Entri Populer
-
Menyingkap tabir PT BEST AGRO INTERNASIONAL, dari budaya kekerasan fisik dan penganiayaan berat hingga pelenyapan nyawa puluhan warga...
-
Prosedural pembuatan sim C di kab. Jepara Disini saya ingin men share pada masyarakat Indonesia umumnya dan wabil khusus masyarakat Jepa...
-
Surga Dunia Usianya mulai senja, warna perak menyepuh hampir seluruh rambutnya. Kulitnya mulai berkerut di sana sini. Matanya mulai terliha...
-
Ameena Mengejar Keadilan Prakata Pertama-tama, aku sanjungkan segala puji kepada Allah Ta'ala. atas limpahan rahmatnya. ...
-
Jeritan Hati Ameena Sinopsis Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lanjut usia yang masih memegang teguh tra...
-
Mengejar Keadilan Sinopsis Tri Aminah seorang perempuan Desa yang telah lan...
-
Di Kalimantan Tengah satu kepala manusia hanya di hargai 150,000 rupiah Manusia adalah makhluk hidup yang tercipta paling sem...
-
Mengejar Keadilan Sinopsis Seorang perempuan desa yang telah lanjut usia,...
-
Lirik Lagu DIDI KEMPOT - AKU DUDU ROJO Lyric aku pancen uwong sing tuno aksoro ora biso nulis ora biso moco nanging ati iki iseh duwe roso r...
-
Ameena Mengejar Keadilan Prakata Pertama-tama, aku sanjungkan segala puji ...
Selasa, 11 Desember 2012
Mengejar
Keadilan

Sinopsis
Seorang perempuan desa yang telah
lanjut usia, tetapi semangat juangnya untuk menjalani hidup tak pernah surut. Berpendirian
samin dan kemauannya keras menyamai semangat anak muda bahkan mungkin
melampaui, masih tetap memegang teguh tradisi dan adat serta budayanya. Mengisi
hari-harinya di pematang sawah seperti halnya orang-orang Kampung pada umumnya.
Suaminya wafat dalam sebuah kecelakaan kerja, terjatuh dari pohon kelapa. Dua
orang putrinya pergi satu persatu ke negeri antah berantah, ke sebuah negeri
yang hanya diketahui namanya tanpa diketahui dimana rimba dan keberadaannya.
Putri pertamanya pergi jauh ke negeri Sakura menyusul bibinya sedangkan putri
keduanya pergi memenuhi panggilan Ilahi ke alam baka, hanya bersama Qohar cucu
satu-satunya Aminah melanjutkan hidup. Seorang cucu yang terlahir dari si
bungsu, dari rahim Dewi juariyah. Hari-hari mereka sebagai keluarga kecil
terasa tentram dan bersahaja meski beberapa kerikil tajam terkadang datang
mendera sampai kemudian drama itu terjadi. Aminah di gelandang ke balai desa
Rakusan hanya gara-gara sehari sebelumnya Aminah melayangkan sebuah surat protes ke kelurahan,
mengkritisi sistem pelayanan pemerintah desa yang amburadul dan terkesan dipersulit.
Cara memprotesnya lain dari pada
orang-orang tua pada umumnya. Lewat selembar kertas. Ya lewat selembar kertas
yang di garap keponakannya Mansyur, perempuan tua nan tangguh itu sanggup
membuat mata dan telinga para perangkat desa Rakusan kian memerah di penuhi
darah hawa nafsu dan amarah, hingga kemudian
Aminah “kalah” dan menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
Di balai desa itu ia di sidang dan
terpaksa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol dari para perangkat desa
Rakusan. Tanpa di duga sebelumnya Aminah mendapat sokongan dari pak Amin,
seorang wartawan lepas sebuah harian
terkemuka di Ibu kota yang juga merangkap karier sebagai seorang
konsultant. Tanpa diketahui Aminah lebih jauh kasus itu di laporkan dan perkarakan
hingga ke Kepolisian oleh pak Amin, tetapi sebelumnya pak Amin terlebih dahulu
bernegosiasi dengan cucunya yaitu Qohar. Ketika permohonan penyelidikan dari
pak Amin sengaja di abaikan dan di ulur-ulur oleh pihak Kepolisian, pak Amin lalu tidak percaya lagi dengan
sistem hukum. Karena tidak ada kejelasan kapan kasus itu diselidiki dan di
limpahkan ke kejaksaan, pak Amin kemudian menggunakan caranya
sendiri.
Sebagai seorang wartawan yang merangkap sebagai seorang consultant pak Amin
tidak segan mengancam pihak Kepolisian dengan membocorkan kebobrokan sistem
pelayanan ke publik, ke berbagai media massa dan televisi apabila tuntutan
penyelidikan tidak segera di penuhi.
Tanpa menghitung hari dan hanya
beberapa jam kemudian kepala desa Rakusan beserta kroni-kroninya langsung di
datangi pihak kepolisian atas perintah pak Amin, mereka kemudian di tahan.
Dalam hal ini masyarakat desa Rakusan tidak mengetahui siapa sebenarnya pelaku
yang memperkarakan masalah ini. Kemudian kecurigaan mengarah kepada Aminah yang
sebelumnya terlibat bermasalah dengan orang-orang balai desa. Pada hal Aminah
pun demikian, tidak tahu menahu mengenai
masalah ini. Dan ketika kasus balai desa telah mulai di selidiki, sepercik
sinar keadilan menyeruak sebagai sebuah bentuk kemenangan Aminah. Tetapi
ternyata ketika Aminah akan menemukan sebuah keadilan justru ia malah menjadi seMakin
terpuruk. Kali ini bahkan membuat jiwanya serasa terburai. Aminah terasing
dalam sepi di tengah-tengah keramaian. Orang-orang di sekelilingnya tanpa sebab
tiba-tiba menjaga jarak dan mengucilkannya. Hanya gubuk kecil di pematang sawah
yang senantiasa menyambut kedatangannya.
Surga
Dunia
Ketika
kian tercerabut sebuah kejujuran diri
Ketika
kian terhimpit satu ketulusan hati
Ketika
surga telah menjadi tujuan
Dan
ketika semua kerana surga
Surga
siapakah? Al Jannah yang manakah?
Oleh
nafsu dan amarahmu yang sesaat itu
Pengabdianmu
terhalang
Al
Jannah bukanlah tercipta untuk orang-orang yang berharap
Al
Jannah menawarkan diri bukan ditawar
Al
Jannah adalah kesungguhan bukan basa basi
Tak
berharap akan surga dan berbalut rasa tulus adalah pencarian Al Jannah
Seorang
Alim, Abid
Ketika
di selubungi pengharapan
Maka
Al jannah enggan menyapa.
Usianya mulai senja warna perak
menyepuh hampir di seluruh rambutnya. Matanya mulai terlihat cekung tapi
giginya masih terlihat utuh, hanya beberapa gigi geraham yang telah tanggal.
Wajahnya menyiratkan sebuah pertanda telah berkurangnya usia, seMakin keriput
karena di telan masa, di hempas oleh perjalanan waktu.
Jari-jemari
di kedua tangannya telah keriput, kedua kakinya
telah ringkih tetapi meskipun ringkih perempuan tua itu masih sanggup
menopang tubuh rentanya, mampu menaiki dan menuruni tanjakan menyusuri jalanan
berliku menuju peraduannya yaitu sawah. Menapaki jalanan hingga beberapa
kilometer setiap hari. Melepas lelah dan menghabiskan hari-harinya di sebuah
gubuk di pinggir persawahan di pinggiran sungai. Pakaian kebesarannya hanyalah
kebaya kuno dan beberapa utas jarek[2].
Tidak ada kemewahan sama sekali dalam diri perempuan tua itu. Sekilas tubuhnya
seperti kebanyakan orang-orang jawa pada umumnya, tidak kurus dan tidak terlalu
gemuk sedang-sedang saja.
Di saat bayang-bayang matahari mulai
sedikit bergeser ke arah timur, di atas jerami kering di antara bebatuan
perempuan tua itu duduk bersila di pinggir sungai yang mengalir jernih, tepat
di bawah pohon nangka yang rimbun dan teduh dengan di temani semilirnya angin
sepoi-sepoi membuatnya betah berlama-lama untuk sekedar duduk bersila sembari
membuang lelah setelah seharian bekerja.
Di atas sungai terbentang sawah beberapa
petak peninggalan dari suaminya, sawah pemberian dari pemerintah atas
jasa-jasanya di dalam ikut serta memperjuangkan kemerdekaan dan sebagian lagi
berupa hibah dari pemerintah kolonial belanda. Waktu dzohor telah berlalu
beberapa jam yang lalu. Panasnya terik matahari agaknya telah mulai berkurang.
Tapi perempuan Tua itu masih belum juga beranjak dari Musholla yang di desain dari jerami kering.
Ia masih duduk bersimpuh sembari melawan kantuk. Dari kedua bibirnya yang
telah keriput tidak henti-hentinya
melafadzkan Asma-Asma Allah, memanjatkan rasa syukur teriring dzikir lalu
dikhiri doa sapu jagat seperti biasanya. Setiap hendak pergi kesawah perempuan
tua itu selalu menyempatkan diri membawa perbekalan Makanan secukupnya. Dua
lapis jarek
untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih.
Apabila lupa membawa barang bawaan, sebisa
mungkin ia sempatkan untuk pulang sebelum tiba saatnya waktu dzohor. Usai melawan
kantuk dengan berdzikir lalu kemudian segera beranjak pergi menuju cangkruk,
sebuah gubuk kecil yang di desainnya sendiri untuk sekedar istirahat di
sela-sela kesibukannya di sawah. Di
dalam bilik tanpa jendela dan hanya diberi rumbai-rumbai pelepah daun pisang
kering itu ia duduk selonjor beberapa saat.
Selembar daun pisang diambilnya langsung dari pohonnya yang tak jauh
dari tempatnya duduk berselonjor. Selembar daun pisang itu lalu dijadikannya
sebagai alas Makan nasi pengganti piring. Di ambilnya nasi putih bersih beserta
urap sambal daun singkong, oseng-oseng kangkung ditemani lalapan kacang panjang
mentah, daun kemangi, dan dua buah mentimun sedang. Apabila sudah di hadapkan
dengan kenikmatan duniawi Maka seakan-akan rasa syukur senantiasa tercurah dari
kedua bibirnya tanpa henti. Sebuah kenikmatan dunia yang tidak bisa di beli
maupun ditukar meski harus di tukar dengan kenikmatan di Surga sekalipun. Maka
wajar jika di dalam pikirannya tidak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga
di akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah melebihi dari cukup.
Cukup satu kata yang mengiringi langkah hidupnya yaitu syukur. Ungkapan dari
sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah, begitu
pula pada cabe dan terong. Mengingat bagaimana zaman dahulu harus mati-matian
berjuang untuk bertahan hidup membuat perempuan tua itu sangat menghargai hidup.
Kelak yang ia harapkan setelah dirinya di panggil yang Maha Kuasa bukan surga
maupun neraka melainkan keridzaannya. Ia ingin menjadi kekasih Allah dan tidak
lebih.
Setelah selesai Makan lalu di teguknya air
kendi. Ces!! dingin dan bening. Peluh-peluh keringat dari kening, leher dan di
sekujur punggungnya mulai keluar perlahan mengalir membasahi bajunya, lalu
kemudian angin yang sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya bisa
di dapat di persawahan di bawah rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang
hanya bisa di rasakan bagi orang-orang yang bersyukur. Tak terbayar dan tak
bisa di bayar dengan Rupiah.
Sawah
adalah Surga bagi orang-orang yang mecintainya dengan meluangkan
waktunya untuk menggarap dan memeliharanya. Tak begitu jauh dengan pepatah Arab
yang mengatakan "man jadda wa jada". Siapa yang mau
bersungguh-sungguh pasti akan menemukan hasilnya (dari apa yang telah di
tanamnya).
Sawahnya yang tepat diatas bibir sungai
banyak di tanami sayur-sayuran yang beragam. Sayuran yang ditanaminya itu pada
umumnya mampu bertahan hingga setengah tahun lamanya. Tidak banyak jenis
sayuran yang di tanaminya, setiap jenis sayur- sayuran hanya satu sampai lima
tanaman di setiap guludannya namun mampu menghasilkan sayuran yang melimpah. Sayur-sayuran
itu terbatas hanya disela sela guludan tanaman padi, namun untuk memanen satu
jenis sayuran yang hanya beberapa pohon masa panennya bisa mencapai tujuh
bulan. Bahkan bisa mencapai satu tahun untuk tanaman tertentu seperti lembayung
dan oyong. Tanaman perdu sebangsa kacang-kacangan yang biasa menjalar
kemana-mana, tanaman sayur sebangsa kacang-kacangan meski hanya beberapa
tanaman tapi bisa menghasilkan puluhan ikat. Begitu juga dengan sayuran
Kangkung yang di tanam di beberapa guludan, sayuran yang mudah bersemi dan
berkembang biak itu bisa di panen dua hari sekali. Itupun bisa menghasilkan
dalam jumlah yang sama seperti halnya Lembayung. Belum lagi daun singkong, koro
dan kecipir yang masa panennya bisa bertahan hingga umur dua tahun. Tak hanya
terbatas pada ukuran usia sayuran-sayuran itu bisa di panen, ada pula yang bisa
di panen sepanjang tahun seperti sayur
buah pepaya muda, rebung dan nangka muda.
Walau demikian hasil sayuran yang
melimpah tersebut jarang sekali di jualnya ke pasar. Kerapkali sayuran-sayuran
itu yang biasa di ikatnya besar-besar itu di bagi-bagikan kepada para tetangga
dengan cuma-cuma. Ia hanya mengambil secukupnya untuk di olah hari ini dan esok
hari hanya hasil buah-buahan semacam nangka, mangga dan jengkol yang terkadang
di bawa sebagai barang bawaan ke pasar. Itupun terbatas pada saat-saat datang
musim buah, tetapi ada saja musim yang menyertainya. Jika di bulan ini musim
nangka, bulan kemarin musim rambutan, lalu di bulan depan musim durian begitu
seterusnya. Itulah harmoni Alam Semesta yang senantiasa menghadirkan
keseimbangan untuk memenuhi hajat hidup para penghuninya. Selama alam itu di
jaga, di pelihara dan dirawat dengan setulus hati.
Setiap kali melihat tanaman-tanamannya
yang terus menghijau, ia tak jemu-jemu untuk terus mengunjunginya setiap hari.
Dalam setiap hari ada saja pekerjaan yang menantinya, semisal menyiangi
rerumputan, mengairi sawah, memanen sayuran, mengambil rebung, mencari kayu, menunggui
padi dan masih banyak lagi pekerjaan lain yang setia menantinya. Seakan-akan
pekerjaan di sawah itu tidak ada habisnya. Apalagi bila musim buah telah tiba
seperti musim buah nangka, mangga, pete dan jengkol. Praktis sebahagian keseharian hidup
orang-orang Desa banyak di habiskan di sawah.
Tepat di atas pinggiran sungai banyak di
tanami pohon-pohon keras semacam pohon pisang,
bambu, kapuk randu, sengon dan nangka. Di samping bertujuan untuk
diambil manfaatnya pohon-pohon tersebut berguna untuk mencegah dan mengurangi
erosi. Selama pohon-pohon keras itu masih hidup Maka selama itu pula ekosistem
sungai dan sawah akan tetap terus terjaga. Tanaman-tanaman keras itu telah
terbukti mampu menyeimbangkan tanah sehingga tidak mudah longsor.
Tak jauh dari tempat perempuan tua itu
duduk bersila ikan-ikan bader dan udang berkejaran lalu menggerombol
menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa Makanan yang biasanya sengaja
di sisakan untuknya. Biasanya sisa-sisa nasi putihnya di tumpahkan begitu saja
ke arah aliran sungai. Ikan-ikan dan udangpun lalu terkesiap sambil
berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau perempuan tua itu bisa
saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu yang jinak-jinak merpati untuk
lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan sifat kanibalisme
tergeser menjadi nomor yang kesekian.
Menyaksikan sebuah sandiwara kecil Makhluk-Makhluk
lain semacam ikan di depan mata adalah suatu keistimewaan tersendiri baginya.
Perempuan Tua itu merasa telah menyatu dengan alam, demikian pula dengan
burung-burung belibis, berkeliaran bebas berkejar-kejaran di satu tempat ke
tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya di siang
hari. Di saat suara-suara riuh mulai lenyap, sepi dari hiruk pikuk kegiatan
manusia. Di saat orang-orang mulai kembali pulang melepas lelah dan letih setelah
seharian bekerja memeras keringat. Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas
suasana benar-benar sepi. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan
manusia. Burung-burung itu tampak anggun dan elegan dengan kombinasi warna
hitam, hijau perak di leher dan kepala serta bintik-bintik kuning hitam di
bagian ekornya. Sesekali terlihat menyelam, menghilang kedasar sungai, mencari
mangsa dengan lincahnya. Bulunya yang anti air lebih mirip dengan angsa berukuran
lebih kecil sepuluh kali-lipat. Berenang-renang berlalu lalang berkejar-kejaran.
Sayangnya kemunculannya disaat-saat sepi setelah keadaannya terasa aman barulah
burung-burung itu keluar dari seMak-seMak. Ada pula yang bermalas-malasan
bertengger di dahan dan ranting-ranting rumpun pepohonan bambu. Telornya yang
lebih mirip seukuran telur ayam sering di buru pemuda-pemuda kampung untuk mayoran1.
Setelah burung-burung belibis berlalu
pergi. Datang sekawanan burung bubut yang mencari katak, cacing dan ikan-ikan
kecil sisa garapan burung belibis. Mereka tak pernah hadir bersamaan. Diantara
burung-burung itu menyadari kekalahan dan kelemahannya, rela menunggu lalu
silih berganti sampai menjelang sore.
Dengan dihiasi birunya langit dan mentari
yang terkadang mengintip dari balik awan yang bergerombol. Di kesunyian pada
siang hari burung-burung kutilang, burung betet bersaut-sautan. Saling unjuk
gigi dan kebolehan. Memamerkan suaranya masing-masing. Suaranya
melengking-lengking seolah-olah tak mau kalah dengan lengkingan suara penyanyi
populer Melly goeslaw sekalipun.
Di bibir-bibir sungai biawak tampak hilir
mudik menanti giliran. Mencari bangkai-bangkai ikan, katak dan sejenisnya.
Dengan sesekali menjulurkan lidah panjangnya mencoba menelisik aroma bangkai di
setiap sudut-sudut di pinggiran sungai.
Walau hanya sekedar melintas, sekawanan ikan,
burung-burung dan binatang lainnya tidak takut ataupun gentar menampakkan diri
didepan perempuan tua itu. Seakan perempuan tua itu telah menyatu dan berjanji
untuk tidak saling mengganggu, menyakiti dan menguasai. Hanya orang-orang yang
berhati sebersih embun di pagi hari yang senantiasa disambut kehadirannya.
Akhir-akhir ini mulai muncul kekhawatiran
dalam benak perempuan Tua itu. Ia merisaukan dengan keadaan sekarang ini.
Keadaan alam yang mulai rusak oleh ulah tangan-tangan manusia, hampir di
beberapa tempat Perempuan tua itu menjumpai sawah-sawah sudah berbau obat
penyemprot hama berdosis tinggi. Berceceran bangkai-bangkai ikan kecil, katak,
belut dan berbagai jenis serangga air yang mati di sepanjang aliran sungai.
Sepanjang bau busuk bahan kimia mengalir, sepanjang itu pula ikan-ikan kecil
dan serangga air mati secara tidak wajar, menggelinjang menemui ajalnya.
Sementara di tempat lain setiap hari ada saja para pemuda yang menyandang
senapan angin. Jika menyaksikan ulah
para pemuda desa yang mencari sarang burung dengan membabi buta seolah
perempuan tua itu ingin melarang, mengusir atau bahkan menghardiknya dengan
suara lantang. Tetapi semua itu hanya timbul sesaat di dalam hatinya, ia
sendiri merasa tidak punya kewenangan untuk melarang-larang apalagi
memarahinya. Untuk ukuran hewan sejenis Unggas semacam belibis atau ayam hutan
seharusnya yang boleh diambil adalah telurnya saja yang besarnya hampir
menyerupai telur ayam biasa. Tetapi sering kali anakannya ikut serta diambilnya
sehingga akhirnya berujung pada kematian. Juga perlakuan beberapa pemburu liar
yang menembaki apa saja yang melintas didepannya tanpa mempertimbangkan
keseimbangan alam. Belum lagi cara-cara mengambil ikan yang serampangan dengan menaruh tuba[3]
di beberapa tempat. Ulah para pemuda itu pelan dan pasti telah merusak keseluruhan
ekosistem sungai. Terakhir kali rombongan Kepala Desa Rakusan beserta jajarannya
beramai-ramai mencari ikan dengan puluhan gelondong racun apotas[4]
dan insektisida[5], racun-racun itu di tebar di sepanjang aliran
sungai. Beberapa botol kaleng insektisida bekas diantaranya masih tercecer di
pinggir-pinggir sungai sebagai satu bukti kepongahan dan kerakusan Manusia.
Sepulangnya dari sawah perempuan
Tua itu menyempatkan waktunya untuk memulung kacang tanah yang telah selesai di
panen. Pemilik lahan yang di tanami kacang tanah itu adalah pak Edi, seorang
lelaki tambun dan pendek yang kini tengah menjabat sebagai Modin Desa Rakusan.
Lelaki berkepala botak itu dua hari yang lalu baru saja menyerahkan kacangnya
seluas satu hektar untuk di tebas oleh pak Tomo seorang bakul kacang senior
yang telah menekuni usaha sebagai bakul kacang selama puluhan tahun lamanya. Bagi
orang-orang kampung seperti perempuan
tua itu memulung kacang tanah adalah suatu kenikmatan tersendiri yang tiada
tara. Biasanya dalam beberapa jam bisa mendapatkan satu ember ukuran sedang.
Cukup kalau hanya untuk camilan beberapa hari. Kacang yang telah di masak
terlebih dahulu itu apabila di keringkan bisa bertahan hingga tujuh bulan
lamanya. Biasanya apabila memulung hingga setengah hari bisa terkumpul tiga
ember ukuran sedang atau satu ember besar, lebih dari cukup untuk sekedar
sebagai camilan selama satu minggu. Jika tersisa tidak sempat di Makan di hari itu Maka
kacang-kacang itu kemudian dikeringkan begitu seterusnya hingga tanpa terasa
menjadi seMakin banyak untuk persediaan camilan di musim penghujan. Telah menjadi
suatu tradisi apabila datang musim hujan orang-orang kampung biasanya selalu
ingin ngemil terutama Makanan cemilan yang mengandung banyak karbohidrat
semacam singkong, talas maupun umbi-umbian lainnya. Di musim penghujan
yang cenderung berhawa dingin diperlukan gizi yang banyak mengandung karbohidrat
untuk menghangatkan badan.
Setiap perempuan Tua itu pulang dari sawah
ia selalu membawa barang-barang bawaan
semisal kayu bakar, sayuran atau buah-buahan. Bakul yang biasanya untuk membawa
bekal Makan siang di jadikannya wadah untuk menampungnya. Kendati tidak membawa
bakul ia punya banyak cadangan untuk persiapan mana kala di butuhkan, sekadar
untuk kebutuhan mendadak seperti memulung kacang tanah, mengambil umbi-umbian
ataupun barang-barang yang tak terduga sebelumnya. Wadah-wadah cadangan itu
adalah plastik-plastik lusuh yang di dapat dari tepian sungai yang semula
hanyut terbawa banjir.
Bagi perempuan tua itu pulang dengan
tangan hampa adalah sesuatu hal yang tabu, tiada hari tanpa barang-barang
bawaan, sementara bahan-bahan dan kebutuhan dapur memang senantiasa di
perlukan. Plastik-plastik lusuh yang di dapat dari sepanjang aliran sungai
sengaja ia simpan sebagai wadah cadangan, di selipkan diantara bebatuan di
bawah pohon nangka.
Begitu tiba di perkampungan seorang perempuan
setengah baya menghampirinya lalu menanyakan perihal barang bawaannya.
Perempuan setengah baya itu biasa di panggil dengan panggilan Rukini, seorang
Ibu muda yang tengah menggendong seorang anak balita. Sesekali anak kecil itu
merengek ingin menetek ibunya. Matanya yang bulat terus memandangi perempuan
tua itu, seolah terasa asing atau bahkan mungkin anak kecil itu ingin tau lebih
dekat. Rambutnya kaku menantang langit seperti tidak pernah terjamah air, berwarna
merah terang, seperti terjerang panas matahari beberapa hari. Kini Ibu muda itu
tengah mengandung kembali dari buah pertarungan dahsyat dengan suaminya.
"Bawa sayuran lembayung Mbok1. Minta ya Mbok?" Pintanya dengan
penuh keakraban.
"Bawa tapi sedikit, ini aku bawa daun
singkong banyak kalau mau!"
"Daun singkong juga tak apa,
kebetulan sudah lama tidak mecel daun singkong."
Tidak ada rasa malu ataupun
canggung pada diri Rukini karena memang telah menjadi suatu kebiasaan dan
lambat laun menjadi suatu keakraban.Apabila ada pesanan sayuran dalam jumlah
yang lumayan banyak biasanya orang-orang yang memesan akan mengganti ongkos,
ongkos tenaga ala kadarnya. Perempuan Tua itu mengeluarkan daun singkong dari
balik selendangnya lalu memberikan seikat daun singkong yang lumayan besar
untuk ukuran seikat daun singkong pada umumya.
Perempuan Tua yang kesehariannya hidup
bersahaja itu biasa di panggil dengan panggilan Mbok Ginah. Ada pula yang
menyebutnya dengan sebutan Mbok Nah sesuai nama yang sebenarnya Tri Aminah. Di
naMakan demikian karena dirinya terlahir sebagai anak ketiga. Tri yang berarti
tiga berasal dari bahasa Sansekerta. Nama Tri kala itu sangat masyhur dikalangan
orang-orang Jawa kuno ratusan tahun silam. Nama Tri adalah suatu kebanggaan, sebuah
nama titisan turun temurun dari ajaran Agama nenek moyangnya. Hingga kini
perempuan tua itu masih mengagumi ajaran-ajaran Agama nenek moyangnya, sebuah
ajaran yang jejak-jejaknya masih bisa di lihat dan di saksikan hingga kini
diseluruh seantero Nusantara. Kekaguman pada Agama nenek moyangnya tidak
terlepas dari kakeknya, ki Bagja. Kakeknya dulu adalah seorang Resi dan konon
kakek perempuan Tua itu berwasiat kepada Ayahnya Ki Rasup agar kelak bila di
karuniai anak perempuan yang ketiga supaya di berinya nama Tri pada anak
ketiganya.
Kendati ia masih belum bisa melupakan
ajaran-ajaran luhur Agama terdahulu yang disadari telah mengakar ke dalam
sendi-sendi kehidupan orang-orang jawa pada umumnya, akan tetapi semua itu pada
hakikatnya adalah suatu penjabaran dari sebuah toleransi semata dan bukan
berarti harus selalu mengingat ajaran-ajaran agama terdahulu. Diakui atau tidak
ajaran-ajaran orang-orang terdahulu adalah peletak dasar kebudayaan Jawa yang
santun, ramah dan bersahaja, karena itulah ia tidak akan membuang dan melupakan
begitu saja ajaran-ajaran yang telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan
orang-orang jawa semenjak ratusan tahun silam itu. Perempuan tua bermata cekung
itu tinggal di kampung bendo, sebuah kampung yang secara administratif ikut
dengan kawasan desa Rakusan. Meski letaknya terpencil ada satu kebanggaan yang
melingkupi warga kampung bendo, karena kampungnya dekat dan terasa menyatu
dengan jalan raya lintas provinsi. Jalan raya lintas provinsi itu membelah
tepat di tengah-tengah perkampungan. Jalan raya itu di bangun lima tahun yang lalu, mulanya jalan itu adalah rel
kereta api peninggalan Belanda yang tidak lagi terurus. Pemerintah kala itu
terpuruk, tidak punya anggaran hanya
untuk sekedar perawatan rel kereta api sehingga pelan dan pasti rel sepanjang
ribuan kilometer yang membentang di atas lahan dua provinsi itupun tidak lagi
bisa layak pakai, usang dan berjelaga di sana-sini, baru kemudian beberapa
tahun belakangan lintasan rel kereta api itu di sulap dan di alih fungsi
menjadi jalan raya lintas provinsi.
Setibanya di rumah Mbok Nah langsung
mengakrabi sayurannya. Dicuci bersih lalu di simpan diatas genuk yang berisi
air agar tetap terjaga kesegaranya, kemudian ia beranjak ke sumur membasuh
kedua kaki dan tangannya hendak tidur siang. Sebelum merebahkan badannya.
Dilihatinya satu persatu kamar di rumahnya. Tak ada orang sama sekali. Qohar,
bocah berusia enam tahun, cucu satu-satunya itu tak ada di kamarnya. Pada hal
biasanya di waktu siang Qohar tidur lelap di kamarnya. Hanya di waktu malam terkadang
Qohar tidur bersamanya, itupun lebih karena ketertarikannya pada
dongeng-dongeng dan ceritanya semata.
"Kemanaa cucuku. Pintu terbuka, ayam
di biarkan masuk. kemanaaa ini orangnya!" Gumamnya dalam hati.
"Maknyak !?" Panggil Qohar
dengan polos.
Perempuan tua itu lalu menoleh ke asal suara.
Cucunya berlari ke arahnya sambil menangis. Ia mengernyitkan dahi.
"Ada apaaa?" Tanyanya penasaran.
"GeMak1ku
hilang !" Jawabnya dengan muka muram, dari kedua bola matanya terlihat
basah oleh air mata.
"Hilang yo wis! Jangan di tangisi.
Mbok ya coba kamu pikir, burung geMak kok di kurung terus, apa kamu ndak
kasihan. Bayangkan kalau seandainya kamu ku kurung di dalam kamar sampai
seharian atau bahkan berbulan-bulan. Apa kamu mau?" Hibur Mbok Nah sambil
menasehati dengan mengandai-andai.
"Burung itu juga mahluknya Gusti Allah,
biarkan saja burung itu terbang bebas. Bila terus-terusan kamu kurung, kamu
kekang nanti kamu akan di balas di Akhirat, kamu di kurung juga seperti apa
yang telah kamu perbuat terhadap burung itu."
“ Nanti geMakku tidur dimana?”
“ Wis tidak usah dipikir, nanti burung itu
juga punya tempat sendiri di sawah”
Pada mulanya panggilan Maknyak dari Qohar
kepada neneknya hanyalah suatu gurauan semata, waktu itu Qohar baru saja selesai
main kerumah Fariz, temannya. Usianya jauh lebih muda dari Qohar namun Fariz
tergolong bongsor. Fariz yang mempunyai kebiasaan mengisap jempol menjelang
tidur itu tak pernah jauh-jauh dari permen coklat sehingga wajar gigi-giginya
pada hitam dan keropos, lebih mirip dengan gigi nenek-nenek yang hitam coklat
oleh baluran kapur sirih. Fariz adalah anak Pak Karim yang kebetulan baru
beberapa minggu di belikan televisi. Di rumah Fariz ia menonton televisi serial
drama Betawi Si Doel Anak Sekolahan. Di situ si Doel dan Mandra sang pemeran
utama memanggil Ibunya dengan sebutan Maknyak. Qohar yang masih polos itupun
ikut-ikutan memanggil neneknya dengan sebutan Maknyak. Kini panggilan Maknyak
menjadi suatu kebiasa'an yang mengakar dan berangsur menjadi sebuah kebanggaan
sekaligus hiburan baginya.
Tak terbersit rasa risih sama
sekali ataupun rasa malu pada diri Mbok Nah atas panggilan itu. Dengan legawa ia
terima panggilan itu karena ia menganggap nama hanyalah nama, tidak terlalu
penting untuk di bahas. Apa arti sebuah nama apabila hati dan jiwanya kotor
penuh dengan kepalsuan.
Di panggilnya Maknyak dari seorang
cucu tidak ada rasa canggung sama sekali. Walau sebenarnya ia hanyalah seorang
nenek bagi Qohar, Cucu satu-satunya yang memiliki selera tradisional, menyukai
singkong rebus sehingga berdampak pada giginya yang rapi seperti biji mentimun,
menjadi seMakin bertambah putih saja. Justru di hatinya ada semacam rasa teduh
apabila panggilan Maknyak itu terlontar dari mulut Qohar cucu kesayangannya,
karena memang sejak kecil ia yang merawat dan membesarkannya meskipun tidak
terlahir dari rahimnya. Sedari kecil semenjak Qohar pertama kali melihat dunia
yang kelak akan menjadi tempatnya untuk berpijak.
"Di
genuk1 ada beberapa ikat daun singkong. Ambil
seikat saja lalu berikan sama Mbok Rondo! Nanti terus pulang jangan
keluyuran." Perintah Mbok Nah sembari menasehati.
"Kemarin sore kan sudah di beri Mak?"
ujar Qohar, gayanya manja.
"Kamu kemarin sore kan juga sudah makan!"
Timpal Mbok Nah, enteng.
"Aku tidak makan. tapi..sarapan."
kilahnya.
"Sarapan kok sore-sore. Sudah! Sana
buruan, besok insya allah ku carikan geMak lagi." Perintahnya sambil
menghibur, Untuk mengobati kegalauan Qohar.
"Saya mau kencing dulu Mak!" Tunda
Qohar sembari beralasan.
"Pinterr!! yo wis kencing dulu sana!"
Ujarnya memberinya ruang untuk beralasan.
Janda
Perawan
Di
sebelah muka menganga
Tersungging
beribu tawa
Di
sebelah lagi terhimpit menjerit sakit
Di
ujung sana ku dengar kesah menyelubung jiwa
Kosong
Disini
histeris
Berbalut
kekaguman
‘Nenekku
masih perawan!!!"
Di
belantara dunia ini
Apa
yang tak mungkin?
Seorang
Yusuf terbuang
Bermetamorfosa
seorang raja
Menjelma
Menuai
benih-benih kebesaran
Seorang
Muhammad tidak bertangan
Tidak
berkaki
Merubah
seantero negeri
Memimpin
segala bangsa
Berperisai
Ahlak budi nan mulia
Ketika
" Kun fayakun" turun
Tak
seorang kan menolak.
Mbok
Rondo yang yang berarti Ibu janda itu telah lanjut usia, walau sebenarnya
usianya terpaut jauh lebih muda dari Mbok Nah, Mbok Rondo sudah sering
sakit-sakitan sehingga terlihat lebih tua dari mbok Nah. Ia ibarat pohon
beringin yang rimbun dengan berhias dedaunan yang sangat lebat akan tetapi
cepat meranggas, daunnya dengan mudah berguguran lalu mengering laksana
menghadapi musim kemarau selama bertahun-tahun. Hidupnya sebatang kara, tak
punya keturunan maupun sanak saudara untuk mengisi tempat berbagi. Tak ada
teman bercengkerama dan tak ada yang bisa dibanggakan karena memang tidak punya
keturunan seorangpun. Hanya sesekali terkadang tetangganya datang bertamu untuk
sekedar menjenguk dan menghiburnya dengan membawa sedikit oleh-oleh. Keadaannya
sangat kontras dengan apa yang di alami semasa mudanya. Konon dulu semasa
mudanya Mbok Rondo bekerja di Kota sebagai pembantu selama bertahun-tahun.
Bekerja pada orang-orang Arab keturunan di Semarang. Sebuah kota pelabuhan nun
jauh di seberang, negeri antah berantah. Semasa bumi Nusantara masih di bawah
penjajahan Belanda atas kendali Ratu Yuliana sampai setelah Indonesia merdeka. Mbok
Rondo di masa itu hidup berkecukupan tetapi kendati semasa mudanya dihabiskan
di Kota dan tidak pernah bergelut dengan pekatnya lumpur hitam atau panas
teriknya matahari di tengah-tengah sawah namun cara pergaulannya tergolong
kuper, tidak banyak bicara seperti perempuan Desa pada umumnya. Tubuhnya tinggi
semampai,wajahnya putih bulat dengan alis mata yang panjang seperti semut yang
sedang beriringan serta bulu matanya yang lentik. Dua hal yang melekat dalam
diri seorang Mbok Rondo dan sangat mudah untuk di ingat yaitu selalu mengenakan
jilbab dan yang kedua murah senyumnya yang "Lillahi Ta'ala". Setiap
bertemu dengan siapapun mbok Rondo selalu menyebarkan virus murah senyum kepada
siapa saja, orang yang di kenal maupun orang yang tidak di kenal sampai
anak-anak kecil meski pada kenyataannya murah senyumnya tanpa di iringi sepatah
katapun. Sepulangnya ke kampung halaman banyak pria kampung yang tergila-gila
padanya, bahkan konon pancaran rona wajahnya mampu meredupkan perangai para
preman yang keras kepala dan bajingan tengik sekalipun. Mereka orang-orang yang
kuat dalam segi dzahir akhirnya kalah dihadapan seorang perempuan yang
hakikatnya lemah dan tidak berdaya. Kecantikannya mengalahkan perempuan-perempuan
sekampung, dalam waktu singkat dengan mudahnya Mbok Rondo bertengger sebagai
Primadona Desa. Lamaran demi lamaran berdatangan dari para perjaka yang
terhormat, banyak dari para perjaka yang datang menyambangi rumahnya berdarah
biru. Mereka datang silih berganti namun seringkali di tolaknya dengan cara baik-baik
hingga pada suatu saat pilihan jatuh kepada kang Amran. Seorang Wedana dengan
predikat termuda, dua puluh satu tahun putra Tumenggung Sastro Djoyodiningrat.
Jabatan
wedana saat itu mungkin setingkat camat dimasa kini. Kang Amran yang berwatak
keras, sangar, kaku dan di takuti banyak kalangan itu akhirnya tahluk di
pelukan Mbok Rondo. Tetapi sayangnya Kang Amran sama sekali tidak mengenal seni
bercinta. Perangainya yang keras dan kaku menjadi batu sandungan buatnya. Kang
Amran di nyatakan gagal mencumbui dan merayunya. Setelah Mbok Rondo resmi
dinikahi Kang Amran ia masih tetap menjunjung tinggi kesuciannya, agak janggal
memang. Dari cerita yang beredar dari ibu-ibu di sawah sewaktu Mbok Rondo belum
di nikahi kang Amran ia pernah berujar kepada Bu Maryam pemilik warung sembako
sewaktu berbelanja. Katanya waktu itu sebenarnya Mbok Rondo tidak ingin menikah
karena sebenarnya ia sudah kawin dengan kekasih abadinya, yaitu Gusti Allah.
Tetapi waktu itu Bu Maryam tidak menangkap secara utuh kata-kata Mbok Rondo. Bu
Maryam menyangka perkataan Mbok Rondo waktu itu hanyalah guyonan semata sehingga
tidak ditanggapinya dengan serius. Ada pula selentingan yang mengatakan jika
kang Amran orangnya terlalu keras sehingga Mbok Rondo dengan tegas menolak di
setubuhi. Entah kenapa semua itu bisa terjadi dan apa maunya masih menjadi
teka-teki.
Mbok Rondo yang bernama asli Maryamah itu
adalah perempuan yang aneh, mau dinikahi tetapi sama sekali tidak mau digauli.
Ia tidak ingin menjadi perempuan yang ternoda oleh suaminya sendiri sekalipun
Kang Amran telah menjadi suaminya yang sah. Tepatnya dua hari setelah akad
nikah Mbok Rondo di ceraikan oleh Kang Amran dengan alasan yang tidak logis,
Mbok Rondo tidak mau disentuh. Jadilah Maryamah menjadi seorang janda yang
masih terjaga kesuciannya.
Hingga detik ini tak terpikir sama sekali
dalam benak Mbok Rondo untuk menikah lagi. Apalagi di masa tuanya kini ia ibarat
seorang perempuan paling lemah di dunia. Di usia tuanya ia tinggal sendiri di
sebuah gubuk berukuran dua kali empat meter. Sedikit lebih luas jika di
bandingkan dengan ukuran kandang kambing pada umumnya. Sawah, hasil jerih
payahnya selama puluhan tahun bekerja di kota kini tak berbekas lagi karena
telah di jual. Semua itu karena tipu daya orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, pelakunya tidak lain adalah tetangganya sendiri yang bertindak sebagai Makelar.
Tetapi ia hanya bisa pasrah dengan semua itu, tidak menaruh dendam sama sekali
kepada tetangga yang bertindak sebagai Makelar dan tidak bertanggung jawab itu.
Mbok Rondo tetaplah Mbok Rondo yang teduh dan bersahaja apalagi di usia tuanya.
Mbok Rondo dengan tegar menerima segala bentuk ujian dari yang kuasa. Ia
tertipu, sawah satu-satunya yang lumayan luas dijualnya dengan harga yang
semurah-murahnya, ia mengira nilai nominal uang sekarang tiada bedanya dengan
uang di zaman dahulu. Harga tanah yang di sangkanya naik tipis justru pelan dan
pasti telah mencekiknya secara perlahan.
Tak kurang dari satu tahun uang
hasil penjualan sawah akhirnya habis, uang itu habis hanya untuk biaya Makan
sehari-hari. Walau nasi telah menjadi bubur, Tuhan yang kuasa masih tetap
mencurahkan Rahmatnya bagi seluruh Alam termasuk kepada dirinya. Setiap mahluk
yang tercipta telah mendapat cadangan rizki masing-masing. Terkadang sekali dua
kali Mbok rondo mendapatkan bantuan dari para tetangganya serta saudara-saudara
jauhnya yang masih menaruh simpati kepadanya. Walau nominalnya tidaklah
seberapa namun cukup membantu untuk sekedar mengurangi beban hidup. Setiap hari
setiap minggu setiap bulan ada saja rizki yang dicurahkan Allah lewat
hamba-hambanya.
