Nah kembali menemui dua serdadu belanda lalu memberitahukan keberadaan kang Umar yaitu di gua ngerong. Tak jauh dari kampung randon sejauh dua kilo meter. Sebelum memberi tahu tempat persembunyian kang Umar. Mbok Nah sempat merayu kedua serdadu Belanda. Hingga mereka betah berlama-lama di rumah Mbok Nah. Dengan serius Mbok Nah memberitahu arah jalan untuk menuju gua Ngerong yang terkenal medannya sangat sulit. Tempat persembunyian itu telah bertahun-tahun menjadi markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri, guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar.
Sebelum Mbok Nah menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah di campur dengan air tuba. Mbok Nah terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit di bagian pinggulnya untuk mengalihkan sebuah perhatian. Tak lama setelah meminum teh manis buatan Sukarti dua orang serdadu itupun pergi, lalu Mbok Nah dengan cekatan membagi tugas kepada Sukarti. Agar memberitahukan pada pak Abdullah. Tetua kampung, perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah di ketahui tentara Belanda. Sementara Mbok Nah mengawasi dari jauh arah dan langkah kedua serdadu itu. Tak lama, hanya berselang beberapa menit kemudian, Mbok Nah dengan mata kepala sendiri menyaksikan dua orang itu ngajal, menggelonjot hampir bersamaan.Tepat diatas lahan perkebunan kopi yang tidak jauh dari perkampungan. Setelah keduanya di pastikan meninggal. Mbok Nah mendekati mayat-mayatnya. Dari kedua mulutnya keluar busa yang tidak berukuran. Lalu satu persatu dari pakaian mayat-mayat itu di geledah. Mbok Nah mendapati dua pistol laras panjang, dua puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar uang gulden mata uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu di serahkan kepada pak Abdullah untuk keperluan para pejuang kemerdekaan.
Sukarti kini mungkin sudah hidup enak di negara para penjajah. Setelah pendudukan belanda berakhir. Negeri ini ganti di jajah orang-orang Jepang. Perawakannya pendek tetapi sangat ahli dalam bersiasat. Hingga suatu saat Sukarti kepergok Mbok Nah. Sedang berduaan bersama serdadu Jepang, di bawah sebuah pohon Duku dan sejak itu Sukarti mulai keranjingan. Bawaannya ingin pergi dari rumah untuk sekedar menemui seorang tentara jepang. Tentara Jepang itu diketahui bernama meiji Shiojiro. Pada tahun empat puluh lima Sukarti di boyong ke negeri sakura, Jepang. Waktu itu Mbok Nah hanya bisa menangis karena harus merelakan Sukarti, adik perempuan Mbok Nah satu-satunya. Sukarti punya dua mata tapi tak bisa melihat. Matanya di butakan oleh rasa cintanya pada sang penjajah. Sampai Ia rela di bawa kemanapun oleh orang Jepang. Di bawa ke negaranya. Karena itu sudah menjadi keputusan Sukarti. Mbok Nah tak bisa berbuat apa-apa. Sampai kini Mbok Nah masih meyakini jika Sukarti masih hidup.
Usai bercerita sebagian perjalanan hidupnya semasa dulu. Mbok Nah tak mampu membendung kegundahan hati dan linangan air mata. Meski di usia tua matanya yang telah keriput di makan usia masih meneteskan air mata. walau hanya bulir-bulir tipis.
Qohar berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.
“Jadi Maknyak dulu jadi seorang pembunuh para penjajah? Aku jadi serem kalau melihat Maknyak..” Canda Qohar.
“Badanku malah jadi menggigil gemetaran karena melihatmu.” Balasnya dengan mimik srius.
“Kenapa Maknyak?”
“Lha wong kamu kayak tuyul, nggak mau pake baju.”
“Segera pakai bajumu, matahari sudah terasa semakin menyengat.”
“Ya Maknyak. Tapi?”
“Apa ?”
“Maknyak kok tidak dapat gelar atau pensiunan dari pemerintah seperti Eyang Bambang ?”tanyanya setengah penasaran.
“Itu memang sudah menjadi nasibnya wong cilik. Kalau berhasil mengusir penjajah orang-orang atas yang dapat gelar. Tapi kalau gagal ujung-ujungnya orang-orang bawahan, orang kecil yang di salahkan. Buktinya sampai sekarang juga seperti itu. Untungnya Kang Karta, simbah kakungmu mendapatkan beberapa petak sawah dari pemerintah.”