Kini agaknya nasib baik telah merapat
padanya, gubuknya yang rata dengan tanah telah berdiri kembali seminggu yang
lalu. Para tetangga gotong royong memperbaiki dan membangunnya kembali, sebelumnya
ia menumpang Makan dan tidur di rumah Kartini tetangganya, seorang ibu muda
yang hidup dalam kesendirian karena di tinggal pergi suaminya, kartini di
tinggal pergi suaminya semenjak usia perkawinannya masih seumuran jagung, hingga
kini suami dari kartini tidak di ketahui dimana rimbanya. Karena rumah mbok
Rondo yang lebih mirip gubuk, bertiang bambu dan beberapa kayu yang telah
lapuk, dindingnya terbuat dari
bilah-bilah bambu yang di anyam dan beratap daun kelapa itu tiba- tiba ambruk
rata dengan tanah oleh ulah kambing- kambing snewen. Maka dengan kerelaan hati
Kartini menerima Mbok Rondo menumpang di rumahnya.
Kambing- kambing snewen itu milik Haji
Malik, tiga ekor kambingnya terlepas dari kandang, dua ekor kambing jantannya
snewen ingin kawin lalu mengejar seekor kambing betina. Ketiganya
berkejar-kejaran dan berlari-lari bebas mengelilingi kampung. Tanpa diduga
sebelumnya salah satu kambing jantan tali tambangnya tersangkut di salah satu
tiang rumah Mbok Rondo. Rumah yang lebih mirip gubuk dan hanya bertiang bambu
itupun roboh, hanya kurang dari hitungan menit ambruk berantakan. Untungya Mbok
Rondo waktu itu tengah pergi ke Sungai untuk keperluan buang hajat sehingga
selamat dari musibah.
Tidak ada yang di salahkan maupun
menyalahkan dan memang tak perlu ada yang di salahkan dalam peristiwa itu.
Barangkali itu memang telah menjadi suratan baginya. Mbok Rondo tidak marah dan
tidak pula menuntut ganti rugi kepada pak Haji Malik. Seperti tidak ada guratan
kesedihan sama sekali di wajah Mbok Rondo. Rasa kehilangan seperti tidak
menghinggapi pikirannya. Memang, dirinya sudah terbiasa mengakrabi hidup dengan bergelut penderitaan,
terbiasa menjadi bahan cercaan semenjak sawahnya di jual murah-murahan untuk
biaya hidup sehari-hari. Dirinya tahu diri dan merasa tidak layak untuk
meminta-minta apalagi menuntut meski mungkin dari relung hatinya yang terdalam
terasa remuk redam.
Dalam musibah itu tak ada yang mau
bertanggung jawab. Pak Haji Malik pemilik kambing-kambing yang tengah snewen
itu hanya menyumbang beberapa potong bambu dan beberapa ikat daun ilalang
kering untuk keperluan atapnya. Masih sangat jauh dari mencukupi. Selebihnya
orang yang selalu meMakai baju koko dan berkopiah itu justru menyalahkan
keadaan dan menganggapnya bukan suatu musibah.
"Wong rumahnya memang sudah tua kok!
sudah waktunya ambruk!" Begitulah kata-kata Pak Haji Malik terlontar
begitu saja seperti tanpa berfikir terlebih dahulu. Orang dengan kebiasaannya
yang lebih suka menganggap enteng suatu masalah.
Di mata Mbok Rondo kata-kata Pak Haji
Malik adalah sebuah petuah. Tak banyak yang harus di perbuat padahal semestinya
ia punya hak untuk meminta lebih atau bahkan kalau perlu ia bisa menuntutnya.
Mendapatkan bantuan dari Pak Haji Malik
yang tak seberapa nilainya bagi Mbok Rondo sudah lebih dari cukup. Tetapi para
tetangga dan saudara-saudara jauhnya justru muak. Tidak terima dengan kenyataan
yang ada, tetapi meski demikian mereka tidak bisa berbuat banyak karena Mbok
Rondo sendiri tak ingin masalahnya menjadi seMakin runyam.
Perjuangan
Rodiyah
Pohon
tinggi dengan terpaan angin kencang
Takkan
pernah lekang dari kehidupan
Sebagai
wujud tantangan yang kuasa
Tantangan
adalah rahmat untuk mendaki kebahagiaan
Perjuangan
tanpa kegagalan takkan di tuai keberhasilan
Malam begitu terang di malam
purnama, dalam penanggalan tahun hijjriyah biasanya jatuh tepat di pertengahan
bulan. Beribu-ribu atau bahkan mungkin berjuta-juta bintang bertaburan
menghiasi langit. Konon seluruh pasir di seluruh alam tak mampu mengimbangi
jumlah bintang yang bertebaran di angkasa raya. Bintang dan ribuan galaksi
itu tak ada yang menjinjing, tiada pula
yang menyangga tetapi tetap pada porosnya. Itulah sebuah maha karya dari yang
kuasa. Tak akan pernah tertandingi walaupun oleh sekumpulan para ilmuwan
sekalipun. Benda-benda angkasa bergerak,
berputar pada porosnya sesuai fungsinya masing masing. Karena saking banyaknya
pada hakikatnya tidak akan mampu manusia untuk menghitungnya apalagi menamakan
kesemuanya. Setiap planet- planet mempunyai galaksi masing-masing seperti
beranak-pinak.
Malam itu Mbok Nah dan Qohar duduk
santai di dipan teras depan, bercengkrama berbagi cerita dan sesekali di
selingi guyon. Tak lama kemudian rasa kantuknya tiba-tiba mulai menyerang
perlahan, Qohar lalu segera pamit mohon
diri untuk tidur terlebih dahulu. Mbok Nah masih bertahan di dipan teras depan
di keheningan malam. Tatapan kedua bola matanya mulai memudar lalu kosong, seperti
ada sesuatu yang memasuki jasadnya. Kedua bola matanya menerawang, jasadnya
seolah-olah terpaku dan bermetamorfosa menjadi sebuah patung. Sementara di luar
sana hanya sesekali terdengar celepuk burung hantu di selingi walang kekek dan
jangkrik jalenggong yang senantiasa mengisi kesunyian. Di keheningan malam itu ia
teringat semasa kecil dulu sewaktu zaman penjajahan, ingatan masa lalunya
pelan-pelan merapat dalam benaknya. Mbok Nah teringat sewaktu kecil puluhan
tahun yang silam, dirinya, Badrun, Amar dan Rodiyah mencuri tebu milik para
cukong Belanda. Mereka berempat mencuri tebu di atas truk yang terperosok di
pinggir kampung, kejadian itu persis di malam purnama. Tanpa dinyana sebelumnya
truk berisi penuh dengan muatan tebu itu ditunggui dua orang berbadan kekar
yang tengah tertidur. Ia berempatpun kaget bukan kepalang setelah salah seorang penjaga tebu tiba-tiba terbangun.
Dengan membawa masing masing beberapa batang tebu. Ia berempat lalu lari
terbirit birit. Pada saat lari itulah mata Rodiyah sebelah kiri tertancap ujung
tebu. Ketika lari dengan sekencang kencangnya Rodiyah menjadikannya sebatang
tebu itu sebagai tongkat sedangkan tebu pada umumnya lancip di kedua ujungnya.
Tebu
yang sebenarnya sepele itupun membawa petaka. Setelah ujung tebu menancap di bola
mata sebelah kirinya dilepas, darah lalu mengucur dan mengalir perlahan. Bajunya
yang telah usang menjadi basah di penuhi darah. Rodiyah, perempuan yang tak
pernah lepas dari tusuk konde itu
menangis sejadi-jadinya. Ia berempat tidak tahu harus bagaimana, hanya
bisa menangis di hantui rasa takut yang mencekam. Di tengah malam ia berempat
tidak pulang karena takut di marahi orang tua. Ia berempat lalu tidur di sebuah
gubuk di persawahan di bawah pohon kapuk randu, kebetulan waktu itu tengah
musim buah kapuk, Rodiyah lalu membalut sendiri kemudian mengelap dan
membersihkan bekas-bekas darah di sekitar mata dan sebagian mukanya dengan
kapuk randu. Malam itu hingga fajar tiba ia berempat tidak bisa tidur, hanya
bisa menangis bergelayut rasa takut dan meratapi nasib.
Luka-luka itu telah membekas di
kalbunya, luka bathin yang selalu basah dan tidak akan pernah kering itu jika
sekali saja tersulut api pengorbanan maka luka-luka itu akan berkobar di
dadanya oleh hembusan angin perjuangan. Hembusan angin perjuangan itu mengobarkan
benih-benih kebencian kepada para penjajah tanpa gentar. Menginjak remaja ia
dengan gigih memperjuangkan hak-hak orang-orang pribumi meski harus meniti hidup
dengan satu mata. Hingga suatu saat Ia di persunting kang Umar tanpa prosesi
lamaran ataupun tunangan terlebih dahulu. Kang Umar adalah seorang pemuda
kampung yang terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, sangat di segani dan
diperhitungkan kaum penjajah. Kang Umar dan Rodiyah sama-sama mempunyai satu
misi, mereka berdua gigih melawan segala bentuk penjajahan. Suatu ketika di
tengah malam ia bersama suaminya berniat menyamar ke markas tentara Belanda.
Dengan sangat hati-hati ia dan suaminya
mengendap-endap masuk dari belakang gudang senjata milik tentara
Belanda, mereka berdua hendak mencuri senjata namun takdir berkata lain, ia dan
suaminya ketahuan tentara Belanda dan oleh tentara Belanda keduanya lalu di
tembak dengan puluhan selongsong peluru di kedua kakinya. Dalam peristiwa itu
tubuh kang Umar tak mampu di tembus peluru dan berhasil melarikan diri
sedangkan Rodiyah langsung tergeletak tak berdaya. Dalam ketidak berdayaan Rodiyah
lalu di gelandang ke rumah letnan
jenderal van houten lalu di berondong dengan puluhan peluru di saksikan
pasang-pasang mata para tentara belanda. Puluhan peluru bersarang di tubuhnya.
Sepeninggal Rodiyah tak ada tanda gelar ataupun jasa yang di berikan pemerintah
kepadanya, tetapi Tuhan maha adil dan bijaksana, meski tanpa uang tunjangan
ataupun bantuan sepeserpun dari pemerintah, anak-anak dan cucu dari Rodiyah tak
kurang suatu apa bahkan hidup mereka sekarang sudah lebih dari cukup dan telah menjadi
orang terpandang di Desanya. Seandainya Rodiyah dan suaminya masih hidup dan
menyaksikan berkah dan karunia Tuhan yang dilimpahkan kepada anak-anaknya
mungkin tangis bahagia akan senantiasa mengiringi hari-hari tuanya. Tak banyak
yang di harapkan dari seorang Rodiyah selain kemerdekaan dan keMakmuran suatu
bangsa.
Mengalun
kecapi tua
Dan
suara sumbang menggema
Juga dendang dan balada
Isi
kisah hidupnya
Dia
Yang
pernah merasakan
Pahitnya
penjajahan.
Perang
kemanusiaan telah sirna terabaikan.
Yang
pernah merasakan
Kerasnya
perjuangan.
Untuk
kemerdekaan bangsa dan negerinya.
Bertopang
tongkat penyangga.
Dan
timpang langkah kakinya.
Namun
langkah nuraninya
Tetap
tak tergoyahkan.
Dia
Masih
bergelora semangat di dalam dada.
Walau
tubuh telah renta termakan usia.
Bukan
tanda jasa atau istana dan harta.
Tapi
yang di dambakan.
Negeri
yang sentosa.
Kini
tinggal tugas kita.
Wahai
generasi muda.
Capai
adil Makmur bangsa
Jaya.1
Tanpa terasa di kedua pipinya yang telah
keriput basah oleh airmata. Mbok Nah lalu segera beranjak tidur menyusul Qohar
yang telah tidur terlebih dahulu....
Maqoomam
Mahmuuda
Bukanlah
para petinju yang terkuat
Bukan
pula bodyguard
Seorang
yang mampu menahan beban
Adalah
puncak segalanya
Beban-beban
nafsu dan amarah
Terkekang
dalam telikung takwa
Berbalut
ketulusan
Berhias
tawakkal
Satu
bekal keniscayaan
Menjadi
manusia terpuji
Di
kemudian hari
Akan
menempati suatu tempat tiada tara
Maqoomam
Mahmuuda.
Pagi-pagi benar Mbok Nah telah
lebih dulu pergi ke sawah. Di rumah
tinggal Qohar seorang yang masih tidur. Telah menjadi suatu kebiasaan apabila
Qohar bangun tidur lalu tanpa di dapatinya Mbok Nah di sampingnya. Qohar lalu
cuci muka kemudian melaksanakan sholat shubuh, berdzikir beberapa saat dan di
akhiri do'a sapu jagat yang senantiasa diajarkan Mbok Nah di dalam
sehari-harinya. Lalu minum air putih dua gelas, kemudian segera pergi menyusul
Mbok Nah ke sawah. Di usianya yang ke tujuh, Qohar terbiasa pergi menyusul ke
sawah atau kebun, yang lumayan jauh untuk ukuran anak kecil pada umumnya.
Sekedar membantu Mbok Nah. Paling banyak Qohar membantu dengan cara menghibur
neneknya yang biasa di panggilnya Maknyak.
Dengan berpakaian ala kadarnya. Qohar
menyusul Mbok Nah, tanpa sarapan terlebih dahulu. Cukup hanya minum dua gelas
air putih. Ia mengira nantinya akan pulang pagi-pagi seperti kemarin. Letak
sawahnya yang jauh dari perkampungan tak mematahkan semangatnya untuk tetap
menyusul neneknya. Waktu demi waktu terus berjalan. Di tengah perjalanan ia
merasakan capek. Biasanya apabila dirinya merasa pegal di kaki ada yang mau
menggendongnya, tapi kali ini tak ada yang di mintai untuk mengeluh. Ia lalu
istirahat sejenak di bawah pohon asem di tepi jalan. Dari kejauhan ia melihat
segerombolan perangkat Desa sedang mengukur sawah. Biasanya orang-orang penting
macam perangkat Desa membawa serta Makanan yang lezat-lezat. Sudah bukan
menjadi rahasia lagi jika Makanan yang di bawa biasanya terdiri dari lauk opor
ayam dan gulai kambing dan buah-buahan sebagai pencuci mulut.
Dilihatnya para perangkat Desa tengah menikmati
hidangan. Tak sampai satu jam merekapun kembali mengukur Sawah. Karena
persawahannya begitu luas di hiasi rimbunnya pohon tebu. Sehingga apabila
sisa-sisa Makanan diMakan. Tak akan ada yang tahu kecuali yang kuasa. Qohar
dengan sigap merayap menuju letak Makanan dan buah-buahan itu berada. Makanan-Makanan
itu sengaja ditinggal para perangkat desa, lalu mereka kembali membagi tugas
mengukur persawahan.
Sesampainya di dekat persawahan ia
melihat neneknya tengah membungkuk menyiangi rumput sambil sesekali berdiri
membuang kumpulan rumput sembari menghilangkan rasa pegal-pegal. Sawah Mbok Nah
yang hanya tinggal beberapa petak sengaja di tanami berbagai macam tanaman.
Qohar sendiri seringkali di ingatkan Mbok Nah agar selalu merawat dan
memelihara tanaman. Syukur-syukur mau menanam apa saja yang bisa mendatangkan
manfaat, seperti kacang panjang, kangkung, dan lembayung secara intens dan
bergiliran. Bila sudah tidak produktif segera di ganti begitu seterusnya.
Dengan mengendap-endap di bawah pohon
ketela. Qohar mencoba untuk mengelabuhi
Mbok Nah dan membuatnya kaget. Tetapi hari itu agaknya nasib baik tidak memihak
kepada Qohar. Sebelum rencana miringnya terlaksana Mbok Nah terlebih dahulu
tahu rencana cucu kesayangannya ini, karena hampir tiap hari ia di buatnya
kaget
Sambil membungkuk menyiangi rumput Mbok Nah melirik
cucu kesayangannya. Sementara Qohar dengan sigap menghela nafas panjang-panjang
hingga kemudian memuntahkan suara sekeras-kerasnya
"Darrr !!!"
Seketika itu juga Mbok Nah terjatuh
pingsan. Kali ini Mbok Nah mencoba membalas kenakalan Qohar. Dengan
berpura-pura pingsan di depan Qohar.
"Maknyak !! Maknyak kenapa ? bangun Mak!"
Qohar membangunkan sambil menangis tersedu-sedu.
Sambil menangis sesenggukan ia berujar
seraya berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatan konyolnya itu. Qohar yang
masih polos itupun, tak tau harus bagaimana. Sedangkan Mbok Nah masih
melanjutkan aktingnya. Tanpa mempedulikan tangisan Qohar yang terus memelas.
"Mak! bangun Mak. Jangan mati Mak! Saya nanti hidup dengan siapa?"
Keluhnya. Tanpa terasa pipinya basah oleh air mata, diusapnya air mata yang
bening itu.
"Mak! Qohar bawa Makanan dan buah-buahan.
Jangan mati Mak!!" ucap Qohar sambil menyodorkan bungkusan nasi bersama
lauknya.
Seketika itu juga Mbok Nah langsung terbangun dan berkata.
"Maknyak lapar cucuku?" Keluh
Mbok Nah sambil tangan kirinya membelai perutnya.
"Lapar apa lapar?" Celetuknya
sambil mengusap kembali air matanya dan menahan senyum lalu kemudian senyumnya
mengembang menghiasi wajah culunnya. Kedua pipinya yang dekil itu seMakin
terlihat cekung, menambah kelucuan untuk mengundang tawa. Setelah kenyang Mbok
Nah baru teringat jika dirinya tadi pagi tidak merasa membuat masakan ayam goreng maupun gulai
kambing.
"Lhoo kamu tadi pagi aku buatkan
terong goreng sama pecelan oyong..kok bisa jadi ayam??" Selidiknya dengan
penuh penasaran.
"Kamu mulai belajar mencuri??"
"Tidak Mak. Itu tadi saya
menemukannya di jalanan. Mungkin itu buangan dari orang kaya yang
melintas."
Alasan tersebut agak logis, karena memang di kampungnya terdapat jalan
raya lintas Provinsi yang membelah perkampungan.
Dulu sekitar dua minggu yang lalu
ditengah teriknya matahari disiang hari Mbok Nah pulang dari sawah bersama
Qohar. Sewaktu melewati areal perkebunan tebu milik pak Carik Handoyo Mbok Nah
mendapati berbagai macam hidangan tepat di bawah pohon mangga, tanpa seorangpun
di sekitarnya karena ditinggal pergi pemiliknya mengukur sawah. Tanpa babibu
Mbok Nah mengambil sebagian tanpa sepengetahuan pak Carik Handoyo. Suatu
kebetulan.
Mbok Nah melakukan semua itu
semata-mata bukan karena lapar sehabis dari sawah tapi lebih dari sekadar
lapar. Ia melakukan semua itu sebagai sebuah bentuk rasa kesal karena tiga minggu sebelumnya Mbok Nah mengurus
surat-surat tanah untuk yang ke sekian
kalinya ke kelurahan, namun tak kunjung di urus pemerintah Desa. Padahal Jarak
yang di tempuh pun sangat jauh untuk ukuran seorang Mbok Nah. Perjalanan itu ditempuhnya
dengan berjalan kaki sejauh enam kilometer pulang pergi. Surat-surat tanah itu
telah diajukan sejak beberapa tahun yang lalu. Sementara Bu Ani tetangganya yang
masih terhitung sebagai adik ipar Pak Handoyo hanya memerlukan waktu beberapa
bulan. Qohar yang masih polos itupun
melihat semua itu sebagai sesuatu yang di perbolehkan, suatu hal yang
biasa tanpa mengetahui lebih mendalam Maksud
dan tujuan Mbok Nah, lalu kemudian Qohar dengan serta merta secara instant
mengikuti langkah dan cara-cara Mbok Nah. Lazimnya seorang anak manusia yang
cenderung mengikuti pola pikir, sikap, dan tindakan dari pada menuruti suatu
perintah.
Tanpa terasa hari telah siang suara
burung belibis mulai terdengar bersahut-sahutan di sudut-sudut sepanjang aliran
sungai. Burun-burung kutilangpun tak mau kalah, mulai memamerkan suaranya yang
khas melengking cukup lama seperti seorang Qori'. Burung-burung itu memanggil
kawanannya. Selang beberapa menit kemudian sekawanan burung kutilang terbang
melayang meniti angin lalu hinggap di dahan-dahan diatas pucuk pohon kapuk
randu. Seakan-akan suara lengkingan burung kutilang yang pertama adalah suatu
instruksi dari atasan agar secepatnya mengatur barisan, bersatu dan menyusun
strategi dalam mencari mangsa. Sementara
diatas sana langit begitu cerah seperti terhampar karpet biru yang sangat luas.
Sayup-sayup terlihat rembulan seperti merana di kesendiriannya. Kalah oleh
pancaran sinar terik panasnya matahari.
Mereka berdua pulang. Sesampainya
dirumah Mbok Nah langsung menanak nasi sementara Qohar mulai asyik bermain
Egrang, mainan kuno yang cukup menantang, sanggup memacu adrenalin lebih
kencang. Qohar bermain egrang bisa betah berlama-lama sesuai karakternya yang
sangat menyukai tantangan. Setelah bosan bermain egrang Qohar mencoba tantangan
baru. Ia ingin neneknya bingung dan panik dibuatnya. Qohar lalu segera pergi ke
kamar dan mengendap-endap masuk ke kolong tempat tidurnya. Cukup lama ia
sembunyi hingga akhirnya Qohar tertidur di bawah kolong tempat tidur.
Usai memasak Mbok Nah mencari cucu
kesayangannya. Seluruh isi rumah telah di periksa, namun belum juga ditemukan.
Neneknya mengira, Qohar pergi kesungai seperti biasanya untuk mandi bersama
teman-teman sebayanya. Setelah di cari di Sungai ternyata juga tidak di
ketemukan. Tanpa terasa bulir-bulir air matanya terus menetes dari kelopak
matanya yang cekung dan keriput. Selama ini kedua bola matanya jarang basah
oleh airmata. Matanya yang terlihat kering keriput hanya bisa meneteskan air
mata dikala berdo'a di tengah malam.Selebihnya jarang sekali menangis. Di
bulan-bulan tertentu Mbok Nah memang menangis, tetapi itu terjadi lantaran
teringat saat-saat melahirkan sang buah hati. Merawat dan membesarkannya tetapi
setelah dewasa tak ada juntrungan dimana tempat tinggalnya. Paling jauh moment
yang membuatnya menangis adalah sewaktu mengenang bagaimana susahnya hidup pada
zaman penjajahan.
Kehidupan Mbok Nah yang begitu tegar setegar batu karang tak terlepas
dari peran suaminya. Ilmu siasat yang secara tidak langsung turun temurun dengan
sendirinya itu diyakini telah merasuk ke dalam diri perempuan tua itu, dari
semula yang biasa-biasa saja kini pelan-pelan telah menjadi seorang perempuan
tua yang bermental baja. Tidak lagi merasa takut didera kekurangan dan
keterbatasan di dalam hidupnya meski dirinya harus membiayai kebutuhan hidup
seorang diri. Diantara pesan-pesan kang Karta itu masih di ingat betul oleh
Mbok Nah.
Swiji bentuk
roso tresno sangkeng Gusti Allah mareng poro kawulane iku, hakikote saben-saben
manungso kapesten di wenehi ujian uriping dunyo. Saben-saben manungso kang
katitis ono ingatase nduwur lemah kudu biso ngalahake ujineng ngalam dunyo
ingkang datenge sangkeng gusti. Ora kalebu manungso pilihan kang agaweane
nyerah lan pasrah tanpo arekoso. Opo maneh nyerah lan pasrahe tanpo obahe
lelakon. Sak tumleking atusaning masalah sahinggo supados di tanamken ingatase
awak dewene sifat gatot koco. Supoyo gampang olehe nemu kecukupaning bathin.
Sebuah bentuk
rasa cinta dan kasih sayang dari Tuhan kepada para hambanya. Pada hakikatnya
setiap Manusia selalu di beri ujian dan
tantangan. Setiap manusia terlahir diatas Bumi. Sebagai konsekuensinya harus
bisa dan berani menahlukkan akan sebuah tantangan. Dari sang Khalik. Namun
bukan termasuk manusia pilihan apabila harus menyerah begitu saja. Apalagi
penyerahan dan kepasrahannya sebelum babak pertandingan usai. Begitu
kompleksnya suatu permasalahan hidup. Sehingga perlu ditanamkan dalam diri Manusia sifat ulet dan
pantang menyerah. Agar mudah mencapai
titik kliMaks sebuah kepuasan bathin.
Permasalahan hidup adalah suatu keniscayaan. Bukan untuk di takuti, bukan untuk
di kejar dan mengejar permasalahan. Tetapi untuk di hadapi. Sehingga kelak
menjadi insan yang mendapat tempat yang tertinggi. 'Maqoomam mahmuuda'.
Kang Karta meninggal dunia karena
terjatuh dari pohon kelapa dengan posisi kepalanya dibawah dan menyerupai orang
yang sedang bersujud. Sepeninggal Kang Karta Mbok Nah menjalani hidup seorang
diri Mengasuh kedua putrinya Marsinah dan Dewi juariyah, akan tetapi setelah
dewasa putri pertamanya Marsinah pergi entah kemana. Hingga kini belum di
ketahui di mana keberadaannya secara pasti. Konon kabarnya Marsinah pergi
mengikuti keinginan hatinya. Secara diam-diam Marsinah ikut buleknya ke negeri
Sakura tetapi kepada Mbok Nah ia menuturkan keinginannya pergi ke Jakarta
menyusul Faridah tetangganya yang telah bekerja sebagai pedagang lontong pecel.
Hanya Dewi juariyah putri bungsunya yang masih setia hidup bersama Mbok Nah.
Hingga di kemudian hari setelah menginjak dewasa Dewi juariyah pergi
meninggalkan Mbok Nah untuk selama-lamanya. Kepergian Dewi juariyah tidak lama
setelah ia menikah dengan Arman dan di karuniai seorang putra. Sebelum
meninggal Dewi juariyah sempat mengutarakan keinginannya pergi dari rumah
menyusul Marsinah ke negeri Sakura.
Mulanya Juariyah ingin segera pergi
menyusul Marsinah secepatnya. Namun Mbok Nah melarangnya, kecuali apabila sudah
memberikannya seorang cucu. Tanpa keberatan Juariyah menyanggupinya. Sebenarnya
Juariyah mulai ingin pergi ke negeri sakura lantaran ingin melupakan suatu
masalah yang dianggapnya sebagai beban hidup. Ia mencoba untuk menafakuri jalan
hidupnya yang monoton, ternyata suaminya kang Arman yang pengangguran itu belum
bisa mencerna arti dari sebuah tanggung jawab. Seorang lelaki dengan
kebiasaannya nongkrong dipinggir jalan dengan ditemani asap rokok dan secangkir
kopi. Lama-lama Juariyah menyebut suaminya dengan sebutan lelaki tempe busuk,
lanangan asu buntung. Walau demikian ia akan tetap berusaha mempertahankan
rumah tangganya demi Mbok Nah, Ibu yang selama ini telah membesarkannya meski
harus Makan hati dan terus-terusan menelan pil pahit kehidupan. Dengan di
warnai pertengkaran, cumbu rayu, nafsu dan amarah. Bercampur cinta dan
ketulusan. Juariyah pun hamil.
Usai melahirkan selang beberapa
menit kemudian Juariyah meninggal dunia, ia telah pergi menuju alam baka. Meski
bathin Mbok Nah sebenarnya terpukul karena kehilangan seorang anak perempuan
satu-satunya yang masih tersisa, namun tak setetespun air mata yang berlinangan
di kelopak matanya. Mbok Nah hanyalah sesosok manusia yang terus mencoba untuk
tawakkal dan berusaha mengikhlaskan kepergian putrinya. Toh kalaupun di tangisi
dengan lelehan air mata seluas samudra Dewi juariyah tak akan pernah kembali
dan bertemu lagi kecuali pertemuan itu hanya di dalam mimpi.
Setelah kepergian Dewi juariyah
Mbok Nah mensiasati tangisan Qohar kecil. Dengan merelakan puting susunya yang
telah keriput untuk di jadikan pengganti ASI. Walau pada hakikatnya sudah tidak
bisa keluar air susu setetespun, tetapi agaknya telah membuat Qohar terhibur.
Setiap hari Qohar kecil di beri asupan air tajin sebagai pengganti susu. Dan
kini cucu satu-satunya yang senantiasa di cintainya hilang entah kemana. Ia
telah mencoba bertanya kepada para tetangga tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak
mengetahui keberadaan Qohar secara pasti. Banyak para tetangga yang bersimpati
datang silih berganti hingga sore menjelang lalu kemudian satu persatu pamit
pulang. Mereka hanya sekedar menghibur kegalauan hati perempuan tua itu.
Di saat-saat suasana kembali
lengang pikirannya kembali buyar, linglung dan lesu. Beraneka macam Makanan dan
buah-buahan di meja pemberian tetangga sama sekali tak di sentuhnya. Tidak ada
nafsu Makan dan juga gairah hidup malam itu.
Mbok Nah seMakin takut berselimut
rasa khawatir ketika terdengar suara orang yang sedang mencuci piring. Dalam
keputus asa'an bercampur rasa gundah ia masih saja berharap dan tetap meyakini
bahwa Qohar pasti kembali ke pangkuannya. Rasa khawatir itu tetap bergelayut
dalam pikirannya. Semangat hidupnya dari yang semula menggebu-gebu kini seMakin
meredup. Tak ada lagi gairah hidup. Sekujur tubuhnya terasa berat seperti orang
yang baru kerja seharian. Tubuhnya yang renta seMakin lemas tak berdaya. Mbok
Nah yang sekuat baja itupun akhirnya pasrah kepada yang Kuasa. Ia mencoba berdiri
dan berjalan menuju sumur mengambil air wudlu, hendak melaksanakan shalat ashar.
Belum sempat melaksanakan wudlu ia di kejutkan suara gesekan sendok dan piring.
Alangkah terkejutnya Mbok Nah setelah melihat Qohar tengah menenteng sepiring
nasi di ruang dapur yang bersebelahan dengan sumur.
"Qohar !kamu masih ingat rumah?"
Ujar Mbok Nah tak habis pikir."Ingat Makan lagi..!" .
"Saya lapar Mak!” Sergahnya.
Mengalihkan pembicaraan.
"Kalau lapar ya Makan jangan
keluyuran. Kamu tau!Tadi kamu ku cari sampai buyeng?"
"Saya tidak tahu". Katanya
polos."Ooiya Mak! Aku ingat tadi siang Aku ngumpet di bawah kolong tempat
tidur sampai ketiduran." Ujarnya berselidik mencoba mengingat kejadian
barusan.
"Jadi kamu sengaja ngumpet?" Tanyanya dengan geram.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Dassar gemblung!"
Kali ini Mbok Nah benar-benar lega, tanpa
di komando akhirnya Qohar kembali ke rumah.
"Ooiya di lemari tadi ada berkat
dari Mbok Tamah. Coba kamu Makan dari pada basi nantinya."
"Kayaknya sudah di Makan kucing Mak!"
kilahnya.
"Apa? sudah di Makan kucing! Wong
di lemari kok di Makan kucing, kucing berkepala hitam ?" Kata Mbok Nah berseloroh.
"Iya Mak." Jawab Qohar
cengengesan dan tersenyum geli, pipinya yang dekil itu seMakin terlihat cekung
menyerupai donald bebek.
"Kamu tadi sudah sholat?"
Tanya Mbok Nah mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah Maknyak."
"Sudah kemarin siang? sekarang
sudah Ashar. Sekarang kamu mandi sana! Terus sholat. Selama kamu masih doyan
nasi kamu harus sholat. Biar selalu bersih dan terjaga kesehatannya."
Malam itu selepas sholat isya' Mbok
Nah melepas lelah dengan berbaring di kursi panjang, kedua kakinya berselonjor,
tangan kanannya mulai menyisir helai demi helai rambut peraknya ia terbersit
keinginan untuk membeli gulai lalu di suruhnya Qohar membeli gulai Kambing di
warung gulai Mbok pairah.
Tanpa perasaan terbebani Qohar mau
saja. Sebenarnya ia takut karena jaraknya yang lumayan jauh di malam hari.
Tetapi di hadapan neneknya ia selalu memperlihatkan rasa keberanian dan percaya
diri. Sementara di luar rumah banyak ditemui anak-anak seusianya yang tengah
bermain singkongan1. Rudi
salah satunya. Qohar lalu mengajak Rudi, usianya dua tahun lebih tua darinya, namun
dalam hal sifat dan sikapnya sangat manja dan kekanak-kanakan. Sewaktu kecil
Rudi pernah mengejar anak ayam sampai terjatuh dan menyisakan belang di
keningnya. Hingga kini sebagian teman-temannya memanggil Rudi dengan sapaan si
Belang sehingga menyisakan mental minder pada dirinya. Lain dengan Qohar yang
penuh percaya diri, kedewasaan akal dan pikirannya mampu menyeimbangkan perkataan
dengan siapapun. Mereka berdua akhirnya pergi ke warung sate dan gulai yang
tersohor sekampung itu. Warung gulai dan sate kambing Mbok Pairah.
Dirumah Mbok Nah sudah tertidur di
atas kursi panjang yang terbuat dari bambu.
"Maknyak. Bangun Mak! ini gulainya, nanti
keburu adem."
"Taruh saja di lemari nanti bisa di
hangatkan lagi. Aku ngantuk, jangan lupa pintunya di tutup!" Perintah Mbok
Nah sambil berjalan pelan ke tempat tidur untuk merebahkan jasadnya.
Di tengah malam Mbok Nah terbangun
lalu melaksanakan shalat tahajjud di akhiri baca'an Do'a Abu Nawas.
Ilaahi
Lastulil Firdausi Ahlaa
Walaa
Aqwaa A'lannaril Jakhiimi
Fahablii
Taubatan waghfir Dlunuubi
Fainnaka
Ghaafiruddzanbil Adliimi.
Dzunubi
mitslu a'daadir- rimali,
Fahabli
taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa
umri naaqishun fi kulli yaaumi,
Wa
dzanbi zaaidun kaifahtimaali
Ilaahi
abdukal 'aashi ataaka,
Muqirran
bid dzunuubi
Wa
qad di'aaka
Fain
taghfir fa anta lidzaka ahlun,
Wain
tadrud faman narju siwaaka1
Selesai berdo'a Kemudian Makan
malam dengan lauk gulai Kambing. Tak lupa didalam hatinya mengucap syukur atas
rizki dan nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya. Seolah kenikmatan dunia
berada dalam genggamannya. Mengingat bagaimana di zaman dahulu harus hidup
diantara dentuman bom maupun peluru. Jiwa tergoncang, di hantui rasa takut dan
penuh ancaman. Makan sehari sekali dengan perut keroncongan di saban harinya.
Hidup di zaman penjajahan. Selesai menyantap Makan malam dengan lauk gulai
Kambing. Ia lalu menghampiri Qohar yang tengah terlelap. Diusapnya keningnya
berulang-ulang lalu diciumi keningnya. Sebuah ungkapan rasa cinta yang tulus
dari seorang nenek kepada cucu satu-satunya. Seperti dalam sebuah Syair.
Tahukah
kamu ku ciumimu di saat kamu terlelap.
Tahukah
kamu ku dekap kamu di saat kamu termimpi.
Tahukah
kamu nggak cuma kamu pemilik hatiku.
Tahukah
kamu hatiku ini adalah hatimu.
Tahukah
kamu di setiap hidupku ku kagumi wajahmu.
Nanti
kau kan tahu
Nanti
kau kan dengar bahwa aku begitu.
Kamu-kamu
adalah surga yang ada.
Dalam
hidupku dalam kenyataanku.
Kamu
aku adalah penghuni surga.
Tahukah
kamu di saat kamu menangis adalah air mataku yang jatuh berlinang.
Tahukah
kamu di saat kamu tersakiti adalah aku yang pertama terluka.
Tahukah
kamu yang cuma Aku yang punya cinta untukmu
Tahukah
kamu yang cuma Aku yang rela mati untukmu1.
Dikeheningan malam Mbok Nah mencoba
merenungi kembali jalan hidupnya. Matanya menerawang kosong. Lalu basah,
sembab. Sesekali tersenyum dalam kesendirian. Dengan baluran air mata. Tertawa
lirih lalu kemudian menangis. Matanya yang cekung. Basah oleh air mata. Mbok
Nah teringat semasa kecil dulu. di usia belia dengan penuh kesadaran. Ia turut
serta menyelamatkan nyawa Ayahnya secara tidak langsung. Waktu itu ayahnya, Ki
Rasup mendapatkan tugas dari letnan Umar. Menyelamatkan belasan pucuk senjata
yang hendak di rampas tentara kolonial Belanda. Ia diberi tugas memindahkan
beberapa pucuk senjata dan puluhan selongsong peluru itu. Senjata dan puluhan
selongsor peluru itu disimpan dalam gulungan rumput. Ia bersama Ki Rasup,
ayahnya. Melewati tebing yang curam dan terjal. Tanpa disadari sebelumnya tiga
orang tentara kolonial Belanda menghadang perjalanan. Sontak Ki Rasup
seolah-olah kedua lututnya patah. Sekujur tubuhnya gemetar, keluar keringat dingin. Mendadak kedua
tangannya juga menjadi dingin seperti mayat.
Mbok Nah yang masih polos Waktu itu
mencoba untuk memanfaatkan kepolosannya. Meski jiwanya seperti di kejar
sekawanan serigala, tanah tempat berpijak serasa bergoyang, matanya nanar
tertuju pada wajah beringas tiga orang tentara Belanda. Sambil menangis,
merengek. Ia minta tolong kepada salah seorang tentara Belanda. Ia menunjukkkan
luka-luka di jemari kakinya yang terus berdarah, sebuah kebetulan. Padahal
semasa itu penyakit gudik maupun nanah, sudah biasa menjangkiti sebagian besar
orang-orang Desa. Terutama anak-anak kecil. Penyakit nanah maupun gudik apabila
seMakin digaruk, akan seMakin terlihat mengelupas kulitnya. Dan mengeluarkan
darah yang terus mengalir beberapa saat. Kepada salah seorang tentara Belanda
Ia meminta obat luka yang diderita Ayahnya juga dirinya. Tak dinyana setelah seorang Tentara serdadu Belanda
melihat tetesan darah. Hatinya terenyuh. Seorang tentara yang juga tercipta
dari segumpal tanah, dilengkapi akal pikiran dan hati nurani, sanggup mendobrak
tembok keegoisan. sebagai satu manusia untuk saling menolong. Sama punya rasa
dan karsa sebagai ummat manusia. Seorang tentara itu memberikan syalnya yang
putih bersih untuk membersihkan lukanya. Tak Cuma itu saja, ia juga diberi beberapa
potong roti. Di hari itu ia merasa menjadi orang yang paling beruntung didunia.
Apabila peristiwa itu bersandar dalam lamunannya, hatinya selalu menyeruak rasa
bangga, teriring rasa syukur hingga berurai air mata kebahagiaan. Satu ma'unah
dari Tuhan.
Selingkuh
Untuk
yang kesekian
Ku
selingkuh
Berpaling
dari rahmatmu
Berbelok
dari jalanmu
Kusadari
semua itu
Aku
lalai dari tugas-tugasku
Mengingkari
sebuah kenyataan
Yang
kian kentara
Tetapi
suatu saat nanti
Hanya
kepadamu ku kan kembali
Kepadamu
pula ku bergelayut
Di
ujung usiaku
Ku
coba menafakuri
Jejak-jejak
langkahku
Kotor
penuh debu
Tetapi
ku yakini
Ketika
dosa-dosa menggunung
Berlapis-lapis
bertumpuk-tumpuk
Akan
memutih lalu bening
Memudar
berpendar berpencar
Ketika
menyeruak satu penyesalan
Sekilas
kering kerontang
Gurun
pasir gurun sahara
Tersapu
hujan semalam
Usai melaksanakan shalat shubuh Mbok
Nah segera beranjak ke dapur menanak nasi lalu mengambil air dari sumur di
belakang rumah. Sambil menunggu nasi matang Mbok Nah membersihkan kamar tidur setelah
sebelumnya meracik bumbu-bumbu masakan. Begitu semua selesai Mbok Nah kaget melihat senapan
angin tergeletak di pinggiran bale-bale bilik disamping Qohar ketika ia akan
membangunkannya. Rupanya tanpa sepengetahuan Mbok Nah Qohar mengambil senapan
angin dari balik lemari Mbok Nah.
Teringat di benak Mbok Nah kejadian
puluhan tahun silam, kenangan pahit masa-masa sulit, hidup dalam keprihatinan.
Disaat-saat bangsa Indonesia masih terjajah oleh bangsa Jepang waktu itu.
Semasa pendudukan Jepang di awal-awal kedatangannya ke Indonesia tak
menunjukkan ciri-ciri akan menjajah. Kedatangannya kali pertama menunjukkan
misi persaudaraan. Baru setahun belakangan kerakusan dan keserakahannya seMakin
nyata terlihat ke permukaan.