“Maknyak berani bicara dengan Tentara Belanda?”
”Bukan hanya berani bicara tapi juga berteman??”
”Kok bisaMaknyak?”
“Ya bisa too.”
“Ceritanya?”
Mbok Nah bertutur.
Pada zaman Belanda dulu sangat terkenal dengan irigasinya. Buat waduk, dam, les, dan lain sebagainya. Itu semua di lakukan karena penjajah Belanda menduduki Indonesia hingga berabad-abad. Mencapai ratusan tahun. Penjajahan Belanda tidak selamanya menyengsarakan rakyat. Tetapi justru mereka itu juga turut ikut membangun peradaban Bumi Nusantara. Situs dan jejak-jejaknya masih bisa di saksikan hingga kini. Jejak-jejaknya bertebaran di seluruh Nusantara.
Kebetulan waktu itu pemerintah kolonial belanda membangun less di kali kedungombo. Persisnya less itu di bangun di Jatisari, sekarang sudah ikut kawasan Nalumsari Jepara. Pembangunannya memakan waktu bertahun-tahun. Namun hasilnya sampai kini masih bisa di rasakan untuk pengairan sawah,hingga mencapai luasan ribuan hektar. Model pembangunannya tidak seperti zaman sekarang yang notabene mudah roboh. Karena waktu yang di perlukan untuk pembangunan less. Hingga bertahun tahun. Mbok Nah sering bolak-balik melihat proses pengerjaannya. Sambil mengais sisa-sisa makanan. Pada waktu itulah Mbok Nah terbiasa ngobrol dengan Jendral Houdmann salah satu pimpinan proyek pembangunan less. Terkadang jenderal Houdmann memberi permen davos atau bila mau mengusung batu-batu, bisa mendapatkan upah makan setengah piring nasi jagung. Dan semua itu pada zamannya sudah lebih dari cukup.
surprise
Tanpa terasa matahari telah merangkak naik hingga sepenggalah ketinggiannya. Biasanya di waktu seperti itu, Qohar sudah meminta diri untuk pulang Terlebih dahulu. Tapi tidak, dipagi itu. Saat itu dari kejahuan terlihat Doni dan Amar digubuk sawah tetangga. Mereka melambaikan tangan, mengajak Qohar untuk bergabung. Qohar pun meminta diri untuk istirahat digubuk tentangga. Dari kejauhan Qohar memohon diri untuk ikut teman-teman kehutan Jati milik Pak Haji Badawi.
“Maknyak Qohar ke hutan Jati sama teman-teman!”
“Ya hati-hati.”
Di dalamnya banyak sekali pepohonan. Tak hanya terbatas pada hutan Jati. Di tengah-tengah hutan Jati banyak di tanami pohon mangga, jengkol, dan jambu Monyet. Sayangnya Hutan itu telah lama terlantar ditinggal pergi pemiliknya ke Kota. Hanya sekali dua kali dalam setahun dikunjunginya. Sama sekali Tidak terawat dan terabaikan. Tak sedikit dari orang-orang kampung yang sengaja ke hutan tersebut untuk sekedar mencari kayu maupun sengaja mencari buah Jambu dan Jengkol.
Didalam hutan, Qohar dan teman-teman berlari-larian, bermain petak umpet dan bersenandung Ria.
Gundul-gundul pacul-cul gembelengan.
Nyunggi1-nyunggi wakul2-kul gelelengan.
Wakul ngglempang3 segane dadi sak ratan.
Wakul ngglempang segane dadi sak ratan.
Seorang anak berkepala pelontos berjalan dengan sempoyongan.
Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.
Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.4
Kesan teduh, angker, dan sejenisnya tak terbayang sama sekali. Pada hal didalam hutan jati itu berjajar pohon-pohon besar lainnya. Semisal mahoni, kapuk randu, dan pohon salam. Dedaunan kering menumpuk sedemikian tebal seperti kasur. Dan seiring bergulirnya waktu.Mungkin dedaunan kering itu akan terus bertambah.Sampai tiba masanya hujan datang. Lalu lambat laun menjadi humus dan membaur kedalam tanah. Meski panas terik matahari begitu panas. Tak seberkas sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Didalam hutan tak ubahnya seperti halnya didalam gedung ber Ac, bahkan lebih. Dengan hembusan angin yang sepoi-sepoi menjadikannya betah berlama-lama bermain didalamnya.
Lambat laun rasa bosan kian merasuk,diantara teman-teman Qohar.Apalagi Amar sudah mengajukan beberapa point. Pada point-point tertentu yang diajukan, Dia bahkan akan memboikot permaninan petak umpet. Apabila batas waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi.
Hampir saja dalam perjalanan pulangnya Doni menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam hutan yang melintas didepan Doni tapi urung ditangkap karena anak-anak ayam hutan tersebut lari kedalam semak-semak berduri. Anehnya anak-anak ayam itu melintas dijalur setapakyang di laluinya tanpa diketahui dua orang rekannya hanya Doni saja yang tahu. Melewati perkebunan singkong yang lumayan luas. Qohar memotong jalan,mengambil jalan pintas menuju kampung. Kali ini Qohar sengaja pulang tanpa mampir ke sawah terlebih dahulu untuk menemui neneknya.
Lama tidak ada kembali neneknya mulai waswas. Neneknya mulai dihinggapi perasaan khawatir. Ia menduga mungkin telah terjadi apa-apa pada cucunya. Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya. Kang Aryo tetangganya hilang dihutan tersebut. Tanpa diketahui rimbanya hinga kini. Hanya sepikul kayu waktu itu yang didapatinya. Maka tak heran meskipun tak ada yang menakut-nakuti. Rasa khawatir dan takut kehilangan cucu semata wayangnya terus bergelayut dan terus menerus membayanginya.
“Rasanya aku belum siap melepas cucu kesayanganku aku harus tahu keadaan sebelum semuanya telah menjadi bubur.” Begitu pikir Mbok Nah dalam hati.
Di jalaninya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa. Sesampainya di hutan, kekhawatiran Mbok Nah semakin bertambah. Di hutan itu tak di jumpai sama sekali seorangpun. Meski telah mengitari berulang kali. tak satupun jalan setapak yang luput dari penelusuran Mbok Nah. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya terus menetes berjatuhan ,sambil dari kedua bibirnya yang telah mengerut tidak henti-hentinya mengadu dan mengucap asma Allah.
Yaa Allah..Dimana engkau sembunyikan cucuku Ya..Allah. Astaghfirullaahal adziim. Ampunilah dosa-dosa hambamu Ya allah.
Di hari itu kegalauan hati dan kesedihan Mbok Nah di tumpahkan. Dan berjanji untuk selalu ta’at dan senantiasa menjauhi larangan-larangannya.
Ya Allah Yaa Rabbi. Jika engkau kembalikan cucuku akan ku tambah ketaatanku padamu Ya Allah. Saya berjanji akan mendidik cucuku agar senantisa taat dan cinta kepadamu. Menaati perintahmu dan menjauhi laranganmu, mencintai rasul-rasulmu. Ya Allah. Bukakanlah pintu maaf bagi hambamu yang durhaka ini Yaa Allah.
Usai mengadu kepada Allah Mbok Nah seperti mendapat ketenangan. Dalam hatinya meyakini jika Qohar mungkin telah pulang terlebih dahulu bersama teman-temannya. Dengan berat hati Ia langkahkan kakinya pulang kembali menuju sawah. Tempatnya menyiangi rumput. Siapa tahu Qohar mencarinya. Begitu pikirnya dalam hati. Dengan berat hati Ia langkahkan kakinya, menuju ke sawah. Setelah melangkahkan kaki beberapa langkah Mbok Nah melihat seorang kakek berjubah putih. Tak jauh dari tempatnya berdiri. Awalnya bulu kuduk Mbok ginah merinding melihat seorang berjubah putih tanpa memperlihatkan muka dan hanya terlihat jubah dan punggungnya. Namun setelah terlihat menoleh dan menyiratkan senyum. Rasa takut itu mencair menjadi suasana yang penuh kehangatan. Tanpa sepatah kata terlebih dahulu. Kakek berjubah putih itupun lalu memberi petuah “pulanglah!”.
Dalam hati Mbok ginah ingin mengutarakan sesuatu, namun mulutnya seolah terkunci rapat-rapat. Akhirnya Mbok ginah pulang dengan memendam beribu tanda tanya. bila mengingat kejadian yang baru saja dialaminya. Seakan ia tidak percaya.Seperti berada dalam kisaran dunia mimpi. Padahal logikanya dia tidak perlu takut meski hanya menanyakan sesuatu.