Waktu itu pada tahun 1942 Mbok Nah
dan suaminya mengarungi hidup dengan beragam kegetiran. Bahkan saking sulitnya
hidup di masa itu umbi-umbian menjadi sesuatu hal yang biasa di Makan sehari-hari,
lazimnya umbi-umbian yang di Makan adalah umbi-umbian mentah. Untuk mendapatkan
umbi-umbian tersebut diperlukan gemerincing ringgit, sen atau harus di tukar
dengan perasan keringat, singkong rebus semasa itu sangatlah istimewa, tak
banyak dari warga kampung yang
mengkonsumsinya. Terbatas di sebagian
kalangan. Semasa itu pula jika ingin menikmati lezatnya singkong rebus tak
cukup hanya dengan uang maupun tenaga tetapi harus melewati serangkaian jalanan
yang berliku menuju lereng-lereng gunung. Jauhnya bisa mencapai tujuh sampai
sepuluh kilo meter, jalan yang di tempuh berkelok-kelok dan lebarnya kurang
dari satu meter. Hanya di lereng-lereng gunung tanaman singkong dan umbi-umbian
lainnya di budidayakan.
Disaat serba sulit itulah Mbok Nah
menemukan Oshi koizumi seorang Serdadu Jepang yang selalu tersenyum tanpa harus
diminta. Senyumnya yang khas itu selalu tersungging apabila bertemu dengan Mbok
Nah. Satu hal yang unik dari serdadu Jepang itu adalah kebiasaannya yang selalu
salah tingkah.
Oshi waktu itu terjebak di atas ranjau jebakan yang sedianya
untuk menjebak babi-babi hutan yang merusak tanaman. Dengan tanggap tanpa
memperdulikan siapa dan asal usulnya Mbok Nah datang sebagai malaikat
penyelamat. Di dalam sebuah gua yang tak begitu dalam seorang yang di ketahui
sebagai tentara jepang itu di rawat Mbok Nah dengan ala kadarnya. Untuk
mengobati luka-luka yang menghiasi dadanya oleh tusukan-tusukan kawat Mbok Nah
meMakai ramuan kuno warisan nenek moyang secara turun temurun.
Atas jasa- jasa dan kebaikan Mbok
Nah Oshi selalu menyempatkan untuk menemui Mbok Nah di rerimbunan perkebunan
kopi tak jauh dari perkampungan. Dengan sesekali membawa oleh-oleh Makanan yang
lezat pada Mbok Nah dan itu di lakukannya di setiap pertemuan, setiap selesai
bertugas. Sebelum pulang kenegaranya Oshi sempat memberi kenang- kenangan helm,
senapan angin dan celana kolor. Lambat laun Mbok Nah seolah seperti semacam
wanita simpanan seorang tentara Jepang. Karena pertemuan yang intens sehingga
mampu menumbuhkan nafsu-nafsu yang kian merapat dan bersandar. Melihat
kenyataan pahit tersebut kang karta menyadari kekurangannya dan merekapun
agaknya telah saling memahami keadaan.
Kang Karta dan Mbok Nah meyadari
betul betapa susahnya untuk bertahan hidup di masa itu. Menanam singkong baru
berumur sebulan sudah di rusak babi-babi hutan. Musuh utama semasa itu bukan hanya babi hutan tetapi
juga sesama Manusia. Padi belum menguning sempurna telah di sikat habis. Dibabat
oleh manusia-manusia rakus. Pada waktu itu orang-orang yang menanam padi harus
rela tinggal di gubuk-gubuk persawahan. Menunggui padi siang malam, kalau perlu
nyawa sebagai taruhannya. Kalaupun padi itu berhasil dipanen bukan berarti
nasib mujur berpihak padanya. Separuh dari hasil panen padi harus disetorkan
kepada Pemerintah Boneka kaki tangan para Penjajah. Di masa itu sawah dan lahan
tak terhitung luasnya yang sengaja tak tergarap sama sekali. Orang-orang
pribumi pada waktu itu lebih memilih
membiarkan sawah dan ladangnya menganggur daripada harus menanaminya
lalu hasilnya diserahkan kepada para Penjajah.
Setiap
kali serdadu Jepang itu datang memberi Makanan Mbok Nah selalu tidak langsung
meMakannya sebagai sebuah bentuk penghormatan pada suaminya. Sering kali Mbok
Nah beralasan sudah kenyang lalu kemudian di bawanya pulang Makanan itu, begitu
seterusnya. Persisnya peristiwa itu berjalan sampai dua tahun, tepatnya setelah
pecah perang dunia ke dua berakhir dan jepang mengalami kekalahan telak dengan
di hancur luluhkannya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika serikat1. Sebelumnya tentara Jepang membombardir
Pearl Harbour, sebuah pelabuhan militer Angkatan Laut. Di kepulauan Hawaii
Amerika Serikat[6].
Mulanya
Setiap Mbok Nah pulang membawa Makanan. Kang Karta selalu menanyakan dari mana Makanan
itu di dapat. Namun Mbok Nah selalu merahasiakannya. Hingga akhirnya seiring
berjalannya waktu. Kang Karta mengetahui dari mana Makanan itu berasal. Kang
Karta berusaha memahami keadaan dan berusaha mengikhlaskannya karena tidak
kuasa terus-terusan harus bergelut dengan kehidupannya yang serba kekurangan.
Apabila mengingat masa lalunya Mbok Nah begitu
bangga. Seperti tak terbersit sedikitpun rasa bersalah pada diri perempuan tua
itu, apalagi menyesali perbuatanya. Karena ia yakin semua ini adalah sandiwara, ada dalang di balik semua ini.
Baginya tak ada yang perlu disesali sepanjang tidak melanggar aturan dan
merugikan orang lain, meski perbuatannya dia sadari telah menyimpang dari
koridor Agama, tetapi demi kelangsungan hidup suatu laranganpun bisa saja
dilanggar dan itu adalah suatu prinsip hidupnya. Prinsip-prinsip hidup yang
ganjil itu adalah bagian dari wejangan suaminya yang senantiasa berusaha memastikan
secara pelan dan pasti mampu merubah kepribadian Mbok Nah yang semula minder menjadi
perempuan yang pemberani, rela mengorbankan nyawa demi keberlangsungan hidup
Ummat Manusia.
Apabila melihat celana dan helm di
lemari pemberian dari Oshi tentara Jepang itu terkadang Mbok Nah tertawa- tawa
sendiri seraya meneskan air mata. Masa lalu yang getir, indah, dan mengharukan
campur aduk menjadi satu layaknya rujak pecel. Karena seringkali melihat,
menghayati dan terbiasa dengan perilaku keseharian Mbok Nah Qohar Secara tidak
langsung tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang humoris dan cerdik.
Seingat Mbok Nah tak pernah sekalipun ia
memberitahukan perihal keberadaan senapan angin yang tergeletak di balik lemari.
Muncul beribu tanda tanya di benaknya namun urung ia tanyakan pada cucunya.
Menunggu suasana yang pas untuk menginterogasi.
Usai menanak nasi dan mencuci piring kotor di dapur Mbok Nah segera
membangunkan Qohar sambil mengelitiki kaki kirinya seperti yang dilakukan
sehari- harinya, lalu dengan cekatan Qohar pergi ke padasan1 dan cuci muka kemudian kembali ke kamar
tidur dan mengambil senapan angin yang telah menjadi mainan baru baginya.
" Kok tidak shalat? "
" Kan sudah kesiangan Mak!"
Timpalnya beralasan.
"Ya sudah. Sana sarapan!"
" Lauknya apa? "
"Pecel terong sama tempe."
"Kok tiap hari Makan terong terus Mak!"
"Maunya sama ayam ?"
"Iya." Qohar mengangguk
senang.
"Ya sudah. Makan sana sama ayam di
kebun! Sudah berapa kali Maknyak bilang, kita harus hidup sederhana bahkan
kalau perlu jangan sekali-kali Makan lauk daging ayam, kambing dan binatang
darat lainnya, kecuali ikan hasil tangkapan dari laut. Kita sebagai Manusia
harus ada bedanya dengan binatang agar menjadi mahluk yang dicintai
Allah." Begitu pesan Mbok Nah pada Qohar berkali- kali.
Sebuah prinsip' tidak Makan daging
daratan' di pegang teguh oleh Mbok Nah atas nasehat kyai Idris, kyai kampung di
desa tetangga. kyai yang berkepribadian teguh dan bersahaja itu sangat
menjunjung tinggi nama besarnya. Kyai haji Idris adalah tempat Mbok Nah selama
ini didalam berkeluh kesah tentang liku-liku dan permasalahan hidupnya.
Seperti biasa Qohar melahap sepiring
nasi beserta pecel terong dan tempe goreng hingga tiada tersisa, takut di
marahi Mbok Nah apabila tak di habiskan. Selesai Makan Mbok Nah lalu
menanyainya.
"Qohar! Sejak kapan kamu
bermain-main senapan di kamar?" Tanya Mbok Nah sambil menahan senyum
"Tau dari mana senapan itu ku simpan ?"
"Maknyak sudah pikun?"
"Pikun bagaimana? Lha wong di tanya
kok malah nanya!"
"Tuh kan ? Maknyak pikun
lagi."
"Dassar cucu ndableg."
"Maknyak sudah lupa? Maknyak kan
sering cerita kalau Maknyak itu pejuang. Pembela Tanah Air. Mencarikan Makan
umbi-umbian untuk para tentara, naik turun gunung mencari singkong dan jadi
kurir senjata. Bukan begitu Mak ceritanya?"
"Lalu apa hubungannya ?"
"Tidak ada! Tapi saya kan penasaran
Mak? masa setiap hari hanya di suguhi cerita tanpa ada bukti. Apa saya salah Mak
?"
"Siapa yang menyalahkan. Tapi lain
kali tanya dulu sama Maknyak biar nanti Maknyak ajarin."
"Bener Mak ?"
"Apa untungnya Maknyak bohong sama
kamu."
Demikianlah setiap kali Mbok Nah
mengakhiri sebuah nasehat apabila orang yang di nasehatinya mulai
memperlihatkan tanda ketidakpercayaan.
Masalah
Di
batas akhir akan tampak sekumpulan manusia
Tersiksa
diantara hidup dan mati
Tidak
kuasa mencari pintu surga
Meski
disepanjang hayatnya
Bersujud
beribu tahun
Mereka
adalah mereka
Dengan
segala waktu
Menghujam
di dada
Beribu
dengki
Tak
henti memperpanjang urusan
Tak
lekang olehnya
Kesengajaan
menggantung
Menelikung
Ketidak
berdayaan.
Biasanya setelah sarapan pagi Mbok
Nah pergi ke ladang, tetapi di pagi itu
tidak. Kepalanya merasakan pusing dan agak pening. Dengan bergelayut rasa
bimbang ia langkahkan kakinya menuju kebun pisang tak jauh dari rumahnya sambil
membawa parang dan cangkul. Ia mengira dengan pergi ke kebun rasa nyeri yang di
deritanya berangsur-angsur sembuh, karena tempatnya teduh dan tidak terlalu
panas. Apalagi matahari, sang bola api raksasa telah merangkak mendaki hingga
sepenggalah ketinggiannya.
Di
kebun telah ada shobari sedang memanen pisang. Tak seperti biasanya hari itu
shobari tak bertegur sapa dengan Mbok Nah. Dari raut muka dan sorot matanya
terlihat seperti ada sesuatu yang ingin di utarakannya. Namun Ia hanya
nggerundel1 seperti orang yang
sedang menahan amarah. Sebagai Orang tua Mbok Nah berusaha mengalah dengan
mengawali sebuah pembicaraan.
"Pisangnya sudah tua Shob?"
Tanya Mbok Nah serius tanpa basa-basi.
"Mau tua mau muda bukan urusanmu
Mbok! memang apa hak Simbok melarang-larang!" Jawabnya seperti sengatan
kalajengking. Dengan air muka memerah seperti hendak mengajak perang. Lelaki
kurapan yang berjerawat hampir di seluruh badannya itu agaknya ingin menguasai
tanah yang belum selesai di bukukan itu.
"Aku tidak melarang kalau perlu
ambil semua pisang yang ada!" Ucapnya dengan hati dongkol. Hatinya serasa
teriris setelah mendengar perkataan Shobari yang kasar , kata-kata itu telah
menghujam tepat di jantung hati perempuan tua itu. Seketika itu juga hatinya
seperti berdarah dan meninggalkan luka,
tidak mudah untuk mengobati apalagi menyembuhkannya. Sambil menahan kepedihan
hati Mbok Nah pergi meninggalkan kebunnya begitu saja.
Seumur
hidup Mbok Nah dalam kamus hidupnya selalu memegang prinsip pantang menyerah,
mengalah dan menangis di hadapan siapapun. Tak terkecuali pada preman kampung
sekalipun. Tapi hari itu Mbok Nah yang setegar karang seganas lautan akhirnya
hanya bisa menjerit sakit di dalam batin. Lalu kemudian ditumpahkan di dalam
rumah. Menangis tersedu hingga beberapa waktu lamanya. Qohar yang tak tau duduk
perkaranyapun hanya ikut-ikutan menangis hingga menitikkan air matanya.
Sejatinya
Mbok Nah adalah perempuan biasa yang lembut penuh kasih sayang dan gemar
bersilaturrahim. Namun bukan berarti Mbok Nah hidup tanpa musuh. Yang
seringkali menyakitkan hati Mbok Nah adalah timbulnya rasa dengki dari sebagian
tetangga, sahabat maupun saudaranya sendiri tanpa di ketahui sebabnya. Tetapi
Mbok Nah selalu berusaha mengalah dan memposisikan dirinya sebagai orang tua
yang lemah dan lebih banyak mengalah, ia merasa sebagai perempuan biasa
kebanyakan, lebih memilih menangis ketimbang beradu otot atau perang mulut
apabila sedang terjadi kisruh dengan tetangga. Tetapi tidak demikian apabila
menghadapi masalah dengan orang yang tidak begitu di kenalnya, bahkan dengan
perangkat desa sekalipun.
Pernah
suatu ketika Mbok Nah berhadapan dan perang mulut dengan pak Taufik seorang
ladu. Akar masalahnya waktu itu jatah pengairan untuk Mbok Nah belum selesai,
tinggal kurang lebih hanya seperempatnya, namun Pak Taufik mengklaim telah
selesai dan memutus mata rantai aliran air tersebut. Kontan Mbok Nah tak terima
dan di acung-acungkannya parang serta sebatang patahan pohon singkong. Dengan
bersuara lantang Mbok Nah meminta jatah airnya dikembalikan, tetapi Pak Taufik
tetap bergeming. Tak mempedulikan kemarahan Mbok Nah. Bahkan pak Taufik malah
berbalik mengancam akan membabat habis seluruh tanaman padi dan sayurannya.
Segagah
apapun Mbok Nah dia adalah seorang perempuan biasa yang masih punya hati
sanubari, ia tak mungkin berbuat senekat itu dan pak Taufik tahu betul siapa
itu Mbok Nah watak dan tabiat yang sebenarnya. Pak Taufik tak takut sama sekali
dengan bentuk perlawanan dari Mbok Nah. Lelaki yang selalu berpenampilan necis,
berkalung dan perutnya membuncit itu telah terbiasa menghadapi orang-orang yang
dianggapnya membandel macam mbok Nah.
Mengetahui
gertak sambalnya tak di gubris Mbok Nah tak habis akal. Di lucutinya pakaian
yang menempel di badannya satu persatu hingga kemudian terlihat bertelanjang
dada, tak sehelai benangpun yang menempel di tubuh Mbok Nah. Walhasil tanpa
banyak kata Pak Taufik segera pergi meninggalkannya. Aksi gilanya itu sempat
membuat pasang-pasang mata Ibu-ibu buruh tandur disawah tetangga terbelalak
dengan mulut menganga tetapi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan
semua itu.
Masya
Allah......
Peristiwa
itu menjadi headline berita para ibu-ibu terutama para biang gosip seperti Bu
Lela hingga beberapa minggu lamanya. Setelah suasana kembali tenang dan aman di
kenakannya kembali pakaianya. Mbok Nah tak peduli para tetangga sawah
melihatnya dan mau bilang apa. Kemudian dengan cekatan Mbok Nah berlalu pergi
menuju sawah pak Taufik dengan tujuan menutupi aliran air serta membedahnya untuk
dialirkan ke sawahnya yang masih belum terairi dengan rata.
Awal
mulanya kebun yang sekarang di garap Shobari itu puluhan tahun yang lalu adalah
milik Mbok Nah. Waktu itu Mbok Nah punya lahan yang lumayan luas di berbagai
tempat, tak semua lahan terawat baik, bahkan di beberapa tempat menjadi bero1 karena lahannya tak di olah. Salah
satunya adalah lahan yang sekarang telah menjadi kebun yang rimbun di penuhi
pohon pisang, nenas dan beberapa pohon jambu. Zaman dahulu tanah itu di berikan
pada Mbok Rini dengan perjanjian lisan. Sebuah perjanjian yang tidak tertulis.
Sesuatu hal yang lumrah pada zamannya mengingat pada masa itu tak semua orang
bisa mengerti dan memahami baca dan tulis.
Mbok
Rini Ibu Shobari keadaannya memprihatinkan kala itu. Pada masa penjajahan Mbok
Rini bersama Suami dan anak-anaknya hidup dengan serba kekurangan. Harus
memutar otak agar dapurnya tetap bisa mengepul. Hingga di kemudian hari
kehidupan Mbok Rini yang memprihatinkan kala itu mengundang rasa simpati dari
Mbok Nah. Sebagai mahluk sosial, Mbok Nah tidak tega melihat kenyataan pahit di
depan mata. Lalu di suruhlah Mbok Rini dan suaminya agar mau mengurus dan
menggarap lahan tersebut Seumur hidup dengan syarat apabila Allah lebih dulu
mengambil nyawa Mbok Nah, Maka tanah itu menjadi milik Mbok Rini. Dan
sebaliknya apabila Mbok Rini diambil nyawanya oleh Allah terlebih dahulu Maka
tanah itu kembali menjadi milik Mbok Nah. Tetapi akhirnya takdir menunjukkan
jika Mbok Nah adalah pemilik tanah yang sah karena beberapa bulan yang lalu
Mbok Rini telah lebih dulu di panggil ke haribaan Ilahi Maka kini tanah itu
jatuh ke tangan Mbok Nah dengan sendirinya. Atas kebijaksanaan Mbok Nah, Maka
hasil kebun boleh di ambil anak-anak Mbok Rini selama masih mau merawat dan
memelihara lahan pekarangan tersebut dengan cara di bagi sepertiga. Awalnya
Mbok Nah memberi pilihan satu per dua namun dari pihak anak-anak Mbok Rini tak
menyetujui dan mengajukan usul agar di bagi satu pertiga. Dua bagian untuk
anak-anak Mbok Rini dan satu bagian untuk Mbok Nah. Atas usulannya itu Mbok Nah
menyetujuinya tanpa syarat. Tapi agaknya sifat serakah yang pada dasarnya telah
tertanam dalam setiap diri manusia menyeruak ke permukaan, bermetamorfosa
menjadi wajah yang penuh kedengkian dan beringas. Shobari seorang lelaki yang
memiliki banyak tahi lalat itu seolah
ingin merebut kebun begitu saja dari tangan Mbok Nah.
Terkadang
Mbok Nah sebagai perempuan biasa menafakuri jalan hidupnya yang harus berperan
sebagai ayah sekaligus ibu dan nenek buat Qohar cucu semata wayangnya. Harus menghadapi
berbagai macam persoalan yang membelitnya. Lenyap permasalahan lama muncul permasalahan
baru begitu seterusny. Rasa keragu-raguan terkadang datang menyergap, di dalam
benaknya bertanya-tanya.
Apakah
selama ini apa yang di lakukannya bisa mendapatkan keridlaannya? Ridla dari
Allah untuk bersanding di sisinya?
Apakah
dirinya bisa mendapatkan pahala yang setimpal dengan kaum laki-laki yang lebih
banyak mendapatkan keutamaan melebihi perempuan?
Rasa takut bercampur bimbang
mengusik kalbunya. Supaya memperoleh kemantapan hati dan ketenangan Mbok Nah
pernah mencoba menanyakan permasalahan itu kepada Kyai Idris sehabis pengajian
selesai tentang permasalahannya yang masih mengganjal di hatinya itu. Walau
secara lahiriyah tak terlihat sama sekali jika Ia menyimpan rasa gundah, akan
tetapi hati kecilnya tidak bisa dibohongi.
Ketika
ditanyakan kepada kiai Idris perihal prinsip hidupnya yang liar, keras dan
bebas, juga penilaian aneh oleh sebagian
tetangga serta penuturannya sebagai seorang nenek yang harus merangkap sebagai
orang tua bagi cucunya, Kiai Idris hanya tersenyum dan tidak memberikan saran
apapun kepada Mbok Nah.
Kiai
Idris hanya bercerita pada masa zaman Rasulullah tentang seorang muslimah yang
tidak malu bertanya dan kritis terhadap permasalahan perempuan dan juga tentang
persoalan Agama yang belum dipahaminya. Ia mewakili kaum muslimah dalam
bertanya langsung kepada Rasulullah. Ia adalah Asma binti yazid bin sakan. Asma
binti Yazid adalah seorang ahli pidato yang ulung, wanita pemberani yang halus
perasaannya dan budi bahasanya. Asma
binti Yazid datang kepada Rasulullah Saw berkenaan dengan tawanan wanita.
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya
saya adalah utusan bagi seluruh muslimah di belakangku, seluruhnya mengatakan
sebagaimana yang Aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai pendapatku.
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengutus engkau bagi seluruh kaum pria dan
wanita, kemudian kami beriman kepadamu dan membai'atmu. Namun kami sebagai kaum
wanita terkurung dan terbatas langkah kami, kami hanya tinggal di rumah, kami
yang mengandung dan melahirkan anak-anak mereka, kami menjadi penyangga rumah
tangga kaum pria dan kami adalah tempat melampiasan syahwat mereka. Akan tetapi
kaum pria diberi kelebihan dan mendapat keutamaan melebihi kami dengan sholat
jum'at, mengantar jenazah dan berjihad. Manakala mereka keluar untuk berjihad
kamilah yang menjaga harta mereka, mendidik anak-anak mereka, Maka apakah kami
juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dari amalan mereka?"
Mendengar
pertanyaan tersebut Rasulullah Saw menoleh kepada para sahabat dan bersabda
kepada para sahabatnya, " Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang
wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?" Para sahabat menjawab.
" Benar. Kami belum pernah mendengarnya ya rosululloh!" Kemudian
Rosululloh bersabda : Kembalilah Wahai Asma dan beritahukanlah kepada para
wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang dari mereka
kepada suaminya dan meminta keridhaan suaminya itu semua setimpal dengan
seluruh amal yang kamu sebutkan. Pahalanya sebanding dengan pahala yang didapat
kaum pria yang engkau sebutkan itu."
Beliau
adalah seorang ahli hadits yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki
kecerdasan dien1 yang bagus dan ahli
argumen sehingga beliau dijuluki sebagai 'juru bicara wanita'. Diantara
keistimewaan yang dimiliki oleh Asma` adalah kepekaan inderanya dan kejelian
perasaannya serta kehalusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat sebagaimana
yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dari madrasah
nubuwwah yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa hina,
tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang menjadi
contoh yang baik dalam banyak medan peperangan. Begitulah penuturan KH Idris
yang mengalir begitu saja.
Penuturan
KH Idris itu seMakin memantapkan prinsip hidupnya. Pelan dan pasti mampu
mengobati kegundahan hati yang selama ini menghantuinya. Selama apa yang
dilakukannya mendatangkan manfaat baginya dan tidak mendatangkan madhorot bagi
orang lain Maka selama itu pula mubah suatu amalan untuk di amalkan. Di usia
senja ia tak lagi kehilangan semangat tapi justru ia malah seperti menemukan
kehidupan yang baru yang penuh tantangan dan mesti di hadapinya.
Tak
ingin di rundung duka yang berkesudahan setelah sebelumnya di sapa Shobari
dengan kata-kata yang tidak sepantasnya Mbok Nah tak habis harapan untuk
melanjutkan hidup. Dengan sisa serpihan asa yang ada Mbok Nah segera pergi ke
kebun menuju dua buah pohon lima abad, pohon sawo. Di lihatinya dengan seksama
satu persatu penuh dengan buah. Sebagian telah terlihat tua dan sebagian lagi
masih terlihat muda. Mbok Nah lalu memanggil qohar dengan suara datar, menyuruh
untuk diambilkan horok.
"Haar
...Qohar!"
"Ada
apa Mak?"
"Maknyak
ambilkan horok1 di samping rumah!"
"Ya
Mak. Tunggu sebentar!!"
Setelah
sawo terkumpul yang sebelumnya telah di sortir terlebih dahulu lalu dicuci
bersih kemudian dijemur hingga layu. Manisnya sawo yang tercecap di lidah tidak
serta merta langsung bisa di nikmati kecuali yang sudah matang di pohon.
Diperlukan serangkaian panjang mengiringi proses masa kematangannya. Setelah
melalui proses pencucian lalu penjemuran kemudian di karbit barulah sawo manis itu
tinggal menunggu kematangannya dan setelah matang baru bisa dinikmati.
Rasa
syukur yang agung kepada Tuhan mampu mengalahkan ego yang seringkali menguasai
manusia. Melunakkan sifat syirik, dengki, hasud dan kawanannya. Entah telah
berapa kali Mbok Nah menjadi tempat pergunjingan para tetangga dan masyarakat
mengenai ulahnya yang di nilai melanggar kaidah hukum agama oleh ibu-ibu
pengajian. Seringkali selentingan itu terdengar langsung di telinga Mbok Nah, seringkali
pula rasa benci dari sebagian tetangga itu sengaja di hembuskan ke telinga
Qohar cucu semata wayangnya. Mbok Nah seorang wanita tua yang seMakin gila
harta dan tak kenal waktu di dalam bekerja. Tetapi Mbok Nah selalu cuek dan malah
bersyukur karena masih ada manusia yang mau meluangkan waktunya guna menegurnya
secara tidak langsung. Dalam kegalauan berselimut sepi Mbok Nah teringat suatu
ketika di tengah malam ia bermimpi bertemu dengan kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat.
Beberapa bulan sebelumnya Mbok Nah pernah mendatangi Makamnya di mantingan
Jepara dengan tujuan berziarah. Dalam sebuah mimpi itu Mbok Nah di perintah
Nyai Kanjeng Ratu Kalinyamat agar mau di jadikan abdi dalem sebagai tukang
pijit Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat. Tanpa berpikir panjang Mbok Nah lalu
menyatakan kesediaannya untuk dijadikan abdi dalem, tak lama kemudian Kanjeng
Nyai Ratu Kalinyamat memberikan sebuah keris namun Mbok Nah dengan halus
menolak pemberian Keris dari Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat karena takut tidak bisa
menjaganya, lalu kemudian Kanjeng Ratu Kalinyamat memberikan hadiah sekarung
benih padi. Anehnya dalam mimpi itu Mbok Nah menerima begitu saja sekarung
benih padi dari Kanjeng Nyai Ratu Kalinyamat tanpa ada perasaan terbebani
sedikitpun. Benih padi sekarung itupun di bawa pulang dengan tanpa membawa
selendang. Tak ada rasa berat, lelah ataupun letih. Justru sebaliknya benih
padi sekarung itupun terasa ringan untuk di bawa pulang. Entah apa arti sebuah
mimpi yang datang kepada Mbok Nah malam
itu. Mimpi-mimpi itu eratt kaitannya dengan keseharian Mbok Nah yang selalu
menghabiskan waktunya di sawah dan kecintaannya pada tanaman.
Besok hari senin legi. Mbok Nah
hampir lupa jika hari itu adalah hari kematian kang Karta. Biasanya di hari itu
di bacakan Tahlil, Lantunan Istighfar dan surat-surat pendek. Dengan
menyuguhkan bubur merah putih untuk di bacakan do'a-do'a lalu kemudian bubur
merah putih itu di bagi-bagikan ke tetangga sekitar dengan harapan orang yang
telah meninggal mendapatkan ampunan dan tetap dalam lindungan Allah yang Kuasa.
Mbok Nah segera menuju dapur memeriksa bahan-bahan yang kurang. Sesekali tangan
kirinya menggaruk-garuk kulit kepala hingga seperti menemukan sesuatu.
Persediaan bumbu-bumbu dapur sepertinya telah menipis hanya tinggal beberapa
cabe, bawang putih, dan kelapa. Mbok Nah hendak ke kebun mengambil daun pisang,
kunyit dan sayur-sayuran beserta bumbu dapur lainnya. Sebelum berangkat di
lihatnya Qohar tengah bermain senapan angin di dalam kamar.
"Maknyak mau ke kebun dulu. Jaga
rumah ya?" Ujar Mbok Nah sambil menyibak tirai pintu kamarnya.
"Aku ikut Mak!" sahut Qohar
manja.
"Kalau ikut jangan lupa tutup pintu!"
Kata Mbok Nah berpesan.
Segera
di simpannya Senapan angin itu lalu berlari mengejar Mbok Nah yang lebih dulu
meninggalkannya. Hanya dalam hitungan menit merekapun sampai di jalan raya.
kemudian berhenti sejenak menunggu jalannya mobil tronton lalu menyeberanginya.
Kali ini Mbok Nah tidak langsung menuju ke sawah. Di langkahkan kakinya menuju
sebuah pohon asem jawa yang buahnya lebat tepat di tepi jalan. Di bawah pohon
asem Mbok Nah mengais sisa-sisa asem tua yang berjatuhan. Dahannya yang rimbun
dan bercabang-cabang memudahkan Qohar untuk segera memanjat pohon tersebut.
Dipetiknya beberapa dompolan buah
asem yang tengah masak, pikir Qohar dengan mengambil langsung di dahan dan
ranting neneknya tidak perlu susah-susah untuk memulung yang tercecer di tanah.
Tanpa di duga sebelumnya sedompol buah asem yang tengah masak yang baru di
petiknya itu jatuh mengenai kepala Mbok Nah. Tetapi tidak menimbulkan rasa
sakit.
"Aduh!!
" Ujar Mbok Nah spontan setelah buah asem jatuh mengenai kepalanya.
"
Tidak apa-apa kan Mak?"
"
Iya, tidak apa-apa."
Pohon asem meski tinggi dan besar
tetapi buahnya hanya seukuran jari, apabila telah masak dan mulai berjatuhan
meski menghujani kepala beribu kali tidak akan menimbulkan rasa sakit ataupun
luka yang serius. Tetapi seandainya pohon asem itu berbuah sebesar buah semangka
atau mungkin sebesar labu pasti orang yang tertimpa akan pingsan dibuatnya atau
bahkan mungkin bisa mati berdiri karenanya. Tetapi kebanyakan pohon yang besar
dan tinggi buahnya tidak sebesar buah semangka. Semua itu adalah satu bukti
keadilan Tuhan yang hanya di mengerti dan di pahami oleh orang-orang yang
berfikir.
Tanpa
di sadarinya Mobil merah silver di parkir tak jauh dari pohon asem. Sebelumnya
tak terdengar suara bising sama sekali. Tak seberapa lama kemudian keluar dua
orang laki-laki muda dari dalam mobil. Salah satunya berkulit putih, matanya
sipit dan berkacamata hitam. Dan seorang lagi berperawakan sedang seperti orang
jawa pada umumnya. Mereka lalu menghampiri Mbok Nah yang tengah mengumpulkan
buah Asem. Dengan agak terbata-bata
berbahasa jawa salah seorang dari mereka lalu memperkenalkan diri.
Seorang yang bermata sipit Pak Yusuf chen lau seorang wakil manajer direktur
sebuah perusahaan minyak goreng dan juga pengelola perkebunan kelapa sawit. Dan
seorang lagi Pak Amin ong gwe seorang Betawi berdarah jawa sunda menjabat
Consultant dan merangkap sebagai wartawan lepas sebuah harian Ibu Kota. Mereka
kemudian menanyakan kepada Mbok Nah perihal tanah kosong di sepanjang jalan.
Mbok Nah kemudian menunjukkan yang
tengah mangkrak di dua tempat di tepi Jalan Raya. Dari selentingan yang beredar
di masyarakat rencananya dua tempat tersebut akan segera di jual oleh
pemiliknya. Di satu tempat milik Bu Marni tetangga jauh mbok Nah. Seorang
perempuan paruh baya yang lebih mementingkan gengsi dari pada fungsi serta menjunjung
tinggi harkat dan martabatnya sebagai seorang keturunan priyayi, trah darah
biru. Kabarnya perempuan paruh baya itu ingin menjual tanah kapling warisan
ayahandanya untuk membiayai perjalanan Haji tahun depan. Di tempat yang kedua
tanah kapling milik pak Sarwo yang rencananya akan hijrah ke Lampung membuka
usaha warung pecel.
Tanah-tanah
itu berada di jalur lintas Provinsi. Sangat strategis untuk pengembangan usaha
dengan hasil alamnya yang masih melimpah. Di tambah lagi ketersediaan bahan baku
dari para petani dengan variasi harga yang sangat murah. Sayangnya oleh
orang-orang kampung tanah-tanah itu tidak dikelola dengan baik, bahkan tidak
jarang di beberapa tempat di biarkan mangkrak tidak tergarap sama sekali.
Sengaja di biarkan bero oleh pemiliknya. Sedangkan pemiliknya kebanyakan menjadi
kaum urban di perkotaan, menjadi buruh kaum kapitalis.
Hari
telah sore mentari di ufuk barat telah memberi pertanda sebuah sinyal akan
segera membenamkan diri. Mbok Nah hanya menyarankan agar pertemuannya di
sambung di lain waktu. Menemui di
rumahnya. Mereka lalu mohon diri kemudian
memberikan sebuah amplop berisi uang sebagai sebuah bentuk rasa terima
kasih. Diterimanya amplop itu lalu dengan terburu-buru Mbok Nah dan Qohar
bergegas melanjutkan perjalanan menuju kebun. Mengambil daun pisang, memanen
cabe, kunyit dan sayur-sayuran.
Langit
dibagian barat telah terbentang warna merah keemasan. Matahari seakan-akan
tergesa-gesa membenamkan diri. Langit segera memancarkan auranya. Bintang-bintang
bermunculan di ikuti serbuan kelelawar yang hilir mudik mencari mangsa. Sampai
di rumah tepat waktu magrib. Selesai shalat maghrib dan dzikir Mbok Nah
teringat dua hari yang lalu Mbok Sarmah mengajaknya menjenguk Bambang. Bocah
kecil seumuran Qohar yang menderita sakit cikungunya akut. Masih tergolek lemas
hingga berbulan-bulan. Tetangga kampung sebelah.
Selesai
shalat Isya’ Mbok Nah langsung ke rumah Mbok Sarmah dan mengajaknya menjenguk Bambang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Bagaimana?
jadi menjenguk Bambang?"
"Ya. Jadi Mbok." Jawab
Mbok Sarmah sambil ngeloyor ke dalam rumah. " Aku salin pakaian dulu”.
Mereka lalu berangkat bersama
dengan membawa barang bawaan ala kadarnya. Mbok nah sendiri membawa setandan
pisang dan sekilo gula merah.Tak ingin ketinggalan. Qohar segera membuntutinya
setelah sebelumnya mengunci rumahnya rapat-rapat.
Di
rumah Shohibul Musibah Mbok Nah tertegun melihat kenyataan yang ada. Dengan
segala upaya ia dan Mbok Sarmah berusaha membesarkan hati dan menghibur
shohibul musibah1, sementara Qohar berdiam
diri di teras rumah menunggu neneknya pulang. Miris menggambarkan cobaan yang
di timpakan kepada Bambang.
Di
usianya yang ke tujuh Berat badannya terus merosot. Tak jauh beda dengan anak
berusia tiga tahun. Perutnya membusung, paru-parunya terlihat melebar dengan
lekuk-lekuk tulang yang sangat kentara. Wajahnya pucat kedua bola matanya
cekung dengan keningnya yang seMakin kentara jelas akan guratan-guratan daging
tipis yang membalut tempurung kepalanya. Jari-jari kaki dan tangannya terlihat
seperti kerangka yang bergerak-gerak dengan balutan kulit yang amat tipis setebal
kain. Hanya daging tipis yang menghiasi tubuhnya, selebihnya seperti tengkorak
yang bergerak-gerak. Di setiap ujung jari-jari kaki kirinya membusuk, membiru
dan bernanah. Bambang demikian orang-orang memanggil bocah malang itu terus-terusan
menitikkan air mata apabila keinginannya belum juga terpenuhi. Semisal
merasakan sakit di sekujur badannya yang ingin di pijat atau di obati. Dari
kedua bibirnya yang terlihat kering tanpa sepatah katapun terucap. Seperti ada
sesuatu yang ingin di katakannya namun terasa sulit untuk melafadzkannya.
Semenjak seminggu yang lalu mendadak ia tak bisa bicara. Hanya bisa dengan
bahasa isyarat, paling jauh hanya bisa dengan menggeleng-gelengkan kepala. Di
rumahnya yang hanya berdinding bambu beratapkan ilalang hanya ada Bambang dan
kakak perempuannya Handayani yang setia menungguinya. Ayah Ibunya telah lama
pergi meninggalkannya. Mengadu nasib di Ibu Kota.
Ikhtiar
berobat saban hari telah di lakukannya dan telah menjadi suatu kebutuhan. Harta
bendanya yang berupa sawah dan kebun telah habis untuk membiayai pengobatan Bambang.
Tak ada lagi barang yang berharga satupun di rumahnya yang hanya beratapkan
daun ilalang kering. Satu-satunya modal yang masih tersisa hanyalah tenaga,
tenaga dari Ani kakak perempuan satu-satunya. Seorang perempuan belia yang
masih ringkih untuk ukuran pekerja pada umumnya. Dengan memeras tenaganya untuk
kemudian di tukar dengan bulir-bulir beras dan bumbu-bumbu dapur. Selama ini
Ani yang pontang-panting memeras
keringat agar asap dapurnya senantiasa tetap mengepul. Hakikatnya Ani berjuang
hidup demi sebuah tantangan untuk menjadi insan yang terbaik di mata Tuhan.
Kedua orang tuanya merantau ke kota setelah tergiur iming-iming pak Kumolo
tetangga sebelah.
Menyaksikan kenyataan pahit Mbok
Nah hanya bisa menjerit sakit dalam bathin. Seakan-akan protes kepada Tuhan.
Kenapa semua ini harus di timpakan padanya? Tidak adakah orang lain yang lebih
mampu dalam menghadapi ujianmu Yaa Tuhan? Mungkin saja orang-orang yang
berkalang duka dan penderitaan itu akan menemukan kebahagiaannya di akhirat
kelak. Bersanding dengan Rabnya menjadi manusia pilihan atau bahkan mungkin
menjadi kekasihnya.
Di
tengah malam mereka bertiga kemudian pamit pulang. Dengan membawa sejuta hikmah
teriring rasa syukur yang Agung kepada Tuhan atas karunia yang telah di berikan
selama ini berupa kesehatan jasmani maupun rohani.
Pagi-pagi sekali Mbok Nah telah
selesai menanak bubur merah putih. Untuk memperingati hari kematian kang karta.
Sedangkan Qohar mempersiapkan daun pisang untuk bahan bungkusan bubur merah
putih. Tak lupa jajanan tradisional ikut di sertakan dalam bungkusan daun
pisang. Selesai mempersiapkan semuanya Qohar segera pergi menyambangi rumah
teman-temannya para tetangga sebelah kemudian acarapun dimulai. Acaranya di
Imami oleh mbok Nah sendiri. Di awali dengan bacaan Basmalah, Hamdalah lalu
Istighfar kemudian Tahlil dan diakhiri doa.
Acara
prosesi peringatan kematian kang karta yang digelar sederhana itu telah
selesai. Bubur merah putih itupun di bagikan dengan disertai oleh-oleh berupa
jajanan tradisional berupa pisang, pepaya dan jeruk sebagai buah tangan. Mbok
Nah lalu kembali mengisi rutinitasnya, pergi kesawah bersama Qohar dengan
membawa pupuk kompos setengah karung.
Sesampai
dijalan raya perjalanan terhenti. Di ujung sana di sepanjang pinggiran jalan
raya anak-anak muda Desa berkerumun menyaksikan arak-arakan rombongan pak
Menteri yang tengah melintas entah kemana. Suara klakson mobil mulai bersaut-sautan persis
suara ambulans. Di tambah suara sirine meraung-raung memekakkkan telinga karena
saking asingnya. Iring-iringan mobil pengawal Pak Menteri melaju dengan
kecepatan tinggi. Sebuah perkampungan yang mulanya sunyi senyap mendadak penuh
dengan gegap gempita euphoria kehidupan. Sekumpulan kambing dan kerbau berlarian seperti ada rasa kaget yang
tiba-tiba mendera. Tanpa diduga sebelumnya banyak binatang ternak berhamburan
kejalan Raya. Ternak-ternak itu yang biasa diikat disepanjang pinggiran jalan
Raya tiba-tiba lepas karena saking takutnya dengan keadaan yang drastis. Orang-orang
kampung hanya bisa menyaksikan dengan pasang-pasang mata yang penuh kedongkolan
disepanjang pinggiran jalan Raya yang menjadi tempat penggembalaan
ternak-ternak na'as itu. Akhir dari semua itu adalah banyaknya binatang ternak
yang luka-luka dan hilang karena lari sekencang-kencangnya tak tentu arah.
Adapula yang mati tertabrak mobil pengawal Pak Menteri. Ternak yang mati itu
diketahui milik pak Suro, seekor kerbau dan
Khoir satu ekor kambing.
Dari
pihak pengawal tak ada yang mau bertanggung jawab. Hanya satu pengawal yang
terlihat berhenti lalu mengulurkan segepok uang, itupun karena aksi nekat pak
Suro yang menghadang ditengah jalan, pak Suro yang berbadan tinggi dan berkulit
hitam legam itu menuntut pertanggung jawaban pihak pengawal yang menabrak
ternaknya. Segepok uang yang di berikan itu di taksir hanya bisa menebus seekor
kerbau. Tak lama setelah salah satu pihak pengawal mengulurkan uang pada pak
Suro mobil rombongan pengawal Pak Menteri yang terakhir itupun lalu melaju
dengan kecepatan tinggi. Seakan tak ada rasa bersalah dan merasa sebagai pahlawan kesiangan. Tidak
ada rasa peduli dengan nasib dan ganti
rugi kematian ternak-ternak yang lain.
Peristiwa itu meninggalkan luka
bathin yang mendalam bagi khoir atau biasa di panggil si punjul, karena jari
jemari di kakinya semuanya berjumlah dua belas, enam buah jari di kaki kanan
dan kirinya. seorang anak yatim piatu
yang setiap hari bekerja menggembalakan kambing sejak masih usia belia. Ia
menggembalakan kambing milik pak Haji Malik dengan upah sepantasnya. Dari upah
yang tak seberapa itu ia kumpulkan Rupiah demi Rupiah. Setelah terkumpul uang
itupun ditasyarufkan untuk membeli seekor kambing betina ukuran sedang. Baru
digembalakan beberapa hari kemudian akhirnya kambing yang hanya satu ekor itu mati
dalam keadaan mengenaskan karena ditabrak oleh mobil-mobil rombongan pak
menteri itu. Menyaksikan sandiwara nyata di depan mata hanyalah menyisakan
trenyuh di dada. Mbok Nah dan Qohar lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju
sawah untuk memupuk tanaman-tanamannya dengan pupuk kandang setengah karung
itu..
Happy
birtday
Mengapa
penyesalan harus berlabuh
Di
ujung senja
Di
sudut-sudut sandiwara
Di
akhir cerita
Kini
umurku berkurang setiap waktu
Tanpa
kusadari
Sebuah
kenyataan
Menghadang
Menerjang
Tak
jua ku pahami
Dimana
dan kemana ku harus melangkah
Diantara
serpihan-serpihan umur ku yang tersisa
Akan
kurangkai mozaik keindahan
Mengiring
perjalananku
Hari-hari berlalu tanpa tiada
terasa seiring berdzikirnya bumi sepanjang waktu. Musim berganti dan zaman akan
selalu berbenah menuju peradaban yang madani. Para insan berlomba-lomba
membangun jatidirinya yang seolah-olah hidup untuk selamanya. Kali ini musim
kemarau telah bergeser dan berganti musim hujan. Semua mahluk hidup gegap
gempita menyambutnya termasuk burung-burung kuntul yang menjelang musim
hujan biasanya akan di sertai musim
kawin. Hamparan luas perkebunan Tebu mulai memamerkan bunga-bunganya.
Luasan tanaman Padi membentang sejauh mata memandang. Mulai menguning.
Rumput-Rumput keringpun mulai bersemi.
Menyambut
datangnya musim hujan kali ini sekumpulan Katak di segenap penjuru merayakan
hari kemenangannya, hujan kali pertama. Dengan mengeluarkan suaranya yang khas
seperti alunan melodi silih berganti mewarni kesunyian. Belalang-belalang kecil
ikut bersambut dengan caranya sendiri. Terbang kesana kemari melupakan
musuh-musuh yang senantiasa sewaktu-waktu datang menerkamnya. Di saat-saat
seperti itulah suatu kesempatan bagi sekumpulan Kadal untuk segera memangsanya.
Tanpa harus bersiap-siap siaga tiba-tiba belalang seakan seperti menawarkan
diri untuk di jadikan mangsa oleh kadal. Tanpa di sadari sebelumnya belalang-belalang
kecil itu beterbangan persis di depan kadal. Telah menjadi semacam takdir dari
yang kuasa jika petualangan hidup sang belalang akan berakhir tragis di depan
sang kadal, demikian pula dengan nasib kadal yang harus menyerah pada takdir
ketika berhadapan dengan sang musang. Burung-burung, Jangkrik, Siput,
sekumpulan ikan dan binatang lainnya tumpah ruah ikut merayakan datangnya musim
hujan tahun ini. Pucuk-pucuk dahan dan ranting pepohonan mulai basah memperlihatkan
kesegarannya.
Pagi
itu masih terlihat gelap suara kokok ayam sudah mulai terdengar seakan-akan menyuruh si empunya
untuk segera membukakan pintu dapur tempat di mana kandang ayam berada. Usai
sholat shubuh Mbok Nah memeriksa dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan
untuk memperingati hari lahirnya Qohar, lalu diambilnya beberapa bekas keringat
di leher Qohar yang masih tertidur lelap. Sebagai sebuah pra syarat untuk memperingati
hari lahirnya. Orang-orang terdahulu mengartikan ritual tersebut sebagai sebuah
bentuk penyadaran Jika sesuap nasi itu harus di dapat melalui jerih payah
memeras keringat dan banting tulang demi kesejahteraan hidupnya.
Sejumput
daki Qohar di taburkannya ke dalam tungku bakal tempat pembuatan bubur. Tanpa terasa dari kedua bola matanya yang
cekung merembes bulir-bulir air mata. Terkenang saat-saat indah bersama
anak-anaknya, bercengkrama, bersendau gurau, dan tertawa lepas. Dengan sepenuh
hati merawat, membesarkan dan menyayangi tanpa ada batasnya namun kini tidak di
ketahui secara pasti di mana keberadaannya. Walau mereka hakikatnya tidak ada namun bagi Mbok Nah mereka ada
untuk selama-lamanya. Kedua bola matanya tak henti-hentinya mengeluarkan
bulir-bulir air mata yang terus menetes perlahan.
Di
dapur persediaan kayu telah menipis, hanya tinggal beberapa ranting. Di
ambilnya kayu dari belakang rumah yang hanya tinggal beberapa lapis. Di
ambilnya semua kayu yang ada hingga tinggal serpihan kayu-kayu kecil kemudian
tanpa sengaja ia melihat sesuatu benda mirip gundukan batu diantara serpihan
kayu seperti membentuk formasi sarang. Tanpa pikir panjang ia mengambil ranting
kayu kecil lalu mencoba membalikkan benda asing itu. Alangkah terkejutnya Mbok
Nah setelah melihat ada sesuatu di bawah gundukan serpihan-serpihan kayu-kayu
kecil. Ternyata benda asing itu adalah kura-kura seukuran telapak tangan.
Mendadak raut mukanya menjadi berbinar-binar, guratan-guratan senyum menghiasi
wajahnya.
Teringat
waktu itu sekitar dua bulan yang lalu cucunya kehilangan kura-kura
kesayangannya hingga kemudian dua hari dua malam Qohar tidak mau Makan. Telah
berbagai cara Mbok Nah lakukan waktu itu namun Qohar masih saja ngotot dengan
pendiriannya. Tidak mau Makan selagi kura-kuranya belum juga di temukan, hanya
air minum yang sesekali diteguknya tanpa
sepengetahuan Mbok Nah. Hingga suatu ketika dihari ketiga sewaktu Qohar
terlihat lelah sehabis bermain Mbok Nah melihat Qohar sedang melahap sepiring
nasi di ujung dapur. Betapa senangnya Mbok Nah waktu itu tapi didepan Mbok Nah
Qohar masih menunjukkkan dirinya mogok Makan. Akhirnya dengan tenang Mbok Nah
mencarikan jalan keluarnya sembari memberi syarat. Qohar Akan dibelikannya
marmut jikalau mau disuapi olehnya. Dengan malu-malu Qohar menyanggupi
persyaratan itu. Sampai di kemudian hari Qohar merelakan marmutnya disembelih
Mbok Nah untuk ritual penyembuhan Mansyur keponakan Mbok Nah yang telah satu
minggu menderita penyakit kuning.
Kini
adalah dua bulan yang lalu. Kura-kura mungil berekor pendek itu tetap saja
seperti sedia kala ukuran dan bentuknya. Tak banyak terjadi perubahan pada
fisiknya.
Seikat
serpihan Kayu ditaruh didapur lalu Mbok Nah beranjak pergi ketempat tidur
Qohar. Tak lupa kura-kuranya di ikat dengan benang kecil agar tak lagi hilang
sekaligus membuat kejutan pada cucunya. Benang yang terlihat tipis itupun di
ikatkan pada kain sprai persis di dekat Qohar.
Kemudian kura-kuranya di taruh tepat di depan Qohar yang masih tidur.
Menyadari
ada sesuatu benda aneh yang bergerak-gerak di jari jemari Qohar di kegelapan
fajar yang belum sepenuhnya terang ditambah lagi jendela-jendelanya yang masih
tertutup rapat. Qohar terperanjat merasa takut dan gemetar. Ia segera lari
kedapur namun tak didapati seseorang yang selama ini menjadi tempat bertumpu
dan bermanja-manja ria. Ia lalu segera keluar dan mendapati neneknya sedang
duduk santai di bangku teras depan. Sedang mengupas kacang sembari melantunkan
tembang campursari.
Aku
pancen wong seng tuno aksoro.
Ora
biso nulis ora biso moco.
Nanging
ati iki iseh nduwe roso.
Roso
tresno koyo tumrape manungso.
Aku
pancen wong cilik ra koyo rojo.
Iso
mangan wae aku uwes trimo.
Nanging
ati iki isih nduwe roso.
Jero
ning bhatin sak tenane pingin kondo.
Pupus
godhong gedang.
Ajang
pincuk saiki wus ra kelingan.
Aku
memang orang yang buta aksara.
Tidak
bisa menulis tidak bisa membaca.
Tapi
hati ini masih punya rasa.
Rasa
cinta seperti manusia kebanyakan.
Aku
memang orang kecil bukan orang kaya.
Bisa
Makan saja aku terima'bersyukur'.
Tapi
hati ini masih punya rasa.
Dari
hati yang dalam ingin berkata.
Pupus'kuncup'
daun pisang.
Piring
dedaunan sekarang mulai terlupakan1.
Kura-kura adalah binatang Reptil yang
pertumbuhannya lambat, usianya bisa mencapai puluhan tahun, bahkan ada yang
bisa mencapai ratusan tahun apabila terawat dengan baik.
Kura-kura
mungil itu ditemukan Mbok Nah secara tidak sengaja sewaktu sedang menyiangi
rumput di sawah. Dikiranya sebuah bulatan kecil berwarna hitam
kecoklat-coklatan yang menyerupai helm mini itu adalah batok kelapa separuh
yang mengambang. Begitu diperhatikan beberapa menit kemudian sesuatu yang
menyerupai batok kelapa itu bergerak-gerak lalu berenang ke tepian guludan.
Kura-kura mungil itu lalu diambilnya dan kemudian di bawa pulang.
Cukup
lama kura-kura itu di pelihara Mbok Nah sebagai teman bermain Qohar sedari
kecil. Lama-lama kura-kura itupun
menjadi akrab dengan keseharian Qohar hingga akhirnya kura-kura itu hilang
entah ke mana.
Waktu itu Qohar tengah asyik bermain
dengan kura-kuranya diteras rumah hingga kemudian lupa mengandangkannya. Dengan
terburu-buru ia pergi menyusul Mbok Nah kesawah, begitu pulang dari sawah dan
mengetahui teman selama bertahun-tahun telah hilang tanpa di ketahui rimbanya. Seketika
itu Qohar merengek menangis menyesali kelalaiannya. Qohar tak bisa menyimpan
kesedihannya, hilang semangat hidupnya dan sempat linglung tidak mau Makan
hingga berhari-hari. Tidak tega membayangkan kura-kuranya terlantar ia tak sampai
hati bisa menelan nasi meski Mbok Nah telah membujuknya berulang kali agar mau Makan.
"Maknyak! Kok malah nembang!" Teriak
Qohar dengan nada marah.
"Ada apa lee? Kamu mencariku?"
Mbok Nah pura-pura bertanya.
"Sudah tahu malah tanya. Apa Maknyak
tidak dengar saya panggil-panggil?!!"
"Apa yang terjadi cucuku??"
Selidiknya berbasa-basi.
"Tidak usah tanya ayo
kekamar." Ajak Qohar dengan terburu-buru.
"Ada apa? Mau tidur lagi? Aku mau
ke sawah." Bantah Mbok Nah.
"Jangan begitu Mak."
"Ada apa dulu?" Tanya Mbok Nah
pura-pura penasaran.
"Ada setan Mak!" ucapnya serius.
"Ooo ..kamu setannya?"
"Serius Mak!"
"Ya sudah nanti kalau ketemu biar
ku Makan. Kalau tidak ketemu kamu yang ku Makan."
"Ah .. Maknyak. Jangan bercanda
terus!"
"Maknyak serius Haar..."
"Ya sudah ayo kita lihat.!"
Rengek Qohar dengan penuh penasaran dan di hantui rasa takut.
Mereka berdua menuju ke kamar lalu
dibukanya dua jendela satu-persatu. Kura-kuranya nampak terlihat jelas namun
Qohar tak mengetahui jika kura-kura itu ternyata diberi ikatan benang oleh Mbok
Nah agar tidak memungkinkan untuk lepas dari tempat tidur.
"Itu apa Qohar??" Tanya Mbok
Nah sembari menunjuk ke arah kura-kura.
"Itu kan Kura-kura Mak!"
Selorohnya dengan raut muka berbinar-binar.
"Siapa yang bilang kalau itu setan.
Sudah ayo ditangkap! Lalu di sembelih biar Maknyak yang Makan!" Perintah
Mbok Nah sembari menakut-nakuti Qohar.
"Maknyak gemblung apa! Maknyak kan
tahu sendiri kalau aku suka bermain dengan kura-kura." Dengan wajah menggerutu Qohar mengexpresikan
kekecewaannya.
"Siapa peduli, yang penting Maknyak
lapar."Jawabnya seolah tak ada rasa peduli.
"Ahh..Maknyak! pokoknya jangan!
"Yo wis, kalau begitu kamu yang ku Makan!"
Sahut Mbok Nah menakut-nakuti.
"Maknyak memang gemblung!"
Karena
saling ngotot di antara keduanya akhirnya
Qohar hanya bisa menangis tersedu. Dengan berurai air mata didekatinya kura-kura
mungil itu lalu di ambil dengan sentuhan penuh kasih sayang. Mbok Nah pergi
berlalu begitu saja meninggalkan Qohar menuju dapur. Setelah di perhatikan
dengan seksama Qohar terperangah kaget bercampur heran bukan kepalang. Ternyata
salah satu kaki kura-kuranya telah terikat benang. Terpikir di benak Qohar pasti
ada dalang di balik semua ini. Teringat pesan Mbok Nah padanya dalam suatu
kesempatan. Tak ada sesuatu tanpa ada sebab. Terciptanya tulisan pasti ada yang
menulis. Begitupula dirinya dan alam seisinya pasti ada yang menciptakan. Lalu
siapakah yang menyebabkan kura-kuranya terikat?, terbersit di pikirannya, siapa
pelaku di balik semua ini kalau bukan neneknya sendiri. Ia pun langsung menemui
neneknya dengan penuh dongkol. Menuduhnya tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Maknyak sengaja menakut-nakuti
Qohar! Qohar sama sekali tidak takut!"
"Kok tahu?" Tanya Mbok Nah
tanpa basa-basi sambil tertawa
sumringah.
"Yaa iya to." Jawabnya penuh
bangga.
"Lalu kenapa kamu gatal minta
tolong?"
"Itu kan hanya pura-pura Mak!" Kilahnya.
"Apa??!!Maknyak tidak dengar!"
"Maklum, kan sudah tua. Tapi aku
juga punya kejutan Mak! Tunggu saja". Kilahnya lagi dengan muka serius seperti
mengancam.
"Tantanganmu selalu ku tunggu
cucuku. Maknyak tidak takut! Sekarang kamu Makan dulu buburnya nanti keburu
adem. Jangan lupa beri Makan kura-kuranya." Ucapnya datar sembari
mengingatkan.
"Maknyak buat bubur?"
"Iya, nyelametin hari lahirmu biar
panjang umur dan sehat selalu”. Jawab Mbok Nah dengan bijak."Buburnya
nanti di habisin yaa?" Sambungnya.
"Baik Mak." Katanya sambil
tersenyum "Sudah di do'ain?". Tanyanya kemudian.
"Sudah!" jawabnya singkat.
Mulai saat itu Qohar dengan setia
merawat dan membawa kura-kuranya kemanapun dia pergi. Dengan hadirnya kura-kura
di tengah-tengah keluarga Qohar seperti menemukan kembali kehidupannya yang
baru.
Siang itu Mbok Nah pulang dari
pematang seperti biasanya, dari kejauhan Mbok Nah melihat mobil merah silver di
bawah pohon sawo di sebuah kebun miliknya. Mobil itu persis dengan warna mobil
yang ditemuinya beberapa waktu yang lalu pada saat mengais buah asem bersama
Qohar. Tanpa pikir panjang Mbok Nah mencoba menemui si empunya namun tak di
dapati seorangpun. Di longoknya seisi ruangan di dalam mobil dari balik kaca
hitam. Tak ada seorangpun yang berada di dalam. Karena merasa benar dan mobil
itu terparkir di area kebunnya Mbok Nah tidak takut menungguinya sambil duduk
di cangkruk tak jauh dari pohon sawo.
Dari
rumah terlihat Qohar berlari tergopoh-gopoh seperti ada sesuatu yang ingin di
utarakannya.
"Maknyak ?!" Panggil Qohar
dengan keras.
"Ada apa cucuku?"
"Maknyak di cari orang kemarin
sore."
"Kemarin sore kapan?"
"Itu lho Mak sewaktu memulung buah
asem."
"Ooh, iya Aku ingat." Kata
Mbok Nah mengangguk-angguk.
"Dimana orangnya?"
"Orangnya sudah menunggu dirumah!Ayo
Mak cepat!" Ajak Qohar terburu-buru.
Di
teras telah ada Bu Lela tetangga sebelah. Menemani tamu mengobrol. Mereka datang
hanya berdua. Pak Amin ong gwie yang seorang Wartawan dan seorang lagi pak
Puji, sopir pribadinya.
"Ee bu Lela Silahkan masuk."
Sapa Mbok Nah pada bu Lela. Lalu kemudian menyapa pak Amin dan pak Puji.
"Silahkan masuk pak! Pak Yusufnya tidak ikut pak?" Tanya Mbok Nah
pada pak Amin.
"Kebetulan pak Yusuf hari ini
sedang ada meeting di kantor jadi saya yang di tunjuk mewakilinya. " Kata
pak Amin. Lalu mereka duduk lesehan bersama di ruang depan.
"Sampeyan kenal neng ndi? Kok di
lura-luru1" Canda Mbok Nah
pada Bu Lela. Seorang janda beranak tiga. Dengan bahasa jawa halus agar tak di
ketahui oleh para tamu.
"Tidak salah Mbok? Beliau ini cari
Simbok. Tanya kesana ke mari akhirnya ya tak bawa ke sini. Wong yang namanya
Aminah hanya kamu di kampung ini."
"Lho adikmu namanya bukan Aminah?"
Seloroh Mbok Nah.
"Kuwi Atinah bukan Aminah!"
Timpal bu Lela.
"Oo bunder! Kamu kok dungaren belum
ke sawah?" Tanya Mbok Nah setengah nerocos.
"Habis nyuci pakaian setumpuk,
capek. Ke sawah ba'da dzohor wae." Kata bu Lela sambil tangan kanannya
memegangi pinggangnya.
"Yo wis nanti bareng yoo?"
"Yoo..."
Lalu
Mbok Nah kembali menyapa dua orang tamunya.
"Jangan sungkan-sungkan pak, memang
beginilah keada'ane wong ndeso."
"Lela! tolong jagongi riyen, tak
buat minum dulu saja'e kok kering!" Pinta Mbok Nah pada bu Lela.
"Ya Mbok!" Jawab Bu Lela
singkat. Lalu dengan agak sungkan bu Lela, seorang janda yang paling hobi
ngegosip itu mencoba memberanikan diri untuk menanyai perihal pembelian tanah
kapling.
" Ma'af ya Pak? Kalau boleh tahu
nanti rencananya lahan kaplingnya untuk membangun apa?" tanya bu Lela
sungkan.
" Untuk membangun pabrik kopra, di
sini kan belum ada apalagi dari sumber yang dapat di percaya bahan baku kelapa
di sini sangat murah dan didukung infrastruktur jalan yang telah memadai, berangkat
dari dua faktor tersebut kami dari pihak perusahaan melihat prospek ke depannya
sangat cerah, dari itu kami berniat membangun pabrik kopra di kampung ini setelah
sebelumnya dikaji terlebih dahulu dampak Amdalnya." Urainya panjang lebar
menjelaskan tujuan pembelian tanah kapling.
"Oh begitu." Kata bu Lela
menganggau-angguk.
"Apakah di Kampung ini sering
ada kejahatan bu?" Kata pak Amin dengan merendahkan suaranya.
"Tidak ada pak! Kampung ini Alhamdulillah
selalu aman." Kata bu Lela meyakinkan. "Memangnya kenapa pak"
Tanyanya kemudian.
"Begini bu, sepanjang
perjalanan kami merintis usaha kami lebih mengutaMakan keamanan disamping dua
faktor penting yaitu sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sehingga ke
depannya kami bisa lebih fokus dalam pengembangan usaha tanpa banyak hambatan.
Intinya dengan iklim usaha yang kondusif kami optimis kemajuan perusahaan akan
terkatrol dan bahkan mungkin bisa berkembang dengan pesat."
"Jadi nomor satu itu keamanan
ya pak?" Ujar bu Lela berkesimpulan.
"Iya, keamanan menjadi syarat
yang mutlak."
Bu Lela mendengarkan penjelasan Pak
Amin dengan sungguh-sungguh seperti seorang anak TK yang khidmat mendengarkan dongeng dari gurunya.
"Qohar!" Panggil Mbok Nah
dengan suara datar.
"Ada
apa Mak?"
"Gula
putihnya habis. Sana belikan, ini uangnya!"
Setelah memerintah Qohar Mbok Nah
lalu kembali ke ruang tamu kemudian mulai membuka topik pembicaraan.
"Bagaimana?
Bapak jadi beli tanah yang di seberang jalan itu?"
"Masalah
itu jangan di tanya yang penting bagaimana dengan pihak penjual, apa sudah di
beri tahu?"
"Sudah Pak, kebetulan Lela ini saudaranya yang punya tanah." Ujarnya
sambil ibu jari menunjuk lurus ke arah bu Lela.
"Lela! Tolong kang Sarwo suruh ke
sini mumpung ada pak Amin." Pintanya kepada bu Lela.
"Kang Sarwo sudah ke sawah, kemarin Aku
di beritahu, katanya sih terserah. Bagi siapa saja yang bisa menjualkan
tanahnya akan di beri komisi sepuluh persen. Kang Sarwo sudah keburu akan pergi
bulan depan ke Lampung pengen buka usaha di sana." Jawabnya panjang lebar.
"Yo wis, kalau begitu tinggal bu
Marni Pak." Kata Mbok Nah sambil menahan nafas. “Kemarin Saya dari rumah bu
Marni. Katanya, kebunnya di jual dengan harga biasanya, tetapi dengan syarat
beberapa pohon kelapa dan durian yang berada tepat di pinggir jalan tidak ikut
di jual, jadi Bu Marni boleh kapan saja mengambilnya." Sahut Mbok Nah,
menjelaskan dengan detail.
"Gampang! Semuanya bisa di atur
asal jangan ada sengketa di kemudian hari." Ujar pak Amin lugas.
Dengan terburu Mbok Nah mohon ijin ke
dapur mengambil minuman dan suguhan berupa pisang dan bubur merah putih yang
kebetulan hari itu sedang merayakan hari ulang tahun Qohar. Lalu kemudian
mempersilahkan tamu-tamunya untuk mencicipinya.
Setelah semuanya jelas pak Amin
memberikan uang muka kepada Mbok Nah agar akadnya menjadi lebih jelas di
saksikan bu Lela dan pak Puji. Lalu kedua orang tamu itupun segera pamit dengan
memberikan dua buah amlop lagi kepada Mbok Nah dan bu Lela. Sebelumnya Mbok Nah
terlebih dahulu membawakan oleh-oleh berupa kacang kering dan ubi jalar
setengah karung. Dalam pertemuan itu di anggapnya sebagai pertemuan awal, rencananya
tiga sampai empat hari lagi pak Amin akan segera melunasi sekalian mengurusi
surat-surat tanah. Dalam pertemuan itu pula di jelaskan latar belakang serta Maksud
dan tujuan pembelian tanah kapling. Dan telah tercapainya kesepakatan diantara
ketiga belah pihak dengan akad Muwakkalah.
Zaman
Belanda
Sejarah
Kepadanya
ku
berguru
Ku
mengetuk pintu
Tempatku
mengadu
Tempatku
berpijak
Sejarah
Kepadanya
ku berpegang
Berjalan
Beroleh
petunjuk
Kutafakuri
Aku
kalah tanpa sejarah
Tanpa
sejarah ku menyerah
Ku
resah tanpa sejarah
Tanpa
sejarah aku pasrah.
Terhitung telah dua hari Mbok Nah
tidak ke sawah, pagi ini atau lusa harus ke sawah karena di khawatirkan rumput
liar seMakin bertambah, padi tak terairi dan mengering. Sayuran-sayuran apabila
tidak di pangkas akan menjalar ke mana-mana. Dicarinya parang untuk keperluan
penyiangan rumput-rumput liar disepanjang tepian guludan namun tak juga di
dapatinya .
“Qohar ! dimana kau simpan parangnya?”
“Sepertinya masih di teras." Jawab
Qohar, matanya menerawang "Saya lupa naruhnya. Mau ke sawah Mak?”.
“Ya. kamu dirumah apa ikut?”
“Aku ikut, bawa nasi apa tidak Mak?”
“Terserah kamu, hari ini Maknyak puasa.
Ini hari kamis.”
“Bungkusin ya Mak?”
“Ya. Pakai sambal tidak?”
“Tidak usah!” Ucapnya sambil
geleng-geleng kepala.
Setelah
semua beres Mbok Nah dan Qohar berangkat ke sawah berjalan kaki setapak demi
setapak dengan di selingi sendau gurau di sepanjang perjalanan. Tanpa terasa
mereka sampai di sawah.
“Alhamdulillah sudah pada menghijau.”
Gumamnya dalam hati.
“Mulai dari sini saja cucuku." Ajak
Mbok Nah pada Qohar memulai pekerjaan menyiangi rumputan liar.
"Bismillahirrahmanirrakhiim nyambut gawe1.”
Sambil mencabuti rumput mereka berdua
berbincang-bincang ringan. Tentang bagaimana susahnya hidup di zaman penjajahan
hingga bermuara pada sejarah hidup Mbok Nah semasa mudanya.
Waktu
itu tahun Empat puluhan negeri ini masih di jajah oleh Belanda. Suatu hari di
pagi buta Mbok Nah kedatangan seorang tamu dua orang serdadu Belanda. Waktu itu
Mbok Nah masih berumur antara empat belas sampai lima belas tahun sedangkan
adik Mbok Nah Sukarti masih berumur sembilan tahun. Di pagi buta itu kedua
orang tua telah lebih dulu pergi ke lereng-lereng gunung mencari umbi-umbian
berupa talas, kerot, ganyong dan sejenisnya bersama kang Imran kakak Mbok Nah
satu-satunya. Semua itu untuk Makanan pokok sehari-hari.
Biasanya sebelum orang tua pergi kami
sering di wanti-wanti agar jangan takut di dalam menghadapi siapapun termasuk
terhadap para serdadu belanda, bahkan kalau perlu perdayai para serdadu belanda
agar mau memberikan bahan Makanan. Waktu itu mencari Makan susahnya tiada
terkira. Waktu itu mencari Makan tak segampang mencari ikan.
Awalnya
kedatangan dua orang tentara Belanda membuat bulu kuduk Sukarti merinding namun
Mbok Nah berusaha menenangkan Sukarti yang terlihat ketakutan. Setelah di ketahui
perihal Maksud dan tujuan kedatangannya suasananya menjadi lebih cair. Sukarti
tak terlihat ketakutan lagi, rupanya Maksud dan tujuan mereka datang hanya
untuk mencari Kang Umar seorang gerilyawan yang selama ini menjadi pahlawan di
kampung ini. Terkenal sakti, tubuhnya tak mampu di tembus ratusan peluru.
Seorang jawara kampung andalan orang-orang pribumi. Ketika di tanyakan mengenai
keberadaannya, Aku dan Sukarti menjawab tidak tahu menahu, namun karena di desak
terus menerus. Kamipun mau membuka rahasia dengan syarat di beri imbalan.
Tetapi karena mereka tidak membawa apa-apa Maka kami di beri beberapa lembar
mata uang Belanda.
Dengan
semburat kesedihan Mbok Nah memberitahukan keberadaan Kang Umar. Sebelum
memberitahukan keberadaan kang umar, terlebih dahulu Mbok Nah menyuruh Sukarti
agar ke dapur. Mbok Nah hendak merencanakan sesuatu, disuruhnya Sukarti
mengambil getah air tuba di belakang rumah. Setelah di dapat lalu supaya di
sajikan bersama teh manis.
Setelah
instruksi di jalankan Mbok Nah kembali menemui dua serdadu belanda itu lalu
memberitahukan keberadaan kang Umar yaitu di gua Ngerong. Jaraknya lumayan jauh
dari kampung Bendo yaitu sekitar tujuh kilo meter. Sebelum memberi tahu tempat
persembunyian kang Umar dirayunya terlebih dahulu kedua serdadu Belanda itu hingga
kemudian mereka bisa betah berlama-lama di rumah Mbok Nah. Dengan mimik serius
Mbok Nah memberitahu arah jalan untuk menuju gua Ngerong yang terkenal medannya
sangat sulit itu. Tempat persembunyiannya itu telah bertahun-tahun menjadi
markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri
guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar.
Sebelum
Mbok Nah menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah di campur dengan air tuba.
Mbok Nah terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit di bagian pinggulnya untuk
mengalihkan sebuah perhatian. Setelah itu teh manis di suguhkan dengan
tersenyum simpul. Tak lama kemudian setelah meminum teh manis buatan Sukarti
dua orang serdadu itupun pergi, lalu Mbok Nah dengan cekatan membagi tugas
kepada Sukarti agar segera memberitahukan pada pak Abdullah, tetua kampung
perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah di ketahui tentara Belanda.
Sementara itu Mbok Nah mengawasi dari jauh arah dan langkah kedua serdadu itu.
Tidak lama hanya berselang beberapa menit kemudian Mbok Nah dengan mata kepala
sendiri menyaksikan dua orang itu ngajal, menggelonjot hampir bersamaan tepat
diatas lahan perkebunan kopi yang tidak jauh dari perkampungan. Setelah
keduanya di pastikan meninggal Mbok Nah mendekati mayat-mayatnya. Dari kedua
mulutnya keluar busa yang tidak berukuran, lalu satu persatu dari pakaian
mayat-mayat itu di geledah. Mbok Nah mendapati dua pistol laras panjang, dua
puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar uang gulden mata
uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu di serahkan
kepada pak Abdullah Untuk keperluan para pejuang kemerdekaan. Selang beberapa
minggu kemudian tersiar berita mengenai penangkapan Kang Umar oleh tentara
Belanda, selanjutnya Kang Umar di penjarakan dan di asingkan di pulau
Karimunjawa hingga akhir hayatnya.
Sukarti
kini sudah hidup berkecukupan di negeri sakura bersama Meiji Shiojiro suaminya.
Usai
bercerita sebagian perjalanan hidupnya semasa dulu. Mbok Nah tak mampu membendung
kesedihan. Entah kenapa tiba-tiba kedua bola matanya sembab, tak kuasa menahan
air mata mengingat kegetiran masa lalu meski hanya bulir-bulir tipis. Qohar
berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.
“Jadi Maknyak dulu jadi seorang pembunuh
para penjajah? Aku jadi takut kalau melihat Maknyak..” Canda Qohar.
“Badanku malah jadi menggigil gemetaran
karena melihatmu.” Balasnya dengan mimik serius.
“Kenapa Maknyak?”
“Lha wong kamu kayak tuyul, nggak mau
pake baju.” Timpal Mbok Nah.
“Segera pakai bajumu, matahari sudah
terasa seMakin menyengat.” Sambungnya.
“Ya Maknyak. Tapi?”
“Apa ?”
“Maknyak
kok kelihatan!” Canda Qohar sembari jari telunjuknya menunjuk lurus ke arah
Mbok Nah.
“Kelihatan
apanya?” Tanyanya dengan memperhatikan tubuhnya dari atas hingga ke bawah.
“Itu…?”
kembali ujung jari telunjuknya menunjuk lurus.
“Apanya
cucuku?” Kali ini pertanyaannya seMakin bertambah geram.
“Kelihatan
bajunya.” Jawabnya kemudian dengan nada santai.
“Ooo…dassar
cucu ndableg!” Dimuntahkannya rasa kesal itu lalu tersenyum cukup lama.
Mbok
Nah hanya bisa menelan ludah, berusaha menyimpan kekesalannya. Sementara itu
Qohar diam sejenak seperti patung sembari meringis manja. Sebuah kemenangan
telah diraihnya, satu upaya untuk menunjukkan jati dirinya sebagai cucu seorang
Mbok Nah. Perempuan tua tahan banting yang senantiasa menantang takdir dan
tidak ingin menyerah kepada nasib.Demikian, siang itu Qohar tiba-tiba seperti
menemukan senjata super mujarab untuk mengalahkan neneknya. Mbok Nah sendiri
mengakui kekalahannya, sudah merasa kesulitan mencari kata-kata ampuh untuk
mengimbangi atau bahkan mengungguli kata-kata cucunya. Betapapun akhirnya Mbok
Nah berhenti pada satu titik sebuah kepuasan meski terasa menjengkelkan.
Surprise
Malam
ini Kutemukan sebuah kado
Ku
dapati sandiwara kecil menghiasi bumi
Kusaksikan
air laut bergulung setinggi pohon-pohon
Lalu
menyapu daratan
Gunung-gunung
beterbangan seperti kapas
Lautan
manusia mengambang diliputi
ketakutan
Dan
Aku menganga
Nanar
berselimut kalut
Aku
berlari
Berlindung
ku
sebut Asmanya dalam sebuah mimpi.
Ketika matahari telah merangkak
naik hingga sepenggalah ketinggiannya biasanya Qohar sudah memohon diri untuk
pulang terlebih dahulu. Tapi tidak dipagi itu. Saat itu dari kejahuan terlihat
Doni dan Amar digubuk sawah tetangga. Mereka melambaikan tangan mengajak Qohar
untuk bergabung. Qohar lalu memohon diri untuk ikut teman-teman kehutan Jati
milik Pak Haji Badawi.
“Maknyak! Aku ke hutan Jati sama teman-teman!”
Ujar Qohar berpamitan untuk berpetualang ke hutan jati.
“Ya hati-hati.” Ucap Mbok Nah berpesan.
Di
dalam hutan jati itu banyak ditemui berbagai jenis pepohonan lain selain hutan
jati. Di tengah-tengah dan sepanjang pinggiran hutan Jati banyak di temui pohon
mangga liar, jengkol, dan jambu Monyet. Sayangnya Hutan itu telah lama
terlantar ditinggal pergi pemiliknya ke Kota. Hanya sekali dua kali dalam setahun
dikunjunginya. Hutan jati itu tidak terawat dan terabaikan, sementara dikanan
kiri hutan jati hanya tanah kosong yang banyak ditumbuhi ilalang dan seMak-seMak.
Saban hari tidak sedikit orang-orang kampung yang sengaja ke hutan tersebut
untuk sekedar mencari kayu maupun mencari buah Jambu dan Jengkol.
Didalam
hutan Qohar dan teman-teman berlari-larian, bermain petak umpet dan
bersenandung Ria.
Gundul-gundul
pacul-cul gembelengan.
Wakul ngglempang3 segane
dadi sak ratan
Wakul
ngglempang segane dadi sak ratan.
Seorang anak berkepala pelontos berjalan
dengan sempoyongan.
Membawa wakul dengan tidak ada keseimbangan.
Wakul tumpah nasinya berceceran di sepanjang jalan.4
Udara
di dalam memang lebih dingin. Qohar memandang langit-langit hutan yang
senantiasa menghadang ribuan percikan sinar mentari. Setidaknya Qohar bisa
mengingat kembali sepenuhnya kata-kata Mbok Nah beberapa hari yang lalu,
mestinya semuanya benar. Lepas dari kenyataan bahwa di dalam hutan itu suasana
di siang hari tak ubahnya seperti suasana pada malam hari, terasa mencekam
apabila tanpa terdengar suara ayam-ayam hutan berkokok serta burung-burung
berkicau dan jerit lirih binatang-binatang kecil lainnya. Tetapi kesan teduh,
angker dan sejenisnya tak terbayang sama sekali di benak anak-anak kecil itu.
Didalam hutan jati itu pula berjajar pohon-pohon besar lainnya, pohon mahoni,
kapuk randu dan beringin. Sementara itu persis di bawah pohon-pohon besar di
penuhi daun-daun kering yang menebal dan akan terus bertambah sampai tiba
masanya musim penghujan. Lalu lambat laun dedaunan kering itu menjadi humus,
membaur kedalam tanah. Meski panas terik matahari begitu panas, tidak seberkas
sinar pun yang berhasil menerobos diantara lebatnya dedaunan. Dengan hembusan
angin yang sepoi-sepoi menjadikannya betah berlama-lama bermain didalamnya.
Lama-lama
rasa bosan kian merasuk diantara teman-teman Qohar, apalagi Amar yang berbadan gendut
dan mempunyai kebiasaan ngorok semenjak kecil itu sudah mengajukan beberapa
syarat. Pada syarat-syarat tertentu yang diajukan secara khusus ia bahkan akan
memboikot permainan petak umpet apabila batas
waktu yang ditentukan tidak juga dipatuhi. Ada satu hal yang unik dari
obesitas yang mendera Amar yang sewaktu masih kecil sangat kurus itu. Suatu
hari Amar yang kurus kering itu pulang dari mengaji Alqur’an di musholla,
karena di dera rasa haus dengan serampangan ia meminum sebungkus cairan
berwarna kuning di atas meja yang di sangkanya teh manis. Rupanya sebungkus
cairan berwarna kuning itu adalah minyak goreng seperempat liter yang
diminumnya sekaligus. Ibunya biasanya memang mendapatkan bungkusan teh manis
dalam plastik sehabis dari pengajian, baik itu pengajian senenan, selasanan,
maupun rebonan. Aneh memang, tetapi atas karunia Tuhan pelan-pelan Amar yang
kurus kering itu bobotnya bertambah dari hari ke hari.
Selesai
bermain petak umpet di dalam hutan mereka akhirnya pulang. Dalam perjalanan
pulang hampir saja Doni yang sebelah matanya berwarna putih dan tidak bisa
melihat itu menangkap suatu keanehan. Tiba-tiba saja banyak anak-anak ayam
hutan yang melintas didepan Doni tetapi urung ditangkap karena anak-anak ayam
hutan tersebut lari kedalam seMak-seMak berduri. Anehnya anak-anak ayam itu
melintas dijalur setapak yang di laluinya tanpa diketahui dua orang rekannya,
hanya Doni yang tahu. Sungguh sesuatu hal yang ganjil, seperti menyeruak sesuatu
yang berbau aura mistis tetapi Doni sengaja merahasiakannya karena dirinya ketakutan,
ia berMaksud menceritakan kejadian aneh itu setelah sampai di rumah. Kali ini mereka
bertiga melewati perkebunan singkong yang luas, tidak seperti biasanya melalui
jalur setapak Qohar kemudian memotong jalan mengambil jalan pintas menuju
kampung, sengaja pulang tanpa mampir ke sawah terlebih dahulu untuk menemui
neneknya memohon diri pamit pulang.
Lama
tidak kunjung kembali Neneknya mulai waswas. Pikiranya mulai dihinggapi
perasaan khawatir. Ia menduga mungkin telah terjadi apa-apa pada cucunya.
Apalagi setahun yang lalu masih teringat segar dalam ingatannya, Kang Aryo
tetangganya yang hilang sewaktu mencari kayu di dalam hutan jati itu. Hanya
sepikul kayu waktu itu yang didapatinya, beberapa hari kemudian baru di temukan
jasadnya tanpa kepala. Jasad kang Aryo yang tanpa kepala itu ditemukan tepat di
atas tumpukan ranting-ranting kayu jati yang mirip sebuah sarang burung raksasa.
Maka tak heran meski tak ada yang menakut-nakuti, rasa khawatir dan takut
kehilangan cucu semata wayangnya terus bergelayut dan terus menerus
membayanginya.
“Rasanya aku belum siap melepas cucuku.
Aku harus tahu keadaannya sebelum semuanya menjadi bubur.” Pikir Mbok Nah dalam
hati.
Di
laluinya setapak demi setapak menuju hutan jati dengan agak tergesa-gesa.
Sesampainya di hutan, kekhawatiran Mbok Nah seMakin bertambah. Di dalam hutan
itu tak di jumpai sama sekali seorangpun, meski telah mengitari berulang kali,
tidak ada satupun jalan setapak yang luput dari penelusuran Mbok Nah. Rasa
lelah dan letih tiada lagi terasa, sementara kedua bola matanya tetap
memperhatikan sekitar hutan jati tanpa jemu, dari kedua bibirnya yang telah
mengerut tidak henti-hentinya mengadu dan mengucap asma Allah.
Yaa
Allah Gusti..Dimana engkau sembunyikan cucuku Ya..Rabb. Astaghfirullaahal
adziim. Ampunilah dosa-dosa hambamu ini Gusti. Hanya kepadamulah ku memohon
ampun.