Sampai dirumah Mbok ginah mendapati Qohar telah menenteng sepiring nasi lengkap dengan lauk dan lalapan. Di dalam kamarnya.Dengan nada menggerutu Mbok Nah ngomel dari kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar melepas panas dan gerah.
“Masih ingat nasi Haar?”
“Nggak! saya ingat piring.”
“Kenapa nggak sekalian kamu makan saja piringnya biar kenyang.” Timpalnya enteng.
“Iya!.” Ucapnya enteng.
“Awas kalau nggak dihabiskan!” Ancam Mbok Nah sambil mengambil ember sekalian mencuci. Sehabis mandi dan mencuci pakaian, Mbok Nah memanggil Qohar dengan nada tinggi.
“Qohar! sini kamu!”
Diambilnya sapu lalu dipukulkan ke tubuh Qohar dengan keras. Sebagai sebuah bentuk hukuman. Karena sehabis makan tidak mencuci piringnya.
“Kenapa piringnya nggak kamu cuci?”
“Lupa Maknyak.”
“Apa?”
“Ucapkan sekali lagi!”
“Kalau kamu sudah bosan sama nenek. Cari saja nenek lain selain Aku. Atau pergi saja dari rumah kalau sudah tidak bisa di atur. Maknyak sudah tidak gelo1 lagi kehilangan kamu. Maknyak juga sudah bosan memberimu makan.”
Tak seperti biasanya setelah pukulan ranting kayu didaratkan padanya. Tak terucap sepatah katapun dari mulut Qohar lalu ia hanya bilang beberapa patah kata.
“Maknyak! Qohar pergi.”
“Kemana?”
“Main..”
“Ingat! kalau main jangan nakal, jangan suka ngerjain teman dan jangan lupa ingat waktu.” Begitulah pesan itu sering terucap dari bibir seorang Mbok ginah setiap kali Qohar akan main ke rumah teman, atau disaat-saat akan pergi tanpa dampingan darinya.
Dipastikan tanpa sepengetahuan Mbok Nah. Qohar main ke rumah Toni yang kebetulan Ayah dan Ibunya serta adiknya pergi kondangan, ke rumah teman sejawat di luar desa. Menghadiri acara perkawinan kang Badrun yang terbilang masih kerabat dekatnya. Sedangkan Toni tidak di ajak serta agar jaga rumah.
Jarak rumah Toni dengan rumah Qohar tidaklah jauh hanya di batasi tiga bangunan rumah dan beberapa petak kebun pekarangan. Kepada Toni Qohar menuturkan jika dirinya telah mendapat ijin dari Mbok Nah. neneknya. Dengan tujuan supaya di ijinkan untuk tinggal dan menginap semalam. Bak di sodori uang, Toni tak bisa menolak karena dirinyapun memang kesepian dan kebetulan tanpa di komando teman itu hadir dengan sendirinya dengan menawarkan diri.
Sore itu Qohar melakukan aksi nekat, Ia tak memberitahukan perihal keberadaannya. Ia pikir Mbok Nah sudah tidak lagi mencarinya. Karena baru saja di marahi dan di pukuli. Sebenarnya di dalam hati Qohar berkecamuk antara bilang mengenai keberadaannya atau tidak sama sekali. Sulit untuk membohongi diri sendiri, hatinya terus bergejolak. Mendesak agar berterus terang dan jujur perihal di mana keberadaannya sekarang. Agar tak membuat neneknya gusar dan gundah di liputi tanda tanya. Tapi benih-benih nafsu agaknya terus membiak, menyatu mengalahkan, menguasai akal dan hati nuraninya. Rasa khawatir lambat laun kian tergerus dengan sendirinya. Setelah terobati dengan kehangatan bercengkrama, guyonan diantara Toni dan Qohar.
Kekhawatiran rupanya tak hanya berpihak pada Qohar semata. Melainkan pula pada diri Mbok Nah. Tak biasanya di waktu menjelang maghrib Qohar masih di luar rumah. Biasanya di waktu-waktu seperti itu Qohar sudah mandi dan terlihat rapi. Menunggu saat-saat adzan maghrib. Menjalankan sholat lalu pergi mengaji ke Surau. Tapi sore itu tidak. Setiap kali selesai waktu isya’ sejauh apapun dan di waktu kapanpun Mbok Nah selalu dengan setia dan sabar menunggui, menjemput, lalu menggendong dan membawanya pulang.