Siang
itu kegalauan hatinya di tumpahkan. Ia berjanji untuk selalu ta’at dan
senantiasa menjauhi larangan-larangannya.
Ya
Allah Yaa Rabbi, jika engkau kembalikan cucuku akan ku tambah ketaatanku padamu
Ya Allah. Menaati perintahmu dan menjauhi laranganmu. Ya Allah. Bukakanlah pintu
maaf bagi hambamu yang nista ini Yaa Allah.
Usai
mengadu kepada Tuhan Mbok Nah seperti mendapat ketenangan. Dalam hatinya
meyakini jika Qohar mungkin telah pulang terlebih dahulu bersama
teman-temannya. Dengan berat hati ia langkahkan kakinya pulang kembali menuju
sawah tempatnya menyiangi rumput sembari menanti kepulangan cucunya. Siapa tahu
Qohar mencarinya, begitu pikirnya dalam hati. Begitu melangkahkan kaki beberapa
langkah, Mbok Nah seperti melihat seorang kakek berjubah putih tak jauh dari
tempatnya berdiri. Awalnya bulu kuduk Mbok Nah merinding begitu melihat seorang
kakek berjubah putih tanpa memperlihatkan muka, hanya terlihat jubah dan
punggungnya. Namun setelah terlihat menoleh dan menyiratkan senyum rasa takut
itu mencair menjadi suasana yang penuh kehangatan. Tanpa sepatah kata terlebih
dahulu Kakek berjubah putih itu lalu memberi petuah
“pulanglah!”.
Dalam
hati Mbok Nah ingin mengutarakan sesuatu hal, sementara mulutnya seolah
terkunci rapat-rapat, terasa berat untuk melafadzkan sebuah kata-kata. Akhirnya
Mbok Nah pulang dengan memendam beribu tanda tanya. Seakan ia tidak percaya
dengan peristiwa itu, baginya ia seperti berada dalam kisaran dunia mimpi.
Padahal logikanya ia tidak perlu takut meski hanya menanyakan sesuatu.
Dirumah
Mbok Nah mendapati Qohar telah menenteng sepiring nasi lengkap dengan lauk
beserta lalapan di dalam kamarnya. Dengan nada menggerutu Mbok Nah ngomel dari
kamarnya sembari melepas satu per satu bajunya. Hendak mandi untuk sekedar
melepas panas dan gerah.
“Masih
ingat nasi!”.
“Tidak!
saya ingat piring.” Jawabnya serampangan.
“Kenapa
tidak sekalian kamu Makan saja piringnya biar kenyang.” Timpal Mbok Nah seperti
menantang Qohar sambil menahan senyum.
“Iya.
Nanti.” Ucapnya enteng sambil cengar-cengir.
“Awas
kalau tidak dihabiskan!” Ancam Mbok Nah sambil mengambil ember sekalian hendak
mencuci pakaian.
Sehabis
mandi dan mencuci pakaian, Mbok Nah memanggil Qohar dengan nada tinggi.
“Qohar!
sini kamu!”
Diambilnya
sapu lalu dipukulkan ke tubuh Qohar dengan keras. Sebagai sebuah bentuk hukuman
demi kedisiplinan dan kemandirian karena sehabis Makan tidak mencuci piringnya.
“Kenapa
piringnya tidak kamu cuci?”
“Lupa
Mak!”
“Apa?
Ucapkan sekali lagi!”
Mbok
Nah kali ini lebih tegas dari biasanya karena itu adalah sebentuk metamorfosa
dari sebuah rasa sayang yang tulus darinya. Seandainya rasa sayang yang tulus
itu telah lenyap dari dirinya Maka cucu semata wayangnya akan dibiarkan begitu
saja menjadi anak manusia liar yang hidup tanpa aturan. Sementara qohar hanya
terdiam membisu, tak terucap sepatah katapun dari mulutnya lalu tak lama
kemudian ia melafadzkan beberapa patah kata.
“Maknyak!
Aku pergi.” Ucapnya datar.
“Kemana?”
“Main..
“
“Ingat!
kalau main jangan nakal jangan suka ngerjain teman dan jangan lupa ingat
waktu.” Begitulah pesan itu
sering terucap dari bibir perempuan tua berambut perak itu setiap kali Qohar
akan main ke rumah teman atau disaat-saat akan pergi tanpa dampingan
darinya. Tanpa sepengetahuan Mbok Nah Qohar main ke rumah Toni, kedua orang
tuanya serta adiknya pergi kondangan ke rumah teman sejawat di luar desa menghadiri
acara perkawinan kang Badrun yang terbilang masih kerabat dekatnya, sebuah
kebetulan. Sementara Toni tidak di ajak serta supaya jaga rumah. Jarak rumah
Toni dengan rumah Qohar tidaklah jauh, hanya di batasi tiga bangunan rumah dan
beberapa petak kebun pekarangan. Kepada Toni Qohar menuturkan jika dirinya telah
mendapat ijin dari Mbok Nah dengan tujuan supaya di ijinkan untuk tinggal dan
menginap semalam. Bak di sodori uang, Toni tak bisa menolak karena dirinyapun
memang kesepian dan kebetulan tanpa di komando teman itu hadir dengan
sendirinya dengan menawarkan diri.
Sore itu Qohar melakukan aksi nekat,
ia tak memberitahukan perihal keberadaannya. Ia pikir Mbok Nah sudah tidak lagi
mencarinya karena baru saja di marahi. Sebenarnya di dalam hati Qohar
berkecamuk antara bilang mengenai keberadaannya atau tidak sama sekali. Ia
seperti kesulitan membohongi diri sendiri, hati kecilnya yang masih bening
sebening embun di pagi hari itu terus bergejolak, mendesak agar berterus terang
dan jujur perihal di mana keberadaannya sekarang agar tak membuat neneknya
gusar dan gundah di liputi tanda tanya. Tapi benih-benih nafsu agaknya terus
membiak, menyatu dan menguasai akal beserta hati nuraninya. Rasa khawatir
lambat laun kian tergerus dengan sendirinya karena terobati dengan kehangatan
bercengkrama, guyonan diantara keduanya.
Kekhawatiran rupanya tak hanya berpihak
pada Qohar semata, begitu pula pada diri Mbok Nah. Tidak biasanya di waktu
menjelang maghrib Qohar masih di luar rumah. Biasanya di waktu-waktu seperti
itu Qohar sudah mandi dan terlihat rapi. Menunggu saat-saat adzan maghrib.
Menjalankan sholat lalu pergi mengaji ke musholla, tapi sore itu tidak.
Setiap kali selesai waktu isya’
sejauh apapun dan di waktu kapanpun Mbok Nah selalu dengan setia dan sabar
menunggui, menjemput, dan terkadang pula menggendongnya pulang. Walau Mbok Nah
telah ringkih tapi tidak menyurutkan
semangatnya untuk tetap setia menjemput Qohar dari acara mengaji Alqur'an.
Karena hanya Qohar satu-satunya pengganti suami dan anak-anaknya untuk tempat
berbagi dan bercengkerama.
Menjelang petang Mbok Nah duduk di
teras depan dengan tatapan mata kosong, hatinya bergejolak dan bertanya-tanya
lalu mencoba mengingat perkataannya tempo hari. Mungkinkah perkataannya sanggup
membuat hati Qohar yang masih bening sebening embun di pagi hari itu
terluka?
Kembali Mbok Nah merenungi nasib dan
perjalanan hidup cucu satu-satunya itu. Sejak kecil tumbuh dan berkembang tanpa
asuhan kedua orang tua, hanya dirinya satu-satunya orang yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya dengan
berbagai keluh kesah yang ada. Walau bagaimanapun belaian kasih sayang darinya
akan tetap di harapkan. Mbok Nah yang seorang diri berusaha menyadari
kekurangannya, tetap setia mencurahkan segenap kasih sayangnya.
Adzan maghrib telah berkumandang
kekhawatiran Mbok Nah akan keberadaan Qohar seMakin merapat di benaknya.
Perasaan takut mulai menghinggapi pikirannya, menunggu dan terus menunggu
hingga gerah, lalu kemudian mencoba berikhtiar menanyai para tetangga satu
persatu tetapi hasilnya nihil, dari keterangan para tetangga tidak juga ia
dapati jawaban pasti mengenai keberadaan dan keadaannya.
“Nyari
siapa Mbok ?” Tanya kartinah, tetangga sebelah yang hendak pergi ke Surau untuk
menunaikan Ibadah sholat
maghrib.
“Nyari
cucuku gini hari kok belum juga pulang. Apa Mbok Karti tau di mana cucuku?”
“Aku
tidak tahu Mbok. Aku baru saja pulang dari rumah mertua.” Jawab Mbok
Karti.
“Kalau
lihat Qohar tolong suruh pulang ya Karti?” Pinta Mbok Nah memelas.
“Ya
Mbok!”
“Kok
maghrib-maghrib baru nyari Mbok? tidak tadi sore.” Sergah Mbok Mini yang juga
hendak ke Surau bersama Kartinah, seakan ia ingin menyalahkan Mbok Nah.
“Saya
kira ya akan pulang seperti biasanya, tapi setelah ku tunggu sampai maghrib kok
masih juga belum pulang, bikin pegal hatiku saja.” Kata Mbok Nah menggerutu
sambil ngeloyor pergi meninggalkan dua orang tadi.
Dengan tergopoh-gopoh Mbok Nah lalu
pergi ke rumah pak RT meminta pertolongan. Belum kelar ke rumah pak RT hujan
sudah mulai turun setelah sebelumnya langit mendung memayungi seluruh
perkampungan. Mbok Nah malam itu mengakhiri pencarian karena sepertinya hujan
akan turun lebat dengan ditandai datangnya angin kencang dan suara gemuruh gledek di sertai petir yang terus
menyambar.
Dengan wajah lesu Mbok Nah pulang
diliputi kekecewaan. Rasa dongkol, khawatir, cemas bercampur menjadi satu
seperti bubur ayam. Malam itu Mbok Nah mengambil air wudlu lalu melaksanakan sholat-sholat sunnah. Duduk
bersimpuh mohon ampun kepada Allah. Selesai mengadu kepada Allah terpikir
olehnya jujugan saudaranya satu persatu. Ipar, sepupu, sampai kemenakan.
Kalau tak ada aral melintang besok
pagi ia akan menyambangi saudara-saudaranya, pikirnya siapa tahu Qohar menginap
di rumah salah satu saudara terdekatnya. Sehabis mengadu kepada Rabbnya Mbok
Nah lalu ke dapur untuk Makan malam. Malam itu sesuap nasipun tak bisa
tertelan, pikirannya terus teringat cucu satu-satunya. Tidak ada nafsu Makan, tidak
ada gairah hidup, tidak ada keceriaan dan tidak ada cerita-ceritaan di malam
itu.
Di tengah malam kedua orang tua
Toni pulang dari kondangan. Tiga kali mengucap salam Toni baru terbangun, karena
tertidur pulas sehabis guyonan semalaman dengan Qohar. Sebenarnya Qohar sewaktu
ayahnya toni mengucapkan salam yang pertama telah terdengar karena terkadang biasanya di tengah malam ia
di bangunkan neneknya untuk sekedar di ajak sholat tahajjud tetapi malam itu Qohar
tak berani membuka pintu, ia menunggu sambil mencubiti kaki Toni agar
secepatnya terbangun. Toni lalu terbangun dan membukakan pintu.
“Kok
lama sekali?” Tanya ayahnya pada Toni.
“Cari
gemboknya dulu.” Jawabnya beralasan.
“Lho
Qohar kok di sini. Apa tidak di cari Mbok Nah nantinya?” Tanya ibunya pada Qohar begitu pintu terbuka.
“Tidak
kok budhe.” Jawab Qohar membela diri.
“Yo
wis. Ini berkat1nya di Makan!” Di dalam
ada bolunya sama pisang. perintahnya pada Toni dan Qohar.
Selesai
Makan Qohar memohon diri.
“Saya
pulang dulu ya Pakdhe?” Pintanya dengan
polos.
“Jangan!
sudah tengah malam, tidur di sini saja sama Toni, nanti pagi saja pulangnya, di
luar masih gerimis.” Ayah Toni melarangnya pulang. Rencana pulang pun urung di
lakukannya. Malam itu Qohar tidur di rumah Toni.
Di saat shubuh menjelang mulai terdengar
suara kokok ayam bersaut-sautan dari rumah ke rumah seperti terdengar irama
yang indah. Menjadi suatu pertanda akan datangnya fajar. Mengulang siklus. Matahari kembali
mempercikkan sinar merahnya di ufuk timur, awan Menumpuk membentuk sebuah
formasi dan memperlihatkan keindahannya lalu menjelma menjadi awan putih dan
terciptalah pagi. Alam yang senantiasa memamerkan sayap-sayap keagungan Tuhan.
Begitu bangun tidur Qohar segera pamit pulang tanpa mencuci muka terlebih
dahulu.
Di pagi buta Mbok Nah telah memulai
menata buah pisang yang akan di bawa sebagai buah tangan untuk saudaranya, kang
Imran. Sambil sekalian di mintai tolong agar di caritahukan keberadaan Qohar.
Belum kelar menata pisang terdengar suara ketukan pintu. Lalu tak lama kemudian
di iringi salam.
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikum
salam..”
Di
bukanya pintu dengan perlahan dan ketika pintu telah terbuka ia terkejut bukan
main, perasaan Mbok Nah waktu itu sulit untuk di gambarkan, campur aduk menjadi
satu. kaget, Senang, marah ,geram, sebel menjadi satu.
“Kamu
too..! tak kira siapa, dari mana saja kamu? Masih ingat rumah segala! Kamu kira
Maknyak tidak mencarimu, jangan sampai diulangi lagi ?” Kata-kata Mbok Nah
nerocos begitu saja.
Tanpa sepatah kata Qohar berjalan
pelan menuju kamarnya. Memperhatikan kura-kuranya yang terlihat lesu.
Seakan-akan memahami apa yang telah terjadi pada dirinya. Sambil terus
mengomeli Qohar Mbok Nah mengikutinya dari belakang seraya memerintah Qohar
seolah-olah sebagai sebuah ganjaran baginya.
“Dari
tadi sore Maknyak tidak ngeliwet2 gara-gara memikirkanmu.
Sekarang kamu kupas rebungnya juga
sekalian kangkungnya di potong-potong! Maknyak mau belanja dulu ke warung
membeli keperluan dapur.”
Sambil berbelanja Mbok Nah mampir
kerumah tetangga. Sekedar memberitahukan perihal cucunya yang baru saja pulang.
Pagi itu hatinya lega karena orang yang telah di carinya telah kembali.
Beberapa hari kemudian Pak Amin
bersama A kwan Asisten pribadi Pak Yusuf Chen Lau serta Supardi sopir
pribadinya datang memenuhi janjinya, menyambangi rumah Mbok Nah untuk melunasi
pembayaran tanah kavling sekaligus akan mengurus kepemilikan tanah dan
surat-surat perijinan lainnya ke Kelurahan. Pagi itu di rumah Mbok Nah telah
berkumpul dua orang, bu Marni dan Ambar putri sulung pak sarwo. Pak sarwo
berhalangan hadir karena pergi mengantar bu Sarwo ke puskesmas. Kebetulan pagi
itu Bu Lela sedang main di rumah Mbok Nah sehingga menambah kehangatan suasana.
Seperti biasa apabila si biang gosip itu sedang tidak ada kerjaan kerapkali
yang dilakukan adalah pergi kerumah tetangga lalu membicarakan keborokan orang
yang sedang menjadi buah bibir. Mengurai benang kusut mulai dari A sampai Z.
Biasanya si biang gosip itu kalau sudah keenakan ngerumpi bisa sampai
berjam-jam. Itulah kebiasaan orang kampung, yang konon baru bisa di sebut
sebagai orang kampung tulen apabila bisa ngerumpi hingga berjam-jam. Wajar
mengingat orang-orang kampung pada umumnya hanya mengenal dua musim, musim
tanam dan musim panen. Di perlukan waktu beberapa bulan untuk mengulang siklus
musiman itu. Pak Amin dan A Kwan datang dengan mengendarai mobil mercy. Pak
Amin yang berperawakan sedang, berambut lurus membawa beberapa berkas.
Gerak-geriknya mantap serupa dengan model papan atas sekalipun. Disampingnya A
Kwan yang tambun berkepala botak dan berkaca mata hitam menenteng sebuah
laptop, wajahnya menyiratkan keseriusan tingkat tinggi. Mungkin karena saking
seriusnya yang totally itu ia seperti kehabisan otak untuk berfikir sehingga
menjadi botak. Dua orang itu masuk ke
rumah Mbok Nah. Merekapun berembug.
Keuangan
Yang Maha Kuasa
Cari-cari
uang
Pikir-pikir
uang
Sana-sini
uang
Ini
jaman uang
Selalu
menjadi rebutan
Selalu
menjadi pikiran
Tapi
jangan karena uang
Menghalalkan
segala cara
Walau
zaman sekarang semuanya uang
Jatuh
cinta bisa karena uang
Yang
pendek tampak jangkung
Yang
pesek jadi mancung
Itu
semua karena uang
Jangan
heran kalau ada pasangan
Yang
satu dua lima
Satunya
lima dua
Bisa
jadi karena uang
Mina
jadi mince
Yanto
jadi yanti
Juga
karena uang.1
Kesepakatan hitam di atas putih
diantara ketiga belah pihak telah di buat, semua berkas surat-surat penting dan
kartu pajak telah terkumpul. Tinggal mengurus kepemilikan tanah dan surat-surat
perijinan lainnya ke kelurahan.
"Bagaimana
proses selanjutnya? Apa sudah bisa di bukukan?" Tanya Pak Amin sambil
tangan kanannya menyingkap lengan bajunya lalu memelototi jam tangan di
pergelangan tangan kirinya sembari mengerutkan dahi, seperti para pebisnis
lainnnya yang sangat menghormati arti sebuah waktu.
"Biasanya
kalau berkas-berkas sudah lengkap lalu dilakukan serah terima dahulu di
kelurahan atau dirumah Pak Lurah, baru kemudian di bukukan. Atau bisa juga di
rumah Pak Carik" kata Bu Marni menjelaskan.
"Sutiyem
kemarin sore ngomong, katanya sekarang ada peraturan baru, serah terima harus
di rumah Pak Carik sekaligus nanti langsung bisa di bukukan. Oh ya sekalian
bawa saksi-saksi" Sahut Ambar memotong pembicaraan antara pak Amin dan bu
Marni.
"Berapa
kira-kira saksi yang di perlukan?"
Tanya Pak Amin.
"Tidak
banyak Pak, biasanya ya dari pihak pembeli dua orang dan pihak penjual juga dua
orang itu saja sudah cukup." Sahut Bu Lela menambahkan.
"Ya
sudah! kalau begitu kita bisa ke rumah Pak Carik sekarang?" Pungkas pak
Amin
"Ya
Pak, biar semua cepat kelar". Ucap Bu Marni sambil mengangguk setuju.
“Aku
ikut apa tidak?" Tanya Mbok Nah sembari membawa beberapa tandan pisang
rebus dari dapur, lalu menyuguhkannya di atas meja.
"Yo
ikut too, nanti jadi saksinya sama saya" Gerutu Bu lela.
“Lha
Cucuku bagaimana? Ujar Mbok Nah seakan ingin mengikut sertakan cucunya dalam
rombongan itu.
"Lha
wong biasane yo ditinggal ke pematang kok". Sahut Bu Lela cepat dan keras.
"Ikut
juga tak apa tak ada yang melarang kok!" Ujar Ambar cuek.
Mereka semua berangkat kerumah Pak
Carik dengan mengendarai mobil mercy yang di kemudikan Pak Supardi. Di dalam
mobil meski jalanan terjal dan berliku mereka tak bisa menyembunyikan
kegembiraannya karena seumur-umur mereka belum pernah menaiki mobil semewah
itu. Toh kalaupun pernah sepuluh tahun sekali belum tentu kenangan manis itu
terulang sehingga wajar jika Mbok Nah tak tega melihat Qohar sendirian di rumah
sementara dirinya pergi menikmati ladzatnya dunia dengan menaiki mobil mercy.
"Kalo
kayak gini setiap hari yo enak to?"
Ucap Bu Lela memecah keheningan.
“Ikut
Pak Amin saja biar nanti bisa naik mobil setiap hari" Ujar Ambar.
"Trus
mangan opo kalo ndak kerjo, mosok ngintil wae?" Potong Mbok Nah. Sementara
pak Amin, pak A kwan dan pak Supardi hanya bisa cengar-cengir menyaksikan ulah
dan celoteh para ibu-ibu itu meski tak memahami betul bahasa dan Maksudnya.
"Yo
mangan kacane tah mangan joke wae" Ucap Bu Marni yang sejak tadi cuek
saja.
"Ngawur!"
Timpal Bu Lela.
"Walah
sampeyan iku lho kelihatan ndeso" Ejek Ambar pada Bu Lela.
"Pancen
aku wong ndeso, apa kamu kelihatan orang kota?" Jawab Bu Lela membela diri
sembari berseloroh.
"Aku
sih bukan orang kota, tapi walaupun bukan orang kota tapi aku kan
kotangan" Ambar membela diri.
"kotangan
kok di bilangin ke orang-orang, dassar ndesoooo." Ejek Bu Lela pada Ambar,
tidak mau kalah.
"Lha
kamu malah katro pake sendal kok kebalik.” Kata Ambar berkelit, sambil menunjuk
ke arah sandal yang di pakai Bu lela.
"Yo
wis ben." Balasnya cuek.
"Pancen
nyaman yo naik mobil alus, adem lagi". kata Mbok Nah kepada Bu Lela
memecah kebekuan.
"Memang
nyaman." Sahut Bu Lela.
"Bukan
nyaman tapi nyuaman!" Ujar Ambar
dengan mantap.
Tanpa terasa Mbok Nah dan rombongan
sampai di rumah Pak Carik. Mobil mercynya hanya boleh diparkir di pintu
gerbang. Oleh tukang kebun tidak di ijinkan kendaraan roda empat masuk ke dalam
karena masih dalam tahap pengerjaan paving block. Di dalam gerbang ada empat
orang pekerja yang tengah mengerjakan pemasangan paving, dua orang tukang dan
dua orang kenek. Halaman rumahnya yang begitu luas dipenuhi dengan kandang dan
kerangkeng berjeruji besi, berisi burung-burung langka dan binatang-binatang
aneh. Sekawanan kera yang menghuni kerangkeng besi tampak kepanasan.
Burung-burung dan hewan langka lainnya terlihat mondar-mandir seperti tengah
kelaparan. Sekumpulan tupai bersama kancil dijadikan satu kandang berukuran dua
kali dua meter, sekumpulan tupai-tupai dan kancil itu tampak sayu berkerumun di
bawah tumpukan rumput kering dan kulit pisang, beberapa anakannya tampak
mondar-mandir seperti ingin berontak. Sang pemilik Sepertinya tidak menyadari
jika hakikatnya kedua jenis binatang itu dari spesies yang berbeda.
Beberapa ekor penyu spesies langka
dan biawak tampak bolak-balik nyemplung ke dasar air yang dangkal. Tak ada
langit-langit sejengkalpun yang menaunginya. Di halaman yang sangat luas untuk
ukuran taman pada umumnya itu hanya di isi dua buah pohon cemara berukuran
sedang. Dua tanaman itu seperti meranggas karena kekurangan nutrisi atau
mungkin unsur haranya telah berkurang. Ketika menyaksikan mahluk-mahluk Tuhan
yang tidak berakal itu dalam mengisi kehidupannya hanya menyisakan rasa
trenyuh, binatang-binatang itu merana diantara nafsu keserakahan dan kepongahan
manusia, sebuah dilema yang memprihatinkan.
"Silahkan
masuk!". Sapa seorang wanita tua yang juga hendak masuk kerumah sambil
menenteng sekeranjang barang belanja.
Begitu memasuki rumah pak Carik mereka
tertahan di teras depan, menunggu tuan rumah mempersilahkan masuk terlebih
dahulu, tak lama kemudian muncul dari balik pintu seorang perempuan muda yang
tengah mengandung. Seperti yang di ketahui dari kabar yang beredar di
masyarakat pak Carik telah menghamili seorang janda muda beranak satu,
sementara Pak Carik sendiri telah berkeluarga dan telah dikaruniai tiga orang anak. Perempuan asing yang tengah
mengandung itu menjadi sebuah misteri tersendiri dengan statusnya yang masih
belum jelas. Menambah pekerjaan orang-orang kampung untuk terus bergunjing
serta menempatkan objeknya sebagai artis ndeso.
"Eeee
ada tamu, monggo silahkan masuk." Ucap perempuan muda yang tengah hamil
itu berbasa-basi.
"Ada
perlu sama Pak Carik?". Sambungnya kemudian.
"Ya
neng". Jawab Bu Lela.
"
Bapak masih di kebun, tadi pagi bawa bibit mahoni yang dari kelurahan kemarin. Mungkin
Bapak sebentar lagi datang. Saya istri barunya tidak tau apa-apa hanya disuruh
jaga rumah". Akunya dengan memberi sedikit gambaran. Sebuah pengakuan yang
mampu sejukkan keadaan, mengunci rapat-rapat sebuah tanda tanya yang terkadang
mengusik sebuah ketenangan serta menyapih akan fitnah dan memutus tali
prasangka.
Hanya beberapa menit kemudian keluar
hidangan senampan teh hangat dan beberapa cemilan dalam toples. Pak Carik belum
pulang, ada lagi seorang tamu perempuan tengah baya, tukang jahit pesanan.
Menenteng dua buah pakaian, mencari Bu Carik.
"Bu
Cariknya ada? " Tanyanya pada perempuan yang tengah hamil itu.
"Lagi
pergi ke rumah saudara perempuannya, katanya lagi ada acara mitoni.”ujarnya
menjelaskan.
"Ya
sudah, ini tolong nanti berikan sama Bu Carik terus bilang. Uangnya sudah pas,
itu saja.” Pinta tukang jahit pesanan itu sambil menyodorkan dua bungkus
pakaian yang dikemas dalam plastik.
“Aku
pamit dulu.."
"Ya,
teriMakasih!"
"sama-sama."
Tak seberapa lama Pak Carik pulang
dengan mengendarai colt bersama seorang anak laki-laki.
"Walah
ada tamu rupanya, tunggu sebentar ya?" Pintanya sambil bersalaman.
"
Aku mau salin pakaian dulu, habis nganter bibit mahoni masih belepotan.
Silahkan di minum dulu tehnya."
Pak carik masuk ke dalam rumah sebentar
lalu kemudian keluar menemui para tamu. Belum sempat Mbok Nah mengutarakan Maksud
kedatangan rombongannya. Datang lagi dua orang, sepasang suami istri. Tanpa
basa-basi terlebih dahulu mereka mempertanyakan kejelasan status tanah mereka
yang baru di belinya setahun yang lalu. Hingga kini belum juga di bukukan, sementara
kartu pajaknya masih mengatas naMakan pihak penjual. Dengan santai Pak Carik
mampu meredam keadaan, di suruhnya tamu itu menunggu proses dua bulan lagi
karena dua bulan lagi akan ada pengukuran massal dan pembukuan tanah. Pak Carik
lalu menawarkan dua pilihan. Pertama menunggu dua bulan dengan biaya standar
atau yang kedua dalam minggu ini tetapi dengan biaya yang lumayan tinggi karena
diluar ketentuan, alasannya uang tambahan itu untuk biaya warawiri ke kecamatan
lalu ke kabupaten.
Karena tak ingin terlalu lama menunggu
tanpa suatu kepastian, dua orang semuhrim itu memilih pilihan yang kedua.
Memang, sepertinya tak ada manusia di dunia ini yang menginginkan suatu urusan
atau permasalahan yang tak berujung kecuali manusia yang bodoh. Permasalahan
berlarut-larut dalam dimensi waktu yang tak berkesudahan.
Dari pada harus menanti sesuatu yang
tidak pasti dan tak ingin menunggu
proses terlalu lama seperti yang sudah-sudah. Kepada Mbok Nah, Bu Marni,
dan Ambar Pak Amin mengutarakan
keinginannya, mengurus kepemilikan tanah dengan cara yang secepatnya, seperti
halnya dua orang itu meski dengan cara mengeluarkan biaya yang berlipat.
Mulanya Bu Marni menentang dan tidak menyetujui tatacara yang di tempuh pak
Amin, tetapi setelah di jelaskan ihwal keseluruhan pembiayaan di luar
perhitungan semula akan di tanggung pihak pembeli bukan dari kedua belah pihak Maka
kemudian Bu Marni menyetujuinya. Sementara Mbok Nah sebagai orang tua yang
kurang tau duduk perkaranya hanya bisa mengiyakan, meski hatinya ngedongkol,
ingin rasanya protes mempertanyakan tata cara yang terkesan di persulit, tetapi
apa boleh buat, orang kecil macam Mbok Nah tidak bisa berbuat apa-apa. Kepada
Bu Marni Pak Amin menyatakan berani membayar lebih jikalau memang prosesnya
bisa di percepat dan urusan cepat kelar.
Setelah urusan pak Carik dengan
suami istri itu selesai pak Amin kemudian langsung menemui pak Carik di ruang
tengah, entah apa yang di bicarakan, kedua orang itu hanya berbicara empat mata
dan langsung di capai sebuah kesepakatan. Keduanya lalu keluar ke ruang tamu dan
menandatangani sebuah kwitansi lengkap dengan sebuah materai, dan yang terakhir
pak Amin menandatangani akad jual beli bersama Bu Marni dan Ambar disaksikan
kedua belah pihak. Pak carik meminta kerelaan saksi dari kedua belah pihak
untuk memberikan tanda tangan atau cap jempol. Dari pihak penjual ada Bu Lela
dan Mbok Nah yang bertindak sebagai saksi sedangkan dari pihak pembeli pak A
kwan dan pak Supardi. Di luar perjanjian
tanpa sepengetahuan pihak penjual, pak Carik meminta uang tambahan kepada pak
Amin tanpa rasa canggung. Dengan enteng pak Amin menambahkan lagi segepok uang,
dan hasilnya kemudian di capai sebuah kesepakatan yang fantastis. Apabila
masyarakat desa biasa menunggu proses hingga dua tahun bahkan lebih. Pak Amin
di janjikan hanya butuh waktu selama dua minggu.
Selama berabad-abad bangsa Indonesia
pernah di jajah dan kini telah merdeka, walau hakikatnya hanya formalitas
belaka. Kemerdekaan itu bagi orang-orang pinggiran, kaum marjinal masih sebatas
hanya dalam kisaran dunia mimpi. Bangsa ini tak akan lekang oleh penjajahan,
penjajahan oleh sebangsanya sendiri. Para penjajah merancang undang-undang yang
sekiranya bisa di langgar. Satu bentuk penjajahan yang mengusik ketenangan Mbok
Nah adalah adanya peraturan yang di kotak-kotakkan, Sengaja dibuat rumit oleh
pihak pemerintah Desa. Mengurus suatu permasalahan bisa dengan jalur cepat bagi
orang-orang berduit dan jalur lambat bagi orang-orang yang tidak mampu.
Prosedural di persulit, semua itu sebenarnya bisa di permudah, tetapi entah
kenapa semua urusan yang bernilai sepele itu di buat sulit dan sengaja disulapnya
menjadi mesin rupiah. Meski telah renta di Makan usia Mbok Nah tak habis
semangat juangnya untuk terus mengkritisi meski hanya di dalam bathin. Di
benaknya muncul benih-benih perjuangan untuk menguak ketidak adilan. Ghirah itu
seMakin berkobar di dadanya sementara ia tidak tahu harus bagaimana, ia
bertekad akan terus berusaha mencari jalan keluar meski itu jalan konyol sekalipun.
Di benaknya bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya seMakin bertambah
heran, mengapa orang-orang yang mengaku mendedikasikan dirinya sebagai pelayan,
pelindung dan pengayom masyarakat Desa justru bermain topeng dan mempermainkan
jati dirinya? Untuk apa semua itu? Tak bisakah mereka hargai jasa orang-orang
terdahulu di dalam merebut kemerdekaan. Mereka relakan jasadnya menjadi korban
keganasan perang, membayar mahal dengan bentangan ratusan mayat, terpaksa harus
merelakan ceceran darah di sepanjang jalan sebagai tumbal kemerdekaan. Kemerdekan
adalah keinginan untuk bersatu dalam membangun sebuah peradaban menuju
kemajuan. Dalam kemelut galau Mbok Nah pergi ke rumah Mbok Karmini adik dari
suaminya. Ia mencari keponakannya, Mansur. Setahun lalu Mansur telah
merampungkan studynya. Anak bungsu dari Mbok Karmini itu kini melanjutkan
sekolahnya di sebuah perguruan tinggi dengan beasiswa penuh dari pemerintah.
"Mini....?"
Panggilnya dengan suara keibuan.
"Ya
Mbakyu. Ada apa?" Tanya Mbok karmini sambil membawa pakaian satu ember
penuh ke sungai untuk keperluan mencuci pakaian.
"Nyari
Mansur!" Jawab Mbok Nah. "Dimana dia sekarang?" Sambungnya
"Lagi
ngirim Pakne ke sawah."
"Nanti
suruh ke rumahku ya?" pesannya
"Ada
apa?" Tanya Mbok Karmini setengah penasaran.
"Ada
kejutan dan Makan enak." Ujarnya sambil guyon.
"Tenane?
yo wis nanti tak suruh ke rumahmu." Timpal Mbok Karmini dengan gurauan.
Tak lama kemudian, Mansur datang
menyambangi rumah Mbok Nah. Di teras hanya ada Qohar yang tengah asyik bermain
dengan kura-kuranya di sebuah balok kayu.
"Qohar!
simbahmu di mana?"
"Di
dapur, lagi masak." Tanpa di perintah,
kemudian Qohar segera berlari menuju dapur.
"Mak!
ada paklek Mansur!"
"Ya,
suruh masuk. Aku cuci tangan dulu."
"Di
kesempatan yang sempit di saat Qohar pergi ke dapur. Mansur dengan cekatan
mengerjainya, secepat para pesulap profesional. Di ambilnya kura-kura mungil
itu dan di masukkan ke dalam kantong celananya.
"Masuk
paklek!" Lalu Qohar kembali ke teras. Kaget. Kura-kuranya tak ada di dalam
ember di samping sebuah balok kayu. Di longoknya setiap sudut kayu bakar di
samping rumah, di samping kursi, tak juga di dapatinya. Wajah Qohar terlihat seMakin
memerah tak dapat di sembunyikan lagi. Ia seMakin bingung harus mencari kemana,
segala arah dan tempat telah di perhatikan dengan seksama, namun tak juga di
temukan kura-kura kesayangannya.
Kura-kuraku
kemana? pikirnya dalam hati. Lalu menanyakan pada pakleknya.
"Paklek
tau dimana kura-kuraku ?" Tanyanya berselidik.
"Kau
tanya Aku, Aku tanya siapa?" Timpal Mansur balik bertanya.
"Maknyak,
kura-kuraku hilang, tolong carikan Mak." Teriak Qohar meminta tolong
neneknya dengan suara parau lalu ke dapur menyimpan balok kayu.
Mbok Nah keluar rumah dan seketika
itu juga tanpa sepengetahuan Qohar, Mansur memperlihatkan kura-kura dan
memberikannya pada Mbok Nah. Kemudian dengan santainya Mbok Nah menyuruh Qohar
mengambilkan sesuatu.
"Paklek
ambilkan pisang dulu di dapur sama kolak nangkanya, biar kura-kuranya Maknyak
yang cari." Hiburnya dengan santai.
Dengan cekatan Qohar mengambilkan
suguhan buat Paklek Mansur, lalu segera menghampiri Mbok Nah yang telah
terlebih dulu bermain dengan kura-kuranya di atas dipan di teras depan.
"Lho
kok bisa ketemu Mak?" Tanyanya dengan nada heran.
"Masa
tidak bisa!" Ujarnya.
“Tidak
munkin!”.
“Nyatanya
mungkin.”
"Tadi
ku cari-cari tidak ada." Kilahnya.
"Lha
wong kenyataannya ada! di bilangin kok ngeyel. Sudah! sana main lagi, Aku mau
belajar sama Paklekmu jangan di ganggu!" Suruhnya dengan nada gurauan.
Mbok
Nah ke ruang tamu menemui keponakannya, menyodorkan dua buah lembaran kertas
dan ballpoint pada Mansur. Ia perintahkan Mansur untuk menulis dan Mbok Nah
sendiri yang mendikte.
"Untuk
apa Budhe?"
"Di
gawe pepeleng1!"
"Pepeleng
nopo?"
"Poko'e
ono gunane."
Jawaban itu seperti mematikan
sebuah pertanyaan, dari kata-katanya yang terakhir sudah bisa ditebak seakan
tak ingin di ketahui perihal Maksud dan tujuan dirinya menyuruh menuliskannya
meski itu oleh sekretarisnya sendiri, Mansur. Mansur tak lagi melontarkan
pertanyaan.
Mbok
Nah mulai mendikte.
Manungso
sing becik iku gampangan lan amrih nggampangake perkoro. Ora seneng gawe
mungkar lan olo. Wong sing gawe angele perkoro iku ora bedo karo njajah
sedulure dewe. Luwih tega tinimbang perilakune kewan sing buas. Manungso kang
ora ono bedo karo kewan. Opo ora kepikiran? mbiyen tanah iki di jajah
pirang-pirang tahun ngente'ake korban ora itungan. Wong tuo-tuo mbiyen berjuang
ngelawan penjajah, kanti tujuan kepingin urip merdeko lan mulyo. Saiki wes
merdeko, tapi malah sedulure tego jajah sedulure dewe. Urip koyo ora ono aturan.
Ilingo kabeh! kowe poro perangkat deso. Ora nganti sak abad nyawamu kumantil.
Kowe kabeh bakal mati mbaur karo lemah[7].
Tulisan itu selesai ditulis Mansur lalu
pulang tanpa di hujam rasa penasaran. Ia tidak memahami Maksud dan tujuan Mbok
Nah mendiktekan tulisan semacam itu. Sementara siang itu meski terik matahari
tepat di atas ubun-ubun. Tak menyurutkan niat Mbok Nah untuk pergi ke balai desa
sekedar menempelkan selembar kertas di papan pengumuman. Perjalanan yang di
tempuh dari rumah ke Bale Desa cukup jauh, berjarak sejauh enam kilo meter,
diperlukan waktu hingga dua jam perjalanan pulang pergi. Qohar siang itu tengah
asik bermain dengan kura-kura tak terlalu merisaukan kepergian neneknya, ia mengira
neneknya pergi ke sawah seperti biasanya. Sementara itu menjelang kepergiannya
ke balai desa ia menyaksikan di sudut pintu seekor laba-laba jantan sedang
berkorban nyawa dan jasad, merelakan tubuhnya di jadikan santapan laba-laba
betina. Sekujur tubuh laba-laba jantan di penuhi lilitan jaring yang keluar
dari air liur laba-laba betina lalu seakan-akan seluruh energi dan asupan gizi
yang terdapat pada jasad sang jantan di sedot habis. Hukum alam mengajarkan
sebuah pengorbanan yang maha agung demi kelestarian jenis. Tak lama setelah itu
laba-laba betina akan bunting. Tak jauh dari jaring laba-laba, di bawah dipan
seekor kucing jantan tengah mengawasi gerak-gerik seekor kucing betina yang
tengah menggigit seekor anak kucing yang baru saja di lahirkan. Induk kucing
itu memindahkan anak-anaknya ke tempat yang lebih aman, menghawatirkan jika
sewaktu-waktu tanpa sepengetahuannya kucing jantan akan menerkam anakannya
terutama apabila terlahir seekor anak kucing berkelamin jantan. Induk kucing
senantiasa mewaspadai gerak-gerik kucing jantan. Waktu berlalu terasa seperti
kilatan petir, bumi langit dan seisinya berdzikr kepada sang khalik tanpa
jengah, sementara manusia seMakin sibuk dengan urusan dunianya. Ketika siang berganti
malam dan seterusnya hingga sandiwara ini usai para penghuni di dalamnya kian
terlena meski bukti kekuasannya kian kentara terasa. Kini seakan-akan pupus
semua tabir yang ada, tinggallah bukti-bukti nyata yang selalu hadir di
tengah-tengah kebimbangan, tetapi terkadang itu semua datang tanpa disadari dan
di tafakuri. Bukti-bukti yang seMakin terlihat jelas itu justru melengahkan manusia
dari fungsi utamanya, merefleksikan bentuk teriMakasih kepada yang kuasa dengan
bersujud barang beberapa menit.
Esok harinya menjelang
keberangkatannya ke sawah pak RT datang menemui Mbok Nah, tanpa berbasa-basi
terlebih dahulu pak RT menyodorkan sepucuk surat berisi pemanggilan dirinya
dari kelurahan dengan diringi pertanyaan sengit.
"Mbok!
Sampeyan wingi ke kelurahan iku ngopo? kok kabare jare gawe ele'e Deso. Wes tuo
mbok yao ngilingi tuane, di akeh-akehno olehe ngaji. Ora soyo di tambah ngajine
kok malah ele'e seng soyo ndadi, ngisin-ngisini kampunge wae." Kata-kata
kasar itu mampu memancing kemarahan seorang perempuan berambut perak itu, ia
lalu membalasnya dengan kata-kata sengit pula.
"Opo
Aku wingi wudo ning tengah ndalan?, kok ngisin-ngisini!"
"Ambuh
pikiren dewe!" Jawab pak RT tak kalah kecut, jawaban itu seakan mampu
menyentakkan dada perempuan tua itu.
"Oooo
sontoloyo!" Balasnya dengan kedongkolan, sementara pak RT diam tidak
menanggapinya lalu ngeloyor pergi dengan tersenyum sinis meninggalkan perempuan
tua itu.
Selama ini perempuan tua itu merasa
apa yang telah di lakukannya adalah haq. Sekedar ingin mengingatkan para
perangkat Desa bahwa kedzaliman sebenarnya tidaklah pantas sebagai pakaian
manusia. Mbok Nah sendiri tidak tau pasti untuk apa dirinya di undang ke Balai Desa,
Pak RT hanya menyodorkan sepucuk surat undangan tanpa memberi tahu lebih jelas
ihwal undangan itu berisi apa. Dari wajahnya hanya terlihat semburat wajah
sinis dan kecut, hanya berkelakar dan menyuruhnya ke Kelurahan besok pagi.
Tidak ingin di cap sebagai Warga
Negara yang membangkang atau bahkan mungkin penghianat Bangsa, ia bertekad memenuhi
undangan ke Kelurahan. Tak ada yang di risaukan, tak ada sesuatu hal yang
ganjil atau firasat apapun tapi pagi itu Qohar seperti tidak merelakan
kepergian neneknya ke Kelurahan. Dari kedua bola matanya menetes perlahan
bulir-bulir air mata, seakan bocah kecil itu tau apa yang akan terjadi nanti.
Seketika itu Qohar meratap menangis, meminta agar dirinya di ijinkan ikut ke
Kelurahan. Dengan berat hati Neneknya mengijinkan Qohar ikut ke Kelurahan.
Di sepanjang jalan Mbok Nah
bercerita tentang kepahlawanan seorang wanita, Ratu Kalinyamat, cita-cita
luhurnya ingin menyatukan Nusantara. Bersama kerajaan Johor di Malaka terhitung
telah dua kali Ratu Kalinyamat berupaya mengusir orang-orang Portugis, tetapi
upayanya gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan
serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka,
tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan
tentara Kalinyamat[8].
Bagi anak muda jarak enam kilo
meter tidaklah terlalu jauh untuk di
tempuh. Tapi bagi seorang nenek yang telah berusia kepala tujuh, jarak enam
kilo meter itu terasa berlipat-lipat jauhnya, apalagi jalanan berliku dan naik
turun.
Setelah menempuh setengah
perjalanan perempuan tua itu mulai merasakan rasa letih. Keringat-keringatnya
yang seukuran biji jagung mulai tampak membasahi lehernya. Separuh baju di
punggungnya mulai basah oleh biang keringat, tetapi Qohar masih menikmati
perjalanan. Di sa'at rasa letih kian menyerang ada sebuah bangku kayu di
pinggir jalan, tempat nongkrong anak-anak
muda, suatu kebetulan. Lumayan Mbok Nah
dan Qohar lalu beristirahat sebentar, Duduk selonjor diatas bangku lalu
mengeluarkan sebotol minuman dari balik selendangnya.
"Alhamdulillah
seger tenan." Ucapnya dengan menghela nafas panjang-panjang. "kamu
tidak minum?" Tanyanya kemudian.
“Tidak
Mak!". Jawabnya dengan menggelengkan kepala.
Kembali perjalanan di lanjutkan, di
sepanjang jalan pikirannya mulai di hantui rasa khawatir. Ia mencoba
merenungkan kenapa dirinya di panggil ke kelurahan? mungkinkah perbuatan
kemarin itu adalah suatu kesalahan fatal yang di buatnya? sehingga pihak
kelurahan mengutus pak RT untuk melayangkan sebuah surat panggilan bagi dirinya.
Apa yang akan terjadi nanti? Akankah orang-orang lingkaran Balai desa tega
menganiaya dan mendzalimi seorang perempuan yang telah renta nan lemah seperti
dirinya? Apapun yang akan terjadi
perempuan berambut perak itu tak gentar untuk menghadapinya. Sementara sejauh
mata memandang tak jauh dari tempatnya berdiri di ujung pematang tak jauh dari
perkebunan tebu seekor anjing tengah menenteng seekor musang hasil buruannya,
tiba-tiba musang yang terlihat sudah mati itu lepas dari gigitan anjing lalu
kemudian lari terbirit-birit kedalam seMak-seMak, hikmah yang mungkin bisa
diambil, ternyata musang yang tidak punya otak itu juga bisa berakting lyaknya
Manusia. Torehan takdir nanti dari yang kuasa tidak ada seorangpun yang tahu, hanya
pasrah kepada tuhan yang bisa ia lakukan.
Yaa
Allah ya Tuhanku, mati hidupku adalah hak Mu. Apa yang akan terjadi nanti
semoga Aku bisa terima, Aku pasrah! Pintanya dalam hati.
Tak seperti apa yang ia duga
sebelumnya. Di depan balai Desa telah berjajar puluhan sepeda motor, sepeda
pedal hanya terhitung dengan hitungan jari. Rupanya seluruh ketua RT/RW dan
semua perangkat desa juga di undang, mereka telah hadir menunggu kedatangannya.
Memasuki halaman Balai Desa tanpa sepatah katapun basa-basi yang mereka
ucapkan. Sekali sapaan itu terdengar serasa menyayat hati dan menggores leher.
"Jadi
ini rupanya orang yang telah mempermalukan Desa kita.". ucap pak Carik
nerocos begitu saja.
"Dulu
aku di ajari falsafah hidup darinya, tapi setelah tahu sifat aslinya Aku sudah
tidak percaya lagi dengan kata-kata maupun petuahnya." Celetuk pak Edi
yang tengah menjabat sebagai Modin Desa, tetangga sawah. Emosi perempuan tua
itu tertahan, ia terima kesumat-kesumat yang di muntahkan begitu saja, tidak
terpancing sama sekali. Tidak sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang
mulai kelu membiru, walau hakikatnya hati dan perasaannya seperti tersambar
petir. Salah seorang perangkat desa masih muda dengan gayanya yang di buat-buat
mempersilahkannya duduk terlebih dahulu.
"Monggo
Mbah! duduk dulu, Pak Lurah masih melayani banyak orang. Seorang perangkat desa
yang masih muda itu mengelu-elukan kesibukan pak lurah, pada hal mbok Nah tau
sendiri dan telah menjadi rahasia umum jika pelayanan di balai desa tak pernah
genap setengah hari, karena minimnya orang-orang yang berurusan dengan balai Desa.
Mereka enggan mengurus surat-surat ke balai desa karena urusannya bisa tambah
runyam dan berbelit-belit. Pada umumnya masyarakat lebih memilih jalur instan
dari pada harus warawiri ke balai desa dan ke kecamatan, toh kalaupun diurus
sendirian urusannya belum tentu kelar dalam sehari atau dua hari tetapi bisa meMakan
waktu hingga berbulan-bulan. Jarang sekali penduduk desa yang membuat kartu
identitas karena repotnya itu. Dalam sehari pihak Balai desa melayani ratusan orang itu berarti telah
mencapai rekor tersendiri.
"Mbah!
perlu saya beri tahu! bahwa setiap ada masalah maupun keperluan warga pihak
pemerintah Desa selalu mempermudah urusan, bahkan kalau perlu sampai tengah
malam sekalipun, dua puluh empat jam
nonstop melayani dengan sepenuh hati." Ujar seorang perangkat desa berbadan
kurus.
"Mbah!
kalau tidak setuju dengan program-program Desa bilang saja langsung pada pak
Carik, jangan nulis seperti itu, jadinya kan malah tambah ruwet
urusannya." Seloroh yang lain.
Tidak ada jawaban dari kedua
bibirnya yang kelu seperti kehabisan pasokan darah. Darah yang semula mengalir
deras dengan detak jantung yang gelagapan seolah terhenti. Tangan dan kakinya
berkeringat dingin. Hati, hanya didalam hatinya ia berdialog dengan Tuhan,
memohon ampun dan pertolongan darinya, hingga beberapa saat lamanya Mbok Nah
tetap diam meMaku. Dibiarkannya lalat-lalat kecil menghinggapi matanya yang
sembab lalu kembali terbang menghinggapi anggota tubuhnya yang lain yang mulai
tercium aroma pengap oleh keringat. Seakan-akan lalat-lalat kecil itu tengah
menertawakan nasib yang tengah menimpa perempuan tua itu. Lalat yang tercipta
tanpa etika itu tak jemu-jemu mengerubunginya. Binatang yang tidak punya sopan
santun dan selalu membawa virus kemanapun dan dimanapun, hinggap di tempat-tempat
kumuh, sampah busuk dan segala bentuk kotoran, bahkan bangkai menjadi tempat
peraduannya yang utama. Satu bentuk takwil dari Tuhan, perumpamaan orang yang
tidak menyandang akhlak sebagai pakaiannya niscaya seperti seekor lalat.
Sementara Qohar seMakin merapatkan gayutan di ujung selendangnya, wujud dari
sebuah kekhawatiran. Seperti dua sisi mata uang keterikatan batin diantara
keduanya.
Melihat neneknya diperlakukan kasar
oleh orang-orang yang tak begitu di kenalnya, tidak kuasa ia meyembunyikan
kepedihan bathin, seperti mengetahui apa yang tersimpan di benak neneknya. Tetapi
ia hanyalah seorang bocah dengan dunianya yang teduh, jernih tanpa keserakahan
nafsu dan amarah. Diam, hanya bisa diam dihantui rasa takut diliputi tanda
tanya besar atas ucapan dan gelagat kasar sebagian perangkat desa kepada
neneknya. Pelan dan pasti di kedua pipinya yang putih bersih basah oleh air
mata. Suasana hening diliputi pasang-pasang mata yang kosong terisi nafsu dan
keberingasan. SeMakin terlihat jelas topeng-topeng diwajah sebagian perangkat desa
yang awalnya memandang biasa mendadak terlihat geram beringas dengan tatapan
mata seolah berwarna merah darah. Darah
seakan memenuhi bola matanya dan menjelma menjadi iblis.
Tiba waktunya perempuan tua itu
dipanggil pak lurah. Di sebuah ruangan yang seharusnya untuk dua hingga tiga
orang itu di penuhi tujuh orang. Meski hawanya sejuk oleh dua kipas angin,
tetapi di dalam ruangan itu menyimpan beribu aura panas di liputi hawa nafsu
yang berselubung ke dalam jiwa-jiwa yang kosong. Didalam ruangan itu telah
berjajar empat orang, berdiri disamping kanan dan kiri. Sementara di luar ruangan pasang-pasang mata
terus mengawasinya, mengintip dari balik jendela, meski pintu dan semua jendela
telah di tutup rapat-rapat. Tidak pernah menyangka jika akhirnya ia akan di
interogasi lima orang penting di Balai desa. Ia baru menyadari jika dirinya
ternyata akan disidang karena ulahnya tempo hari.
"Silahkan
duduk di tengah Mbah?" Perintah salah seorang perangkat Desa. Mbok Nah
diapit empat orang, dua orang di bagian kanan dan dua orang lagi di sebelah
kirinya. Perempuan tua itu beradu arah dan
berhadapan langsung dengan pak Lurah. Disampingnya, Qohar mendekap
erat-erat tubuh neneknya. Sidang belum juga di mulai, suasana hening sejenak, pasang-pasang
mata keempat perangkat disisi kanan dan kirinya terpaku tajam ke arah dua orang
yang hakikatnya tidak berdaya dari segi fisik itu. Mereka menyiratkan sebuah rasa sinis berbalut benci,
raut mukanya mendadak memerah menyeruak bintik-bintik benih kedengkian. SeMakin
terlihat kentara diantara mereka lingkaran nafsu yang merapat. Seolah-olah Mbok
Nah adalah objek, orang yang patut disalahkan atau bahkan kalau perlu didzalimi
sekalian. Mbok Nah mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan
meski batinnya ingin berteriak dan memberontak. Senyum yang dipaksakan itu lalu berhenti pada gerak bibir seperti orang
yang hendak menangis.
"Mbah! sampeyan ini sudah tua kok malah neko-neko
nulis kayak gini." Ujar pak Lurah sambil menyodorkan tulisan tempo hari.
"Siapa yang menyuruh? Akal-akalannya siapa ini ?" Tanyanya kemudian.
"Tidak
ada yang menyuruh!, Aku hanya ingin sekedar
mengingatkan agar pemerintah Desa Rakusan selalu mempermudah urusan
bukan malah mempersulit urusan." Jawabnya dengan tegar dan tetap
bersikukuh pada pendiriannya, bahwa ia hanya sekedar ingin mengingatkan
sebagian para perangkat desa yang entah berapa kali melakukan diskriminasi
terhadap orang-orang yang lemah, orang yang buta tentang pemerintahan seperti
dirinya.
"Mbah!
itu memang sudah aturan dari pemerintah pusat. Memangnya simbah itu siapa kok berani-beraninya protes ke
kelurahan. Sampeyan belum tau saya ini siapa?" Sebuah keakuan, ananiyah
atau bisa jadi sebuah kepongahan dari seorang
Lurah. Wujud nyata suatu
pembangkangan yang bermetamorfosa pada keakuan diri yang sejujurnya justru ia
sendiri merasa terbebani atas pengakuan itu. Atas keakuan itu pada hakikatnya
ia berlindung di dalamnya, berlindung dari kesalahan, berlindung dari kealpaan.
Satu bentuk kesengajaan spontan yang di dasari perlindungan diri. Kesadaran
diri sebagai pelayan masyarakat yang pantas mendapat protes dan peringatan dari
masyarakat tiba-tiba sirna begitu saja tergantikan sifat lahiriyah manusia
yang serakah, pongah manakala kekuasaan
berada dalam genggaman. Seringkali kata-kata keakuan itu digunakan orang-orang
atasan ataupun para pejabat di berbagai bidang keilmuan dan pekerjaan untuk
melindungi kesalahan itu sendiri.
"Mbah!
tolong jawab yang jujur! Siapa dalang di balik semua ini?" Tanya pak Lurah
dengan mata melotot.
"Di
bayar berapa Mbah?" tanya yang lain.
"Semenjak
jadi Makelar tanah untuk orang china tiongkok kan?" Sambung seorang
pejabat yang lain menambahkan.
"Tidak
ada hubungannya sama sekali Aku ra kedanan duit[9]."
Jawabnya lantang dengan keberanian yang masih tersisa.
"Aku
tidak percaya." Timpal pak Lurah sambil geleng-geleng kepala.
Sebagai perempuan renta, walau
sekuat apapun ia takkan pernah bisa menandingi kekuatan-kekuatan lawan dengan tenaga yang berlipat-lipat.
Secara dzahir ia lemah dan tidak berdaya menghadapi sekumpulan manusia yang
ganas seganas harimau yang sewaktu-waktu tiba-tiba menyerang dan menerkamnya. Meski
batinnya tetap tegar setegar batu karang yang dihempas ombak setinggi puluhan
meter ia tetap kalah dan mengalah pada kepasrahannya, mengalah untuk menang.
Tanpa terasa air matanya meleleh setetes demi setetes dari kedua bola matanya
yang cekung dan berkerut mewakili perihnya bathin. Lebih sakit dari pada
terputusnya urat-urat syaraf, lebih terluka dari perpisahan ruh dan jasad.
Walaupun raganya seperti masih tersisa serpihan-serpihan kekuatan untuk menghadapi
pertanyaan-pertanyaan konyol, tidak bisa di pungkiri dan tidak kuasa untuk di
sembunyikan lagi, jiwanya melemah seperti musnah daya dan upaya, ibarat kuli
panggul yang tidak kuasa lagi menahan beban di luar kemampuannya. Menanggung
beban yang sedemikian berat diperlukan seumpama pancaran sinar kekuatan. Tetapi
hari itu tak seberkas sinarpun yang datang berpihak padanya. Diatas bangku
kursi panjang yang seyogyanya hanya bisa memuat
tiga orang itu Mbok Nah duduk terdiam dengan kepala menunduk. Disampingnya,
Qohar mulai merasakan getar-getar kekhawatiran berselimut takut. Wajah culunnya
yang putih bersih sejernih embun di pagi hari itu tak henti-hentinya memandangi
wajah sendu neneknya. Raut mukanya mulai di hiasi kesedihan, kedua tangannya
yang masih remah masih bergelayut di ujung selendang neneknya yang mulai lusuh
oleh keringat dengan sesekali memegangi erat-erat kedua tangan neneknya. Seandainya Qohar yang masih
kecil itu diberi kekuatan berlebih dari yang kuasa, Maka ia akan pertaruhkan
raganya untuk dijadikan perisai bagi neneknya, tapi ia hanyalah seorang anak
kecil yang belum disunat, anak kecil yang belum memasuki masa akil baligh. Seorang
anak yang apabila di tendang salah seorang perangkat desa Rakusan bisa
terlempar beberapa meter jauhnya. Hanya bergelayut di ujung selendang neneknya
yang bisa ia lakukan. Kedua tangan neneknya mendadak dingin seperti habis
pasokan darah untuk mengaliri seluruh ujung jari-jarinya. Dadanya naik turun
menahan nafas yang tiba-tiba mendadak terasa berat, di dalam hatinya tiada
henti melafadzkan istigfar, memohon ampun kepada Tuhan yang maha pemurah.
"Mbah!
memangnya dengan air mata dan tangisanmu itu kami bisa kasihan begitu!" Ucap Pak Lurah sambil tersenyum sinis. Begitu
mudahnya kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut pak Lurah. Satu bentuk
pengakuan yang tiada di sadari telah menguak kebobrokan dirinya sebagai
manusia, yang telah hilang dari rasa dan karsa. Satu bentuk metamorfosa tanah
yang kelak akan kembali ke tanah yang lembut, sejuk dan tawadu'. Tetapi Lurah Desa
Rakusan itu telah mengingkari dirinya sendiri, menafikan diri sebagai insan
yang sejatinya teduh dan bersahaja. Nafsu amarah telah berselubung dan
menelikung dirinya hingga hilang rasa kemanusiaan dari dalam jiwanya.
"Jawab
Mbah!" Bentak seorang yang berdiri di samping kanan Pak Lurah sambil
menggedor-gedor meja.
"Maknyak!!"
Teriak Qohar spontan dengan menangis histeris. Tangis itu membuncah seketika.
Satu ungkapan kesedihan dan kekecewaan yang
mendalam atas sikap salah seorang perangkat Desa yang sangat arogan.
Tangis itu lalu tertahan pada nafas yang terburai, terputus-putus lalu
berhenti. Sebentar saja, tak pernah terlalu lama Qohar menangis. Tak ada lagi
rasa belas kasihan yang tercecer dari
pak Lurah.
Setelah tangis Qohar terhenti pak
Lurah mengambil kertas yang berisi
tulisan tempo hari lalu di kibaskan ke muka Qohar agak keras. Qohar hanya diam
menahan rasa sakit dengan meringis, kedua pipinya basah oleh air mata namun
tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibirnya yang bergetar kelu. Tak puas
dengan satu bentuk penghinaan, Pak lurah menambahkan kata-kata sinis dan kecut, sangat menyakitkan seumpama
kalbu yang teriris.
“Kok
malah diam! Tidak menangis lagi ?” Kata-kata itu terasa pahit dan seolah mampu
menyulap telinga menjadi merah, penuh oleh darah.
Mbok
Nah tidak tinggal diam, dengan lantang ia melontarkan pertanyaan yang tidak
kalah sengit.
"Cucuku
tidak tau apa-apa kenapa kamu pukul. Apa kamu yang memberi Makan?" Pak
Lurah diam tanpa sepatah katapun terucap, di wajahnya tersirat sikap tak acuh.
“Anda
ini sudah jelas-jelas dinyatakan bersalah Mbah.!" Ucap salah seorang
perangkat Desa yang lain. Seperti manusia yang tak pernah khilaf, orang-orang
di lingkaran pemerintahan Desa langsung
memvonis tanpa melihat duduk perkaranya secara obyektif terlebih dahulu.
"Kita
bawa saja ke pihak yang berwenang." Celetuk perangkat yang lain.
Mbok Nah tetap pada pendiriannya
meski ia di diteror tak sepatah katapun kata-katanya yang berubah. Beribu-ribu
detik Mbok Nah yang telah renta itu di interogasi tetapi tidak juga menemukan
hasil yang mereka harapkan. Lalu Mbok Nah di suruh keluar dari ruangan.
"Ya sudah! kalau begitu Mbok
Nah ikut kami!" Ucap seorang perangkat Desa disamping kirinya lalu dengan
diapit dua orang di kanan kirinya Mbok Nah dan Qohar yang masih polos itu
dibawa ke dalam sebuah ruangan tertutup. Di dalam kamar yang lebih mirip dengan
kandang kambing itu dipenuhi kertas-kertas lusuh, koran bekas dan kursi meja
yang rapuh dengan kaki penyangga yang telah ganjil. Tumpukan kursi-kursi yang telah usang itu memenuhi ruangan hingga
langit-langit di pojok kamar. Belum sempat bernafas lega di ruangan pengap itu
Mbok Nah kembali di datangi dua orang perangkat desa yang masih belum puas
dengan pertanyaan beberapa menit yang lalu.
Dengan mimik beringas dan geram dua orang perangkat Desa itu menunggui
dan menginterogasi kembali dengan beberapa pertanyaan yang dianggap oleh pihak
pemerintah Desa belum tuntas. Belum ditemukan adanya kejelasan dan titik
terang.
"Mbah!
semua ini pasti ada yang mendalangi. Siapa Mbah yang mendalangi? Simbah tinggal jawab kalau ingin bebas.!" Tawar
salah seorang perangkat Desa.
Karena tidak tahan lagi menghadapi
kedzaliman dan kemunafikan, Mbok Nah mencoba ngawur dengan menjawab sekenanya
meski sebenarnya sama sekali tak ada yang mendalangi. Mbok Nah sempat tergagap
sebelum terucap sebuah jawaban yang ngawur.
"orang-orang
china Tiongkok."
"oh...jadi
orang china yang mendalangi. Kenapa Sampeyan mau diperbudak?" Tanya yang
lain sambil mengangguk-angguk.
"
Karena ketidak adilan" Jawab Mbok Nah sekenanya.
“Ketidak
adilan seperti apa?" Timpalnya dengan wajah geram dan matanya melotot.
"Aku
tidak tahu."
Lelaki tua yang tinggi seperti tiang
listrik itu diam sejenak lalu bertanya lagi.
"Sampeyan
menempelkan tulisan ini ke Balai desa sendirian, bukan?" Dahinya berkerut.
Sementara Mbok Nah sendiri diam tidak menjawab. Nafasnya tiba-tiba serasa
sesak, kedua mulutnya seolah terkunci, sekujur tubuhnya mendadak dingin
kehilangan daya tahan tubuh. Perempuan tua berambut perak itu seperti seorang
prajurit yang terpojok lalu dikepung oleh segerombolan musuh-musuhnya, ia hanya
seorang perempuan rapuh terMakan usia. Ibarat ranting kecil yang kering
ditengah-tengah gurun pasir, sekali di terpa angin akan terserak seketika. Seorang
perempuan jelmaan dari iga seorang Adam yang tipis dan bengkok. Sekali di
luruskan ia akan patah, rapuh. Ia hanya bisa di luruskan dengan keris, keris
estetika berlandaskan nilai sebuah rasa kemanusiaan, yaitu pedang perasaan.
Meski menghadapi manusia-manusia konyol ia sendiri merasa kuat untuk menghadapi
sebuah kenyataan, tetapi ia sendiri tidak kuasa melawan keadaan dan menghindari
satu kenyataan. Bahwa sebenarnya ia telah renta, lapuk di Makan usia. Pertanyaan
konyol yang tidak di dasari oleh perasaan itu seperti tak kuasa untuk dijawabnya.
"Dibayar
berapa Sampeyan melakukan semua ini?" Kembali pertanyaan konyol itu
terlontar.
"Aku
tidak dibayar dan tak ingin di bayar. Uang dan perhiasanku sudah lebih dari
cukup untuk membiayaiku seumur hidup!" Jawabnya dengan dongkol.
"
Yo wis kalau begitu sampeyan disini dulu menunggu kebijakan dari pak
Lurah." Dua orang itupun pergi meninggalkan ruangan lalu menutup pintu
dari luar dan menguncinya rapat-rapat. Tiada kepastian sampai kapan kebijakan
itu selesai di buat. Berjam-jam menunggu sebuah jawaban tanpa kepastian
seumpama menantikan sebuah pencarian sebutir garam di tengah-tengah lautan.
Menunggu dan menunggu dengan harap-harap cemas dalam kisaran waktu yang terus
berlalu. Dari bibirnya yang kering mengeriput tak henti-hentinya melafadkan
kalimah istigfar, satu bentuk perwujudan existensi pengakuan diri sebagai
bagian dari 'mahallul khoto' wannisyan', seorang manusia yang tidak akan bisa
lepas dari kesalahan dan kekhilafan..
Jenuh dan bosan berselimut takut membaur menjadi satu.
Qohar merengek meminta agar dirinya segera di pulangkan, kedua bola matanya
berkaca-kaca seiring tangis lirih yang tertahan, namun akhirnya ia bisa
memahami keadaan setelah neneknya memberikan sebuah isyarat. Sesenggukan tangis
kecil mengisi kesunyian, Sementara itu tidak jauh dari tempatnya duduk, di
ujung pojok kamar seekor laba-laba tengah membuat sarang dengan air liurnya,
dalam hitungan menit laba-laba itu sanggup
merampungkan rumahnya. Tetapi rumah yang yang bisa dibangun dalam sekejap itu
apabila di hempas angin dan badai akan hancur berkeping-keping, bahkan oleh
tiupan angin seorang anak kecil. Karena terlalu lama menangis akhirnya terhenti
pula pada satu titik kelemahan. Kekuatan dalam diri seperti menghilang seiring
perlahan terkurasnya airmata. Lambat laun air mata yang membasahi kedua pipinya
yang putih bersih mongering, tanpa disadari Qohar lalu tertidur di pelukan
neneknya.
"Allahu
akbar Allahu akbar...."
Terdengar alunan suara adzan Ashar.
Adzan yang senantiasa mengawal perputaran matahari dan rembulan serta jutaan
planet-planet diangkasa raya hingga akhir zaman itu menyentakkan bathin Mbok
Nah. Waktu shalat dhuhur telah berlalu berganti waktu ashar. Waktu dimana matahari
mulai condong kearah barat. Belum sempat menjalankan shalat dhuhur kini telah
berganti saatnya shalat ashar. Shalat, satu bentuk persembahan, satu bentuk
rasa terima kasih kepada Al Khalik telah ia abaikan. Ia merasa telah berhutang
kepada Tuhan karena hingga detik ini ia masih bisa mengecap kehidupan.
Merasakan nikmatnya umur panjang, masih bisa bernafas sepuasnya tanpa harus
mengeluarkan gemerincing rupiah. Ia
diberinya ujian hidup karena itu adalah satu bukti dari kecintaannya. Tapi
semua itu belum bisa ia balas walau hanya berkorban waktu beberapa menit
lamanya untuk mendirikan tiang agama. Ia hanya bisa berdzikir melafadzkan
asma-asma nya yang mampu menyejukkan kalbu kala di dera seribu permasalahan.
Kepada Tuhan ia mengadu.
Ya Allah, sekiranya engkau buka
mata hati mereka, engkau lunakkan dan bersihkan hatinya, niscaya akan kutambah
ketaatanku padamu Ya Rabb. Qohar terbangun dari tidurnya, ia kebelet ingin
kencing lalu tanpa pikir panjang Mbok Nah mengambil plastik bekas yang terserak
di lantai untuk menampung air seninya kemudian menaruhnya ke dalam laci di
sebuah meja yang telah lusuh oleh debu yang menumpuk. Senyumpun mengembang
menghiasi wajah dua insan yang terpaut puluhan tahun lamanya itu, mereka
terhibur sejenak oleh ulahnya sendiri. Selang beberapa menit setelah terdengar
iqamah shalat ashar di kumandangkan Mbok Nah dan Qohar di keluarkan dari
ruangan pengap yang lebih bersih dan terawat dari kandang sapi itu. Diluar
ternyata lengang berselimut sepi tidak seperti apa yang terbayang di benaknya,
penuh dengan manusia-manusia yang selalu siap menghakimi. Di luar hanya tinggal
beberapa orang yang masih setia menunggui balai Desa. Dengan nada yang
terdengar bijak salah seorang perangkat desa mempersilahkan pulang.
"Mbah ! …berdasarkan kebijakan
dari pak Lurah dan semua perangkat desa setelah di musyawarahkan dengan
matang-matang ternyata sampean sudah terbukti melakukan banyak kesalahan, tetapi
karena adanya kemurahan dari pak Lurah sampeyan sekarang sudah di perbolehkn
pulang dengan catatan jangan mengumbar permasalahan ini ke masyarakat apalagi
melaporkan peristiwa ini ke kepolisian, kalau sampai masalah ini di ketahui
oleh polisi, Maka bukan tidak mungkin rumah tanah sampeyan akan habis untuk
membiayai masalah ini. Dan perlu sampeyan tahu, kemarin di desa tetangga
seorang ibu muda kehilangan rumah, tanah dan tambak ikannya hanya karena untuk
membiayai pengadilan." Ucap salah seorang perangkat Desa dengan bijak
seraya menambahkan peringatan bernada mengancam.
Di sepanjang perjalanan pulang tak
henti-hentinya terucap rasa syukur ke hadirat Ilahi. Dipeluknya tubuh cucu
satu-satunya erat-erat lalu menciumi wajahnya yang sayu dengan berurai air
mata, pulang dengan membawa serpihan semangat dan secercah asa yang tersisa.
"
Maknyak kan tidak salah, kenapa orang-orang di balai Desa bilang Maknyak itu
bersalah?" Tanyanya penuh selidik sambil berjalan.
"Sudah,
sudah, jangan diingat-ingat!" Larangnya, berusaha untuk melupakan
peristiwa barusan.
"Kenapa
harus di hukum di kamar terus di kunci?" Qohar Makin bertambah penasaran
dan ingin tahu duduk perkaranya.
"Biarlah
Allah nanti yang akan membalas" Jawabnya singkat.
"Maknyak
tidak salah kan?" Rasa keingintahuannya seakan tak bisa di bendung lagi.
"Qohar!
kamu Makan tidak cukup hanya dengan nasi dan sambel, masih perlu lauk yang lain
kaan?" Ujarnya bermetafor. Qohar mengangguk sambil tersenyum.
Hidup
di dunia jangan hanya memandang antara salah dan benar, hitam dan putih. Jadilah
engkau cucu yang baik yang bisa kuandalkan kelak. Jangan terbiasa memandang
hidup ini antara salah dan benarnya, apabila kamu melihat seseorang yang berbuat
kemungkaran dan Maksiat belum tentu orang itu salah atau benar, kita harus
terlebih dahulu memahami latar belakang seseorang melakukan semua itu, apa Maksud
dan tujuannya? Jangan pernah kamu bertindak gegabah lantas menghakimi, itu
berarti kamu mengabaikan Tuhanmu dengan berbuat sewenang-wenang. Itu sama
artinya bertindak sebagai Tuhan dan merebut hak-hak Tuhan. Jadilah engkau
manusia sederhana yang berada di jalur tengah, mencintai semua orang, semua ummat
manusia seperti nabi Muhammad mencintai pamannya Abu thalib dan Orang-orang yahudi, meskipun mereka telah
di nash dalam kitab sebagai kaum pemberontak. Mbok Nah menerangkan secara
gamblang. Mengutip nasihat dan pesan-pesan dari KH. Idris. Di tengah-tengah perjalanan
pulang tiba-tiba ada seseorang yang tiba-tiba menghadang dengan mengendarai
motor, lalu Mbok Nah dan Qohar berhenti. Diperhatikannya dengan perasaan cemas
seseorang berbadan tambun berambut keriting dengan wajah seperti orang yang
ingin mengutarakan sesuatu. Oh, rupanya pak Susilo yang tengah menjabat sebagai
kamituo Desa Rakusan.
"Mbah!"
Panggilnya dengan sorot matanya membulat.
"Ada
apa lagi?"
"Aku
mohon maaf mbah. Karena tidak bisa membantu apa-apa."
"Aku
tidak butuh bantuanmu!"
"Simbah
tidak menaruh dendam padaku, bukan?"
"Untuk
apa aku dendam! Apa untungnya? semuanya sudah diatur sama Gusti."
“yo
wis kalau begitu. Mari Mbah?”
“Monggo..”.
Dari hati yang paling dalam
sebenarnya pak Susilo ingin membela Mbok Nah dengan terang-terangan tetapi ia
menghawatirkan kedudukannya sebagai kamituo. Rasa takut menyelubungi jiwanya,
khawatir apabila tiba-tiba ia di copot dari jabatannya karena tidak sehaluan
dengan pemerintah Desa Rakusan.
Sesampai dirumah Sore itu, Mbok Nah
lalu merebus air kemudian menanak nasi. Sembari menunggu nasi matang Mbok Nah
lalu ke sumur mengambil air wudhu dan mendirikan shalat ashar. Qohar tidak
disuruh untuk mendirikan shalat, hanya di suruh belanja keperluan dapur ke
rumah Bu Maryam. Selesai shalat ashar Mbok Nah lalu ke dapur menyiapkan lauk pauk untuk Makan malam.
Ketika hendak mengambil nasi dari periuk tiba-tiba tubuhnya lemas, ia terduduk
lunglai di atas kursi kecil di depan tungku. Kedua kakinya gemetar dan sulit
untuk di gerakkan di sertai ngilu di kedua lututnya, sekujur tubuhnya menggigil
kedinginan meski di dekat tungku perapian yang masih membara. Bara api yang
masih membara itu agaknya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang di landa
kedinginan. Sementara kepalanya mulai terasa pusing, panas disertai demam. Ia
menyangka mungkin dirinya hanya masuk angin biasa, Mbok Nah lalu beranjak ke
tempat tidur kemudian istirahat. Tetapi suhu di sekujur tubuhnya seMakin terasa
bertambah panas, kepalanya serasa berat. Ia hanya bisa tergolek lemas di
pembaringan.
"Qohar!"
Panggil Mbok Nah dengan suara lirih.
"Ya
Mak."
"Nasinya
kalo sudah matang pindahkan ke bakul"
".ya!".
Qohar sore itu Makan dengan lahapnya
dengan lauk seadanya. Kesederhanan hidup yang ditanamkan Mbok Nah kepadanya
pelan dan pasti telah mengakar pada dirinya. Tidak lupa setelah selesai Makan ia suapi neneknya, namun hanya satu dua
suapan yang sanggup memasuki kerongkongannya. Nasi yang biasanya nikmat rasanya
apabila tercecap di lidah itu mendadak tiba-tiba terasa pahit, selebihnya di
geleng-gelengkan kepalanya, sebuah isyarat ketidak sanggupan menelan nasi
walaupun hanya sesuap. Mulutnya seMakin terasa bertambah pahit, Makanan yang
telah tercecap di lidah serasa seperti racun, seolah jiwa dan raganya mulai
tidak mampu lagi menyokong kegetiran hidup. Begitu berat permasalahan hidup
yang ditanggungnya hingga hilang gairah dan
semangat hidupnya. Spirit hidupnya serasa memudar bagai kapas di hempas
angin. Masih teringat segar dalam ingatannya kiamat kecil di balai desa. Trauma,
pikirannya terus di hantui rasa takut. Tak lekang dari ingatannya bagaimana
dirinya di cerca pertanyaan oleh empat orang yang seolah-olah hendak
menerkamnya. Di lecehkan seperti anak kecil dan di sekap dalam ruangan kosong
yang lebih pengap dan kotor dari kandang sapi. Seumur hidup baru kali ini ia mengalami
nasib yang amat perih di banding ujian-ujian hidup yang sebelumnya. Kini
dirinya seperti mendiami jiwa yang kosong, menyelami ruang hampa dan melangkah
tanpa arah. Dunia seakan tidak lagi menampakkan warna, hanya satu yang
senantiasa merapat di kepalanya. Yaitu rasa takut.. Keimanan di dadanya serasa
runtuh lalu menjauh dari dalam dirinya. Peristiwa di balai desa itu membuatnya
sakit lahir dan bathin. Perempuan tua berambut perak itu seperti tidak mampu
lagi menahan beban pikiran yang menderanya.
Malam itu Qohar tidur disampingnya,
menemaninya tidur sambil memijiti kaki dan tangannya, tetapi pijatan Qohar yang
lembut itu tetap tidak mampu mengobati kegundahan hatinya. Kedua bola matanya yang
sayu membiru sulit terpejam meski telah berusaha ia pejamkan. Ia hanya
pura-pura tertidur kala Qohar memijitinya, hingga akhirnya Qohar tertidur pulas
disampingnya. Di tengah malam kedua bola matanya masih liar dan sulit untuk di
takhlukkan. Mata sebagai cerminan jiwa, penyibak sebuah rahasia, pembuka tabir
yang terangkum dalam kalbu seakan ikut merasakan beban pikiran yang terlampau
jauh bersarang di kepalanya. Semua itu tak mudah untuk di lupakan. Sesakit dan
seberat apapun permasalahan hidup yang melilitnya seringkali dengan mudahnya
terlupakan. Paling jauh permasalahan itu hilang setelah bangun tidur, tapi kali
ini tidak, belenggu itu masih terus menghantui pikirannya. Hingga fajar
menyingsing kedua bola matanya masih liar. Dengan nafas tersengal-sengal ia mencoba
untuk mengingat kalimah Allah, disebutnya asma-asma Allah.
"Qohar!
bangun cucuku!" Mbok Nah membangunkan sambil membelai lembut keningnya. Qohar
terbangun dari tidurnya. Di rabanya jari jemari di kedua tangan neneknya,
terasa panas.
"
Tanganmu terasa panas sekali Mak. Maknyak tidak apa-apa kan?".
"Aku
tidak apa-apa, jangan khawatir. Cepat ambil air wudlu dan laksanakan shalat!"
Selesai
sholat tak lupa Qohar memanjatkn doa sebisanya, meminta dan mengharapkan
kesembuhan neneknya.
"Qohar!
kamu sudah shalat.”
"Sudah
Mak!”
"Sekarang
buka pintu dan jendela dapur lalu beri Makan ayam-ayamnya dan jangan lupa beri Makan
kura-kuramu, setelah itu Maknyak buatkan bubur!”
Tanpa menunggu komando susulan, berlandaskan
keprihatinan Qohar dengan cekatan membuka pintu dan jendela lalu memberi Makan
ayam dan kura-kuranya kemudian ia mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat
bubur.
"Maknyak!
kelapanya habis!" Ucapnya sambil melongok ke bilik Mbok Nah.
"Masih
satu butir di dalam ember." Jawab Mbok Nah dengan suara lirih.
Persedian kayu di dapur tinggal
sedikit, hanya tersisa beberapa ranting ia lalu kebelakang rumah mengambil kayu
bakar. Di belakang rumah ia tertegun menerawang ke atas pucuk ranting pohon
bambu yang menaungi rumahnya, ia mulai khawatir dengan kesehatan neneknya yang
tak kunjung sembuh di tambah lagi keadannya yang sudah tidak sanggup lagi
menelan nasi dalam bentuk utuh. Jalan satu-satunya adalah dengan mengolahnya
menjadi bubur nasi sehingga memudahkannya untuk bisa di telan karena bentuknya
yang lebih lembut. Setelah orang yang senantiasa mencurahkan kasih sayang
secara tulus padanya kini keadaannya terpuruk tak berdaya ia jadi lebih
menyadari dan memahami arti hadirnya seorang nenek baginya, yang selalu setia dengan
tulus dan penuh kesabaran merawat, mendidik dan membesarkannya. Seandainya
semenjak dilahirkan tidak ada orang yang sudi merawatnya, mungkinkah dirinya
masih bisa hidup? Atas semua ketulusan yang telah di berikan padanya ia
berjanji kepada diri sendiri akan merawat neneknya dengan segenap tenaga dan kemampuannya,
ia ingin membalas rasa tulus neneknya yang selama ini di curahkan hanya kepada
dirinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, dengan cekatan diambilnya
kayu bakar satu persatu.
Kini bubur nasi aroma santan kelapa
yang praktis itupun tersaji di meja Makan di samping tempat tidur Neneknya.
Dulu jauh sebelum Neneknya jatuh sakit setiap kali membuat bubur nasi atau
masakan lainnya secara tidak langsung
Qohar selalu melibatkan diri. Baik itu membantu mengambil daun pisang, memarut
kelapa atau pekerjaan lainnya sehingga ketika Qohar di perintah membuat bubur
nasi oleh neneknya ia langsung mengiyakannya tanpa merasa keberatan. Bubur nasi
adalah sesuatu hal yang tidak asing lagi baginya.
Kali ini Qohar berperan sebagai
motivator, menjadi sumber spirit bagi neneknya, ia mencoba bermetamorfosa
menjadi oase di tengah keringnya gurun pasir. Bertindak sebagai penyejuk bagi
jiwa yang masih di liputi rasa ketakutan. Dengan sabar ia suapi Neneknya sesuap
demi sesuap. Dengan meMaksa diri perempuan tua itu mencoba menelan suapan dari
Qohar meski lidahnya terasa pahit, semua itu di lakukannya demi sambungan
nafasnya yang kian terburai. Semangkuk bubur itupun akhirnya habis di lahapnya,
bubur yang rada berasa asin itu telah mampu merangsang kerongkongannya untuk
segera di guyur air minum. Dipintanya segelas teh manis suam-suam kuku.
Alhamdulillah....
Terbersit rasa syukur di hatinya
lalu dari keningnya yang kusut seperti keluar titik-titik embun kecil yang
bening dan seperti menjalar di sekujur tubuhnya. Segelas teh hangat itupun
seperti bocor melalui celah-celah yang sangat kecil dan samar. Hanya melalui
mikroskop ukuran sepuluh kali sepuluh. Celah-celah samar itu bisa terlihat menganga dengan
jelas. Perlahan tubuhnya basah oleh keringat.