Walaupun Mbok Nah sudah lanjut usia. Tapi tak juga menyurutkan semangat untuk tetap setia menjemputnya dari mengaji Alquran. Karena hanya Qohar satu-satunya pengganti suami dan anak-anaknya untuk tempat berbagi.
Menjelang petang Mbok Nah duduk di teras depan dengan tatapan mata kosong. Dalam hatinya terus bergejolak, bertanya-tanya. Lalu kembali mencoba mengingat perkataannya tempo hari. Mungkinkah perkataannya sanggup membuat hati Qohar terluka?
Kembali Ia merenungi nasib dan perjalanan hidup cucu satu-satunya. Sejak kecil Qohar tumbuh dan berkembang tanpa dampingan Ayah dan Ibunya.Hanya dirinya, satu-satunya orang yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Dengan berbagai keluh kesah yang ada. Walau bagaimanapun belaian kasih sayang darinya akan tetap di harapkan. Terlebih selama bertahun-tahun Qohar seperti sebatang kaktus, sendiri di tengah-tengah gurun pasir. Mbok Nah yang seorang diri tak seutuhnya mampu mengobati kegersangan seorang Qohar. Cucu satu-satunya. Namun Ia akan tetap berusaha mencurahkan segenap kasih sayangnya
Adzan maghrib telah berkumandang, kekhawatiran Mbok Nah mengenai keberadaan Qohar semakin menjadi-jadi. perasaan takut mulai menghinggapi pikiran Mbok Nah, gerah karena terlalu lama menanti. Mbok Nah dengan cekatan mulai menanyai para tetangga satu persatu. Perihal Qohar yang belum juga pulang. Namun tidak juga Ia dapati jawaban yang memuaskan.
“’Nyari siapa Mbok ?” Tanya kartinah, tetangga sebelah yang hendak pergi ke Surau menunaikan Ibadah sholat maghrib.
“Nyari cucuku. Gini hari kok belum ada pulang. Apa Mbok Karti tau di mana cucuku?.”
“Aku nggak tahu Mbok. Aku baru saja pulang dari rumah mertua.”
“Kalau lihat Qohar tolong suruh pulang ya Karti?” pinta Mbok Nah memelas.
“Ya Mbok.”
“Kok maghrib-maghrib baru nyari Mbok? Nggak tadi sore.” Sergah Mbok Mini seakan menyalahkan Mbok Nah. Yang juga hendak ke Surau.
“Saya kira ya akan pulang dengan sendirinya, seperti biasanya. Setelah tak tunggu sampai lingsir wengi1 masih juga tak ada pulang. Bikin pegal hatiku saja.” Jawabnya panjang lebar.
Dengan tergopoh-gopoh Mbok Nah pergi ke rumah pak RT. Meminta pertolongan perihal cucunya yang masih hilang. Belum juga pulang. Malam itu hujan mulai turun. setelah sebelumnya langit mendung memayungi seluruh perkampungan.
Pencarianpun urung di lanjutkan. Mbok Nah malam itu mengakhiri pencarian. karena sepertinya hujan akan turun lebat dengan ditandainya datangnya angin kencang, dan suara gledek di sertai petir yang terus menyambar.
Dengan wajah lesu, Mbok Nah pulang, diliputi kekecewaan. Rasa dongkol, khawatir, cemas bercampur menjadi satu layaknya es campur. Malam itu Mbok Nah mengambil air wudlu lalu melaksanakan sholat-sholat sunnah. Duduk bersimpuh mohon ampun kepada Allah. Sambil sesekali menitikkan air mata, yang kian mengering oleh usia, seakan habis terkuras. Terpikir olehnya jujugan saudaranya satu persatu. Ipar, sepupu, sampai kemenakan. Rencananya nanti pagi sekalian silaturrakhim, Ia akan mendatangi satu-persatu sanak saudaranya. Mencari tahu di mana keberadaan Qohar. Siapa tahu jika Qohar menginap di rumah salah satu saudara terdekatnya. Sehabis mengadu pada Rabbnya. Mbok Nah pergi ke dapur untuk makan malam. Namun malam itu sesuap nasipun tak bisa tertelan. Pikirannya terus teringat cucu satu-satunya.Tak ada nafsu makan, tak ada gairah hidup, tak ada keceriaan dan tak ada cerita-ceritaan di malam itu.