"Qohar!
kakiku masih terasa ngilu. Nanti habis nyuci piring, Maknyak carikan jahe,
temulawak sama rumput teki di kebun, terus di rebus seperti yang biasa ku
lakukan” Pinta Mbok Nah pada Qohar.
Di
tepi kampung, Qohar di kesendiriannya sedang bersusah payah mencabut sebagian
rumpunan temulawak, Temulawak yang tinggi tanamannya bisa mencapai dua meter setengah
dan tentunya lebih tinggi dari tubuhnya itu baginya seperti halnya upaya
menahlukkan seekor ayam muda untuk di tangkap. Tidak mudah untuk di cabut
apalagi ia sendiri lupa tidak membawa peralatan semacam cangkul atau peralatan lainnya.
Dirinya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar temulawak yang
panjang dan terpendam dalam tanah lempung itu. Ia terengah-engah namun batang
temulawak itu masih tetap tegak di tempatnya, ia nyaris putus asa seandainya ia
tidak menemukan akal yang lebih cemerlang. Ia teringat sewaktu neneknya menaruh
pisau usang yang sudah tumpul di simpan dibawah gubuk kecil di bawah pohon
nangka. Dibawah gubuk itu pula ia menemukan sebatang cungkil. Di galinya tanah
lempung yang elastis itu di sekeliling temulawak dengan perlahan meMakai
cungkil dan pisau usang yang entah telah berapa minggu tidak pernah di asah.
Dengan tekad terakhir ia mencoba mencabut batang temulawak itu kembali.
Urat-urat kecil di tangan dan di punggung mulai menegang, ditolaknya bumi
dengan entakan kaki sekuat mungkin, serabut-serabut akar halus mulai terputus,
perlahan tanah merekah. Temulawak yang gagah itupun menyerah di titik nadir.
Perakaran panjang yang mengarah ke segala penjuru terputus semua. Ketika
temulawak itu berhasil tercabut ia jatuh terduduk. Tetapi hatinya terbersit
kegembiraan yang tak terukur, seperti menemukan satu kemenangan.
Satu pekerjaan telah selesai, ia
lalu mencari rimpang jahe dan rumput teki. Tak seperti rimpang temulawak yang
berbatang tinggi sehingga sulit di cabut. Rimpang jahe dan rumput teki
berbatang pendek dan remah, mudah untuk di cabutnya, sehingga tidak menemui
kesulitan untuk mendapatkannya. Dengan mudah kedua rimpang itu ia dapatkan.
Sesampai di rumah bahan-bahan untuk ramuan itu di cuci bersih lalu di tumbuk di
sebuah lumpang kemudian di rebus dengan air tiga gayung seperti biasanya
sewaktu neneknya membuat ramuan. Malam itu kesehatan Mbok Nah berangsur-angsur
pulih setelah meminum ramuan buatan Qohar. Kedua bola matanya yang semula sayu
membiru pelan-pelan terlihat seMakin hitam jernih. Kedua tangan dan kakinya
yang semula terasa berat kini telah terasa ringan.
Merasa dirinya sudah agak baikan di
suruhnya Qohar mengambil jarek di teras belakang. Ia lalu beranjak ke sumur
mengambil air wudlu. Setelah selesai berwudlu ia mendapati Qohar tengah gemetar
di ujung bale-bale biliknya.
"Kamu
kenapa cucuku?" Tanya Mbok Nah penasaran. Tak ada jawaban, Qohar terdiam dan sekujur tubuhnya gemetar.
"Bocah
bagus ada apa? kok seperti di kejar babi." Tanyanya kali kedua.
"Aku
baru saja melihat setan Mak!"
"Setan-setanan?
" Jawab Mbok Nah balik bertanya.
"Bukan,
bukan setan-setanan." Kata Qohar sambil geleng-geleng kepala." Yang
ini beneran Mak!, tadi sewaktu mengambil jarek di teras belakang Aku melihat
putih-putih seperti melayang di bawah pohon dadap. Aku takut sekali Mak!"
"Di
kibuli setan kok takut, Itu karena sewaktu kamu mengambil jarek tidak membaca
basmalah terlebih dahulu. Ya to?"
"Iya,
saya lupa Mak." Jawab Qohar tersungging senyum.
"
Lupa kok di pelihara. Setiap mengawali segala pekerjaan bacalah Basmalah supaya
selamat. Mungkin yang kamu lihat tadi hanyalah plastik putih kecil tertiup
angin. Karena kamu tidak membaca basmalah, Maka kamu dengan mudahnya di perdaya
oleh setan. Putihnya kertas di malam hari di dalam kamarpun akan tampak seperti
pocong kalau kamu sendiri lupa membaca basmalah!"
"
Mak! kata faldi sekarang sudah tidak ada setan. Apa itu benar Mak?"
"Iya
benar, sekarang itu sudah tidak ada setan. Tapi perlu kamu tahu bahwa setan di
masa sekarang ini sudah menyatu dalam diri manusia, termasuk bisa juga bersemayam
di tubuhmu, yang jelas setan sekarang sudah berubah, bukan tidak ada! Kalau ada
orang yang marah lalu mengamuk seperti
kesetanan, Maka di situlah setan bersemayam. Karena akal, hati dan pikirannya
telah di kuasai oleh nafsu dan amarah yang di timbulkan oleh setan. Ketika
akal, hati dan fikiran manusia sudah tidak lagi berfungsi karena di kendalikan
setan, Maka hakikatnya orang yang seperti itu lebih hina dari pada binatang. Dulu
kata Mbah Rasup Buyutmu, sewaktu Maknyak masih kecil katanya setan itu bisa
kelihatan, terkadang menampakkan diri dalam bentuk manusia, binatang,
genderuwo, kuntilanak dan lain sebagainya. Tetapi sekarang apakah kamu pernah
lihat setan?"
"Tidak
pernah."
"Maknyak
sendiri sudah pernah lihat?
"Tidak
pernah, tapi kalau melihat orang yang sudah mati lalu hidup lagi Maknyak pernah
melihatnya."
"Bagaimana
Mak ceritanya?"
Mbok
Nah bertutur.
Suatu hari di siang bolong Aku pergi
menyusul bapak ke pematang, jalannya waktu itu melewati tengah kuburan.
Biasanya di tengah kuburan itu memang tidak ada apa-apa baik itu di saat pagi
hari maupun sore hari. Tapi hari itu terasa ganjil, Aku berpapasan dengan kakek
tua berbaju serba putih, di tangannya menggelantung seutas kain putih yang
telah lusuh. Kakek tua itu melintas
persis di depanku, jalannya tertatih-tatih, pakaiannya compang-camping dan
kotor penuh dengan bekas tanah basah seperti habis dari sawah mengolah lahan.
Dari kedua sorot matanya mengisyaratkan sebuah kekecewaan yang mendalam, tampak
pucat dan sayu membiru seperti seseorang yang tengah menderita katarak. Rambut
kakek tua itu meski pendek tapi terlihat acak-acakan seperti tak pernah di
sisir berbulan-bulan. Sebelumnya ku memperhatikan kakek tua itu datang dari
perkampungan, Aku sendiri merasa tidak pernah melihat dan mengenalinya. Karena
saking penasaran Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Dari
mana Mbah?"
"Dari
rumah anakku." Jawabnya dengan
suara lirih agak terbata-bata.
"Rumahnya
di mana Mbah?"
"Di
kampung seberang."
“Ma’af
Mbah, namanya siapa?”
“NaMaku
Munarman.”
"Kok
membawa kain putih cuma segitu? Untuk apa?" Tanyaku penasaran.
"Untuk
keselamatanku. Sudah beberapa minggu lamanya setiap sabtu pahing saya
mengingatkan anak-anakku, jika tali pocongku sebenarnya belum di buka, yang
telah di buka hanyalah kain di lapis pertama." Jawab Kakek tua itu dengan
nafas seperti tersengal-sengal.
"Masya
Allah!!" Aku kaget, bulu kuduknya berdiri dan seluruh kepalaku tiba-tiba
seakan seperti diperban kuat-kuat, di tekan-tekan tanpa terlihat pelakunya.
Seketika itu Aku menjerit histeris,
berteriak sekeras-kerasnya sambil berlari namun ndilalah kersaning Gusti, tak
seorangpun yang mendengar teriakanku. Aku berlari sekencang-kencangnya
meninggalkan kakek tua itu. Setelah sampai di kejauhan Aku teringat beberapa minggu yang lalu ada
sebuah berita kematian dari kampung seberang, nama orang yang telah meninggal
itu tidak lain adalah Munarman. Sesaat setelah kematiannya orang-orang kampung
terutama para ibu-ibu memperbincangkan beberapa persoalan yang masih membelit
Munarman, diantaranya persoalan harta warisan. Meski di usianya yang telah
udzur dan telah memiliki banyak cucu dan beberapa cicit akan tetapi harta
pusaka dan peninggalannya terutama beberapa petak sawah dan kebun belum dibagi
dan di serahkan kepada anak-anaknya. Belum selesai kisah mistis itu di
ceritakan Qohar secepat kilat mendekap ke tubuh neneknya lebih erat.
"Memangnya
tali pocong itu harus di buka ya Mak?" Tanya Qohar berselidik.
"Ya
iya to!"
"Kok
tidak di buka sendiri tali pocongnya?" Rasa keingintahuannya tiba-tiba
membuncah.
"Kamu
kira mayat bisa membuka sendiri tali pocongnya?" Seloroh Mbok Nah balik
bertanya.
"Mayat
itu bangkai manusia, sudah tidak bisa apa-apa lagi karena ruhnya telah pergi.
Ruh itu barang gaib, bisa melihat tetapi tidak bisa meraba. Ada suara tapi
tanpa ada rupa seperti kamu!"
"Ah
Maknyak menakut-nakuti saja. Oh ya Mak! barang gaib itu seperti apa?"
Tanya Qohar penasaran
"Ya
tidak seperti apa-apa!" Mbok Nah diam sejenak. "Kamu pernah melihat
angin?"
"Pernah."
"Ya
kira-kira seperti angin itu, bisa di raba dan di rasakan tapi tak bisa di
lihat.
"Ohh
begitu." Ujarnya mengangguk-angguk
puas.
"Yo
wis kalau begitu kamu baca basmalah terus berdoa seperti biasanya terus
tidur."
Merasa dirinya sudah sembuh, di pagi
buta tanpa sepengetahuan Qohar, Mbok Nah mengambil air wudlu lalu mendirikan
sholat kemudian menuju dapur hendak menanak nasi. Diambilnya air dari sumur
untuk mencuci beras lalu memasaknya. Karena airnya di rasa kurang iapun mengambil
lagi ke sumur. Begitu air di dapat lalu di bawa ke dapur, tetapi ia malah
terpeleset dan jatuh di dekat sumur hingga pingsan, kepalanya terbentur sebuah
tiang bambu di samping sumur. Tak ada seorangpun yang mengetahui hal ini,
beberapa saat kemudian Qohar terbangun dan tidak mendapati neneknya di
sampingnya, iapun bergegas mencari neneknya, begitu di temukan Qohar kaget
bukan kepalang..
"Maknyak!
bangun Mak!" Setelah tersadar Qohar membantu memapahnya ke dalam bilik.
"Maknyak
kan belum sembuh benar, kenapa tidak istirahat saja?" Dari kedua bola
matanya seperti meleleh bulir-bulir air mata.
"Nasinya
kalau sudah matang di buat bubur saja."
"Sudah!
masalah itu jangan di pikirkan yang penting Maknyak sehat dulu."
Setiap kali Mbok Nah mengangkat periuk dari
tungku Qohar seringkali melihatnya tanpa melapisi lampi atau tatakan lain di
kedua tangannya, tetapi setelah di coba ternyata tak semudah dengan yang ia
kira, antara berat dengan dimensi panas menyatu, tak kuasa ia bertahan terlalu
lama barang beberapa detik. Ketika periuk belum selesai di pindah ujung jari di
tangan kirinya tiba-tiba terkena bara api kecil yang menempel di dinding periuk
sehingga melepuh dan meninggalkan bekas luka.
Bubur nasi putih itu telah matang
dan kini telah tersaji di meja. Diambilnya semangkuk buat dirinya dan semangkuk
lagi buat neneknya. Bekas luka yang masih terlihat melepuh berusaha ia
tutup-tutupi namun karena suatu ketidak sengajaan lukanya terbentur mangkuk
bubur di sampingnya, meski benturannya tidak terlalu keras tetapi ia telanjur
mengaduh pelan secara spontan tanpa sengaja.
“Aduh!”
"Kenapa
dengan tanganmu?"
"Kena
percikan api Mak!"
"Kenapa
tidak hati-hati, siapa nanti yang merawatku jika kamu juga ikut sakit?"
Keluh Mbok Nah menghawatirkan keadaan Qohar.
"Tidak
apa-apa Mak, nanti juga sembuh.?”
Di luar sana kabar miring mengenai
persekongkolan Mbok Nah dengan orang-orang China Tiongkok cepat tersebar. Orang-orang
kampung yang masih lugu dan masih menganggap tabu kehadiran orang-orang asing
itu jelas-jelas dengan mudahnya terpancing hasutan pihak-pihak yang tidak
menyetujui penguasaan lahan oleh orang-orang China Tiongkok. Satu bentuk
kesalah pahaman yang kian mengakar di masyarakat. Bumbu-bumbu dusta pelan dan
pasti merasuk ke dalam sendi-sendi percakapan para ibu-ibu. Headline beritanya,
Mbok Nah sekarang menjadi lebih berani kepada pemerintah Desa Rakusan semenjak bertemu dan bersekongkol dengan
orang-orang China tiongkok.
Belum genap dua hari peristiwa balai
Desa itu, kini beritanya telah tersebar luas hingga kepelosok-pelosok kampung,
pelan dan pasti gaungnya terdengar dimana-mana. Seperti lautan luas yang kejatuhan
rembulan, gelombang ombak lalu pelan-pelan menjalar menyambangi daratan. Dari
mulut ke mulut kesimpang siuran kabar mengenai Mbok Nah kian meluas, Tersiar
kabar Mbok Nah mulai berani melawan pemerintah Desa Rakusan karena ada yang
mendalangi, tersiar kabar pula Mbok Nah membantu pengusaha China tiongkok di
dalam upaya menguras sumberdaya alam yang ada dengan menguasai tanah ulayat
warga kampung setempat. Jika semua itu terjadi dikhawatirkan akan mengganggu
kearifan lokal yang telah lama mengakar dan membudaya dalam kehidupan
sehari-hari warga kampung setempat. Apabila kearifan lokal, sebuah tradisi
positif yang membudaya kian tercerabut dari akarnya Maka bukan tidak mungkin
akan hilang mata pencaharian penduduk warga kampung.
Begitulah satu gambaran
kekhawatiran warga kampung yang seMakin menjadi-jadi. Semua itu sengaja di
hembuskan oleh sebagian orang yang tak menghendaki adanya penguasaan lahan oleh
orang asing, belum lagi kabar-kabar yang melenceng lainnya. Kabar yang
berhembus dari mulut ke mulut itu tak lagi utuh, dari satu orang kepada yang
lain selalu di hiasi dengan bumbu penyedap atau bahkan tidak jarang dari berita
itu sengaja ada yang mengurangi ataupun menambahi isi pokok dari berita itu,
menjadi topik hangat untuk di perbincangkan oleh ibu-ibu di warung, di kebun
dan juga di sawah yang tengah mulai musim tanam. Kabar yang tak jelas
juntrungannya itupun sampai juga ke telinga KH Idris, pemimpin pondok pesantren
Attaubah sekaligus pembina dan pengasuh sebuah majlis taklim. Seorang Kiai yang
sangat kuat berpegang teguh pada Al qur'an dan Hadits, teguh pendiriannya dan
keras penerapan sistem pengajarannya serta semangat jihadnya yang luar biasa,
seorang kiai yang tak pernah meninggalkan jubah itu sangat menjunjung tinggi
dalil naqli dibanding dalil aqli meski keponakannya sendiri kiai Ubaidillah
yang -lebih mengutaMakan dalil Aqli- seringkali meributkan masalah Muhammad
dengan pamannya Abu thalib. Kenapa Muhammad tidak mengislamkan Abu thalib
pamannya sendiri? Kenapa pula menuntut ilmu dan membangun madrasah itu hukumnya
wajib, padahal di zaman Muhammad tidak satupun dijumpai walaupun hanya sebuah
madrasah?
Di majlis taklim Attaubah asuhan KH
Idris itu Mbok Nah mengaji dan menuntut ilmu selama ini. Begitu kuat pengaruh
KH Idris di masyarakat, seolah-olah melebihi peran pemerintah. Setiap kali ada
permasalahan yang mencuat, peran kiai selalu di elu-elukan dan selalu menjadi
jujugan masyarakat sekaligus sebagai tempat berbagi dan berkeluh kesah. Bagi KH
Idris Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah suatu keniscayaan, harga mati yang tidak
bisa di tawar-tawar. Setelah mengetahui adanya desas-desus penguasaan lahan oleh orang asing dari
selentingan warga yang tak menghendaki adanya monopoli yang di dasari oleh kesalah
pahaman. Tanpa menunggu waktu lama Kiai Idris mengerahkan sebagian santrinya ke
balai Desa Rakusan, menuntut agar lahan yang telah di beli oleh pengusaha china
Tiongkok supaya secepatnya dibatalkan dan segera di blokir sebelum terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara di waktu yang sama KH Idris mengutus
dua orang santrinya menemui Mbok Nah. Dalam pertemuan itu dua orang santri
itu menyampaikan pesan dari KH Idris
yang berisi himbauan agar Mbok Nah tidak usah lagi hadir mengikuti pengajian
majlis taklim yang diasuhnya karena telah dianggap mencemarkan nama baik majlis
taklim. Majlis taklim yang diasuhnya sebulan sekali itu tidak menerima jama'ah
yang mempunyai cacat moral macam Mbok Nah.
Tanah kapling yang telah dibeli
beberapa hari yang lalu dengan sah itu
di datangi ratusan santri. Mereka membawa batu, kayu, minyak tanah dan peralatan
lain untuk memblokir tanah kapling yang dianggapnya terlaknat itu. Dengan di
bantu para pemuda kampung setempat mereka seMakin leluasa mengobrak-abrik tanah
kapling yang sedianya untuk pembangunan pabrik kopra itu. Gubuk kecil yang
menjadi tempat persinggahan barang sebentar oleh pak Yusuf dan pak Amin juga tidak luput dari amukan para santri dan
pemuda-pemuda kampung, gubuk kecil berukuran dua kali dua meter itu ikut terbakar
hangus hingga rata dengan tanah. Dengan di bakar semangat jihad mereka teriakkan
yel-yel takbir sekeras-kerasnya, sekencang-kencangnya. Saling menyambung dan
mengisi satu sama lain. Kalimah takbir yang suci itu dengan sengaja mereka menodainya,
mempermainkan bahkan semua itu sama artinya dengan menginjak-injak kesuciannya.
Atas nama Tuhan mereka memblokade tanah yang pada hakikatnya bukanlah haknya.
Tanah kapling yang mulanya untuk pembangunan pabrik pengolahan kelapa demi
kemajuan bersama itu akhirnya terbengkalai dan entah sampai kapan pembangunan
itu di lanjutkan. Di sadari atau tidak mereka telah menjajah saudaranya
sendiri, saudara seiman yang sama punya hati sanubari meski tak sama wajah dan
haluan. Hanya karena dzahir yang asing itu mereka bertikai, memamerkan sayap
kekuasa'an satu sama lain.
Apakah dengan berbuat demikian
Tuhan akan bangga?Atau bahkan menjadi menang mungkin? Tanpa semua itupun Tuhan
telah menang, telah berkuasa, mutlak diatas segala-galanya. Mereka orang-orang
yang lugu mungkin kurang memahami jika Tuhan tidak memerlukan semua itu.
Apalagi sedu sedan Kiai Idris maupun para santri yang pongah itu untuk
memperoleh kehormatan di mata sebangsanya. Tidakkah cukup bagi mereka
kenikmatan yang senantiasa Tuhan limpahkan? Hingga mereka tega merampas hak
orang lain. Jika memang mereka berdalih akan sebuah jihad dan pembelaan Agama,
Agama yang manakah yang mereka bela? Dengan samar mereka ingin menuhankan diri
dan semua itu adalah bagian dari taktik iblis yang amat sangat halus sehingga
tiada lagi terasa, sungguh seperti tanpa sekat. Ketika semua itu berhasil Maka
para iblis dan hulu balangnya akan berpesta pora merayakan kemenangannya, karena
telah mendapatkan umpan yang kelak bisa diandalkan untuk dijadikan kerak di
dalam neraka
Belum sepenuhnya sembuh dari sakit
ujian hidup kembali datang bertubi-tubi. Kini seorang Kiai yang selama ini
menjadi tempat berkeluh kesah telah berbalik menyerangnya dari belakang.
Ratusan santrinya dikerahkan untuk menolak apa yang telah menjadi
angan-angannya selama ini. Dampak dari semua itu muncul sentimen dan protes
keras dari masyarakat. Oleh para tetangga Mbok Nah di juluki sebagai orang tua
berotak udang, perempuan tua yang sudah tidak waras. Hanya beberapa tetangga
yang terhitung jari memberikan dukungan atas jalan hidup yang di tempuhnya.
Terasa berat beban pikiran yang di tanggung, di wajahnya menyimpan kesedihan
yang dalam, membendung penderitaan tetapi tidak menampilkan dendam. Walau sakit
dihatinya tak serta merta mudah untuk dihapus, tetapi ia tetap berusaha menghapus memori peristiwa balai Desa
yang membuatnya sakit lahir bathin itu. Sakit hati yang tak akan pernah ada obatnya
itu hanya bisa di obati oleh virus, virus cinta dan tawakkal kepada Ilahi. Rasa
sakit yang tak biasa itu memperlambat proses kesembuhannya. Di usianya yang
menginjak kepala tujuh muncul kekhawatiran dalam dirinya, kelak suatu saat ia
harus berpisah dengan ruhnya, ia mencoba
untuk merelakan sebuah perpisahan yang abadi. Di dalam bathinnya bertanya-tanya
mungkinkah diriku memang sudah waktunya? Atau mungkin ini yang disebut penyakit
renta? Berapapun waktu yang telah dijatah oleh gusti Allah harus diterima.
Biarpun waktu yang ditorehkan untuknya hanya tinggal beberapa hari. Bukan
Aminah namanya jikalau harus berhenti dari ikhtiar, itu sama artinya menyerah
sebelum babak pertandingan usai.
"Baskom
cuci tangannya mana?" Pintanya sehabis menghabiskan setengah mangkuk
bubur.
"Ya
Mak, sebentar!”
"Kenapa
tidak dihabiskan ?" Tanya Qohar
setelah mengantarkan baskom kecil untuk mencuci tangan.
"Mulutku
terasa pahit.” Ujar Mbok Nah mengeluh. ”Kamu sudah Makan?” Tanyanya kemudian.
"Belum
lapar Mak!” Jawab Qohar Dengan wajah lesu.
"Kalau
begitu Maknyak ambilkan uang di lemari lalu belikan bubur kacang hijau dua
bungkus. Sekalian belikan pil reumatik dan flu tulang dua kaplet, kedua kakiku
terasa ngilu.”
"Tadi
saya mau mencuci tapi sabun cucinya habis Mak!”
"Ya
sudah! kamu belikan sabun cuci sekalian." Perintahnya kemudian.
Bubur kacang hijau telah didapat, tidak
lupa Qohar mampir ke rumah Bu Maryam untuk membeli obat dan sabun cuci.
Sementara di waktu yang sama seorang Ibu muda yang tengah belanja di warung Bu
Maryam menanyakan keadaan Mbok Nah kepada Qohar.
"Kata
Bu Mirna kemarin nenekmu sakit, bagaimana keadaannya sekarang? sudah
sembuh?".
"Belum."
"Sudah
lama sakitnya?
"Baru
dua hari."
Begitu barang yang di pesan telah di
dapat lalu dengan terburu-buru Qohar membayar barang belanjaan tetapi oleh Bu
Maryam sebagian uang dari Qohar sengaja di kembalikannya itung-itung sebagai
amal sirran1.
"Kapsulnya
tidak usah bayar!"
"Nanti
saya di marahi Maknyak."
"Wis
ra opo-opo, lha wong nenekmu sakit kok masih banyak bertingkah!
"Terima
kasih Budhe."
Malam mulai menampakkan wajahnya,
rembulan yang diwaktu siang bersembunyi di balik awan itu kini waktunya
menampakkan diri. Sekumpulan kelelawar mulai keluar dari lubang pada ruas-ruas
bambu di setiap teras rumah. Sebagai suatu pertanda waktu maghrib telah tiba.
Kearifan alam hadirkan pengetahuan yang bermetamorfosa menjadi sebuah tradisi.
Anak-anak dengan busananya yang rapi mulai menyandang kitab suci lalu dengan
indahnya anak-anak kecil melafadzkan kalam ilahi. Kalimah-kalimah yang selalu
selaras dengan berbagai zaman itu tidak akan pernah bisa dinodai hingga dunia
di gulung. Setiap hari setiap minggu muncul tunas-tunas baru al khamil2 di seluruh penjuru dunia yang
senantiasa mengawal dan menjaga kesuciannya. Sementara ayam, kambing dan
ternak-ternak lain telah masuk kandangnya masing-masing. Burung hantu, mahluk
Tuhan yang unik, bisa memutar lehernya hingga seratus delapan puluh derajat itu
mulai mengasah ketajaman indera penglihatannya dengan sorot matanya yang kaku seolah tak bisa
bergerak. Seandainya seseorang memperhatikan sorot matanya berlama-lama Maka
akan tersipu malu dan meringis di buatnya, siapapun orangnya, karena sorot
matanya yang tajam itu terus meMaku seperti sedang berakting. Tetapi aktingnya
keterlaluan dan mampu mengalahkan rekor hingga berjam-jam lamanya. Burung itu
menanti dan terus menanti datangnya mangsa, begitu mangsa datang secepat kilat
burung itu menyambarnya. Selepas waktu Isya' para tetangga dengan beberapa
anaknya datang menjenguk Mbok Nah.
Malam itu Qohar sedikit sumringah,
para ibu-ibu secara sukarela membagi tugas masing-masing. Ada yang membantu
merapikan tempat tidur, melipat baju, memijiti, dan memasak air. Adapula beberapa ibu yang
sengaja datang untuk menghibur dengan banyolan-banyolannya yang khas.
"Lho
setelah di pijiti kok malah sekujur tubuhnya Makin terasa dingin bagaimana ini?
Wah jangan-jangan..." Kata seorang perempuan kepada rekannya.
"Ah
kamu menakut-nakuti saja." Sahut yang lain.
"Lha
wong tubuhnya makin terlihat segar gitu kok, ya mbok ya?" Tanya seorang
perempuan yang berpakaian abu-abu. Mbok Nah cuek saja sambil menahan senyum.
Lalu kemudian senyumnya mengembang.
"Lha
mukamu kenapa? kok coreng moreng, habis masak ya?" Tanya yang lain sambil
terus memijiti kaki Mbok Nah, mengada-ada.
"Masa
iya, lha wong saya tadi mau kesini ya bedakan dulu." Keluhnya sambil
mengelus-elus pipinya. "Yang mana sih?". Tanyanya kemudian.
"Itu
lhoo itu." Tipu yang lain ikut nimbrung sambil jari telunjuknya mengarah lurus ke arah orang
yang tengah menjadi bahan tertawaan.
"
Yang mana?" Tanyanya lagi." Ngaco kamu!"
"Lha
wong kamu di kibuli kok mau." Ujar yang lain membuka tabir.
"Sudah
tua kok gampang di tipu Mbok Sarmi... Mbok Sarmi. "
"Mbok!
sampeyan ini sudah tua perbanyak istirahat saja." Nasehat seorang yang memakai
pakaian merah marun, lalu kemudian memohon diri pamit pulang.
"
Wes poko'e tenangkan pikiran, perbanyak dzikir biar cepat sembuh." Ujar
yang lain.
"Wes
poko'e sing sabar Mbok!"
"Jangan
lupa makan makanan yang bergizi."
"Kok
makannya cuma bubur, mbok yao di belikan sate atau ayam goreng gitu lho, uang
banyak kok pengiritan." Gerutu yang lain dengan wajah cemberut sambil
memberikan bungkusan plastik berwarna merah.
Malam semakin larut, para ibu
beserta anaknya satu persatu pamit pulang. Dari para tetangga itu Mbok Nah
mendapatkan banyak buah tangan berupa roti, mie instan, sate ayam, lontong
pecel, keripik singkong hingga kacang rebus. Dengan senang hati setelah
semuanya pulang, Qohar membuka dan mencicipi sebagian oleh-oleh dari para
tetangga itu tanpa harus menunggu perintah dari Mbok Nah. Melihat aksi dan
semangat Qohar cucu satu-satunya di dalam membuka bungkus demi bungkus itu,
guratan-guratan kecil di wajahnya mulai bertambah dekil. Menyiratkan
kebahagiaan yang tak ternilai. Mbok Nah Semakin bertambah sumringah setelah melihat Qohar makan roti
coklat belepotan. Ingatannya melayang jauh ketika Qohar masih lucu-lucunya,
teringat pula tingkah polah Qohar sewaktu gagal menangkap anak ayam, berebut
lauk dengan kucing sewaktu ditinggal dirinya mengambil air minum. Sewaktu
ingin belajar makan sendiri lalu di
tinggalnya dan belum lama di tinggal nasinya tumpah lalu dengan terburu-buru di
tutupinya dengan debu, pada hal waktu itu Mbok Nah melihat semuanya dari balik
pintu. Teringat pula di saat ia membuatkan titilo jago tilo[10]
membuat Qohar gembira bukan main, saking gembiranya kakinya kesandung dan
terjatuh lalu menangis. Begitu mudahnya tawa itu menjadi tangis.
"Maknyak
kok malah bengong! Maknyak tidak makan?" Tanya Qohar memecah kebekuan.
"Tidak,
tapi lapar!" Candanya dengan nada serius." Coba kamu lihat yang di
plastik merah itu isinya apa.?"
"Maknyak
kepengen? Saya suapin ya Mak?" Tawar Qohar.
"Isinya
apa?" Mbok Nah tetap kekeh dan kembali mengulang pertanyaannya.
"Ayam
goreng."
"Jangan
kau makan! Buang saja atau berikan pada kucing!" Larang Mbok Nah sambil
geleng-geleng kepala.
"Kenapa
Mak?"
"Barang
itu tadi di berikan dengan setengah hati, itu artinya pemberiannya tidak
ikhlas. Kamu tahu kan Maksudnya?"
Qohar
terdiam.
"Jika
kamu pengen nanti kita beli sendiri!" Hibur Mbok Nah kemudian.
Prasangka
Dari
prasangka
Penyesalan
itu datang
Karena
prasangka
kejernihan
kalbu menghilang
Oleh
prasangka
Beribu
dusta menghadang
Di
dalam sudut-sudut ruang
Di
setiap sisi kehidupan
Telah beberapa hari Mbok Nah belum mengunjungi
sawahnya, pada hal setiap kali dalam sehari sawahnya harus terairi agar bisa
mendapatkan hasil yang di harapkan. keadaannya memang belum pulih benar.
Sewaktu Mbok Nah masih sehat setiap hari setiap waktu ia habiskan hari-harinya
hanya untuk di sawah, jarang sekali Mbok Nah menghabiskan waktunya untuk
mengobrol hingga berjam-jam seperti kebanyakan orang kampung pada umumnya.
Sebelum ia kembali ke sawah ia ingin memastikan jika dirinya sudah benar-benar
sembuh. Kedua kakinya masih merasakan ngilu dan pegal-pegal. Tidak ingin
sawahnya telantar dan mengering begitu saja, Mbok Nah menyuruh Qohar agar ke
sawah mengambil jatah pengairan.
"Qohar...kamu
ke sawah mengambil jatah pengairan, nanti kalau ada yang melarang bilang saja
sudah berhari-hari belum dapat jatah. Jangan sampai tidak dapat soalnya mungkin
sekarang sawahnya sudah kekeringan." Perintah Mbok Nah sembari menasehati
dengan memberikan sebuah jurus jitunya.
Di pematang Qohar bertemu dengan
ibu-ibu yang tengah menyiangi rumput di sawah tetangga. Mereka bercuap-cuap ria
dan saling mengungguli satu sama lain. Suasana ramai mengisi hari-hari di
persawahan. Tak jauh dari tempat para ibu-ibu yang bercuap ria itu ada lagi sekumpulan
ibu-ibu yang juga tengah mengobrol dengan sesekali di selingi tawa yang secara
tidak langsung telah menjadi sumber semangat tersendiri. Tanpa di sadari waktu
terus berjalan dan tanpa terasa pekerjaan selesai lalu pulang. Begitulah
orang-orang kampung dengan keluguannya di
dalam mengisi hari-harinya.
Tidak terlalu sulit untuk
mendapatkan jatah pengairan karena sawah-sawah di sekitarnya telah terairi, air
yang melimpah itu ia arahkan begitu saja kesawahnya.
"Yang
mengairi kok kamu? Mbahmu ke mana?" Sapa seorang ibu yang biasa akrab
dipanggil Mbak Rumini.
"Di
rumah, sedang tidak enak badan."
"Mbahmu
katanya sakit ya?” Tanya perempuan yang lain.
“Ya,
sakit”
"Kebanyakan
uang kalii?" Sahut seorang perempuan yang meMakai caping gunung bercat
hijau sambil mencabuti rumput sembari bercanda.
"Sakit
apa?" Tanya seorang perempuan yang berselempang selendang.
"Hanya
ngilu di kakinya."
"Ooh
kena reumatik mungkin." Sahut yang lain.
"Biasanya
kalau kebanyakan uang yang sakit itu kepalanya karena pusing mau di kemanakan
itu uangnya” Sahut yang lain lagi sambil cengar-cengir.
“Tapi
kalau kakinya apa dibuat mikir?" Seloroh perempuan paruh baya yang tengah
mengumpulkan rumput hendak di buang.
"Kamu
ini ada-ada saja."
Begitulah
para ibu-ibu buruh tani berceloteh ria. Dari waktu kewaktu selalu ada saja
topik yang di bicarakannya.
Tidak ingin ikut hanyut dalam
obrolan ibu-ibu itu. Qohar pergi menjauh memperbaiki dan mengecek saluran air
sambil menyiangi rumputan liar di sela-sela tanaman padinya. Biasanya pekerjaan
itu dilakukan sambil menunggu ratanya permukaan air. Di sepanjang guludan
rumput-rumput liar dan ilalang di bersihkan dengan rapi. Dari jauh samar-samar
tanpa di sengaja, masih terdengar pembicaraan ibu-ibu tadi. Semenjak kedatangannya
ke sawah pelan-Pelan mereka menggiring dan mengalihkan topik pembicaraan ke
masalah neneknya. Di bawah terik panasnya mentari yang kian menyengat tak
menyurutkan para ibu-ibu itu untuk terus bergosip, bahkan kesannya malah terasa
seMakin asyik. Ada semacam rasa puas dan bangga menghinggapi hati mereka
apabila mengetahui berita itu secara mendetail. Sekaligus sebagai hiburan untuk
upaya keluar dari keadaan yang menelikungnya, terkungkung oleh rasa jemu, keram
dan pegal-pegal di sekujur badan ketika mulai memasuki waktu dzuhur karena
telah capek, biasanya waktu dzuhur adalah waktu istirahat untuk melepas lelah
dan letih. Mereka seperti terhibur dengan cara bergosip ria dan seolah terobati
akan sebuah candu yang telah lama mengakar dan bersarang di kepala para ibu-ibu
itu. Sambil menyiangi rumput para ibu-ibu itu tak henti-hentinya ngomongin
orang lain. Sementara Qohar seMakin asyik pula dengan dunianya sendiri,
mengairi sawah sembari menyiangi rumput, lalu sesekali pergi ke sungai dan
nyebur dengan gaya sirkusnya.
"Kayaknya
memang sudah cukup lama ya. Mbok Nah tidak ke sawah." Ujar perempuan yang
dari tadi pagi pekerjaannya hanya membuang rumput ke selokan
"Mungkin
sakitnya sudah ada seminggu, kalau tidak salah semenjak dari balai Desa."
ujar yang lain.
"Mbak
yu tak bilangin! Jangan bilang ke orang-orang ya? Kabarnya Mbok Nah itu sudah
tidak di perbolehkan ngaji di majlis taklim asuhan pak Yai Idris karena bisa
mendatangkan aib bagi Majlis Ta'lim itu sendiri. Kalau Mbok Nah tetep nekat ikut
pengajian itu sama artinya dia mencemarkan nama baik pak Yai, sampai-sampai
kata Mbok Karti yang ikut pengajian
kemarin pak Yai berpesan kepada seluruh para jamaah agar supaya berhati-hati di
dalam bekerja, bertindak maupun bersikap. Jangan menjadi manusia yang
kebablasan. Janganlah sampai menjadi Mbok Nah yang kedua kali, yang lurus-lurus
saja gitu lho." Bisik Nyai Sarkem kepada katimeh.
"Katanya
Mbok Nah cuma jadi Makelar tanah?" Timpal Katimeh pelan.
"Makelar
sih Makelar tapi buktinya kan kayak gitu, sekongkol dengan orang-orang
kafir." Ujar nyai Sarkem yang biasa menyaMakan orang-orang asing itu
dengan orang kafir.
"Sakitnya
mungkin adzab dari gusti Allah." Seorang perempuan yang lain
berkesimpulan.
"Adzab
kepalamu! Lha wong Mbok Nah itu katanya bela-belain ke balai Desa demi keadilan
kok!" Bela Kasanah, tetangga jauh Mbok Nah yang sejak tadi diam saja.
"Dia itu protes dengan aturan yang di buat pak Carik yang katanya
berubah-ubah itu!"
"Aku
dengar-dengar sih katanya Mbok Nah itu menempelkan kertas, entah isinya apa
gitu lho di papan balai desa sehingga memancing amarah para perangkat Desa." Ujar yang lain.
"Bukan
begitu, tapi yang jelas menurutku Mbok Nah itu cuma negur atau sekedar
mengingatkan pihak pemerintah Desa.
Pihak pemerintah Desa kan juga manusia yang bisa saja salah dan khilaf. Siapa
lagi yang mau menegur atau mengingatkan pemerintah kalau bukan masyarakatnya
seperti kita, benar apa tidak.?" Kata yang lain kepada rekan-rekannya.
"Aku
saja setahun yang lalu waktu membukukan surat tanah yang di belakang rumahku
itu baru jadi kemarin, itupun karena sering-sering tak beri uang tambahan biar cepet kelar,
sampai habis dua juta lho!"
"Apa
semua itu harus dibiarkan terus menerus.?” Sahut perempuan yang lain.
"Yaah
mau bagaimana lagi, ya diMaklumi saja. Lha wong nyalon kades saja modalnya
sudah ratusan juta, dari mana modal bisa kembali kalau bukan dari masyarakat!"
Pungkas kasanah nerocos begitu saja lalu berlari-lari kecil menuju sungai,
hendak ngising.
Beberapa hari ini Mbok Nah menjadi
bahan perbincangan, baik itu di rumah, di warung, di sawah, bahkan di majlis
ta'lim dan tempat-tempat pengajian para ibu-ibu. Kini Qohar telah terbiasa
mendengar neneknya diperbincangkan, tidak ada lagi rasa heran maupun kaget
mendengar pembicaraan-pembicaraan konyol tentang neneknya. Selesai mengairi
sawah ia langsung pulang dan tidak lupa di setiap jejak langkahnya di sepanjang
perjalanan ia sempatkan diri untuk memunguti kayu-kayu kering. Tanpa terasa seMakin
banyak kayu bakar yang di dapatnya, dengan tergopoh-gopoh ia membawanya sambil
sesekali istirahat di bawah rimbunnya pohon asem. Di waktu yang sama tak jauh
dari tempatnya beristirahat terparkir sebuah mobil colt dengan warna hitam
metalik, salah seorang penumpangnya datang menghampirinya. Sejenak ia teringat
beberapa hari yang lalu dengan salah seorang yang akan mendekati dirinya, teringat
sewaktu rumah neneknya di datangi dua orang tamu asing yang tidak begitu di
kenalnya itu, lama-lama ia mengenali betul wajah seseorang yang mulai mendekatinya,
namun ia tak mengetahui siapa namanya.
"Memang
itu orang nya." Ujar pak Puji, sopir pribadi pak Amin yang tengah menunggu di pintu mobil setengah
berteriak.
"Hai
bocah bagus kamu cucunya Mbok Ginah, bukan?" Tanya pak Amin setelah
menghampiri Qohar.
"Ya
pak. Saya cucunya."
"Di
mana dia sekarang?"
"Di
rumah, kemarin sewaktu Maknyak pulang dari balai Desa badannya langsung panas
demam, Maknyak di hukum di balai desa." Ujarnya polos.
"Oohh...Ya
sudah jangan bersedih!" Hiburnya kemudian. "Ayo ikut sekalian, taruh
kayunya di atas bak, kita ke rumahmu!"
Ajak
pak Amin dengan mengangguk-angguk.
Di teras rumah Mbok Nah duduk
selonjor diatas dipan sambil mengupasi kacang tanah. Sementara Qohar, pak Puji
dan pak Amin datang beberapa menit kemudian.
Tanpa
basa-basi, begitu sampai di rumah Pak Amin dan pak Puji langsung menanyakan
tanah kapling yang telah di blokir itu. Qohar masuk ke rumah hendak Makan
siang, sebelumnya telah dipersiapkan Mbok Nah.
"Nenek
masih sehat?"
"Alhamdulillah
sehat."