Di tengah malam kedua orang tua Toni pulang dari kondangan. Tiga kali mengucap salam Toni baru terbangun. Karena tertidur pulas sehabis guyonan semalaman dengan Qohar.Sebenarnya Qohar sewaktu ayahnya toni mengucapkan salam yang pertama, telah terdengar di telinga Qohar. Karena terkadang di tengah malam Ia di bangunkan neneknya untuk sekedar di ajak sholat tahajjud. Namun malam itu Qohar tak berani membuka pintu. Menunggu sambil mencubiti kaki Toni agar secepatnya terbangun. Toni lalu terbangun dan membukakan pintu.
“Kok lama sekali?” Tanyanya pada Toni.
“Cari gemboknya dulu pak.” jawabnya beralasan.
“Lho Qohar kok di sini. Apa nggak di cari Mbok Nah, nantinya?” tanya ibunya pada Qohar.
“Nggak kok budhe.”jawab Qohar membela diri.
“Yo wis. Ini berkatnya di makan!. Temanmu di beri. Di dalam ada bolunya sama pisang.” perintahnya pada Toni.
Selesai makan Qohar memohon diri.
“Saya pulang dulu ya Pakdhe?” Pintanya dengan polos.
“Jangan! sudah tengah malam. Tidur di sini saja sama Toni. Nanti pagi saja pulangnya. Di luar masih gerimis.” Ayah Toni melarangnya pulang. Rencana pulang pun urung di laksanakan. Malam itu Qohar tidur di rumah Toni.
Shubuh menjelang terdengar kokok ayam bersaut-sautan dari rumah ke rumah lalu terdengar irama yang indah. Menjadi suatu pertanda akan datangnya fajar. Mengulang siklus. Matahari kembali mempercikkan sinar merahnya di ufuk timur. Awan Menumpuk membentuk sebuah formasi, memperlihatkan keindahannya. Memamerkan sayap-sayap keagungan Tuhan. Lalu menjelma menjadi awan putih dan terciptalah pagi.
Usai bangun tidur Qohar segera pamit pulang. Tanpa mencuci muka terlebih dahulu meski waktu itu masih terasa terlalu pagi.
Di rumah, Mbok Nah sendirian menata buah pisang. Rencananya akan di bawa sebagai buah tangan untuk saudaranya, kang Imran. Sambil sekalian di mintai tolong agar di carikan keberadaan Qohar cucu satu-satunya. Belum kelar menata pisang. Terdengar suara ketukan pintu. Lalu tak lama kemudian di iringi salam.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum salam..”
Ketika pintu di buka perasaan Mbok Nah campur aduk Menjadi satu. kaget, Senang, marah ,geram, sebel. Menjadi satu.
”Kamu too..! tak kira siapa. Dari mana saja kamu? Masih ingat rumah segala! Di cari orang tua sampe bludreg1 kok nggak mikir. Kamu kira maknyak nggak nyari kamu. Jangan ulangi lagi yaa?”.
Tanpa sepatah kata Qohar berjalan pelan menuju kamarnya. Memperhatikan kura-kuranya yang terlihat lesu. Seakan-akan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sambil terus mengomeli Qohar, Mbok Nah mengikutinya dari belakang. Seraya memerintah Qohar seolah-olah sebagai sebuah ganjaran baginya.
“Dari tadi sore Maknyak nggak ngeliwet2. Gara-gara memikirkan kamu. Sekarang kamu kupas rebungnya. Juga sekalian kangkungnya di potong-potong!. Maknyak mau belanja dulu ke warung. Membeli keperluan dapur dulu.”
Sambil berbelanja. Ia mampir kerumah tetangga. Satu persatu di hampirinya. Tak lupa pula Ia kerumah Pak RT. Sekedar memberitahukan perihal Qohar yang baru saja pulang. Pagi itu hatinya lega, karena orang yang telah di carinya telah kembali. Namun di depan Qohar, kegembiraan itu senantiasa di rahasiakan. Demi menjaga gengsi pada Qohar yang telah membuatnya gerah.
Beberapa hari kemudian Pak Amin, yang seorang wartawan datang bersama A kwan Asisten pribadi Pak Yusuf Subrata menepati janjinya. Kembali mendatangi rumah Mbok Nah untuk melunasi pembayaran tanah kavling. Sambil mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat lainnya..bersambunggggg………………………ke.Melanjutkan mimpi.
Tentang penulis.
Syaiful.Hisyam.seorang Blogger. Lahir di Jepara. Hobi berpetualang. Pernah terdampar di beberapa kota di Jawa,juga di ujung kulon. Ujung barat pulau Jawa. Pribadi yang mengagungkan kebebasan. Sangat haus ilmu pengetahuan. Banyak menuangkan ide,gagasan dan pemikiran di beberapa media. Menulis banyak cerpen, tapi hanya untuk koleksi pribadi. Kali pertama membuat cerpen,memantik protes keras dari berbagai kalangan. Trauma. Lalu kemudian berhenti menulis selama kurun waktu selama lima tahun lebih. Aktif menulis kembali setelah melihat kepompong menjadi kupu-kupu,sekumpulan telur-telur ular yang menetas,dan menyaksikan panas teriknya matahari selama satu bulan di antara gugusan karang. Apabila ingin tahu lebih dekat mengenai penulis. Silahkan pembaca bisa mengunjungi blog.http//melanjutkan-mimpi.//blogspot.com.Atau apabila ingin berkomunikasi. Bisa lewat Email.hisyam.syaiful@ymail.com.081225578757
[1] Judul novel..
1 Tempat shalat
2 Kain batik serba guna.Untuk selendang maupun pakaian wanita.Pakaian adat Perempuan Jawa pada umumnya.
1 Acara liwetan anak-anak muda.Sebuah tradisi yang mengakar di seantero pulau Jawa,di kampung-kampung.
2 Sebangsa tanaman perdu. Batang pohon Merambat. Getahnya untuk meracuni hewan/ikan yang berdarah merah
1 Racun Ikan berbentuk padat. Biasanya untuk meracuni ikan Gabus,Ikan Bader.Yang berdarah merah.
2 Racun kontak. Untuk yang berdarah putih.Seperti udang.
3 Ibu,emak
§ Ibu,Biyung.
1 Gentong,tempat untuk menampung air bersih.
1 Permainan tradisional dengan memakai sebilah kayu per seorang anak.
1 Artinya. Yaa Allah Gusti..tidak layak aku masuk ke dalam sorga-Mu
Tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosaDosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai,
Maka anegerahilah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
Sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayakuYa Allah gusti.. hamba-Mu penuh maksyiat,
Datang kepada-Mu bersimpuh memohon Ampunan,
Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap. Sumber.http;//taubatku.wordpress.com.
1 Syair lagu yang di populerkan oleh pentolan group band Dewa.Ahmad Dhani.
1 senin 6 Agustus dan kamis 9 Agustus1945
2 Pengeboman ini dilakukan pada tanggal 7 Desember 1941. Kala itu Angkatan Laut Jepang menyerang markas AL Amerika Serikat secara tiba-tiba di Hawaii.Hasil serangan ini ialah rusaknya atau tenggelamnya 20 kapal tempur Amerika, 188 pesawat terbang rusak dan 2.403 korban jiwa. Di pihak Jepang, Jepang 'hanya' kehilangan 55 pesawat tempur dari 441 pesawat tempur.sumber.Wikipedia Indonesia.
1 Tempat penampungan air dengan sisi bawahnya di beri kran. Untuk berwudlu,mandi dan keperluan dapur lainnya.
1 bandel. Susah di bilangin.
2 Dongkol bersikap acuh tak acuh.
1 Mangkrak, menganggur, tak tergarap.
1 Agama
2 Dimana?.
3 Itu, Disitu.
1 Pihak keluarga yang terkena musibah.
1 Cuplikan lagu pop jawa.Campursari di populerkan oleh penyanyi Didi kempot.Dengan judul lagu Aku Dudu Rojo.
1 Ingat-ingat
2 Kata untuk mengungkapkan kekesalannya atau kemarahan.Semacam.Assu kirik.Settan alas.
1 Eee bu Lela silahkan masuk.
2 Anda kenalnya dimana?kok di cari-cari.
1 Pengusaha.
1 kerja,cari nafkah.
1 nyunggi berarti menyunggi atau membawa sesuatu di atas kepala menyunggi,
2 Wakul,Bakul, Tempat/wadah nasi.Biasanya terbuat dari bambu,sekarang banyak barang tiruannya yang terbuat dari plastik.
3 tumpah
1 Menyesal.
1 Menjelang malam.
1 Pusing,Puyeng di Kepala.
2 Masak nasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda sangat berarti bagiku.meski kau hina sekalipun