"Nenek
sudah tau mengenai tanah kapling yang telah kami beli kemarin sekarang telah di
blokir?Tanya pak Amin sambil duduk di sebelah Mbok Nah.
"Ya
tahu. Saya mohon maaf pak, saya tidak bisa berbuat apa-apa, kata Sarmi kemarin
tanah itu sudah di palangi kayu. Sungguh saya tidak mengira kalau akhirnya di
tutup seperti itu, saya sama sekali tidak mengerti dengan semua ini."
"Oke
kalau Nenek tidak mengerti, tapi setidaknya Nenek tahu jika tanah itu
bermasalah kan? Lalu kenapa Nenek tidak berterus terang saja dari awal. Sehingga
kami dari pihak perusahaan yang merugi. Anda tidak sekongkol kan dengan pelaku
pemblokiran?" Tanya pak amin dengan sungguh-sungguh. Tetapi tak sepatah
katapun yang terlontar dari Mbok Nah.
"Tolong
jawab dengan jujur Nek?" Sela pak Puji menambahkan. Mbok Nah masih
tertunduk lesu, dari kedua bola matanya meleleh bulir-bulir air mata.
"Aku
benar-benar tidak tahu dengan semua
ini."
"Saya
lebih tidak mengerti kenapa Nenek bisa di hukum di balai desa?"
"Bagaimana
semua itu bisa terjadi?"
"Nenek
bisa berbagi kepada kami perihal kejadiannya sehingga bisa sampai di
hukum?"
"Tidak.
Saya tidak di hukum, saya hanya ditahan dan di kurung beberapa jam."
Lalu Mbok Nah bertutur tentang
peristiwa itu hingga tuntas. Selesai bertutur tentang pengalaman pahitnya itu
pak Amin meminta ijin agar Mbok Nah bersama Qohar bersedia di potret.
"Kok
di photo segala untuk apa? Wong saya sudah tua gini kok!" Tukas Mbok Nah
dengan lugu. .
"Nek!
perusahaan kami selain mengelola pabrik kertas juga mengelola media cetak
harian dan rencananya tahun depan perusahaan kami akan merambah di bidang
pengolahan hasil perkebunan di lima wilayah di Indonesia. Dan jangan salah nek!
pak Amin yang memotret ini selain mempunyai pekerjaan sebagai konsultant juga
merangkap sebagai seorang wartawan, spesialis ilmu pengetahuan dan
informasi." Ujar pak puji menerangkan." Nenek tahu itu?”
"Yaah
aku hanya orang kampung yang tidak tahu apa-apa."
"Ooh
ya nek! kami baru saja meliput sebuah insiden pembunuhan di desa Sekar tak jauh
dari kampung ini sebelum kami meninjau bakal lokasi proyek yang tengah di
blokir itu. Nenek belum tahu kan kabarnya?”
"Aku
malah tidak tahu, pada hal desa Sekar itu tetangga kampung ini.
"Kejadiannya
tadi malam Nek! seorang istri di bakar suaminya di belakang rumahnya sendiri.
Awalnya warga menyangka pelaku pembakaran sedang membakar sampah karena di
jumpai banyak kertas kardus dan kertas folio di sekitar lokasi pembakaran. Baru
kemudian pagi harinya warga kampung di buat geger setelah seorang pemulung
menemukan jasad seorang perempuan tanpa busana yang telah gosong di sekujur
tubuhnya, kuat dugaan suaminya sedang stress berat karena tidak dilayani
istrinya malam itu. Dari saksi mata seorang penjual jamu, sebelumnya pelaku
memesan dua butir jamu kuat..
"Masya
allah!! Ujar Mbok Nah takjub sambil mengurut dada.
Hanya berselang dua hari kemudian
kisah pilu Mbok Nah di balai Desa Rakusan lengkap beserta dua fotonya bersama
Qohar terpampang di salah satu harian terbitan Ibu kota. Belum ada satupun
warga kampung Bendo dan sebagian besar warga Desa Rakusan yang mengetahui
perihal nongolnya Mbok Nah di harian Ibu Kota itu. Tetapi dari pihak balai Desa
hanya berselang satu hari kemudian setelah berita itu diturunkan para perangkat
Desa Rakusan baru mengetahuinya. Begitu diketahui berita mengenai penuturan
Mbok Nah yang blak-blakan itu di sebuah harian Ibu Kota, pihak pemerintah Desa
Rakusan langsung geger di buatnya. Dengan cepatnya bola liar berita itu
menggelinding ke segenap sudut-sudut perkampungan. Di warung Makan, pos
kamling, aula, musholla maupun masjid. Pak Lurah sendiri begitu melihat berita
tentang kelakuan buruknya beserta jajarannya di tulis di sebuah media massa
terbitan ibukota darah pak Lurah seakan ikut mendidih. Bagi Pak Lurah
kewibawaannya kali ini benar-benar tercoreng, di tampar sekeras-kerasnya oleh
perempuan Renta yang hakikatnya tidak mempunyai daya dan upaya. Mbok Nah
sendiri semenjak berita mengenai profil dirinya diturunkan malah sama sekali
tidak tahu. Tetapi ia harus mengalah kepada nasib, pihak pemerintah Desa Rakusan
menduga semua ini adalah sebuah rekayasa terencana, suatu permainan dari Mbok
Nah seorang, sebuah permainan fatal yang tidak bisa di maafkan. Berita itu
dinilainya sudah lebih dari mencemarkan nama baik Desa Rakusan. Atas dugaan
pencemaran nama baik itulah Mbok Nah kembali di gelandang ke balai Desa
Rakusan.
Belum sepenuhnya pulih dari rasa sakit
lahir bathin yang menderanya Mbok Nah
harus menghadapi kembali kenyataan pahit. Berhadapan dengan
manusia-manusia yang bertindak dan bersikap seperti anjing-anjing yang
kelaparan. Kembali dihujani pertanyaan-pertanyaan konyol yang seharusnya tidak
pantas untuk di pertanyakan. Kali kedua Mbok Nah di tahan justru terasa lebih
menyakitkan. Tetapi karena kali ini ia lebih siap lahir bathin sehingga tidak
terlalu menggoncang jiwanya. Penahanannya di balai Desa kali ini bahkan tanpa
ada kepastian kapan akan dibebaskan karena dari pihak pemerintah Desa Rakusan
menyatakan masalah yang kedua kali ini masih dalam tahap pengkajian. Pada hal
untuk menunggu masalah di kaji ulang terlebih dahulu bisa saja dari pihak
pemerintah Desa mengulur-ulur waktu sebagai sebuah bentuk pembalasan. Sementara
Qohar di usianya yang belum genap sepuluh tahun harus mulai membiasakan diri
bolak balik dari rumahnya ke balai Desa Rakusan atau sebaliknya, perjalanan itu
di tempuhnya sejauh enam kilo meter. Jarak yang lumayan melelahkan untuk ukuran
anak kecil seusia Qohar. Menjenguk neneknya saban pagi dan sore hari,
mengantarkan Makanan, pakaian dan keperluan lainnya.
Tiga hari berlalu, Qohar dengan
setia menjenguk neneknya di tahanan gadungan itu. Hingga suatu hari di sore
hari seusai pulang dari balai Desa Rakusan Qohar kedatangan dua orang tamu yang
mengaku sebagai wartawan tempo hari, suatu kebetulan. Mereka terdiri dari pak
Amin dan pak Puji.
"Nenekmu
ada di rumah?" Kata pak Puji kepada
Qohar.
"Tidak
ada, lagi di balai desa."
"Karena
kami terburu-buru, ini ada sedikit uang sebagai ungkapan rasa terima kasih kami
karena kemarin nenekmu mau meluangkan
waktunya dengan kami untuk sekedar berbagi cerita dan peristiwa." Kata pak
Amin sambil menyodorkan secarik amplop berisi uang.
Oleh Qohar amplop itu diterima
dengan wajah memerah, matanya berkaca-kaca lalu di bukanya dengan seksama. Dan
setelah mengetahui isi amplop itu berisi uang kemudian tanpa pikir panjang uang
itupun di buang dan tercecer di tanah.
"Gara-gara
uang itu Maknyak di hukum lagi.."
"Dasar
anak kecil sombongnya selangit. Apa Maksudmu uang itu kamu buang!" Kata
pak Amin dengan geram lalu membuang ludah.
"Orang
miskin yang tidak tahu diri." Timpal pak Puji menambahkan..
Tak ada kebencian atas hujaman
kata-kata kasar yang dilontarkan para tamu itu kepada dirinya, yang tergurat di
wajahnya hanyalah wajah kepolosan seorang anak kecil yang tengah di rundung
duka. Air matanya terus meleleh meski telah berulang kali ia menyekanya.
"Maafkan
saya ya bocah bagus, bukan Maksudku untuk menghinamu, tapi kenapa uang
pemberianku harus kau buang ?" Rasa bersalah itu tiba-tiba bergelayut di
benak pak Amin setelah melihat beningnya air mata bocah kecil itu yang terus
meleleh.
"Karena
photo yang beredar di koran itu Maknyak kembali di marahi dan sekarang masih di
hukum di balai Desa."
"Ya
Tuhan kenapa bisa jadi begini runyam urusannya. Ya sudah, kalau begitu kamu
sekarang ku antar ke balai Desa. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk
nenekmu. Kita tidak boleh gegabah, hanya pihak yang berwenang yang berhak
menyelidiki masalah ini. Kamu jangan khawatir! biar nanti saya hubungi pihak
yang berwenang agar segera membebaskannya." Kata pak Amin meyakinkan Qohar
lalu diambilnya handphone dari dalam kantong celananya dan menelepon pihak
Kepolisian.
Hari itu juga Qohar diantar ke balai
Desa dan hanya diantar sampai di seberang jalan, tepat didepan balai Desa
Rakusan. Sebelum berpisah pak Amin memberikan sebuah bungkusan berisi biscuit
sembari berpesan kembali kepada Qohar agar tidak usah lagi mengkhawatirkan
keadaan Neneknya karena nanti polisi akan datang dan membebaskan neneknya.
"Jangan
khawatir! Nenekmu pasti akan baik-baik saja, polisi nanti akan datang menyelamatkan
Nenekmu. Karena hari ini kita ada meeting di kantor. Insya Allah saya akan
datang kerumahmu untuk menindak lanjuti masalah ini."
Lalu
mereka pergi meninggalkan Qohar.
Memasuki balai Desa Rakusan seperti
memasuki sarang binatang buas. Kalau bukan karena keterpaksaan mungkin Qohar
tidak akan pernah sudi untuk menyambanginya, juga karena ketulusan cintalah
Qohar memberanikan diri menemui neneknya di balai Desa Rakusan. Di mata Qohar
para perangkat Desa Rakusan tak ubahnya seperti monster yang menakutkan.
Seorang perangkat Desa yang berbadan tambun, besar, tinggi dan berkumis tebal
dengan mata melotot terlihat mondar-mandir layaknya setrika tepat di depan
kamar yang di huni neneknya. Sementara di pojok ruangan empat orang yang masih
berbaju dinas tengah bermain kartu domino. Dengan tegar Qohar memberanikan diri
menemui Neneknya, membawakan selembar jarek dan sebungkus nasi serta biskuit
pemberian dari pak Amin.
Tak sampai satu jam kemudian apa
yang dikatakan pak Amin terbukti. Sejumlah enam orang polisi tiba-tiba
mendatangi kantor kepala Desa Rakusan, dua diantaranya meMakai baju sipil.
"Selamat
siang pak!"
"Ya
siang. Ada apa ini?"
"Kami
dari kepolisian mendapatkan surat perintah penyelidikan mengenai adanya dugaan
penyekapan terhadap seorang Nenek, ini suratnya!"
Belum tuntas sudah surat itu di
baca seorang perangkat Desa berbadan kurus dan berpakaian batik menanyakan perihal siapa yang mengadukan
masalah ini ke kepolisian. Di dalam surat itu tanpa dicantumkan nama terang
sebagai pihak pelapor, tetapi data-data dan alamat pelapor telah di kantongi di
kepolisian. Pelapor mengatas naMakan PT Wahana Nusantara.
"Bagaimana
bisa masalah ini ditindak lanjuti tanpa adanya pihak pelapor? Ini fitnah! Siapa
yang berani mencari gara-gara seperti ini?" Ujar seorang perangkat Desa
yang mengenakan batik lurik.
"Yang
jelas ada yang melapor pak! Mustahil kami ditugaskan tanpa adanya
perintah."
"Bapak
lihat sendiri, disini tidak ada apa-apa
seperti yang di tuduhkan pihak pelapor. Silahkan di cek kebenarannya kalau
tidak percaya!" Ucap perangkat yang lain membela diri.
Seolah para perangkat Desa Rakusan
sudah tahu apa yang seharusnya dikerjakan. Tanpa harus membagi tugas
masing-masing, salah seorang petugas memperlakukan Mbok Nah dan Qohar dengan
layak atau bahkan mungkin seperti raja di depan para polisi. Faktanya para
Polisi memang mendapati seorang nenek beserta seorang cucunya di dalam sebuah
ruangan tetapi tidak ditemui adanya tanda-tanda tindak kekerasan atau
penyekapan. Fakta itu tidak berbanding lurus dengan apa yang di tuduhkan pihak
pelapor. Dari fakta-fakta yang yang ditemukan, sama sekali tidak di jumpai
adanya penyekapan maupun tindak kekerasan, kenyataannya seorang nenek beserta
cucunya memang tengah Makan dengan lahapnya di sebuah kamar yang lebih mirip
gudang.
"Perempuan
tua itu beserta cucunya kami temukan tengah luntang-lantung di depan balai Desa,
itulah yang membuat kami iba dan kami
beri Makan seadanya, lagian nenek itu telah berulang kali memalukan
pihak balai Desa dengan caranya yang mondar-mandir di depan balai Desa tanpa
ada perlunya, pantas saja Makannya kami beri tempat di gudang."
Dari tingkah polah dan sikap para
perangkat Desa, sejumlah Polisi itupun
memahami jika para perangkat Desa Rakusan tengah membela diri terutama
cara-cara musangnya itu terbaca dari
keterangan yang terakhir. Tercium gelagat aneh nan ganjil yang seharusnya tak
di ambangkan ke permukaan.
"Ya
sudah. Kalau begitu sediakan kami Makan siang kalau tak ingin di periksa lebih
lanjut." Kata seorang polisi kepada seorang perangkat yang berbadan tinggi
dan berkumis.
Tanpa babibu salah seorang
perangkat langsung bergegas menuju
warung Makan yang terletak disamping balai Desa. Selesai di jamu Makan siang
salah seorang polisi mengecek kembali keadaan perempuan tua itu beserta cucunya
di dalam sebuah ruangan yang lebih mirip gudang itu.
Di ruangan itu Mbok Nah dan Qohar
terlihat tengah Makan buah jeruk, pemberian dari salah seorang perangkat Desa.
Satu upaya pengelabuan untuk bersembunyi dibalik topeng kemunafikan. Dengan
nada halus seorang polisi yang berambut keriting itu lantas menanyainya.
"Nenek
kenal dengan PT Wahana Nusantara?"
"Saya
tidak kenal, tidak tahu apa-apa."
"Punya
saudara di PT Wahana Nusantara? "
"Tidak
punya."
"Maaf.
Seberapa luas sawah dan tanah Nenek?"
"Untuk
apa? Saya hanya punya sawah dan kebun tinggalan."
"Bukan
begitu Nek! Seandainya kalau masalah ini masuk ke ranah hukum dan berlanjut ke
pengadilan, Maka bukan tidak mungkin sawah dan kebun Nenek akan habis untuk
membiayai pengadilan seperti yang sudah banyak terjadi."
"Siapa
yang sudi membawa masalah ini ke pengadilan? ke kantor polisi saja aku tak
pernah!Aku tidak mau masalah ini menjadi runyam, Aku sudah tua. Di usia tuaku
ingin kuhabiskan waktuku di rumah bersama cucuku, Aku ingin hidup tenang
bersama cucuku."
"Ya
sudah, kalau begitu Nenek boleh pulang sekarang."
Tanpa berbelit-belit Mbok Nah dan
Qohar di ijinkan pulang. Keesokan harinya Pak Amin datang memenuhi janjinya. Pak
Amin datang bersama dua orang, seorang berkaos putih berbadan tambun dan
seorang lagi berjas rapi dan bertopi untuk sekadar menutupi kepalanya yang
pelontos. Dari dalam mobil pria tambun itu mengeluarkan beberapa bungkusan
plastik warna hitam serta dua kaleng biskuit berukuran sedang. Diteras rumah
Qohar masih asyik menikmati pekerjaaannya, mengupasi pisang yang telah masak
untuk bahan dasar pembuatan nogosari, rencananya kalau tak ada aral melintang nanti
malam Mbok Nah akan menggelar syukuran kecil-kecilan.
Pagi itu Mbok Nah sudah tidak ada
di rumah, ia pergi ke kebun mengambil keperluan dapur dan juga daun pisang.
"Bagaimana
kabar nenekmu?
"Baik.
"
“Ada di rumah, bukan?"
“Tidak
ada, sedang di kebun.”
"Bisa
kau panggilkan sekarang!"
"Ya
pak, tunggu sebentar " Terlebih
dahulu dengan cekatan Qohar membersihkan sisa kulit-kulit pisang yang tercecer
untuk dikumpulkan lalu di buang di belakang rumah.
Belum sempat di tunaikannya
perintah dari pak Amin tiba-tiba Mbok Nah sudah kembali pulang dengan membawa
beberapa macam barang bawaan.
"Itu
Maknyak!" kata Qohar kepada pak Amin sembari menunjuk lurus kearah Mbok
Nah lalu menemuinya.
"Ada
tamu Mak!"
"kenapa
tidak disuruh masuk?"
"Saya
lupa."
"Masih
kecil kok sudah pikun. Ini daun pisangnya jerang di depan tungku lalu jahe sama
kunyitnya taruh di ember." Perintah Mbok Nah bersahaja lalu menemui para
tamu.
"Silahkan
masuk pak? Tadi malam cucuku sudah cerita semuanya. Saya tidak tahu harus
ngomong apa. Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan dan tidak lupa saya
haturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas kebaikan dan ketulusan bapak.
Kini Alhamdulillah Saya bisa kembali kerumah dengan keadaan sehat wal
afiat."
"Sudah
lupakan saja Nek! Biarlah itu semua menjadi pelajaran hidup."
"Lalu
bagaimana nasib orang balai Desa?apakah mereka di tangkap?"
"Aku
tidak tau apa-apa, aku hanya di tanyai seorang polisi seputar harta bendaku
sebelum di ijinkan pulang. Sementara para perangkat Desa membiarkanku pulang bersama cucuku begitu
saja. Sebelumnya cucuku melihat mereka Makan bersama di aula depan dan di waktu
yang sama kami juga di beri Makan ditambah pemberian sesisir pisang raja dan
jeruk beberapa buah. Tapi pak! biarlah masalah ini cukup sampai di sini, jangan
di besar-besarkan apalagi di perkarakan. Aku khawatir melihat masalah kriwikan
menjadi grojogan[11]."
"Saya
melihat ini semua penuh dengan persekongkolan dan kesewenang-wenangan dari
segelintiran orang yang sengaja menghalang-halangi niat tulus kami. Sehingga
lahan bakal proyek yang telah kami beli dengan sah menjadi terbengkalai karena
keputusan sepihak, ini sama sekali tidak adil. Apabila masalah ini di lanjutkan
apa yang harus di takutkan? Kita tidak perlu takut, tidak ada yang perlu
ditakutkan dalam masalah ini bahkan kepada siapapun juga termasuk para
perangkat Desa Rakusan itu. Kita tidak boleh takut kecuali hanya kepada Allah!"
"Begitu
fasih kau melafadzkan kalimah Allah, bukankah kau dari etnis tiongkok?"
"Bukan.
Saya bukan dari etnis tiongkok, saya keturunan betawi tulen, hanya saja mungkin
sejak kecil saya di rawat dan dibesarkan oleh orang Tiongkok sehingga saya mirip seperti orang tiongkok, dari sifatnya,sikapnya
maupun tindakannya” Pak Amin diam sejenak lalu bertutur tentang bagaimana dirinya
terlahir ke dunia. Semasa terlahir kedunia aku tertahan di rumah sakit karena
orang tuaku tidak mampu membiayai biaya persalinan dan ditambah lagi ibuku
wafat sesaat kemudian setelah melahirkanku, ayahku sendiri seperti tak kuasa
menahan beban penderitaan setelah tahu belahan jiwanya sudah tidak lagi
bernyawa. Di tambah lagi hutang pembiayaan rumah sakit yang masih
terkatung-katung tidak jelas kapan bisa terbayar. Waktu itu ayahku sengaja
menahanku di rumah sakit karena tidak mempunyai biaya untuk menebusnya. Kepada
setiap orang yang di temui tanpa rasa malu ayah meminta bantuan biaya tapi
hasilnya nihil, tak seorangpun yang mau membantu membiayai biaya persalinan
yang lumayan besar waktu itu .Mendengar kabar mengenai ketidak mampuan ayahku
di didalam membiayai biaya persalinan, Lie kang tjoan seorang tetangga yang kebetulan dari etnis
tiongkok membantu membiayai seluruh biaya persalinan. Lalu kemudian sebagai
sebuah bentuk penghormatan dan rasa teriMakasih ayahku memberikan hak asuh
kepada keluarga Lie kang tjoan dan meminta kesediaannya untuk memberikan sebuah
nama. Jadilah diriku menjadi Amin ong gwee. Atas pemberian nama yang berbau
tiongkok itu aku sangat bersyukur dan sama sekali tidak mempersoalkannya, tetapi
justru saya sangat bangga karena itulah keadilan dari Tuhan. Berangkat dari
kenyatan pahit itulah saya menjadi begitu mencintai orang-orang tiongkok dalam
berbagai hal. Ayahku bertutur. Semenjak ayahku belum terlahir di kampungku
memang telah bermukim orang-orang
tiongkok dari klan Tjoan
"Apakah
Nenek tidak melihat jika semua ini penuh dengan ketidak adilan dan penuh dengan
kemunafikan? Ini adalah sebuah bentuk
dari kedzaliman! Nenek tidak usah khawatir biar nanti saya dan rekan yang akan
mengatur semuanya.”
Mbok Nah terdiam, seraut wajahnya
muram lalu tertunduk lesu. Hatinya seperti tersayat jika teringat kisah pilu
bagaimana ia dilahirkan dulu. Ibunya
Nyai Rasup sang pejuang tanpa tanda jasa itu pernah bercerita tentang bagaimana
Mbok Nah kecil terlahir di tengah-tengah kesusahan. Waktu itu Nyai Rasup tengah
mengandung menginjak usia sembilan bulan. Di saat-saat suasana sedang
gawat-gawatnya. Pemerintah kolonial Belanda mengepung rumah-rumah pemukiman
orang-orang pribumi dari berbagai arah. Pemerintah kolonial Belanda kembali melancarkan
serangannya secara besar-besaran. Serangan yang membabi buta itu tidak hanya
terfokus dari daratan melainkan juga dari udara dan laut. Benar-benar keadaan
suatu Bangsa sedang genting-gentingnya. Di hari itu para tentara Nasional dan
warga sipil banyak yang gugur di medan pertempuran, kalaupun selamat tidak
sedikit diantara para pejuang maupun warga sipil yang terperangkap di medan
pertempuran, terkena peluru panas. Banyak warga sipil yang menderita luka parah
hingga kemudian menjadi cacat seumur hidup. Perkampungan warga di kepung
meskipun tempat perkampungan itu
terletak di lereng-lereng gunung sekalipun. sebagian Ibu-ibu dan anak-anak yang
selamat dan berhasil lolos dari kepungan tentara kolonial Belanda lari tungang
langgang ke atas gunung dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa.
Nyai rasup sendiri menyelamatkan
diri bersama suaminya Ki Rasup. Dengan sekuat tenaga Nyai Rasup dan suaminya
lari dengan tertatih-tatih menjauh sejauh mungkin dari perkampungan. Nyai Rasup
yang tengah hamil sembilan bulan itu tak menyurutkan langkahnya untuk terus
melangkah meniti jalanan berliku. Pada hari itu adalah serangan kali kedua
dilancarkan. Kali kedua yang menjadi sasaran adalah pemuda-pemuda desa yang
masih tersisa , yang di perkirakan masih bersembunyi di rumah-rumah warga. Di
balik hutan larangan dan di lereng-lereng gunung Muria. Beberapa hari
sebelumnya para pemuda-pemudi desa termasuk Ki Rasup suaminya, menyerang sebuah markas milik tentara Belanda
yang disinyalir didalamnya tersimpan bahan Makanan dan obat-obatan. Di markas
tentara kolonial Belanda itu hanya tinggal lima orang tentara Belanda, tiga
orang di dalam dan dua orang lagi berjaga-jaga di luar. Suatu kesempatan emas
untuk segera menyerbu dan menjarah segala yang ada di dalamnya. Dengan segera
para pemuda Desa mulai menghimpun kekuatan, seluruh anak muda Desa di kerahkan
dan pecahlah pertempuran sengit itu. Dalam hitungan menit lima orang tentara
Belanda itu tewas seketika, tertombak oleh tajamnya bambu runcing yang
sebelumnya telah di doakan dan di jampi-jampi terlebih dahulu oleh beberapa
sesepuh Desa. Tanpa menunggu waktu puluhan pucuk senjata, bahan Makanan dan
obat-obatan dijarah seluruhnya. Sehari setelah peristiwa itu, saat matahari di
ufuk barat belum menenggelamkan diri terdengar suara peluru berdesingan.
Seluruh perkampungan di obrak-abrik lalu di bakar habis. Rumah-rumah warga
banyak yang hancur berkeping-keping, rata dengan tanah. Sebelum nyawa Nyai
Rasup ikut hangus terpanggang dalam bara api yang membara itu, Nyai Rasup sudah
terlebih dulu menyelamatkan diri bersama Suaminya. Sore itu menjelang maghrib
orang tua para ibu dan anak-anak terperangkap. Mereka di arak sedemikian rupa
seperti kambing-kambing yang tak berdaya ke distrik militer di dekat rumah
letnan Abraham. Seperti biasanya, disana
mereka di sekap beberapa hari lalu di paksa membuka rahasia kemudian di
bebaskan. Adapula yang di hukum jemur di tengah-tengah lapangan, di jerang di
bawah panas terik matahari hingga berhari-hari lamanya. Dengan tertatih-tatih
Nyai Rasup dan Suaminya terus menapaki jalanan curam dan terjal, mencari tempat
persembunyian. Belum sempat Nyai Rasup bersama suaminya menemukan tempat
persembunyian, takdir berkehendak lain, Ki Rasup yang mulanya menyuruh Nyai Rasup agar
berjalan di depan dan mendahuluinya itu akhirnya pergi untuk selama-lamanya.
Tepat di belakangnya Ki Rasup yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi
dirinya itu, kini telah tertembak peluru panas. Nyai Rasup melihat sendiri
bagaimana ki Rasup menggelinjang, mengeluh kesakitan oleh tajamnya peluru panas
yang tembus di bagian tengkuk dan satu lagi di pelipisnya. Darah seketika itu
juga mengucur membasahi kerah baju dan
lehernya. Sebelum ajal mendekat, nyawa menjauh menyingkir dari jasad Ki Rasup,
dilihatinya wajah suaminya itu. Guratan senyum yang merekah menjelang
kepergiannya tak seperti biasanya. Tak banyak kata-kata terakhir yang terucap
dari kedua bibirnya yang telah kelu membiru. Ki Rasup hanya berpesan dengan
suara yang mulai terputus-putus.
"Selamatkan
anakmu Imran! Dia ku letakkan di bawah tanah di kamar kita, tepat di bawah
tempayan."
Tak lama setelah itu Nyai Rasup menjumpai
raga suaminya yang kaku tak lagi mengisyaratkan satu nafaspun. Dipeluknya jasad
yang tidak bernyawa itu erat-erat. Ki Rasup telah mati. Ya ia telah mati,
jasadnya telah berubah menjadi mayat. Orang yang selama ini melindunginya telah
terkapar di depan mata. Kedua bola matanya pelan-pelan terpejam, dari kedua
bibirnya seperti ada senyuman yang tersungging. Sementara Mbok Nah berusaha
tegar menghadapi sebuah kenyataan, dari kedua bola matanya tanpa disadari
merembes bulir-bulir air mata membasahi wajahnya yang coreng-moreng oleh abu
untuk mengelabui musuh. Nyai Rasup yang lemah tidak berdaya tidak kekurangan akal, ia sempat pura-pura pingsan
beberapa menit lamanya dan berada tepat di atas mayat Ki Rasup. Air matanya tak
henti-hentinya jatuh berderai membasahi jasad suaminya, semua itu dilakukannya
untuk sekedar mengelabui musuh. Lalu demi jabang bayi yang masih di kandung
badan selama hampir sembilan bulan itu perlahan dengan langkah gontai Nyai
Rasup meninggalkan jasad suaminya yang telah membujur kaku. Dibiarkan jasad
suaminya tergeletak begitu saja tanpa seorangpun yang mengurusnya. Dalam batin
Nyai Rasup berjanji kepada diri sendiri. Suatu saat apabila nyawaku masih di
kandung badan akan kudatangi, akan ku cari dimana mayat suamiku tergeletak.
Akan ku caritahu di mana keberadaannya, walaupun hanya tinggal bangkai. Akan
kukemas bangkainya sedemikian rupa lalu kupersembahkan kepada anak cucuku
kelak. Bahwa kematian adalah gerbang kehidupan dan kehidupan adalah pada
kematiannya. Kepada anak cucuku kelak akan ku serukan bahwa semangat hidup
takkan pernah mati dan perjuangan tak akan pernah usai.
Di depan mata Nyai Rasup
menyaksikan orang-orang yang berkalang nasib, tertoreh untuk menjadi korban
kerakusan manusia, mereka telah tertulis masanya, bahwasannya mereka akan tiada
di waktu yang akan tertera. Mereka para ibu, orang tua dan anak-anak lari
terbirit-birit dengan sesekali diwarnai jeritan histeris ke atas gunung
berhutan. Sebagian lagi terkena coretan ilahi, mati. Tergeletak berserakan di
jalan-jalan tikus di bawah tebing. Nyai Rasup sendiri lari sebisanya ke dalam
hutan, gegap gempita peluru tetap terdengar berdesingan seakan-akan tepat di
atas kepala. Spontan Nyai Rasup tiarap di tanah. Dalam tiarap itu Nyai Rasup seperti
setengah sadar, dalam ketidaksadarannya Nyai Rasup merasa ruh telah meninggalkan
jasadnya. Dengan serta merta berusaha di ikhlaskan raganya yang tidak lagi
bernyawa itu meski terasa berat tetapi itu semua hanyalah perasaan takutnya
yang berlebihan. Tanpa disadari karena terlalu lama tiarap di tanah, Nyai
Rasup telah mendiami dunia antah berantah,
dunia bawah alam sadar. Nyai Rasup ketiduran, begitu terbangun hari telah
tersulap menjadi pekat berselimutkan dinginnya malam.
Padang rembulan seperti tepat
diatas kepalanya. Ditengah malam itu mulai dirasakan sakit di perut lalu dicarinya
tempat yang kering di bawah pepohonan hutan jati diantara rindangnya pohon
kemuning. Saat berkontraksi rasa sakit di perut tak henti-hentinya mendera,
rasa mulas yang luar biasa sakit tidak seperti biasanya. Sambil menahan rasa
sakit dikumpulkannya helai demi helai dedaunan kering, ditata sedemikian rupa
untuk sekedar tempat berbaring. Sendirian Nyai Rasup bergulat antara hidup dan
mati, berteman pohon-pohon besar yang setia meneduhinya, hanya sepercik sinar
rembulan yang sudi menerobos masuk untuk meneranginya, menemaninya dalam
kesusahan. Di keheningan malam itu
suasana pecah oleh tangis pertama kelahiran bayi mungil. Tangis bahagia
menemaninya malam itu. Beralas dedaunan kering dilahirkannya seorang bayi perempuan tanpa sentuhan pertolongan
dukun beranak tepat di tengah malam. Bagaimana pedihnya perjuangan seorang ibu
di dalam melahirkan dan bertahan untuk bisa tetap hidup sungguh tidak bisa
dilukiskan hanya dengan kata-kata. Perlu rentang waktu dari mulai mengandung
melahirkan hingga menyusui selama tiga puluh bulan.
Pak
Amin masih menunggu jawaban dari Mbok Nah lalu kembali bertanya dengan nada
agak lebih keras.
"Apakah
Nenek sendiri tidak tahu jika semua ini adalah bentuk kedzaliman atau bahkan
mungkin satu bentuk penjajahan baru?"
Mbok
Nah tersentak oleh pertanyaan pak Amin yang kedua. Terputus dari lamunan
panjangnya.
"Saya
tahu! Ini semua sama artinya dengan penjajahan oleh sebangsanya sendiri, tetapi
diriku hanyalah perempuan biasa tidak bisa berbuat apa-apa. Kemarin saja
sewaktu aku mencoba untuk protes sekedar ingin mengingatkan barang secuil anda
tau sendiri apa yang ku alami dan ku rasakan kini?"
"Ya
sudah. Mulai sekarang Nenek tidak perlu takut dan tidak perlu khawatir, biarlah
dari pihak kami nanti yang akan mengurus semuanya."
Siang itu seluruh warga Desa
Rakusan geger. Kantor kepala Desa di grebek pihak kepolisian. Akhir dari semua
itu kepala Desa Rakusan beserta para kroni-kroninya di tangkap dan di tahan. Lagi-lagi masyarakat Desa Rakusan
tidak banyak yang tahu mengenai akar permasalahan itu. Warga Desa Rakusan hanya
bisa menerka-nerka dengan kejadian di hari sebelumnya yaitu peristiwa penahanan
Aminah di balai desa. Kesimpangsiuran berita mengenai penggerebekan tidak dapat
di elakkan lalu kemudian kecurigaan mengarah dan bermuara kepada Mbok Nah yang
diketahui sehari sebelumnya di tahan di balai Desa. Tak satupun warga Desa
Rakusan yang tahu jika yang
memperkarakan masalah itu adalah pak Amin. Dalam sebuah perbincangan di
handphone tempo hari pak Amin mengancam
pihak kepolisian. Ancaman itu tidak main-main, apabila permintaan penahanan
kepala Desa tidak diindahkan Maka pak Amin tidak segan untuk memberitakan ke
publik perihal pembiaran dan kongkalikong dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ke berbagai
media.
Sejak peristiwa penggerebekan balai Desa
Rakusan pelan dan pasti Mbok Nah menjadi terkucil dari pergaulan. Ia menjadi
sesosok mahluk yang terasing di tengah-tengah keramaian. Tidak ada lagi tegur
sapa yang merapat padanya. satu-satunya yang masih tetap bersahabat hanyalah
alam, alam pesawahan diujung pematang.
Nama :Syaiful Hisyam
T
T L : Jepara 16 april 1987
Alamat :Gemiring lor Rt.02 Rw.07 Nalumsari Jepara
Pendidikan
Terakhir. Fakultas Pertanian Universitas Wahid Hasyim Semarang 2009.(tidak
tamat)
No
Hp : 083870099418
:082325769418
Alamat
Email : syaifulhisyam@rocketmail.com
Alamat
Blog : http//melanjutkan mimpi.blogspot.com
14
mei 2012
18
desember.10.
11desember
12
Novel
ini di tujukan untuk semua kalangan dan tidak terbatas oleh usia.
Sebuah
novel edukasi yang nyentrik dan penuh intrik berisikan nilai-nilai kehidupan
universal.
[2] Kain batik serba guna. Fungsi utamanya
sebagai selendang namun bisa juga di jadikan mukena, kebaya hingga selimut.
Pakaian wanita sekaligus menjadi Pakaian adat Perempuan Jawa pada umumnya.
1 Acara
liwetan anak-anak muda.Sebuah tradisi yang mengakar di seantero pulau Jawa,di
kampung-kampung.
[3] Sebangsa tanaman
perdu. Batang pohon Merambat. Getahnya untuk meracuni hewan/ikan yang berdarah
merah
[4] Racun Ikan
berbentuk padat. Biasanya untuk meracuni ikan Gabus, Ikan Bader. Yang berdarah merah.
1 Ibu,eMak
1 Sejenis unggas liar berukuran kecil,
yang lebih mirip burung puyuh dalam hal ukuran, bentuk, warna tubuh dan
telurnya.
1 Gentong, tempat
untuk menampung air bersih
1 Syair
lagu yang di populerkan oleh Abim Ngesti
1 Permainan
tradisional dengan meMakai sebilah kayu per seorang anak.
1 Artinya. Yaa Allah Gusti..tidak layak
aku masuk ke dalam sorga-Mu
Tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa
Tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa
Dosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai, Maka anugerahilah
hamba bertaubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
Sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku Ya Allah gusti.. hamba-Mu penuh Maksyiat, Datang kepada-Mu bersimpuh memohon Ampunan,Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,Tetapi jika Engkau tolak Maka kepada siapa lagi aku berharap.
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
Sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku Ya Allah gusti.. hamba-Mu penuh Maksyiat, Datang kepada-Mu bersimpuh memohon Ampunan,Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,Tetapi jika Engkau tolak Maka kepada siapa lagi aku berharap.
Sumber.http;//taubatku.wordpress.com.
1
Syair lagu yang di populerkan oleh
pentolan group band Dewa.Ahmad Dhani.
[6] senin 6 Agustus dan kamis 9 Agustus1945
[6]
2 Pengeboman ini dilakukan pada tanggal 7
Desember 1941. Kala itu Angkatan Laut Jepang menyerang markas AL Amerika
Serikat secara tiba-tiba di Hawaii.Hasil serangan ini ialah rusaknya atau
tenggelamnya 20 kapal tempur Amerika,
188 pesawat terbang rusak dan 2.403 korban jiwa. Di pihak Jepang, Jepang
'hanya' kehilangan 55 pesawat tempur dari 441 pesawat tempur.sumber.Wikipedia
Indonesia.
1
Tempat penampungan air dengan sisi
bawahnya di beri kran. Untuk berwudlu,mandi dan keperluan dapur lainnya.
1 Mangkrak,
menganggur, tak tergarap.
1
Alat untuk memanen buah-buahan semisal Mangga, Sawo dan sebangsanya.
1
Pihak keluarga yang terkena musibah.
1 Anda
kenalnya dimana?kok di cari-cari.
1 kerja,cari
nafkah.
1 nyunggi berarti menyunggi atau membawa sesuatu
di atas kepala.
2 Wakul,Bakul,
Tempat/wadah nasi.Biasanya terbuat dari bambu,sekarang banyak barang tiruannya
yang terbuat dari plastik.
3 tumpah
4 Lagu jawa yang mulai di lupakan. Di sadur
dengan seadanya.
1
Oleh-oleh yang biasanya berupa nasi beserta lauk dari acara kondangan
Atau dari berbagai acara tradisional lainnya
seperti acara selamatan, mitoni, dan berbagai seremonial lainnya.
2 Memasak nasi.
1 Syair lagu yang di populerkan oleh Abiem Ngesti(alm) dengan judul “ini Jaman Uang”.
1
Peringatan atau semacam sebuah nasehat.
[7]
Manusia yang baik itu ringan tangan dan selalu mempermudah urusan, tidak
menyukai perbuatan keji dan mungkar. Orang dengan kebiasaannya memperumit suatu
masalah itu tiada bedanya dengan menjajah saudaranya sendiri. Lebih buas dari
buasnya binatang buas. Secara dzahir sungguh tiada beda dengan binatang. Apakah
tidak terpikir? Zaman dahulu tanah air ini di jajah selama bertahun-tahun,
memerlukan pengorbanan yang tiada terhingga. Orang-orang terdahulu berjuang
melawan segala bentuk penjajahan dengan tujuan ingin merdeka seutuhnya. Kini
telah merdeka tetapi yang terjadi penjajahan malah seMakin beringas dengan
menjajah sebangsanya sendiri. Hidup seperti halnya tanpa suatu aturan. Ingatlah
semua para perangkat desa tidak akan sampai satu abad nyawamu tertancap di
dada, kamu semua bakal mati membaur dengan tanah.
[8]
Pada
masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579), Jepara berkembang pesat menjadi
Bandar Niaga utama di Pulau Jawa yang melayani eksport import. Disamping itu
juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan DeMak. Sebagai seorang penguasa Jepara yang gemah ripah loh jinawi
karena keberadaan Jepara kala itu sebagai bandar niaga yang ramai, Ratu
Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini
dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna
menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan
jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai “RAINHA DE
JEPARA”SENORA DE RICA”, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat
berkuasa dan kaya raya. Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan
hampir 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun
serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat
dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis
dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat. Namun
semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi
penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan
diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia. Dua puluh empat tahun kemudian atau
tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang
lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal
diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan.
Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam
kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai “QUILIMO”. Walaupun akhirnya
perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak
berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan
jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa
dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu. Sebagai peninggalan sejarah dari
perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di
Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa.
Sumber. Wikipedia bahasa Indonesia.
[9] Aku tidak gila
harta.
1
Rahasia: Suatu amal saleh yang tidak ingin diketahui orang lain. Sebagai
cerminan suatu ketulusan dan keikhlasan.
2 Sebutan
untuk seseorang yang bisa menguasai dan menghafalkan Al Qur’an.
[10] Sebuah permainan
rakyat. Caranya sebutir jagung rebus ditusuk dengan tusuk sate lalu ditancapkan
pada selembar daun yang telah di ikat atau bisa juga di tancapkan pada pohon
pisang.
[11] Aliran air yang kecil menjadi kian membesar.
Masalah kecil menjadi masalah yang kian membesar.
Langganan:
Postingan (Atom)